Posts

Pertemanan: Instrumen Ilahi untuk Menunjukkan Keindahan Orang-orang di Sekitar Kita

Oleh Jessie, Jakarta

Bila bicara tentang pelayanan Tuhan Yesus selama Dia berada di dunia, topik manakah yang paling kamu ingat?

Jawabannya tentu beragam! Ada begitu banyak pelayanan yang Tuhan Yesus lakukan, tapi di balik segala mukjizat dan sabda yang Dia ucapkan, pernahkah kita melihat secara detail salah satu pekerjaan terbesar Yesus, yaitu persahabatan-Nya dengan kedua-belas murid-Nya?

Ikatan antara Tuhan Yesus bersama murid-murid melibatkan banyak kisah suka duka yang menyatakan indahnya relasi persahabatan mereka. Melalui relasi persahabatan inilah kita dapat mengakui bahwa tema pertemanan yang Yesus ajarkan memang nyata. Persahabatan ini menyentuh diri kita secara emosional, bukan hanya sekadar teori. Yesus menjelaskan arti sesungguhnya dari sebuah persahabatan saat Dia memberikan perintah kepada kedua-belas murid-Nya untuk mengasihi sesama (Yohanes 15:12-15). Ironisnya, di hari yang sama Yesus menjelaskan tema pertemanan, di malam itu juga Yudas Iskariot mengkhianati-Nya. Sungguh menyedihkan! Tuhan seakan-akan ingin mengingatkan kita semua akan makna persahabatan yang sesungguhnya.

1. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yohanes 15:13)

Uniknya, Tuhan tidak mengarahkan kita pada pernikahan atau seks untuk menjelaskan kasih yang terbesar, melainkan pada persahabatan. Dalam kitab Yohanes pasal 15 ini, Yesus ingin menjelaskan bahwa inti dari relasi persahabatan merupakan hubungan kasih yang mendalam. Yesus seolah ingin mengatakan bahwa kasih merupakan esensi yang membentuk persahabatan itu. Dapat disimpulkan bahwa kata lain dari persahabatan adalah kasih.

Seberapa besar kasih yang membentuk persahabatan itu? Sangat amatlah besar sampai-sampai Dia rela memberikan nyawa-Nya.

2. “Aku menyebut kamu sahabat.” (Yohanes 15:14)

Yesus kembali melanjutkan kalimat-Nya dengan berkata kepada para murid: “Aku menyebut kamu sahabat.” Kasih persahabatan yang murni itu seperti Yesus yang mati bagi sahabat-Nya, yaitu manusia-manusia berdosa yang percaya kepada-Nya. Dengan kalimat yang sama Tuhan ingin katakan kepada kita semua, pengikut setia-Nya, bahwa kita juga adalah sahabat-sahabat-Nya.

Bayangkan sejenak, Allah yang Mahakuasa, merendahkan diri-Nya, mengambil rupa manusia, lalu mati secara hina untuk menebus dosa sahabat-Nya. Sangat mengharukan bukan?! Dan teruntuk sahabat-sahabat-Nya, Yesus juga mengajak kita untuk memiliki kasih yang sama untuk sesama kita.

3. “Aku menyebut kamu sahabat jikalau kamu perbuat apa yang Aku perintahkan.” (Yohanes 15:14)

Ini merupakan tantangan dari Tuhan jika kita mengaku sebagai pengikut-Nya, alias sahabat-Nya, yaitu menjalankan perintah-Nya: mengasihi sesama kita. Perlu diingat bahwa bukan ketaatan kitalah yang menjadikan status kita sebagai sahabat-Nya; melainkan sebaliknya, ketaatan itu kita dapat lakukan oleh karena status kita sebagai sahabat-Nya.

Status sahabat seharusnya memampukan kita membuahkan kasih yang walaupun tak sempurna, namun meneladani kasih Kristus. Ini bukanlah kasih yang dilakukan secara paksa karena sekadar tuntutan taat pada perintah Tuhan.

4. “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yohanes 15:15)

Di kitab Perjanjian Lama, tidak banyak tokoh yang Allah sebut sebagai kawan-Nya—hanya Abraham (2 Taw. 20:7) dan Musa (Kel. 33:11). Hubungan antara Allah dan umat Israel banyak digambarkan sebagai relasi tuan dan hamba (Im. 25:55). Akan tetapi, relasi tuan-hamba itu berubah menjadi relasi persahabatan saat Yesus datang ke dunia. Kehadiran Tuhan Yesus di tengah-tengah manusia menjembatani relasi persahabatan antara orang percaya dan Allah Bapa. Lalu, apa bedanya relasi tuan-hamba dengan relasi persahabatan? Ada satu poin penting yang Tuhan tekankan dalam kalimat-Nya, yang membedakan relasi tuan-hamba dengan relasi persahabatan:

Keterbukaan.

Seorang hamba tidak tahu akan tujuan dari tuannya memberikan perintah tersebut. Akan tetapi, seorang hamba akan tetap melakukan pekerjaannya meskipun dia tidak mengerti apa maksud dari sang tuan. Sekarang, dengan status pengikut-Nya yang tidak lagi disebut seorang hamba, melainkan sahabat, Allah Bapa “memberitahukan segala sesuatu” melalui perantara Yesus Kristus. Dalam arti lain, adanya keterbukaan sang Bapa kepada orang percaya karena mereka sudah dianggap sebagai sahabat-Nya.

Maka, kembali lagi kepada poin sebelumnya mengenai kasih yang seperti kasih Kristus dan bukan hanya sekadar taat, hal ini dapat kita lakukan karena adanya keterbukaan dari persahabatan kita dengan Tuhan. Aspek keterbukaan dalam persahabatan inilah yang seharusnya membuat kita mengenal isi hati-Nya. Karena sebagai sahabat Allah Bapa, kita semua telah dibukakan akan makna dan tujuan dari perintah-Nya melalui Yesus Kristus, serta memampukan kita untuk mengasihi seperti kasih Kristus dan bukan tanpa pengertian seperti seorang hamba.

Dengan kehadiran Yesus Kristuslah kita mengenal kasih terbesar dalam sebuah persahabatan. Sebagai sahabat Kristus, Dia menginginkan agar kita mengasihi sesama kita dengan kasih yang telah kita terima dari Kristus. Memang tidak akan sesempurna kasih Kristus yang tulus dan murni tanpa cela, tapi bukan berarti kita tidak mencoba menargetkan diri kita pada kasih yang sempurna itu.

5. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.”(Yohanes 15:16a)

Pertemanan merupakan salah satu anugerah terindah dari Tuhan. C.S. Lewis menjelaskan di dalam bukunya yang berjudul The Four Loves bahwa sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa tidak ada pertemanan yang terjadi secara kebetulan. Semuanya terjadi atas kehendak serta rencana Tuhan.

Setelah menjelaskan arti dari sebuah persahabatan kepada dua belas murid-Nya, Tuhan Yesus berkata, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu (Yoh. 15:16).” Sesungguhnya dapat diaplikasikan kepada setiap komunitas pertemanan orang Kristen, bahwa: bukan kamu yang memilih sesamamu, tetapi Akulah yang memilih kamu demi kebersamaan kalian.

C.S Lewis mengingatkan orang percaya bahwa pertemanan terbentuk bukan karena keahlian kita dalam memilih dan memfilter orang-orang yang terbaik untuk diri kita; melainkan, pertemanan merupakan sebuah instrumen bagi Tuhan untuk menunjukkan kepada kita keindahan orang-orang di sekitar kita. 

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Menyelami Esensi dari Persahabatan

Oleh Triska Zagoto, Jakarta

Bagaimana sebuah pertemanan dimulai?

Jika mengingat masa kecil, rasanya tidak sulit untuk menemukan atau menjadi seorang teman. Dengan dua alasan sederhana: jarak rumah dekat dan kesamaan usia, pertemanan pun terjalin dan semakin akrab tanpa dipusingkan oleh konsep dan aturan dalam berelasi—saling berbagi kesenangan, cerita, dan luwes melakukan apa saja, bahkan hal-hal remeh sekalipun. Dalam pertemanan seperti itu ada perasaan nyaman dan kita pun menikmatinya.

Namun, saat kita semakin dewasa, kita semakin sadar akan kebutuhan-kebutuhan kita, tapi di sisi lain waktu kita terbatas. Alhasil, pertemanan pun jadi tak sesederhana dulu. Kita mulai memilah dan memilih siapa yang bisa jadi teman dan dengan siapa kita mau berteman. Nah, bila pertemanan itu langgeng melewati tahapan ini, maka itu adalah salah satu anugerah Tuhan yang patut kita syukuri. Sahabat adalah salah satu bentuk kehadiran Allah dalam hidup kita.

Persahabatan adalah rancangan Allah

Persahabatan adalah salah satu topik penting yang turut dibahas di Alkitab. Akarnya bisa kita telaah dari kitab pertama. Setelah Allah menciptakan Adam—walaupun Alkitab tidak memberi kita informasi rentang waktunya—TUHAN Allah berfirman: ”Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” (Kejadian 2:18a). Artinya kebutuhan kita akan relasi itu tidak lahir dari ide dan kesadaran kita sendiri, tetapi sebuah ide dan rancangan indah yang berasal dari Allah—keinginan Allah.

Allah menciptakan kita dengan kebutuhan akan persekutuan atau komunitas, keinginan untuk saling terhubung. Bila kita lihat kembali peristiwa di Taman Eden, keindahan di sana bukan karena tanahnya baik sehingga akan menghasilkan semua yang dibutuhkan manusia untuk kelangsungan hidupnya secara sandang, pangan, dan papan. Keindahan yang paling utama di sana adalah hubungan Allah dengan manusia yang amat dekat, relasi yang terjalin antara Pencipta dan ciptaan yang segambar dan serupa dengan-Nya. Allah tahu bahwa manusia tidak bisa menikmati hidupnya seorang diri, maka atas inistiatif-Nya, Ia menghadirkan orang lain untuk menyadarkan kita bahwa kita dapat menikmati-Nya melalui orang-orang di sekitar kita.

Namun, semua berubah sejak dosa hadir. Apa yang dapat kita harapkan ketika dua atau lebih orang-orang berdosa menjalin sebuah persahabatan?

Kejatuhan manusia dalam dosa telah merusak relasi, baik dari segi pemahaman maupun tindakan kita. Maka, tak jarang relasi persahabatan dipenuhi tuntutan-tuntutan yang tidak sehat: kebutuhan untuk selalu dimengerti, kebutuhan untuk didahulukan, kebutuhan untuk dituruti, dan lain sebagainya. Sebuah relasi menjadi kering ketika orientasinya mengarah pada kepentingan diri sendiri. Pemahaman kita akan “kebutuhan” menjadi landasan untuk mendefenisikan mengenai keberadaan diri kita.

Dalam bukunya, Edward Welch membahas kebutuhan psikologis cukup panjang setelah bahasan tentang kebutuhan biologis dan spiritual. Dia menguraikan bahwa menurut pemikiran populer, kebutuhan psikologis harus dipenuhi agar kita dapat mencapai prestasi, kebahagiaan, stabilitas psikologis, dan harga diri. Atau dalam bahasa yang tidak terlalu teknis, kebutuhan psikologis kita harus dipenuhi agar kita dapat nyaman dengan diri kita. Kita tahu bahwa kita diciptakan dalam jalinan relasi dengan sesama manusia untuk saling mengasihi, saling membangun, dan saling menghibur, tetapi benarkah maksud dari keberadaan relasi tersebut untuk membangun harga diri kita? Mungkinkah berbagai keinginan psikologis itu timbul ketika kita menolak untuk mengasihi Allah dan menerima kasih-Nya?

Berkali-kali di dalam Alkitab, panggilan kita adalah mengasihi, bukan menuntut dikasihi. Bukan berarti kita menolak ketika dikasihi. Poin pentingnya seberapa banyak dan apa tujuan kita menginginkah kasih. Apakah keinginan kita itu sedemikian besarnya sehingga mengaburkan kerinduan kita untuk menjadi serupa dengan Allah? Apakah kita menginginkannya semata untuk kenyamanan diri atau untuk kemuliaan Allah?

Dalam relasi persahabatan, orang lain dapat menjadi berhala favorit kita. Kita memberhalakan mereka ketika kita menganggap mereka berkuasa memberikan sesuatu kepada kita, menentukan apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, dan bagaimana seharusnya kita bertindak. Ketika kita mencari pemenuhan kebutuhan, keinginan, dan obsesi kita dari orang lain, justru kita akan gagal melihat kebesaran Allah. Maka, persahabatan pun memerlukan pemulihan dan anugerah. Dalam sebuah peristiwa di kitab Yohanes 15:13, Tuhan Yesus menyampaikan bahwa, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Tuhan Yesus telah memberikan nyawa-Nya sebagai bukti kasih-Nya kepada kita. Hubungan kita dengan Allah telah dipulihkan dan kita beroleh pengampunan serta penebusan. Maka, pengalaman akan kasih karunia Allah yang besar inilah yang menjadi dasar kita ketika kita masuk dalam irama kehidupan orang lain: kita harus mengasihi mereka, lebih daripada membutuhkan mereka.

Persahabatan Membutuhkan Pertumbuhan

“Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu.” (1 Petrus 1:22). 

Relasi yang tidak diuji dengan berbagai benturan dan gesekan tidak akan mengalami pertumbuhan. Kasih Alkitabiah takkan pernah terpuaskan jika ia tidak bertumbuh. Di dunia yang meremehkan keberadaan Tuhan, kita memerlukan seorang teman yang menolong kita untuk mengarahkan pandangan kita kepada Kristus.

Tentang persahabatan, Charles Ringma dalam sebuah bukunya, mengutip kalimat Henri Nouwen, seorang teolog dan psikolog, “Saya sadar, saya butuh berkontak secara teratur dengan seorang teman yang membuat saya terus dekat dengan Yesus dan yang terus mengingatkan saya untuk setia”. Barangkali, di dalam persahabatan di usia dewasa ini ketika pertemuan tidak cukup mudah untuk dilakukan, kita bisa menemukan cara-cara baru untuk memelihara relasi satu dengan yang lain. Di zaman di mana kita mudah terkoneksi, sejauh apa pun jarak, kita perlu mengatur dan memberi waktu untuk tetap terhubung. Ketika kita saling membagikan pengalaman bagaimana Tuhan bekerja atas hidup kita masing-masing, membagikan berkat dari Firman Tuhan yang didengar, keberanian untuk  menceritakan pergumulan, serta sesederhana “tolong doakan aku” atau saat-saat di mana kita perlu menegur, adalah upaya-upaya kecil yang perlu kita tekuni untuk menghargai dan mensyukuri kebaikan Tuhan melalui kehadiran mereka.

Persahabatan pun adalah panggilan untuk kita memuliakan Allah. Maka, panggilan itu membutuhkan pertumbuhan dalam pengudusan dan ketaatan kepada Allah. Dalam doa-Nya di Yohanes 17, Tuhan Yesus berseru, “Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita.”, memanggil kita untuk menjadi satu dengan sesama kita sebagai komunitas di mana kita beroleh berkat sejati. “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.” (Amsal 27:17).

Jika saat ini relasi persahabatanmu sedang tidak baik-baik saja, atau bahkan mungkin ada keengganan untuk merangkai kembali setelah berbagai pengalaman pahit dan menyakitkan, serta meninggalkan luka dan duka, kita masih memiliki Satu Kawan yang sejati, yaitu Yesus Kristus yang bahkan menyebut kita sebagai sahabat-Nya (Yohanes 15:15).

Adakah hatimu sarat, jiwa-ragamu lelah?
Yesuslah Penolong kita; naikkan doa pada-Nya!
Biar kawan lain menghilang, Yesus Kawan yang baka.
Ia mau menghibur kita atas doa pada-Nya.

Kiranya Tuhan memampukan kita menikmati relasi persahabatan, dalam kasih dan kebenaran. Soli Deo Gloria.

***

Referensi:

Welch, Edward. (2003).  Ketika Manusia Dianggap Besar dan Allah Dianggap Kecil: Mengatasi Tekanan Kelompok, Saling Ketergantungan, dan Takut akan Manusia.  Surabaya: Momentum Christian Literature.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥