Posts

Kecemasan Tak Akan Mengambil Kita dari Tuhan Yesus

Oleh Yessica Anggi, Surabaya

Untuk pertama kalinya, aku menghadapi kecemasan dan kepanikan akut. Sebenarnya, ini tidak terjadi tiba-tiba. Tahun-tahun ke belakang rasanya sangat sulit buat kulalui. Aku merasa gagal dalam karier karena diberhentikan sepihak oleh tempat kerjaku, dan seiring usiaku bertambah, aku belum juga menemukan pasangan hidup. Awalnya kupikir semua kesulitan ini hanya akan membuatku stres di pikiran, tapi akhirnya kusadari bahwa ini berdampak juga pada tubuh fisikku.

Gejala sakit yang sebelumnya tidak pernah ada, sekarang jadi kurasakan. Aku mengunjungi dua dokter spesialis saraf dan penyakit dalam. Mereka menyampaikan diagnosis berupa vertigo dan gerd. “Vertigo dan asam lambung ini bisa dipicu juga dari cemasmu,” katanya. Aku masih merasa aneh. Kupikir sakit perutku ini karena kurang atau terlambat makan, tapi sebanyak apa pun aku makan, sakitnya tidak hilang.

Dokter itu kembali memberi penjelasan medis yang lebih detail. Saat inilah aku mengetahui bahwa pikiran dan tubuh fisik adalah kesatuan yang saling terhubung. Aku bersyukur karena dengan kunjungan ke dokter ini aku bisa mengambil langkah yang tepat untuk pulih, sekaligus juga disadarkan bahwa tak cuma fisikku yang harus pulih, pikiranku juga. Bila sakit fisik akan membuat tubuh sulit beraktivitas, pikiranku yang sakit bila tidak diobati akan mengganggu kedamaian hidup dan mencuri kepercayaanku pada rencana dan kebaikan Tuhan.

Antara denial dan acceptance

Waktu awal-awal mengalami gerd dan vertigo, aku memilh bersikap denial. Aku menyangkali kalau sakit ini ada kaitannya dengan stres di pikiran yang tidak dikelola dengan baik.

“Ah, palingan aku cuma kurang makan dan tidur aja, kok.”

“Tuhan, aku nggak stres! Nggak ada pikiran yang ganggu, kok.”

Kalimat ini kudengungkan terus di pikiran. Mungkin sekilas terkesan baik karena aku berusaha untuk kuat dan tidak fokus pada permasalahan. Namun, yang tidak kusadari adalah pikiran ini membuatku menutup mata bahwa “God is in control.”. Pikiran bahwa akulah yang memegang kendali bukannya membawaku kepada pemulihan, malah membuka jalan untukku semakin jauh dari Tuhan dan tak lagi melihat-Nya sedang bekerja di hidupku.

Aku pernah bilang pada Tuhan begini: “Tuhan, untuk masalah karier dan pasangan, I can handle it.” Tapi, di sinilah aku gagal dan pada akhirnya menyalahkan Tuhan. “Kenapa sih Tuhan ambil pekerjaanku? Kenapa Tuhan jahat sama aku?”

Titik balik dari caraku memandang Tuhan dan hidupku terjadi saat aku mulai belajar memahami ayat Alkitab yang jadi pedomanku setiap kali kecemasan muncul.

“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1 Petrus 5:7).

Kita mungkin menganggap kekhawatiran itu baik, sebagai tanda peduli pada diri kita dan masa depan. Tetapi, Alkitab justru mengatakan kebenaran yang lain. Khawatir adalah salah satu bentuk kesombongan, sebab di dalam kekhawatiran itu kita berfokus hanya kepada diri kita sendiri, bukannya percaya kepada Allah yang peduli pada umat-Nya. Secara gamblang, Tuhan Yesus berkata, “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai.” (Matius 6:25). Pemeliharaan Tuhan bukanlah sekadar janji. Dari masa ke masa, Dia selalu memelihara umat-Nya seperti yang juga ditegaskan oleh pemazmur, “Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau!” (Mazmur 55:22).

Menerima kenyataan bahwa aku tidaklah berkuasa untuk mengendalikan segala sesuatu dalam hidupku bukanlah tanda aku menyerah dan gagal, tetapi justru inilah awal dari hidup baru yang menang di dalam Tuhan. Selama dua tahun setelah diagnosis itu, aku belajar mengatur pikiranku untuk menjadi tenang dan menjaga juga pola makanku. Sekarang, meskipun vertigo dan gerd kadang masih bisa kambuh, tetapi tidak lagi separah dulu.

Saat ini aku sudah bekerja kembali dan rupanya pekerjaanku sekarang lebih daripada yang kudoakan. Untuk pergumulan akan pasangan hidup, aku tak lagi cemas karena telah kurasakan sendiri bahwa Tuhan itu baik dan Dia akan memberikan apa yang memang kubutuhkan pada waktu dan tempat yang tepat dirancangkan-Nya buatku. Tugasku hanya satu: belajar tidak khawatir, melepas kecemasan, dengan fokus mempersiapkan diriku melayani Tuhan.

Penyerahan diri kepada Tuhan selain kuwujudkan melalui berdoa dan disiplin rohani pribadi, juga kulakukan dengan hidup berkomunitas. Aku ikut pendalaman Alkitab, melihat bagaimana tokoh-tokoh yang pernah merasakan kecemasan juga dipakai Tuhan dengan luar biasa. Salah satu tokoh yang memberkartiku adalah Raja Daud. Dia tahu betul apa artinya takut sebab dia pernah dikejar-kejar dan hampir dibunuh oleh Saul; Absalom, anaknya, memberontak terhadap dia.

Dalam sebuah mazmur yang ditulisnya pada saat hendak menyelamatkan diri dari kejaran Absalom, dia berkata: “Dengan nyaring aku berseru kepada Tuhan, dan Ia menjawab aku dari gunung-Nya yang kudus.” (Mazmur 3:5). Di tengah ketakutan yang melandanya, Daud mencari Tuhan. Allah menunjukkan anugerah-Nya dan mengembalikan Daud ke takhtanya.

Untuk teman-temanku, aku berdoa bahwa tidak peduli betapa pun prihatin atau cemasnya kondisi kita saat ini, kita akan menemukan pengharapan yang lahir dari pengenalan kita akan Allah. Kita dikasihi-Nya dengan kasih yang kekal. Saat kita mengenal dan menghidupi kebenaran ini, kita mampu melepaskan diri dari cengkeraman rasa takut yang menyandera hati kita karena kasih-Nya yang sempurna mengusir segala ketakutan.

Kecemasan tidak akan mengambil kita dari Tuhan Yesus.

Lewat lembah kelam
Kau temani aku
Roh-Mu bekerja selalu
Untuk kebaikanku

Saat ‘ku tak mampu berharap
Kekhawatiran menghimpit jiwaku
Kekuatanku datang dari-Mu
Memampukanku kembali berharap

Ingat kasih-Nya yang mengubah hidupku
Ingat kasih-Nya yang selalu ada
Kasih Yesus, kasih Yesus bagiku

-Tenang, GMS- 

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Pada Tempat yang Gersang Pun, Tuhan Bisa Memberi Berkat

Oleh Elvira Sihotang, Jakarta

Awalnya aku kira, semua hal yang sudah pernah kita lakukan berulang kali akan membuat kita lebih mudah melakukannya saat hal itu dicoba lagi. Rupanya hal itu tidak sepenuhnya benar, setidaknya hal itulah yang aku rasakan dalam pengalamanku berpindah-pindah tempat kerja.

Pekerjaan pertamaku di 2021 cukup membuatku pusing pada bagian hal-hal teknis, aku sempat kewalahan dan bingung bagaimana bisa mengerjakan beberapa job desc sekaligus dalam satu hari. Syukurlah Tuhan memberikanku teman-teman suportif yang selalu menyemangatiku setiap aku menemui kesulitan. Tiga bulan kemudian akhirnya aku mulai bisa menemukan ritme kerja dan merasakan bagaimana pekerjaan itu mengalir dengan baik.

Di 2023, pada lingkungan pekerjaan yang baru, ternyata waktu yang kubutuhkan lebih sedikit dibandingkan pekerjaan pertamaku untuk tahu bagaimana ritme kerjanya, namun ternyata waktu yang lebih lama itu harus kudedikasikan untuk meraba bagaimana harus berinteraksi dengan teman-teman sekantor yang dinamikanya lebih banyak dan variatif dibandingkan di tempat bekerja sebelumnya.  Selang 6 bulan dari pekerjaan ini, akhirnya aku pindah lagi ke tempat pekerjaanku sekarang dan sudah hampir 1.5 tahun aku menjalaninya.

Apakah di pekerjaan ketigaku ini semuanya terasa mudah karena aku sudah melewati 2 pekerjaan dengan latar belakang dan tantangan yang berbeda? Aku harap demikian, namun nyatanya, pekerjaan ini membuatku lebih banyak merenung, khawatir, dan bingung. Di pekerjaan ini, pekerjaan yang sebenarnya aku sangat harapkan, aku menemukan hal-hal baru yang belum kutahu jawabannya dan aku harus meraba, mencoba beberapa metode, untuk tahu mana yang cocok untuk masalah A, B, dan C. Belum lagi ditambah hal-hal non teknis di pekerjaan.

Dalam minggu tertentu, kusadari betapa mudahnya mood-ku berubah dari yang baik-baik saja menjadi khawatir karena belum bisa menyelesaikan target tertentu. Betapa bulan-bulan pertama bekerja menjadi bulan-bulan penuh rasa mual dan tak enak di perut hasil manifestasi rasa cemasku. Saat pagi hari, ketika jarum panjang jam mendekati angka 7, aku deg-degan, rasanya ingin menunda untuk ke kantor, khawatir apa yang akan terjadi dan apakah aku akan bisa melakukannnya. Hari-hari kuhitung hati-hati. Jika sudah tiba hari Jumat, aku merasa lebih lega, tahu bahwa besok aku bisa istirahat dan bebas dari rasa khawatir, walaupun kadang aku pun bekerja mandiri di akhir pekan itu.

Mungkin beberapa dari kalian memahami benar perasaan ini: aku takut dengan atasan, aku takut dengan teman kantor, dan aku pun takut dengan pekerjaanku. Beberapa kali aku mempertanyakan kapabilitas diri, atau apakah sebenarnya jalan yang sedang kupijaki ini salah dan aku harus mengubah haluan? Kadangkala aku keluar dari toilet dengan tangis yang tertahan dan beberapa malam di rumahku hanya kuhabiskan dengan scrolling Instagram dengan tatapan kosong tak tahu apa yang sedang terjadi di hidupku.

Sekarang, hal-hal itu masih terjadi, masih ada waktu di mana aku mati rasa atau tiba-tiba jantungku deg-degan karena takut akan dimarahi untuk hal yang belum maksimal kulakukan. Namun aku tahu, di tengah rasa cemasku, stres, dan tertekanku, aku harus mencari jalan untuk memperbaiki semua ini. Aku pun tahu bahwa perasaan ini universal dan kita perlu saling mendukung. Tuhan baik. Kadang kala saat aku termenung sendirian, aku diberikan bahan untuk berpikir, kadang tiba-tiba jawaban pertanyaanku muncul, atau aku disadarkan lewat orang lain. Jika harus kuakumulasikan semua waktu sejak aku mulai bekerja, ini adalah beberapa insight yang sudah aku temukan dari permasalahanku dan bagaimana mengatasinya:

1. Memahami bahwa jika ini bukan pekerjaan ideal kita, Tuhan akan tetap menyertai

Pekerjaan keduaku bukan sesuatu yang sepenuhnya ideal. Demikian juga pekerjaanku saat ini. Beberapa kali aku merasa ingin kembali ke pekerjaan pertama, pekerjaan yang entah kenapa walau begitu sulit pada awalnya namun berhasil kutaklukkan. Beberapa kali aku bertanya apakah aku harus kembali ke perusahaan pertama itu? Apakah harus aku mengulang semuanya dari awal? Tapi tentu aku sangat lelah untuk mendaftar kerja via LinkedIn sehingga pikiran-pikiran itu masih seperti angin lewat.

Setelah kupikir-pikir, tidak ada pekerjaan yang benar-benar sempurna, sedikit memar di bagian-bagian tertentu lumrah terjadi. Terlampau sering aku mendengar teman dekatku curhat tentang relasi antara dia dan atasannya, temanku yang lain mengeluh tentang benefit yang ia rasa masih kurang untuk tugasnya yang terus menumpuk, dan aku pun masih bingung untuk beberapa job-desc. Dengan adanya kekurangan-kekurangan ini, rentan bagi kita untuk bertanya apakah ini memang tempat kita?  Apakah seharusnya kita mencari tempat lain?

Ya, mungkin saja begitu. Mungkin saja ini bukan tempat akhir kita, bukan tempat yang benar-benar sesuai dengan kita. Secara objektif, mungkin saja kita lebih cocok di tempat lain dan bukan di sini. Mungkin saja. Namun, aku belajar bahwa waktu dan energi kita akan habis sia-sia untuk terus berandai-andai di tempat lain sementara yang sekarang terjadi, kita sudah di tempat kita berada. Bukankah tempat kita yang sekarang juga berkat anugerah Tuhan? Jika boleh, kita bisa sejenak kilas balik tentang bagaimana kita berjuang untuk sampai di tempat ini. Tahap seleksi demi tahap seleksi, pengorbanan yang juga mungkin besar, dan banyaknya doa yang kita daraskan untuk diantarkan ke posisi sekarang.

Menurut tafsir yang kubaca pada 1 Korintus 7:17, Tuhan menetapkan posisi kita sekarang. Ia mengizinkan ini terjadi, maka Ia yang akan menyertai dan menyediakan. Memang bisa jadi tempat yang sekarang tidak cocok, namun pada tempat yang menurut kita gersang pun, Tuhan bisa memberikan kita berkat dan pertumbuhan yang kita butuhkan.

Jika rasanya pekerjaan ini tidak nyambung dengan latar belakang pendidikanmu? Maka Tuhan menyediakan jalan untuk membuat kita mampu belajar selama kita terus berusaha. Di pekerjaan keduaku, tanpa kusadari, aku bertemu orang-orang yang menyadarkanku bahwa ada cara yang bisa kutempuh untuk menyelesaikan masalah A, B, dan C. Aku hanya perlu berhenti mengeluh sejenak dan menerka-nerka bagaimana solusi untuk masalahku dengan pikiran terbuka, yang diawali dengan niat dan doa. Lucu jika mengingat dulu aku merasa sepertinya tidak cocok dengan posisi itu dan sekarang aku malah ingin mencoba kembali posisi itu.

Tuhan yang yang menolongku di pekerjaan pertama dan kedua adalah Tuhan yang sama yang juga sudah dan terus menolongku di pekerjaan sekarang. Pada Ia saja aku temukan pertolongan tanpa penghakiman dan tuntutan balas budi.

2. Melawan malas bekerja dan tidak cocok dengan atasan dengan mindset ‘Tuhan adalah atasan kita’

Seberapa sering kamu merasa sudah berusaha ini itu tapi tidak membuahkan hasil? Aku tahu rasa frustasinya, merasa kadang apakah Tuhan tidak membantu kita atau kita yang terlalu payah.

Seberapa sering kamu dibimbing atasanmu sebelum akhirnya paham? Sekali? Dua kali? Kurasa aku tiga kali. Beberapa kali aku merasa aku lambat dibanding teman kerjaku. Pernah aku dimintai data A dan ternyata saat aku berikan, atasanku mengatakan sudah dikerjakan sendiri oleh beliau. Rasanya kecewa, karena aku merasa tidak berguna. Pengalaman ini bertahan beberapa lama, dan setiap kali atasanku memberi request tertentu, aku sudah memberi ekspektasi tambahan bahwa aku harus bisa memenuhi request itu. Kadang kala terpenuhi, kadang kala masih kurang.

Dua hal tersebut merembet kemana-mana. Pada waktu-waktu tertentu, aku merasa bahwa atasankulah yang memberi ekspektasi terlalu tinggi. Pada waktu-waktu tertentu, aku merasa kami tidak cocok karena kami tidak banyak ngobrol dan semua hal hanya tentang pekerjaan, berbeda dengan cara komunikasinya dengan rekan lain yang menurutku lebih ramah.

Kadangkala hal tersebut membuatku menjadi malas, suntuk, demotivasi, dan apa pun istilah itu. Pernah aku menunda untuk mengerjakan daftar pekerjaan yang seharusnya aku lakukan segera karena aku mengalami demotivasi. Saat itu, aku beruntung disadarkan bahwa sebenarnya bukanlah atasan yang harus kusenangkan, melainkan Tuhan yang sudah memberi pekerjaanku ini.

Walaupun aku tidak bisa bercengkerama tentang non-pekerjaan seperti rekan kerjaku yang lain kepada beliau, hal itu harusnya tidak menjadi fokusku. Fokusku haruslah menyelesaikan apa yang menjadi tugasku dan menyelesaikan hal tersebut sebaik-baiknya seperti melakukan hal tersebut untuk Tuhan. Terkait usaha yang belum membuahkan hasil, fokusku haruslah bukan pada hasilnya, tapi pada usaha yang terus kulakukan secara konsisten dengan cara yang lebih baik dari hasil belajar yang terus menerus.

Tentulah penggalan dalam Kolose 3: 23 ini akan selalu menjadi pengingat:

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Memenuhi ekspektasi manusia tidak akan ada habisnya, dan ukuran keberhasilan menurut manusia bisa jadi berbeda beda dari waktu ke waktu, tapi Tuhan menetapkan standar yang adil dan sesuai untuk setiap anak-anakNya. Semoga kita mengerjakan tugas kita untuk mendapat perkenanan dari Tuhan dan bukan untuk menyenangkan hati atasan semata.

Sebagai penyemangat, mari kita mengingat kembali Lukas 16:10″:

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.  Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.”

Mungkin ada pekerjaan tidak signifikan yang jika kamu lakukan hanya akan berdampak kecil dan tidak juga diperhatikan oleh atasanmu atau rekan kerjamu, tapi ingatlah, semua yang kita lakukan, kecil atau besar, tidak luput dari pandangan Tuhan, dan Ia adalah sebaik-baiknya Hakim yang menilai perbuatan kita.

3. Doa, usaha, dan harapan adalah jangkar untuk kita yang merasa tidak jago-jago amat dalam pekerjaan

Pernah aku berpikir harus bekerja berapa lama untuk benar-benar ahli di bidang pekerjaanku sekarang? Dan apakah aku harus benar-benar menekuni bidang ini sementara aku sering dibuat mual dan tersakiti. Namun, maksudku adalah kadang aku merasa mulai bisa di bulan ini, ternyata dengan kasus yang mirip di bulan depan, aku masih tetap butuh waktu untuk memahaminya.

Kadang ketika kulihat rekanku yang lebih jago, aku merasa tertekan. Kenapa ia bisa bertindak cepat, sementara aku masih bingung? Aku tahu bahwa rekan kerjaku sudah lebih lama dalam bidang ini, namun ekspektasi dari atasan dan dari diriku sendiri untuk tetap belajar lebih cepat menjadi hal yang menekanku. Sering aku mempertanyakan hal ini sampai aku sadar bahwa Tuhan pun tak memberikan patokan harus secepat ini atau harus secepat itu dalam bekerja, yang Tuhan minta adalah kemauan untuk terus belajar dan memperbaharui diri lebih baik dan terus menerus dari diri kita yang sebelumnya. Aku paham bahwa ada ekspektasi besar dari atasanku untuk dapat mengikuti ritme senior dan aku tahu betul bahwa mungkin rasanya kurang realistis, tapi aku melihat bahwa mungkin inilah kesempatanku untuk tidak mengandalkan kemampuanku tapi melihat Dia yang sudah memberi tanggung jawab itu.  Akhirnya untuk setiap perintah dan pekerjaan yang menurutku cukup mudah maupun susah, aku berdoa agar Tuhan memperlengkapiku untuk bisa menyelesaikan tugas-tugas tersebut sesuai jangka waktu yang ditentukan, namun tetap kuberikan ruang ketika aku melewatkan satu dan dua hal, atau keliru di beberapa bagian karena aku tahu kesalahanlah yang memberikan kesempatan untuk kita terus belajar.

Aku percaya bahwa kepintaran bukanlah patokan satu-satunya untuk berhasil dalam mengerjakan tugas. Sering kurasakan pertolongan Tuhan yang membukakan jalan untukku mengerti bagaimana cara menyelesaikannya. Dan semua hal tersebut selalu terjadi ketika aku mengawalinya dalam doa agar Tuhan yang menuntun. Kuasa Tuhan bekerja lebih misterius dari yang kita tahu, namun selalu mendatangkan hal baik bagi kita. Jika pada saat ini kita merasa belum mumpuni secara kemampuan teknis, mari adukan hal tersebut pada Tuhan dan percaya bahwa Tuhan pasti akan memberikannya. Jika tugas dan pekerjaan itu baik bagi Tuhan, tentu Ia pun tidak ingin kita gagal dalam tugas dan pekerjaan tersebut.

4. Berjaga-jaga dalam kata dan tindakan

Terakhir, sebagaimanapun kita memandang positif dan menyenangkannya lingkungan tempat kita bekerja, aku selalu mengingat pandangan umum bahwa tembok kantor bisa berbicara. Sebenarnya, kita bisa memandang hal ini sebagai pengingat untuk tetap menjadi anak-anak terang. Mengambil nas dari 1 Timotius 4:12 yang mengatakan “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu”, marilah kita terus mengeluarkan kata-kata yang tidak menghakimi dan condong ke arah tertentu, agar kita pun tidak menjadi pembicaraan di obrolan rekan kerja kita yang lain saat kita tak ada.

Pekerjaan adalah karunia Tuhan. Pekerjaan memberikan kita kesempatan untuk mencari penghidupan dan pembelajaran pribadi yang membuat kita bertumbuh.

Semoga untuk apapun kondisi pekerjaan yang sedang kita hadapi, kita menggantungkan harapan dan tekad kita hanya dalam Tuhan yang menjanjikan penyertaan-Nya kepada kita, baik di saat suka maupun duka.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Masa Penantian Hadir untuk Memproses Kita Lebih Baik

Oleh Abby Ciona

Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Waiting Shapes Us for The Better

“Pasrah.” Kata ini terdengar negatif dan sering kali menyiratkan gagal, putus asa, atau melepaskan kendali. Dan, di dunia di mana kita diberitahu untuk tidak pernah menyerah pada impian kita dan mengendalikan segala keinginan kita, pasrah bukanlah konsep yang kita pertimbangkan.

Tapi, tergantung dari jenis aktivitas yang kamu tekuni, “pasrah” bisa jadi bagian dari rutinitasmu. Semisal, bila kamu seorang penulis yang ingin mengirimkan karyamu ke sebuah penerbit. Saat kamu klik tombol “kirim”, tombol itu bisa berarti juga sebagai tombol “pasrah”. Kamu menyerahkan kendali kepada orang lain. Ini adalah hal yang menakutkan. Kamu melepaskan tanganmu dari apa yang kamu kerjakan dan menyerahkan keputusan akhir penerbitannya kepada orang lain.

Di tahun 2020, proyek yang kukerjakan saat pandemi adalah menulis novel fantasi. Aku sangat senang dengan hasilnya, jadi kuputuskan untuk mencoba menerbitkannya. Kuhabiskan dua tahun untuk merevisi, mengedit, mengikuti pelatihan, dan mendapatkan masukan dari teman dan keluarga. Akhirnya di tahun 2022, aku mengambil langkah selanjutnya dan mengirimkan novelku ke suatu penerbit.

Dalam beberapa minggu, aku menerima email penolakan pertamaku: sebuah tonggak sejarah dalam kehidupan sebagian besar penulis. Namun, meskipun penolakan ini adalah hal biasa bagi penulis, tapi kecewanya baru terasa sekitar setahun kemudian. Apakah aku benar-benar siap? Bagaimana kalau bukuku tidak cukup bagus? Kamu mungkin pernah punya pertanyaan serupa tentang harapan dan impianmu dalam hidup.

Kehidupan Kristen sejatinya adalah hidup yang meminta kita untuk tunduk, berserah, dan berbesar hati untuk mengubah rencana kita sendiri. Waktu kita menyerahkan hidup bagi Yesus, itu berarti kita menyerahkan impian dan keinginan kita sendiri untuk memikul salib-Nya (Lukas 9:23). Bagian terbaik yang bisa kita lakukan adalah dengan setia melayani dan mengasihi orang lain, sembari kita melakoni pekerjaan kita dan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Kita mungkin merencanakan jalan hidup kita, tetapi akhirnya Tuhanlah yang mengarahkan langkah kita (Amsal 16:9). Ini mungkin menakutkan (bagiku), tapi bisa jadi penghiburan yang luar biasa! Kita tidak perlu khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya jika kita bersedia dan terbuka untuk taat mengikuti rencana Tuhan, karena kita tahu bahwa Dia melihat gambaran yang lebih besar dan kekal.

Beberapa bulan lalu, aku sedang mengobrol di meja makan dengan keluargaku tentang sebuah artikel yang kukerjakan buat majalah Kristen. Papaku berkata, “Kamu sedang mewujudkan impian Papa.”

“Tapi, ini bukan impianku!” aku menolak dalam hati. Aku memang telah menerbitkan banyak artikel, puisi, dan cerpen, tapi itu tak pernah jadi rencanaku ketika aku terjun ke dunia penulisan kreatif. Impianku adalah melihat novel-novelku ada dipajang di toko buku dan perpustakaan. Aku tak pernah membayangkan aku akan menulis untuk majalah, renungan, dan website… tapi semua ini ternyata lebih baik daripada yang kuharapkan.

Daud mengalami penolakan dari Allah, yang bukannya membuat dia frustrasi (mungkin saja dia frustrasi), tapi justru membuatnya semakin memuji kedaulatan-Nya. Daud ingin sekali membangun Bait Suci, sebuah tempat permanen yang didedikasikan untuk beribadah kepada Allah, tetapi Allah menolak permintaan itu (2 Samuel 7). Sebaliknya, Allah memberi tahu Daud tentang rencana-Nya yang lebih besar: untuk membuat nama Daud mashyur dan mendirikan kerajaan kekal melalui garis keturunannya. Janji ini akhirnya digenapi di dalam Yesus dan jauh lebih besar daripada apa yang dapat dipahami Daud saat itu.

Mazmur 96:3 mengatakan, “Ceritakanlah kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan yang ajaib di antara segala suku bangsa.” Aku akan terus melakukan ini sampai Tuhan membukakan pintu berikutnya dalam perjalananku menulis. Aku akan terus mengirimkan pertanyaan, menulis cerita dan artikel karena aku tahu Tuhan memberikan karunia ini kepadaku untuk suatu alasan.

Yesaya 55:8-9 mengingatkan kita bahwa pikiran Tuhan jauh lebih tinggi daripada pikiran kita, dan aku bersyukur untuk itu. Meskipun Daud tidak membangun Bait Suci bagi Allah, dia mampu melakukan hal-hal besar lainnya dengan secara aktif menggunakan posisi otoritasnya untuk menyatukan bangsa Israel dan memimpin mereka setia mengikut Allah. Dia membuat persiapan bagi putranya untuk membangun Bait Suci. Semangat Daud untuk melayani Tuhan pada akhirnya membuat dia dikenal sebagai seorang yang berkenan di hati Tuhan (1 Samuel 13:14), yang merupakan tujuan yang lebih penting daripada membangun Bait Suci atau menerbitkan buku. Bahkan, ketika impian kita tidak terpenuhi, Tuhan tetap bekerja. Dia mungkin menggunakan karunia-karunia kita dengan cara yang tidak terduga, yang akan menjadi lebih menakjubkan dari yang kita bayangkan. Kita hanya perlu tetap terbuka pada kehendak-Nya ketika impian kita kelihatannya gagal.

Jadi, ketika aku menunggu kabar dari penerbit, bukan berarti aku tidak melakukan apa-apa. Aku terus menulis dan memperbaiki karya-karyaku sembari mengerjakan satu atau dua proyek lainnya. Seperti ikan hiu yang harus terus berenang untuk bernapas; bagiku, aku harus terus menulis agar kreativitasku tetap menyala. Ruang tunggu di rumah sakit atau kantor mungkin bisa menjadi tempat yang membosankan dan penuh kegelisahan. Dalam suasana demikian, mudah untuk membunuh bosan dengan main Internet saja, tapi menunggu tidak harus menjadi pasif atau tidak produktif.

Menerima lusinan email penolakan dari penerbit mungkin tidak terasa menyenangkan, tetapi ini menolongku untuk tabah dan mengingat lagi bahwa identitasku ada di dalam Kristus, bukan pada kesuksesanku. Pikirkanlah saat-saat dalam hidupmu ketika waktu-waktu penantian membantumu membentuk dirimu secara positif, atau ketika menunggu sesuatu membuatmu semakin bahagia ketika menerimanya nanti. Jika kamu belum terpikir apa pun, pertimbangkanlah apakah ada langkah-langkah yang bisa kamu lakukan untuk membuat masa penantianmu menjadi lebih aktif. Proses penantian mungkin tidak menyenangkan, tetapi itu bisa menjadi sehat ketika kita memilih untuk menunggu dengan tindakan, untuk terus bertumbuh dalam iman kita, dan untuk maju dalam melayani orang lain.

Kita semua sedang menunggu sesuatu. Mungkin itu adalah kesepakatan dari penerbit buku, atau mungkin seorang teman. Mungkin anak atau pekerjaan. Semoga kita membuat rencana kita dengan tangan terbuka. Kiranya kita menghormati dan memuliakan Tuhan dalam pekerjaan apa pun yang kita lakukan, karena kita tahu bahwa Dia bekerja melalui biji sesawi yang paling kecil untuk menghasilkan mukjizat (Matius 17:20). Kiranya kita membangun perahu kita dan dengan berani berlayar untuk mencapai tujuan. Bila kita masih ngotot ingin mencengkeram kemudi, lepaskanlah itu. Izinkan Roh Kudus menuntun kita ke tujuan yang mungkin berbeda dari harapan kita, tetapi pada akhirnya lebih baik daripada yang dapat kita bayangkan.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Sarjana Teologi yang Jadi Pedagang

Oleh Jessie

Sebagai orang yang memiliki gelar sarjana Teologi dan sekarang berkecimpung di dunia bisnis, tidak sedikit orang yang terheran-heran akan cerita di baliknya. Tidak jarang juga orang menjadikan hal ini sebagai candaan bahwa aku sempat salah mendengar bisikan Tuhan. Bahkan, ada yang berkomentar bahwa aku ingin meng-uang-kan Tuhan karena lulusan sarjana Teologi tapi bekerja sebagai pedagang, hahaha! Tidak ada perasaan tersinggung sama sekali karena semua candaan ini dibuat oleh orang-orang dekatku. Namun, aku juga yakin kalau kalian semua akan penasaran, “Kok bisa?!”

Sedikit cerita mengenai latar belakang sarjanaku. Karena aku kuliah di luar negeri, umumnya gelar sarjana yang ditawarkan hanya ada dua tipe, yaitu Bachelor of Arts (untuk mereka yang jurusannya dalam ranah bidang ilmu pengetahuan sosial dan seni) dan Bachelor of Science (untuk mereka yang jurusannya di bidang IT dan sains). Seluruh gelar yang menjurus spesifik seperti Kedokteran, Pengacara, bahkan Pastoral harus diambil di jenjang S-2. Sehingga, gelar dan proses pendidikan Teologi yang kumiliki berbeda dengan yang lumrah di Indonesia: studi S-1 lalu setelah lulus menjadi Guru Injil dan sebagainya.

Terus terang, aku sempat terpikir untuk melanjutkan sekolah Teologi setelah lulus SMA karena saat itu aku sedang mengalami krisis berat secara iman dan eksistensial. Puji Tuhan tidak jadi, hahaha! Jangan salah paham ya saudara, tidak ada maksud apa pun teruntuk para pendeta. Hanya saja, aku paham betul komitmen yang harus dijalani sebagai seorang pendeta, dan panggilanku tidak (atau setidaknya belum) menjurus ke sana. Sehingga, dengan kesempatan bisa mempelajari Teologi tanpa harus menjadi seorang hamba tuhan full-timer serta komitmen yang mengekor pada gelar tersebut, aku anggap ini merupakan arahan dari Tuhan untuk melewati krisis iman di saat itu.

Mungkin banyak di antara kita juga pernah melewati momen yang menggiring kita pada kelahiran hidup baru dalam roh, di mana kita ingin mempertanggung-jawabkan dan memastikan kepercayaan yang sudah kita pilih. Aku dapat yakinkan, bukan hanya aku saja yang perlu belajar Teologi, tapi kita semua yang mengaku percaya Kristus. Bukan berarti kita semua harus pergi ke sekolah Teologi secara formal, karena ada banyak cara untuk belajar Teologi: melalui buku, artikel, seminar, atau bahkan mendengarkan dengan saksama apa kata pendeta kita di hari minggu pagi.

Ada 3 poin mengapa penting yang ingin aku bagikan dari pengalaman pribadiku: mengapa orang beriman harus belajar ilmu Teologi, atau menggunakan bahasa sederhananya: belajar Alkitab.

Yang pertama, ilmu Teologi berperan penting bagi pertumbuhan iman orang percaya.

Memang patut kita ketahui bahwa status keselamatan yang kita dapatkan adalah murni anugerah dari Tuhan dan tidak ada pengetahuan serta pekerjaan baik kita yang mampu menyelamatkan kita. Walaupun iman tidak sama dengan pengetahuan, bukan berarti keselamatan yang kita terima itu ada tanpa sebuah pondasi serta pengertian yang rasional.

Iman Kristiani adalah iman yang masuk akal. Sehingga, jika kita telah memperoleh iman keselamatan tersebut, sudah sewajibnya kita dapat menjelaskan arti dan makna di balik perolehan keselamatan itu. Malahan, aku agak ragu jika ada yang mengaku beriman pada Kristus, tapi tidak mengerti makna atau arti dari kenapa kita harus beriman pada Kristus. Karena jika kita sudah menerima Kristus, maka respons yang sewajarnya adalah belajar mengenal Tuhan yang sudah kita serahkan jiwa kita kepada. Oleh sebab itu, iman dan pengetahuan (pengetahuan akan Tuhan) merupakan dua unsur yang hakikatnya tidak dapat dipisahkan.

Iman kita tidak berhenti pada momen saat kita percaya dan menerima keselamatan tersebut; iman kita harus bertumbuh. Dalam proses pertumbuhan iman inilah, orang percaya mulai belajar tentang siapa Tuhan yang ia percayai, serta pekerjaan yang dilakukan-Nya. Rasul Paulus berkata, “Berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2b). Paulus mendorong kita untuk selalu memperbaharui akal budi atau pengetahuan kita agar kita semakin arif dalam mengetahui visi Tuhan. Salah satu indikator pertumbuhan iman kita adalah saat di mana kita semakin mengenal Tuhan dan cara pikir kita semakin serupa dengan Kristus. Oleh sebab itu, perlunya kesadaran akan betapa pentingnya belajar Teologi, karena pengetahuan tentang Tuhan (ilmu Teologi) berperan vital dalam pertumbuhan iman orang percaya.

Poin kedua, pengetahuan tentang Allah memimpin kita pada pengetahuan tentang diri yang sejati.

John Calvin mengatakan bahwa pengetahuan yang sejati terdiri dari 2 bagian yaitu pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan tentang diri (true wisdom consists of two things, the knowledge of God and self). Pengetahuan akan Allah dan diri layaknya relasi sebab-akibat. Saat kita mengenal Allah, maka kita akan mengenal diri kita—khususnya mengenai panggilan pribadi kita. Karena, siapa lagi yang mengenal siapa diri kita yang sesungguhnya selain Pencipta kita? Buat kita semua yang masih terus terombang-ambing dengan arah hidup kita,  maka sesungguhnya, kita perlu mengenal Tuhan kita lebih dalam lagi. Hanya di dalam proses pengenalan akan Allah-lah, kita dapat mengenal jati diri, natur, serta tujuan hidup kita.

Jadi kalau kalian penasaran kenapa hari ini aku berkecimpung di dunia bisnis, jawabannya adalah karena ingin membantu mengembangkan dan meneruskan usaha orang tua. Terus terang, apakah aku yakin ini adalah panggilan hidup-ku? Iya dan tidak. Sejauh ini, boleh dikatakan aku 85% yakin ini merupakan opsi yang tepat. Saat itu aku ditawarkan untuk bekerja di perusahaan di luar negeri atau kembali ke Indonesia, aku merasa kembali ke rumah adalah hal yang benar. Tentu hal ini bukan keputusan yang mudah, karena aku happy-nya bukan main, dan tidak ada rasa ingin pulang. Akan tetapi, mengingat adanya hubungan yang baik dengan kedua orang tuaku, aku merasa terpanggil untuk pulang dan membantu mereka. Lalu, kemana sisa 15% itu? 15% keraguan itu tetap ada, khususnya di saat aku sedang dilanda masalah besar dalam pekerjaan atau saat di mana aku dan orang tua memiliki opini yang berbeda. Aku tidak bisa jelaskan secara mendetail kenapa ini merupakan salah satu panggilan karier yang aku rasa tepat, karena nanti artikel ini menjadi makalah. Akan tetapi, melihat ke belakang, aku merasakan ada pimpinan Tuhan serta kesejahteraan emosional. Apakah nanti ke depannya panggilan itu bisa berubah? Mungkin saja! Pada intinya, setiap orang memiliki panggilan pribadinya masing-masing, dan semua itu bisa kita rasakan melalui relasi pribadi kita dengan Tuhan. Seberapa tepat kita mengetahui panggilan kita, tergantung dari seberapa kamu mengenal apa mau Tuhan dalam diri kita.

Relasi “mengenal-Allah-mengenal-diri” merupakan relasi yang tidak dapat dipungkiri. Saat kita mengenal diri kita, kita semakin disadarkan akan keterbatasan dan keberdosaan kita; dan jika kita betul tahu akan ketidakmampuan kita, kita akan terus terdorong untuk selalu mencari Allah. Itu sebabnya di poin ketiga ini, aku ingin menyampaikan bahwa belajar teologi “memerdekakan” pengikutnya. Kebenaran Firman membebaskan kita dari belenggu dosa. “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:31-32). Sering kita mendengar pepatah, “the truth will set you free.” Kebenaran itu memang sifatnya membebaskan, apalagi kebenaran Firman yang adalah kebenaran mutlak dan absolut. Kebenaran Firman bukan hanya membebaskan, namun juga mengubahkan hidup kita.

Banyak hal di hidup ini yang membawa kita kepada kesia-siaan serta kenikmatan sementara yang sesungguhnya merusak hidup kita. Mungkin sebagian besar di antara kita sadar bahwa itu adalah dosa dan sulit untuk melepaskannya. Akan tetapi, jika kita secara konsisten belajar mengenai kebenaran Firman, maka pelan-pelan cara pikir kita akan dibukakan dengan hal yang sifatnya kekal. Pada akhirnya, kebenaran firman akan menyadarkan kita untuk melakukan apa yang benar, sehingga menguatkan kita untuk berubah menjadi serupa dengan kebenaran Kristus.

Apakah lalu perjalananku mengenal Tuhan selesai setelah aku mendapatkan gelar sarjana Teologiku? Tentu tidak, malahan 4 tahun bersekolah Teologi merupakan awal dari fondasi imanku. Mengenal Tuhan merupakan perjalanan seumur hidup setiap orang. Semakin aku belajar, semakin aku diyakinkan dengan kepercayaanku. Semakin luas wawasan Alkitabiahku, semakin masuk akal juga perjalanan hidupku. Hal yang memang tidak bisa disangkal bahwa ilmu Teologi sedikit banyaknya menuntunku ke arah hidup yang jelas, serta merta membebaskanku dari keresahan hidup yang fana ini.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Podcast KaMu ep.30: Pentingnya JAGA BADAN Buat Maksimal Melayani Tuhan | Journey Tyas dari Overweight ke BB Ideal

Hidup sehat pasti jadi impian banyak orang. Tapi, gimana kita bisa sehat kalau gaya hidup kita aja masih ugal-ugalan?? Makan gak dikontrol, begadang tiap hari, hobinya mageran, dan gak bisa ngelola stres.

Mungkin sekarang kita ngerasa sehat-sehat aja. Tapi, bisa jadi sebenarnya kita lagi nimbun sesuatu yang dampaknya baru kita rasain di masa depan, lho.

Sobat Muda, melalui podcast ini kak Tyas Affandi berbagi cerita perjalanannya—dari yang overweight ke ideal; dari yang makan asal-asalan jadi yang mindful eating; dari yang masa bodo jadi peduli banget sama tubuhnya. Semua ini dia lakuin bukan cuma supaya bikin badannya lebih sehat, tapi karena dia mau bertanggung jawab atas tubuh dan mau maksimal melayani Tuhan.

Yuk, tonton dan dengerin Podcast KaMu: Pentingnya JAGA BADAN Buat Maksimal Melayani Tuhan | Journey Tyas dari Overweight ke BB Ideal bersama Pdt. Tyas Affandi.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Beriman di Padang yang Gersang

Oleh Charisto*

Membuat perencanaan dalam hidup ini adalah hal yang baik dan memampukan kita memahami pola-pola proses hidup untuk kita hadapi. Namun, itu bukan berarti semua perencanaan yang kita buat selalu berhasil dan apa yang kita sudah pandang baik, sesuai dengan kehendak Tuhan. Apa yang Tuhan rencanakan selalu lebih sempurna, tak terselami, dan tidak akan pernah mampu kita takarkan dengan pengertian kita sendiri.

Jika ditengok kebelakang, sejak kecil, mungkin saat di bangku SD, aku mulai suka membuat perencanaan, baik itu tertulis ataupun tersirat dalam pikiran. Perencanaan-perencanaan yang aku buat mulai dari hal sederhana seperti kegiatan harian yang aku lakukan dan perencanaan ketika dewasa nanti mau menjadi seperti apa. Waktu itu semua tampak mudah dan jelas untuk dilakukan. Namun, waktu juga berjalan begitu cepat. Setelah melewati up and down, aku dihadapkan dengan kenyataan yang harus kuterima sekarang yaitu apa yang aku rencanakan sejak kecil telah gagal.

Sejak dulu aku merencanakan bisa memiliki usaha multidimensi dan menjadi komikus agar bisa menjadi berkat bagi sesama, tetapi rencana yang kubuat kurang realistis. Secara kapasitas, kemampuan, dan dana pun belum memadai, ditambah lagi aku terlilit utang karena kesalahan perhitungan. Semua ini bertumpuk membuatku jatuh dalam depresi dan berat sekali untuk memulai hidup untuk ke depannya.

Dalam masa-masa kelamku itu, aku mengingat kisah Yusuf dalam Alkitab. Mungkin pun pernah mengalami seperti Yusuf, ketika impian jauh berbeda dengan kenyataan. Yusuf mendapat mimpi akan seperti apa dia kelak, tetapi kenyataan yang terjadi bukan seperti dalam mimpinya. Yusuf justru mengalami berbagai pencobaan yang tidak menunjukkan tanda-tanda seperti yang dia mimpikan. Walaupun pada akhirnya kita tahu mimpi Yusuf tergenapi, tetapi saat-saat menghadapi pencobaan Yusuf mungkin bergumul sedemikian rupa beratnya, hanya saja perasaan yang Yusuf alami tidak dapat kita ketahui karena tidak tercatat dalam Alkitab.

Berat rasanya menjalani konsekuensi dari kegagalan yang kita alami, tetapi mari kita pandang Tuhan dari kisah Yusuf. Meskipun Yusuf harus dibuang saudaranya, dijual sebagai budak, dipenjara, dikhianati, bahkan difitnah, imannya justru menjadi kuat dan teruji ketika dia berjalan dan terus memegang teguh Tuhan dalam setiap masa yang dia lewati (Kejadian 37). Masa-masa sulit yang Yusuf jalani dengan setia mengantarnya menjadi orang yang memiliki kuasa di Mesir. Namun, bukan di sini akhir ceritanya. Yusuf dengan posisinya sebagai orang kepercayaan Firaun bisa saja membalaskan dendam atas kejahatan saudara-saudaranya, tetapi dia tidak melakukannya. Yusuf justru memberikan pengampunan dan memuliakan Allah (Kejadian 50).

Bila kita masuk dalam situasi sulit seperti Yusuf, mungkin ada di antara kita yang imannya malah hancur karena terpuruk dalam keadaan. Atau mungkin juga ketika keadaan baik-baik saja malah iman kita tidak bertumbuh karena merasa nyaman. Aku mendapati bahwa pertumbuhan iman tidak bergantung pada perencanaan kita, pada kegagalan atau keberhasilan perencanaan kita, tetapi kepada siapa kita beriman… dan apakah kita tetap memelihara iman kita kepada Tuhan itulah yang terpenting.

Beriman kepada Tuhan juga tidak menjamin kondisi kita terpulihkan dalam sekejap atau tiba-tiba mengalami mukjizat. Bahkan waktu pun tidak bisa menjadi batasan untuk memastikan  apa yang kita imani tergenapi. Namun, Tuhan adalah Tuhan, Dia alpha dan omega, Dia lebih tahu apa yang terbaik bagi kita dan tidak selamanya kita dibiarkan-Nya dalam keterpurukan.

Jika saat ini kita dalam kegagalan dan terpuruk, tetaplah beriman kepada Tuhan serta terus melekatkan diri dalam persekutuan atau hal-hal yang membangun iman kita. Aku pribadi juga masih terus berusaha memelihara iman sekalipun harus menghadapi konsekuensi dan mengupayakan bangkit dari kegagalan.

Berat dan rasanya mungkin ingin menyerah, tetapi penyertaan Tuhan terhadap Yusuf menjadi tanda bahwa Dia yang setia tidak akan meninggalkan kita. Perlu juga kita sadari pentingnya persekutuan, kelompok tumbuh bersama, dan peran kakak rohani yang menguatkan iman kita di kala kita di padang gersang. Mereka mungkin tidak bisa membantu seperti yang kita harapkan, tetapi dapat membuat kita terarah pada jalan Kristus sehingga kita tidak terperosok dan terkungkung dalam kesesakan.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥