Posts

Kesehatan Mental dalam Alkitab: Suara-suara tentang Harapan

Ketika menghadapi perkara yang terlalu berat ditanggung, Allah mengajak kita untuk menyerahkan beban dan kekhawatiran kita kepada-Nya. (Matius 11:28-30).

Memang masalah yang kita alami tak serta merta hilang, namun bersama Allah kita dapat mengalami damai sejahtera yang melingkupi hati dan pikiran kita. Dia tidak tinggal diam, tapi turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi kita (Roma 8:28) 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari (IG: ymi_today) dan dibuat oleh (IG: nicky.simanjuntak).

Kamu diberkati oleh konten ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Emosi Negatif: Dihindari atau Didekati?

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Takut. Kecewa. Terpuruk.

Jika urutan kata-kata di atas diteruskan, tentu tidaklah sulit untuk merinci beragam emosi negatif yang dirasakan oleh manusia. Bila emosi positif seperti perasaan senang dan antusias bisa kita ungkapkan dengan bebas, biasanya untuk emosi negatif kita lebih pilih menyembunyikannya. Menyatakan emosi negatif sering diasosiasikan sebagai mengeluh dan mengeluh itu dianggap dosa.

Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi emosi negatif?

Pernah ada masa aku marah, kecewa, sedih, patah hati, dan jengkel. Rasanya sungguh tidak enak. Kulakukan berbagai cara untuk menghilangkan semua perasaan itu. Dan.. itu berhasil! Tapi… aku tidak lagi merasakan apa pun, termasuk kesenangan, cinta dan sukacita. Lebih tepatnya, aku jadi mati rasa. Hidup tetapi tidak hidup, demikianlah aku waktu itu.

Aku sempat berpikir: apakah tindakanku memendam emosi, atau menutup pintu rapat-rapat agar emosi negatif tidak keluar adalah tindakan yang tepat? Pertanyaan ini membawaku pada satu bagian Alkitab yang terambil dari Hakim-hakim.

Pada pasal 7, Allah memerintahkan Gideon untuk mengambil prajurit dari bangsa Israel untuk berperang melawan Midian. Dari ribuan orang, tersisa hanya 300 prajurit dan Allah pun memberi kemenangan bagi Israel. Namun, dalam prosesnya menjalani peperangan ini, Gideon tidak kebal dari rasa takut. Gideon merasa panggilan Allah ini terlalu berat, sebab dia hanyalah kaum terkecil di antara suku-suku Israel, juga yang termuda di tengah keluarganya (6:15). Ketika tiba hari peperangan, Allah kembail meneguhkan Gideon dengan bersabda: “Tetapi jika engkau takut untuk turun menyerbu, turunlah bersama dengan Pura, bujangmu, ke perkemahan itu…” (7:10).

Allah mengenal ketakutan Gideon. Alih-alih menghakiminya, Allah justru menolong Gideon untuk menang atas ketakutan itu dengan memberinya jalan keluar. Melalui bala tentara Israel yang amat sedikit bila dibandingkan dengan formasi kekuatan musuh, Allah ingin Gideon melihat bahwa Dia jauh lebih besar daripada segala ketakutannya. Tak hanya Gideon, Tuhan Yesus pun pernah mengalami ketakutan. Menjelang penyaliban-Nya, emosi ketakutannya mengalir deras hingga keringat-Nya menjadi seperti titik-titik darah (Lukas 22:44). Tuhan Yesus tidak berlagak seolah ketakutan itu tidak ada, tetapi Dia menunjukkan ketakutan itu dalam doa-Nya pada Bapa dan Bapa pun mengutus malaikat untuk memberi Yesus kekuatan (Lukas 22:43).

Alkitab mencatat banyak tokoh yang ditolong Allah untuk mencerna dan mengeluarkan emosi-emosi negatif. Entah itu Musa, Yeremia, Raja Daud, hingga Rasul Paulus, semuanya mengalami kesedihan, kemarahan, ketakutan, bahkan kekecewaan. Namun, mereka tidak menahan semua perasaannya di hadapan Allah, melainkan dengan jujur dan lantang datang pada Allah. Rasul Paulus menuangkan apa yang jadi emosi negatifnya dalam tulisan-tulisannya. Dia secara terang-terangan menyampaikan kesedihannya atas kaumnya sendiri yang menolak Yesus Kristus, …aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati…” (Roma 9:1-18). Kita juga bisa membaca berbagai macam emosi negatif Daud yang mengalir dalam berbagai tulisannya di kitab Mazmur.

Aku belajar dari para tokoh Alkitab bahwa memberikan ‘ruang’ bagi emosi negatif kita untuk keluar adalah hal yang wajar dan baik. Tuhan menciptakan kita dengan unik, lengkap dengan segala spektrum emosi yang mewarnai hati kita. Konselorku juga menegaskan bahwa segala emosi: baik yang positif maupun negatif wajib diekspresikan dengan bijaksana agar jiwa manusia tetap sehat. Tidak perlu berpura-pura, tidak perlu merasa malu dengan emosi negatif yang dirasakan. Yang perlu dilakukan adalah mengekspresikannya dengan bijak.

Buatku sendiri, aku belajar untuk mengidentifikasi dan menerima segala emosi negatif yang mengalir melalui proses jurnaling. Kutuliskan segala perasaan yang kualami, yang kutahan dan pendam selama bertahun-tahun, bahkan sejak dari kecil. Aku mengakuinya, merasakannya, serta memaafkan segala yang telah berlalu. Aku bersyukur, melalui momen ini, Tuhan mengingatkanku akan peristiwa-peristiwa yang membuatku terluka dan kecewa di masa lalu—meskipun aku belum mengerti rasa kecewa waktu itu—serta memaafkan segala peristiwa buruk yang pernah kulalui.

Sekarang aku belajar untuk jujur akan ketidakmampuanku, bukannya memaksa diri untuk menyenangkan orang lain atau segera menyibukkan diri untuk menenggelamkan semua perasaan negatifku. Aku juga masih belajar untuk meluapkan rasa marah dengan bijaksana meskipun sulit, berdiam diri, memberikan ruang untuk rasa patah hati dan kesedihan yang mengalir. 

***

Mengelola emosi negatif dengan bijak adalah hal yang sulit, namun para tokoh Alkitab telah memberikan kita teladan. Aku melihat kesamaan di antara mereka yang berhasil mengelola emosi negatifnya dengan sehat, yakni mereka menempatkannya di tempat yang tepat. Seperti Tuhan Yesus Kristus yang marah saat ada orang yang mencemarkan Bait Allah; Paulus yang sedih karena bangsa Israel yang keras hati; Nehemia yang sedih atas kondisi bangsa Israel yang terbuang; Yeremia dan Daud yang berduka namun memiliki pengharapan di dalam Tuhan hingga kondisinya tidak terlalu terpuruk.

Kitab Ibrani menuliskan bahwa ganjaran mendatangkan dukacita (Ibrani 12:11), namun akan menghasilkan buah kebenaran. Aku percaya, di balik emosi negatif yang kita alami, ada maksud Tuhan yang baik dalam hidup kita; agar kita belajar terhadap ketetapan-ketetapan-Nya.

Bila hari ini kamu merasa emosi-emosi negatif memenuhimu, datanglah pada Allah. Dia akan memberimu kelegaan (Matius 11:28). Merengkuh emosi negatif tidaklah sama dengan menjadikannya pembenaran atas sikap-sikap negatif dalam diri kita, melainkan kita menyadari bahwa segala hal buruk memang bisa terjadi di dalam dunia yang telah berdosa, dan sebagai anak-anak Allah yang telah ditebus Kristus, kita diundang untuk menyerahkan seluruh keberadaan kita kepada-Nya untuk terus-menerus dibaharui dan disempurnakan (Roma 12:1-2; Matius 5:48).

Aku berdoa, agar Tuhan membuka mata hati kita untuk mengenal emosi kita sendiri, serta Roh Kudus memampukan kita untuk dapat menyelesaikan segala emosi negatif yang terpendam di masa lalu hingga tuntas. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

5 Tokoh Alkitab yang Jarang Dibahas~ Yuk Cek!

Lima penulis di WarungSaTeKaMu bikin artikel spesial loh, guys! Isinya tentang insight dari tokoh-tokoh Alkitab yang mungkin jarang kita denger.

Yuk simak!

Baca tentang Yabes di sini.

Baca tentang Mordekhai di sini.

Baca tentang Barnabas di sini.

Baca tentang Epafroditus di sini.

Baca tentang Hur di sini.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Ketika Tuhan Tidak Terlihat…

Oleh Nikita Afdan, Depok

Jika bicara tentang Tuhan, kita semua tentu mengakui Dialah sosok yang Mahakuasa. Artinya, Dia dapat melakukan apa pun, bahkan yang di luar pemikiran kita. Namun, bagaimana jika Dia memilih untuk tidak terlihat atau seolah tersembunyi?

Inilah yang terjadi dalam kisah tentang Hadasa, alias Ester. Kuyakin kita semua yang pernah ikut sekolah Minggu tahu tentang kisahnya. Cerita hidup Ester tercatat di Perjanjian Lama pada kitab yang diberi nama dirinya, “Ester”. Namun, dalam kitab ini tak sekalipun kata “Allah” tercatat. Bila kita tidak cermat membaca tiap-tiap bagiannya, mungkin kita akan mudah terjebak pada alur ceritanya saja.

Coba bayangkan, seorang anak yatim piatu dengan segala kesulitan hidupnya justru dipilih menjadi ratu dari kerajaan Persia. Lalu, dengan bantuan dari pamannya, mereka berhasil menggagalkan rencana pembunuhan besar-besaran. Apakah ini tidak terkesan seperti sinetron yang sering kita jumpai di negeri kita?

Nah, bila itu kesimpulan yang muncul di pikiran kita, maka kita telah melupakan kisah yang sebenarnya. Lewat tulisan ini aku ingin mengajakmu menapaki dan menggali kembali kisah hidup Ester.

Ester hidup pada masa ketika bangsa Israel hidup dalam pembuangan di kerajaan Persia. Di bawah kepemimpinan Raja Ahayseweros, Ester yang yatim-piatu mengikuti sayembara untuk menjadi ratu. Oleh Mordekhai, Ester diminta untuk tidak menunjukkan identitas aslinya sebagai orang Yahudi. Selama setahun Ester menjalani perawatan hingga dia pun terpilih menjadi ratu dan beroleh perhatian serta kasih sayang dari raja.

Kisah Ester tidak berhenti sampai di sini saja. Raja memiliki seorang hamba yang sangat dipercaya, yakni Haman yang benci terhadap orang Yahudi dan dia memerintahkan kepada semua pejabat kerajaan di gerbang istana tunduk menghormatinya. Namun, Mordekhai menolak perintah itu sebab dia hanya mau tunduk kepada Allah. Sikap ini tidak disukai Haman sehingga dia melakukan siasat jahat dengan menggunakan kekuasaanya untuk membinasakan seluruh orang Yahudi yang ada di kerajaan Persia. Masalah menjadi genting karena Haman adalah orang kepercayaan raja dan raja memberinya wewenang untuk melakukan apa pun.

Siasat jahat Haman telah diketahui oleh Mordekhai, sehingga dia menyampaikan hal ini kepada Ester. Pada masa itu, ada undang-undang yang melarang seseorang untuk menghadap raja tanpa dipanggil. Jika Ester menghadap raja tanpa adanya undangan, berarti dia melawan undang-undang, dan ganjarannya adalah hukuman mati. Ini konsekuensi yang tidak main-main sehingga keraguan Ester tentu sangat wajar. Namun, keraguan inilah yang membuatnya dilema: berdiam diri saja demi dirinya selamat tetapi bangsanya binasa, atau coba saja dulu? Di sinilah Mordekhai berperan. Mordekhai menguatkan hati Ester dan menyakinkannya bahwa ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi.

Ester memilih taat lalu memerintahkan Mordekhai dan seluruh umat Yahudi untuk mengadakan puasa selama tiga hari untuk dirinya. Apa yang ditakutkan Ester tidak terwujud. Raja berkenan menjumpai Ester dan ketika tiba saatnya, Ester mengungkapkan siasat buruk Haman untuk melenyapkan umat Yahudi termasuk dirinya. Mendengar kesaksian Ester, raja pun murka dan memerintahkan agar Haman dihukum mati. Raja Ahasyweros pun mengangkat Mordekai sebagai tangan kanan raja dan menjadi pengganti Haman.

Jon Bloom menuliskan dalam artikelnya: kisah yang sebenarnya dari Ester bukanlah tentang keberaniannya mengambil risiko menghadap raja, bukan pula kebijaksanaan Mordekhai. Cerita Ester adalah tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik intrik kekuasaan.

Haman yang jadi orang kepercayaan raja berpikir dia bisa membalas dendam pada Mordekhai yang telah menghinanya dengan merencanakan pembunuhan massal. Namun, Haman sejatinya hanyalah alat yang dipakai oleh si jahat.

Ahasyweros mengira dia sedang mencari ratu dengan mengumpulkan seluruh gadis muda yang cantik (Ester 2:3) di seluruh kerajaannya. Dia tidak tahu bahwa dia sedang dipakai Allah untuk mengalahkan si jahat. Uniknya, dari banyaknya gadis di seluruh wilayah, sang raja malah memilih seorang anak yatim-piatu Yahudi yang tinggal di ujung jalan.

Kitab Ester adalah narasi yang halus sekaligus ironis dari Tuhan di mana Dia memilih apa yang lemah bagi dunia untuk mempermalukan yang kuat (1 Korintus 1:27), melawan kuasa-kuasa gelap (Efesus 6:12), dan Dia menunjukkan kehadiran-Nya dalam perjalanan manusia tanpa perlu menyebut diri-Nya sendiri.

Kisah kehidupan Ester menjadi suatu bukti bahwa Tuhanlah yang memegang kendali atas apa yang terjadi dalam hidup kita. Kisah Ester dapat menjadi pegangan dalam hidup kita bahwa tidak terselami cara Allah bekerja untuk mendatangkan kebaikan. Mungkin saat ini kita merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerja kita, atau lingkungan persahabatan kita, bahkan di keluarga kita sendiri. Namun, marilah kita tetap percaya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Percaya bahwa Tuhan pasti bekerja untuk memberikan hal baik dalam hidup kita dan bahkan Tuhan bisa memakai kita untuk menjadi berkat bagi sesama kita di mana pun kita berada sama seperti Ester.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Sekutu yang Tidak Terduga

Oleh Cristal Tarigan, NTT

Beberapa waktu yang lalu, aku bersama dengan teman-temanku di komunitas rohani membahas tema yang menurutku sangat menarik: sekutu yang tidak terduga.

Pokok bahasan tema ini adalah seorang tokoh yang mungkin kurang familiar dalam pengetahuan kekristenan kebanyakan orang, bagiku juga saat itu. Dialah Rahab, seorang perempuan sundal yang menyelamatkan pengintai Israel dengan menyembunyikan mereka di sotoh rumahnya. Sampai sini, ada yang sudah ingat detail ceritanya? Mungkin kebanyakan kita biasanya hanya fokus ke cerita pengintai yang pemberani, bukan?

Aku lanjut ya guys. Apa sih yang menarik dari seorang Rahab?

Nah, kisah ini tercatat di kitab Yosua pasal 2 dan 6. Setelah Musa mati, Yosua mengambil alih kepemimpinannya untuk menggenapi janji Allah kepada umat Israel untuk merebut tanah Kanaan. Namun, janji itu tidak instan digenapi. Proses bagi Israel untuk tiba kembali di Kanaan begitu panjang dan tidak mudah, salah satunya karena mereka harus memerangi bangsa-bangsa lain. Ketika tiba di Yerikho, gerbang kota ini telah tertutup dan Allah berfirman pada Yosua untuk memerangi kota itu dengan mengelilinginya (Yosua 6). Menariknya, pada kisah penyerbuan ini, ada Rahab, seorang pelacur Kanaan yang hidup di dalam Yerikho. Rahab mempertaruhkan nyawanya dengan menyembunyikan pengintai Israel. Rahab berbohong kepada prajurit bangsanya sendiri dengan mengatakan kalau pengintai Israel telah pergi dari sana.

Aku sempat berpikir: dia seorang perempuan sundal, kemudian dia berbohong demi orang Israel. Mengapa dia takut kepada orang Israel, atau apakah dia diancam pengintai itu? Apa yang hebat dari seorang Rahab?

Pertanyaanku itu menemukan jawabannya ketika aku membaca Yosua 2:9, 11.

“Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu… Ketika kami mendengar itu, tawarlah hati kami dan jatuhlah semangat setiap orang menghadapi kamu, sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah.”

Luar biasa sekali iman seorang Rahab. Kalau bukan karena iman, apakah ada orang yang mau mempertaruhkan nyawanya dan nyawa keluarganya kepada orang yang belum benar-benar dia kenal (para pengintai)? Namun, Rahab melakukannya. Bagaimana dia bisa beriman kepada Allah Israel? Rahab sebelumnya telah mendengar kisah tentang apa yang sudah Allah Israel lakukan selama ini. Bukan saja mendengar, tapi Rahab juga menyimpan dan merenungkannya dalam hati. Itulah yang meneguhkannya untuk berani melakukan tindakan yang luar biasa sekali menurutku.

Pada akhirnya, Rahab dan keluarganya diselamatkan. Apa yang bisa kita pelajari dari kisah Rahab?

1. Iman lahir dari pendengaran dan dibuktikan melalui tindakan

Jujur, aku tertampar sekali dengan kisah Rahab. Aku si aktivis rohani seringkali kurang percaya kepada Tuhan dalam berbagai area hidupku dan permasalahannya.

Bukankah kita juga sering demikian? Aku mendengar firman tapi seringkali takut untuk taat, padahal aku tidak harus melakukan tugas berat seperti Rahab yang harus merisikokan nyawanya sendiri.

2. Iman kita kepada Tuhan = mempertaruhkan nama baik Tuhan sendiri

Yosua 2:12 “Maka sekarang, bersumpahlah kiranya demi TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu tanda yang dapat dipercaya.”

Melalui percakapan Rahab dengan kedua pengintai di atas, dan bagaimana kemudian di Yosua pasal 6 janji tersebut digenapi, aku belajar satu hal penting bahwa saat kita sedang mempercayakan seluruh hidup kita kepada Tuhan, meletakkan semuanya atas dasar iman, sesungguhnya nama baik atau reputasi Tuhan sendiri yang sedang dipertaruhkan, bukan diri kita. Tuhan tidak pernah mengingkari janji-Nya. Dia pasti akan menjadi penolong dalam segala keadaan. Janji-Nya ya dan amin.

3. Menyerahkan hidup menjadi sekutu Yesus

Menjadi sekutu Allah pasti butuh yang namanya pengorbanan. Tidak mudah. Kadang kita tidak disukai, dikucilkan, dipandang sebelah mata, diremehkan, mengorbankan waktu, tenaga, bahkan materi. Intinya dipaksa keluar dari zona nyaman. Itu adalah sebuah konsekuensi dari menjadi sekutu-Nya. Kadang kala juga pandangan yang membuat kita bisa saja kehilangan pengharapan itu berasal dari teman-teman rohani atau keluarga kita. Sekalipun demikian, hendaknya kita ingat penyertaan-Nya tidak berkesudahan sampai kita menutup cerita hidup kita.

***

Cerita Rahab tidak cuma berhenti dengan happy ending, yaitu dia dan keluarganya diselamatkan, tapi namanya juta dicatat di Injil Matius sebagai orang yang berada dalam garis silsilah keturunan Yesus. Rahab bagi dunia bisa saja dipandang hina, hanya seorang perempuan sundal, tidak layak. Kita pun seperti Rahab, pendosa, hina dan tidak layak, tapi Yesus telah menjadikan kita berharga dan mempercayai kita sebagai rekan sekerja-Nya. Ingatlah buah dari iman kita akan selalu mendatangkan berkat dan dampak yang besar bukan bagi kita sendiri tapi orang lain juga.

Selamat menjalani hari penuh proses, terus berjalan, melangkah dalam iman bersama Yesus saja. Di dalam imanmu, Tuhan sendiri yang sedang mempertaruhkan reputasi-Nya. Dia berperang dan berjuang bersamamu😊

Podcast KaMu ep. 28: KENALAN SAMA PRISKILA & AKWILA YUKS! Sejoli yang Berperan Besar dalam Misi Paulus

Abraham, Musa, Daud, Paulus adalah tokoh-tokoh besar yang pasti dikenal banyak orang. Namun, tahukah kamu dengan tokoh Priskila dan Akwila?

Mereka adalah sepasang suami-istri yang hidup pada masa gereja mula-mula dan tercatat pada Alkitab Perjanjian Baru. Meski tidak banyak disebut, mereka memiliki peran penting dalam pelayanan Rasul Paulus.

Bagaimana kisah hidup mereka bisa kita teladani di zaman modern ini?

Yuk, tonton dan dengerin di Podcast KaMu!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Hur: Figur Pendukung di Balik Nama Musa

Oleh Gabriella, Malang

Siapa saja tokoh yang berjasa dalam membawa bangsa Israel keluar dari Mesir? Aku rasa nama-nama yang pertama muncul di kepala kalian antara lain Musa, Harun, Yosua, Kaleb… mungkin Miryam. Adakah di antara kalian yang terpikir seseorang bernama Hur?

Hur muncul pada kisah saat Israel melawan bangsa Amalek di Keluaran 17:8-16. Pada saat itu, bangsa Israel berperang melawan bangsa Amalek di lembah Rafidim. Yosualah yang turun ke lapangan untuk memimpin pasukan perang Israel, sedangkan Musa naik ke puncak bukit dengan memegang tongkat Allah. Waktu Musa mengangkat tangannya yang memegang tongkat itu, Israel unggul dalam perang, tapi saat tangannya turun, Amalek menjadi lebih kuat. Musa yang sudah lelah mengangkat tangannya pun akhirnya mengandalkan bantuan Harun dan Hur yang masing-masing menopang sebelah tangan Musa sehingga tentara yang dipimpin Yosua akhirnya berhasil mengalahkan Amalek.

Melihat kisah ini, aku tersadar bahwa saat kita melayani, tidak semua orang juga akan mendapat “peran utama” seperti Musa dan Yosua. Pelayan Tuhan yang paling menonjol tentu saja mereka yang tampil di depan, seperti pengkhotbah, worship leader, singer, pemain musik. Mungkin ada juga yang mendapat “pemeran pendukung” seperti Harun, yang kemudian diangkat oleh Tuhan menjadi Imam Besar, dan perannya sangat penting dalam keberlangsungan ritual-ritual ibadah bangsa Israel, seperti mempersembahkan korban. Di gereja pun, ada banyak pelayan yang tidak tampil di depan umum tapi sangat diperlukan agar ibadah bisa berjalan lancar, seperti petugas multimedia, pengurus yang menjadwalkan petugas, dll.

Tapi, bagaimana bila peran kita dalam pelayanan seperti Hur yang hanya muncul sekilas sebagai cameo? Aku rasa bila disejajarkan dengan masa sekarang, peran Hur yang “hanya” menopang tangan Musa yang lelah mungkin mirip dengan saat kita mendukung pelayanan lembaga misi, organisasi Kristen, atau pengerja gereja melalui doa dan dana, atau mungkin mendukung pelayanan orang-orang terdekat kita dengan cara mau mengerti dan mengakomodasi kesibukan mereka serta memberi emotional support. Pernahkah kita berpikir bahwa hal-hal tersebut juga merupakan bentuk pelayanan kita pada Tuhan dan sesama? Tentu saja, bukan berarti kita bisa menjadikan hal ini alasan untuk menolak melayani karena merasa sudah cukup puas dengan sekedar mendukung pelayanan orang lain. Tapi, ini adalah pengingat bahwa dalam melayani kita perlu saling mendukung dan menopang.

Hur hanya muncul sekali lagi setelah kejadian ini, yaitu pada Keluaran 24:12, di mana Musa mengatakan pada tua-tua Israel untuk datang pada Harun dan Hur mengenai perkara mereka selama Musa pergi ke Gunung Sinai untuk menerima loh batu dari Tuhan.  Orang-orang Yahudi percaya bahwa menghilangnya Hur dari kisah keluarnya Israel dari Mesir adalah karena Hur dibunuh oleh bangsa Israel saat ia berusaha menghalangi mereka membuat patung lembu emas (sumber). Saat waktunya tiba, Hur tidak ragu untuk maju ke garis depan dan melayani Tuhan sekalipun nyawanya yang menjadi taruhan, dan ia tetap setia sampai akhir.

Ada masanya kita mendapatkan peran yang menonjol saat melayani Tuhan. Ada masanya kita bekerja di balik layar. Ada masanya kita mendukung dan menopang pelayanan orang lain. Mungkin ada masanya juga kita melakukan dua atau bahkan ketiganya pada saat yang bersamaan. Apa pun tugas yang sedang Tuhan berikan pada kita saat ini, mari kita kerjakan bagian kita dengan sepenuh hati, dan bersama-sama melayani Tuhan dengan setia.

Tuhan memberkati.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mordekhai, Si Penjaga Gerbang Istana

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Matahari sudah tinggi, namun Mordekhai, penjaga gerbang istana Susan masih bergeming di lapangan kota. Ia tidak bisa mendekat ke istana dengan baju karung dan kepala yang ditaburi abu, tanda berkabung. Ratap dan tangis pilunya sayup terdengar diantarkan angin hingga ke beranda istana. Mendengar apa yang dilakukan oleh Mordekhai, hati Ester amatlah sedih. Ester lalu meminta Hatah, Staf Khusus Istana, yang sehari-hari mendampingi ratu untuk pergi menemui Mordekhai dan menanyakan apa yang sedang terjadi.

Ketidaknyamanan muncul di Susan, ibukota kerajaan Persia, sejak Raja Ahasyweros mengeluarkan undang-undang agar semua pegawai di lingkungan kerajaan memberi hormat dengan sujud di depan Haman, menyusul pelantikan Haman menjadi Perdana Menteri Persia. Aturan yang tidak diindahkan oleh Mordekhai meski rekan-rekan kerjanya mengingatkan setiap Haman akan melewati pos mereka. Bagi Mordekhai, hanya Tuhan yang layak untuk disembah. Hal itu menyulut kemarahan Haman yang lalu mengatur siasat untuk membunuh Mordekhai dan semua orang Yahudi yang ada di wilayah kerajaan Persia. Ahasyweros mendukung niat Haman sehingga terbitlah Surat Keputusan Kerajaan tentang hari pemunahan bangsa Yahudi yang dengan segera dikirimkan ke 127 provinsi.

Sebagai pendatang dan minoritas di Persia, Mordekhai menyadari tidak memiliki kekuatan untuk bersuara. Ia memilih untuk merasakan duka mendalam bersama kaumnya dengan mengenakan baju berkabung, berdoa, dan berpuasa. Mordekhai menolak mengganti kain karungnya dengan pakaian yang dikirimkan Ester. Lewat Hatah, Mordekhai menitipkan salinan surat keputusan kerajaan dan meminta Ester pergi menghadap raja untuk memohon belas kasihan bagi orang sebangsanya.

Permintaan Mordekhai tidak serta merta dituruti oleh Ester. Ada prosedur dan aturan yang harus ditaati oleh semua orang di lingkungan istana ketika hendak bertemu raja. Bila seseorang semaunya saja menghadap tanpa dipanggil raja, ia mati konyol. Walaupun Ester adalah ratu kesayangan Ahasyweros, tak berarti ia kebal hukum. Ester lalu menyuruh Hatah kembali menemui Mordekhai untuk menjelaskan kondisinya. Pesan yang dibawa Hatah membuat Mordekhai gemas dan menasihati Ester dengan teguran keras.

“Jangan menyangka engkau akan lebih aman daripada orang Yahudi lain, hanya karena engkau tinggal di istana! Orang Yahudi pasti akan mendapat pertolongan dengan cara bagaimanapun juga sehingga mereka selamat. Tetapi kalau engkau tetap diam saja dalam keadaan seperti ini, engkau sendiri akan mati dan keluarga ayahmu akan habis riwayatnya…” (Ester 4:13b-14 BIMK).

Terjepit pada dua pilihan yang sulit membuat hati Ester gelisah, juga takut. Dipikirkannya dalam-dalam nasihat Mordekhai, ayah angkatnya itu. Jika ia diam saja, bangsanya dihabisi. Pun kalau ia menemui raja, ia menyerahkan nyawanya juga nyawa orang sebangsanya (Ester 4:16 BMIK). Walau berada di ujung tanduk, Ester harus mengambil keputusan. Ia lalu mengumpulkan keberaniannya dan merespons panggilannya untuk bergerak menyelamatkan bangsanya. Ester meminta Mordekhai mengajak orang-orang Yahudi di Susan bersehati untuk berdoa dan berpuasa bersamanya. Haman akhirnya digantung pada tiang gantungan di dekat rumahnya, yang ia persiapkan untuk menggantung Mordekhai. Karir Mordekhai melesat. Ia dipromosikan dari penjaga gerbang menjadi orang nomor dua di pemerintahan kerajaan Persia!

Cerita di atas tentu tidak asing kita dengar, itulah kisah yang tercatat dalam Kitab Ester. Namun, kali ini aku ingin mengajakmu untuk menelaah poin-poin yang bisa kita pelajari dari Mordekhai, ayah angkat dari Ester yang berandil besar untuk menyelamatkan bangsa Yahudi dari genosida yang direncanakan Haman.

Inilah 5 teladan dari karakter Mordekhai:

  1. Memiliki Belas Kasihan. Mordekhai dikaruniai Tuhan hati yang penuh kasih. Ia mengangkat Hadasa (=bahasa Ibrani, kemudian lebih dikenal dengan nama Ester), adik sepupunya, yang menjadi yatim piatu setelah orang tuanya meninggal. Mordekhai menyayangi, membesarkan, serta mendidik Ester seperti anaknya sendiri sehingga Ester tumbuh menjadi perempuan yang elok karakter dan kepribadiannya. Karena ketulusan hatinya, Mordekhai pun dapat melihat potensi yang ada di dalam diri Ester sehingga ia mempersiapkan Ester masuk ke dalam rencana dan pemakaian Tuhan.
  2. Tunduk dan Bertindak dengan Bijak. Tidaklah mudah bagi seorang ayah melepas anak perempuannya ke tempat yang asing dan membahayakan dirinya. Namun, Mordekhai tunduk pada imbauan pemerintah dan membawa Ester ke istana Susan untuk mengikuti kontes pemilihan ratu Persia. Ketika terjepit dalam situasi politik yang tidak nyaman, Mordekhai tidak menghasut kelompoknya untuk membuat kekacauan. Yang ia lakukan adalah mengajak orang-orang Yahudi di Susan untuk berpuasa dan berdoa. Begitupun ketika Ester memintanya untuk menggerakkan orang-orang Yahudi berpuasa dan berdoa, Mordekhai menurutinya.
  3. Memiliki Prinsip dan Berani Mempertahankan Iman. Mordekhai memegang teguh prinsip dan identitasnya sebagai orang Yahudi yang tidak mau kompromi dengan aturan yang dibuat manusia, yang tidak sesuai dengan ajaran Tuhan. Itu sebabnya, ia tidak mau sujud kepada Haman meski tahu konsekuensinya dibunuh; ia mempertahankan imannya.
  4. Memiliki Harapan pada Panggilan Tuhan. Dalam kesesakan, Mordekhai tetap percaya Tuhan akan menolong bangsanya walau situasinya tidak nyaman, tidak aman, dan terjepit. Ia juga yakin Esterlah yang akan dipakai Tuhan menjadi penolong bangsanya. Karenanya, ia terus mendorong Ester untuk berani bertindak. Siapa tahu, barangkali justru untuk saat-saat seperti ini engkau telah dipilih menjadi ratu.—Ester 4:14c BIMK.
  5. Memiliki Integritas dan Rendah Hati. Ahasyweros memperhitungkan jasa Mordekhai yang telah menyelamatkan nyawanya dengan melaporkan persekongkolan Bigtan dan Teres, dua orang Staf Khusus Raja kepada Ester. Ketika Mordekhai diberi penghormatan oleh raja dengan diarak berkeliling lapangan kota Susan menggunakan kuda dan baju kebesaran raja, ia punya kesempatan untuk membanggakan diri. Tetapi, Mordekhai cukup tahu diri sehingga selesai perarakan, ia langsung kembali ke pintu gerbang untuk mengerjakan tugasnya. Mordekhai melakukan hal-hal baik bukan untuk mendapatkan pujian ataupun balas jasa tetapi memang hal itu sudah dihidupinya.

Doa adalah pintu untuk rencana dan kehendak Tuhan terjadi. Namun, tidak ada sesuatu pun yang akan terjadi jika kita diam saja dan tidak merespons panggilanNya. Ketika mendapatkan kesempatan untuk menjadi penggerak, maukah kita belajar meresponinya seperti Mordekhai? Yuk, berkemas-kemas! Jadilah generasi unggul yang siap dipakai dan berdampak di manapun Tuhan bawa dan tempatkan kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Bezaleel & Aholiab: Sudah… Ikuti Saja!

Oleh Edwin Petrus, Medan

Ibadah kaum muda di gerejaku baru saja merayakan hari ulang tahunnya. Pada perayaan kali ini, setiap jemaat diberikan souvenir berupa satu kotak “permainan bricks”. Bricks adalah sebuah permainan yang menyusun kepingan-kepingan kecil dari balok plastik untuk menjadi sebuah rangkaian yang utuh, misalnya tokoh kartun, gedung-gedung, kendaraan bermotor, dan sebagainya. Aku melihat antusiasme yang sangat besar dari teman-temanku yang langsung membuka kotak hadiah mereka dan menyusun bricks.

Aku sendiri juga menyenangi permainan ini. Untuk bisa menghasilkan bentuk, aku harus dengan sabar menata balok-balok kecil yang berwarna warni itu, sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Aku tidak bisa dengan sembarangan menyusun kepingan-kepingan yang berbeda ukurannya tersebut. Aku pernah beberapa kali tidak berhasil menyelesaikan rangkaian bricks karena aku tidak teliti mengikuti langkah-langkah yang tercetak di kertas petunjuk.

Di dalam Alkitab, ada juga dua orang tokoh yang mengikuti secara runtut setiap langkah yang diberikan kepada mereka untuk menyelesaikan sebuah proyek besar. Nama kedua orang ini memang tidak setenar tokoh-tokoh lain sezamannya. Kita pasti tidak asing lagi dengan nama Musa, Harun, dan Yosua, tetapi apakah kamu pernah mendengar nama mereka ini: Bezaleel dan Aholiab?

Bezaleel dan Aholiab dipilih oleh Allah sendiri untuk membangun Kemah Suci—tenda yang menjadi simbol kehadiran Allah di tengah-tengah orang-orang Israel yang sedang di dalam perjalanan di padang gurun menuju ke Kanaan. Petunjuk pembangunan yang sangat rinci diberikan oleh Allah sendiri kepada Musa di atas Gunung Sinai. Kitab Keluaran 35-40 mencatat dengan detail serangkaian proses untuk membangun Kemah Suci dengan segala perabotannya: mulai dari tabut, meja roti sajian, kandil, mezbah, minyak urapan, bejana pembasuhan, pelataran, hingga pakaian imam yang nantinya ditugaskan untuk memimpin upacara di Kemah Suci.

Bezaleel dan Aholiab dikaruniai keahlian, pengertian, dan pengetahuan dalam segala macam pekerjaan yang berkaitan dengan kontruksi ini (Kel. 31:1-11). Keterampilan mereka diperoleh melalui Roh Allah yang tinggal dalam diri mereka. Sebenarnya, bukan mereka saja yang mendirikan proyek ini, tetapi masih ada tenaga-tenaga kerja lainnya yang secara sukarela mempersembahkan diri bagi pekerjaan ini. Mereka seluruhnya diberkati oleh Allah dengan keahlian untuk mengolah emas, perak, tembaga, serta kain yang dikumpulkan dari orang-orang Israel. Bahan-bahan ini diperlukan untuk membangun sebuah kemah yang telah dirancang oleh Sang Arsitek Agung, yaitu Allah sendiri.

Satu hal yang menarik bagiku ketika membaca kisah pembangunan Kemah Suci ini adalah setiap petunjuk dari Sang Arsitek Agung dikerjakan dengan sangat presisi. Aku membandingkan petunjuk dari Allah kepada Musa di Keluaran 26 dengan hal-hal yang dikerjakan oleh Bezaleel, Aholiab, dan kawan-kawan. Aku terkesima dengan ketaatan mereka yang mengikuti setiap detail petunjuk yang diperintahkan oleh Allah. Aku memberikan sebuah contoh: “Kemah Suci itu haruslah kaubuat dari sepuluh kain tenda. Bahannya dari linen halus yang dipintal benangnya, dan benang ungu tua, ungu muda, dan merah tua. Haruslah kau sulam gambar kerub pada kain itu.” (Kel. 26:1 TB2) dan “Lalu semua yang ahli di antara pekerja itu membuat Kemah Suci dari sepuluh kain tenda. Bahannya dari linen halus yang dipintal benangnya, serta benang ungu tua, ungu muda, dan merah tua. Mereka menyulam gambar kerubim pada kain itu.”  (Kel 36:8 TB 2). Kamu bisa membaca lebih lanjut di Keluaran 26 dan 36 untuk menemukan betapa setianya mereka untuk mengerjakan Kemah Suci sesuai dengan kerangka yang digambar oleh Allah.

Wow!!! Bezaleel dan Aholiab dengan cermat mempersiapkan dan mengeksekusi setiap spesifikasi, detail ukuran, serta jumlah bahan yang telah diperintahkan oleh Allah. Tidak ada ornamen dan ukuran yang mereka tambahkan maupun kurangi. Mereka tunduk pada pola yang sudah dirancangkan oleh Allah. Roh Allah yang tinggal di dalam mereka menolong mereka memahami kehendak Allah dan menuntun mereka untuk hanya mengerjakan keinginan hati Allah saja. Akhirnya, mereka pun menyelesaikan proyek besar ini dan Allah pun turun menaungi mereka dan diam di dalam Kemah Suci tersebut (Kel. 40:34-38).

Kini, kita tidak lagi melihat bangunan Kemah Suci. Ketiadaan Kemah Suci bukan berarti Allah tidak hadir di dalam kehidupan kita sebagai umat-Nya. Justru, kita memperoleh hak yang lebih istimewa dibandingkan orang-orang Israel pada zaman itu. Kini, Allah hadir dan tinggal di dalam diri orang percaya secara langsung, melalui Roh Kudus-Nya. Dosa bukan lagi menjadi penghalang bagi relasi kita dengan Allah. Oleh karya Kristus di atas kayu salib, dosa-dosa kita telah diampuni. Kita pun dikaruniai dengan Roh Kudus yang selalu hadir di dalam kehidupan aku dan kamu.

Kalau kita memiliki Roh Kudus, seharusnya kita bisa dengan gampang mengikuti perintah-Nya, bukan? Namun, aku menyadari kalau aku pun merasa kesulitan untuk bisa mengikuti petunjuk Tuhan. Terkadang, aku merasa aku berjalan sendiri dan tersesat. Aku pun bertanya, “Tuhan, di manakah Engkau berada? Bukankah Engkau mengatakan mau menjadi Sang Gembala yang menuntun hidupku?”

Kawan, permasalahannya bukan Tuhan tidak yang entah di mana, tetapi kita yang kurang peka dengan suara Tuhan yang memimpin kita. Roh Allah yang pernah membimbing Bezaleel dan Aholiab untuk mengerjakan setiap petunjuk di dalam membangun Kemah Suci, juga adalah Roh Allah yang sama yang akan membimbing kita untuk mengerjakan setiap perintah Allah bagi hidup kita. Bukan sinyal dari surga yang kurang kencang. Jangan-jangan, kita yang memasang mode pesawat, sehingga kita tidak bisa terhubung dengan Allah.

Aku harus mengakui kalau aku pun terkadang pura-pura tidak mendengar teguran dan pengajaran dari Roh Kudus. Aku pun pernah mengeraskan hati dan mengabaikan suara Tuhan yang berbicara kepadaku. Aku yang memilih untuk tidak mau menaati perintah Allah dan bermain-main dengan dosa. Padahal, Roh Kudus sudah menggerakkan hati nuraniku untuk berkata “TIDAK.”

Jadi, untuk bisa mengerti dan melakukan apa yang menjadi petunjuk-Nya, aku percaya caranya hanya ada satu: “terus terhubung dengan Allah.” Kita bisa mempertahankan jaringan koneksi kita dengan mendengar Dia berbicara kepada kita dan kita pun berbicara kepada Allah. Allah bisa berbicara kepada kita melalui firman-Nya yang tertulis, Alkitab. Setelah kita membaca firman Tuhan, Roh Kudus dapat berkarya melalui firman itu dan menguatkannya lewat kehidupan sehari-hari kita. Kita pun bisa mencari Allah di dalam doa. Waktu berdoa bukan hanya saat bangun, makan, maupun di gereja. Kita bisa terus berbicara kepada Tuhan dan mengungkapkan segala hal yang kita rasakan dan alami, di saat kapan pun dan di mana pun di dalam kesibukan kita sehari-hari.

Membaca Alkitab dan berdoa memang terdengar seperti langkah praktis yang sangat klise. Namun, inilah rumus untuk bisa terhubung dengan Allah dan mengerti petunjuk-Nya bagi kita. Aku sendiri juga terus melatih diri untuk bisa terus terkoneksi dengan Tuhan, supaya aku bisa mengerti dan mengikuti petunjuk-Nya. Aku percaya kamu pun bisa dengan membangun kebiasaan membaca firman dan berdoa. Semangat kawan… Tuhan pasti akan menolongmu!!!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥