Posts

Ketika Mimpiku Tak Sejalan dengan Realita, Tuhan Mengubah Cara Pandangku Tentang Kehidupan

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja.

Aku menangis sesenggukan, lalu kuanggukkan kepalaku seraya menyeka air mata. “Wajar bila kau menangis, tapi jangan putus harapan.”

Sepenggal pesan yang kuat bergema dari sanubariku, sungguhlah menyegarkan jiwaku. Apa  yang kualami mungkin tidak sepahit penderitaan yang juga dirasakan orang lain di luar sana, tetapi bila aku menoleh ke belakang, aku melihat kembali dengan jelas betapa kegetiran hidup teramat menghimpitku.

Beberapa kali aku berjuang dengan segenap hatiku untuk mendapatkan pekerjaan baru, namun ternyata tak pernah kutemui namaku tertulis dalam pengumuman kelulusan. Di sisi lain, aku pun berjuang dengan penuh semangat setiap hari untuk melawan rasa sakit dalam tubuh yang kerap kali mengganggu aktivitasku.

Ketika tidak bekerja, berarti aku tidak punya income, masa depan yang kumimpikan dari dulu akan sulit terwujud. Banyak hal yang kuharapkan mungkin hanya akan menjadi kenangan belaka. Dan, bila aku terus-terusan sakit, itu artinya akan lebih sulit bagiku mendapatkan pekerjaan. Aku menjadi beban bagi keluarga. Aku sama sekali tidak punya peran untuk menopang ekonomi keluarga. Bahkan, dengan kondisi yang pelik, pikiran yang jenuh, aku pun benar-benar merasakan mentalku goyah saat sejumlah orang bertanya padaku mengapa aku tidak bekerja. Aku pun jadi minder dan tidak mau bercerita apalagi berjumpa dengan orang banyak selama sekian waktu.

Demikianlah hari-hari yang kujalani terasa hampa dan tak berarti. Aku hidup memikul beban yang terlalu berat. Hidupku terhempas jauh dari sederet mimpi dan cita-cita yang terbenam dalam jiwa sedari masa kecilku. Aku merenungi perjalanan hidupku dan di saat yang sama aku belajar menghayati bagaimana penulis kitab Pengkhotbah memandang kehidupan umat manusia di atas muka bumi.

Mencari makna dalam kesia-siaan

Kondisi hidup yang kualami mengingatkanku akan sang Pengkhotbah (Pengkhotbah 1:2-26) yang mengamati kehidupan di bawah matahari segala sesuatunya adalah sia-sia. Setiap jerih payah manusia sia-sia, hidup ibarat menjaring angin. Ya, dalam kehidupan ini baik yang mujur maupun yang malang, baik yang berhikmat maupun yang bodoh atau fasik, pada akhirnya setiap manusia akan menuju pada kematian. Bukankah hal ini adalah realita yang takkan terbantahkan?

Karena tidak ada kenang-kenangan yang kekal baik dari orang yang berhikmat, maupun dari orang yang bodoh, sebab pada hari-hari yang akan datang kesemuanya sudah lama dilupakan. Dan, ah, orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh! (Pengkhotbah 2:16).

Lalu, apa sebenarnya yang Tuhan kehendaki dari realita yang terbilang jauh dari yang kudoakan dan kuharapkan sejauh perjalanan hidup yang telah kutempuh? Adakah sesuatu yang jauh lebih penting dari kesuksesan dan kebahagiaan dari sebuah kehidupan di dunia ini?

Kitab Pengkhotbah adalah salah satu kitab hikmat dalam Perjanjian lama. Isinya tidak hanya memuat tentang kesia-siaan dalam hidup, keterbatasan manusia, tetapi juga tentang karya/pekerjaan Allah dan kedaulatan-Nya. Walau Sang Pengkhotbah menampilkan sikap pesimisnya, ia tetap memandang kehidupan secara realistis. Ia menemukan betapa pentingnya hikmat kala menjumpai realita kehidupan (Pengkhotbah 7:1-8:9).

Setelah aku membaca keseluruhan kitab Pengkhotbah, aku tertegun. Ikatan-ikatan beban yang membelitku, sedikit demi sedikit terasa longgar.

Tuhan memberiku cara baru memandang kehidupan. Ia memperbaharui pikiranku dengan memberiku pengertian bahwa segala pencapaian di dunia ini, entah kegagalan atau kesuksesan, semuanya itu hanyalah sementara, sama seperti hidup manusia yang terbatas. Tidak ada yang lebih penting dari semuanya itu, selain kita memiliki makna dan tujuan dari hidup dan kehidupan kita. Pengkhotbah 7 :1-22, mengingatkanku bahwa dengan memiliki hikmat yang benar akan menolongku menjalani sisa hidup dengan makna dan tujuan yang benar, yakni memuliakan Dia.

Aku jadi sadar dan bertanya pada diriku. Apakah selama ini aku telah melupakan poin penting dari hidup yang  telah kujalani?”

Sejujurnya, aku mendapati sikap ambisius tumbuh dalam diriku. Aku tidak tahu sejak kapan ambisi itu mengambil peran dalam hidupku belakangan. Tetapi satu yang pasti bahwa aku merasa tidak puas dengan apa yang telah kumiliki. Makna dan tujuan hidupku jadi samar-samar dan kabur, sebab aku terus mengejar hal-hal yang  sebenarnya di luar kemampuanku karena  keterbatasan fisik yang kumiliki. Ternyata sisi kemanusiaanku lebih menguasaiku ketimbang hal-hal yang  kupahami soal iman dan pengharapanku pada Kristus.

Kendati belum kujumpai pekerjaan baru—sebuah hal yang masih misteri—aku yakin Tuhan punya rencana yang terbaik bagiku dan berdaulat penuh atas hidupku. Bahkan, untuk semua hal yang  belum kuketahui  termasuk pasangan hidup, sesungguhnya Tuhan sudah mengetahuinya dan Dia punya waktu terbaik untuk menyingkapkannya bagiku.

Dan, satu hal yang aku yakini Tuhan kehendaki bagiku dalam realita kehidupanku adalah Dia menginginkan agar aku menikmati apa yang menjadi bagianku; menerima dengan sukacita setiap kenyataan pun jalan hidupku, menikmati semua musim hidupku dengan ucapan syukur padaNya, karena setiap hari adalah pemberian-Nya.

Dengan segala kegetiran hidup yang kualami, aku beruntung memiliki Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku. Ia tidak hanya memberiku kekuatan baru untuk menjalani hidupku, tetapi juga memberiku kedamaian yang penuh di hati.

Kurenungkan sekali lagi, tentang makna dan tujuan hidupku. Aku ingin dan tetap memuliakan Dia dalam suka dan duka di sepanjang sisa hidupku. Aku bersedia melibatkan Tuhan dalam  segala perjuanganku, dalam setiap jerih payahku, supaya ketika aku berhasil atau gagal, aku tidak memegahkan diri juga tidak meratapi nasibku. Dengan jalan demikian, aku dapat mengucap syukur dalam segala hal, terlebih aku tidak diperbudak oleh kesuksesan oleh rasa ambisius dalam diriku.

Hidup di dunia sungguhlah terbatas. Namun, sebagai pribadi yang telah diselamatkan oleh pengorbanan Kristus di atas kayu salib aku harus berdampak bagi  orang lain dan bijak menjalani hari demi hari. Karya-Nya yang agung bagiku, telah melandasi tujuan hidupku, hingga aku tiba di pelabuhan akhir, yaitu hidup kekal bersama-Nya selamanya kelak. Oleh karena hal inilah aku dapat berkata seperti rasul Paulus, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.” (Filipi 1 :21-22a).

Pada akhirnya, aku menemukan bahwa yang terpenting dari hidup ini bukanlah tentang kekayaan, kesuksesan, pekerjaan yang bagus, tetapi soal bagaimana seharusnya aku menjalani hidupku di bawah matahari sebagai  seorang murid Kristus.

Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya.” (Amsal 16:9).

Terpujilah Kristus!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Di Bawah Matahari

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

”Fani, buat acara penutupan ibadah Youth Sabtu depan kamu ‘kan MC nya?”

Aku mengangguk, fokus dengan layar di hadapanku.

“Konsep acara buat jam doa minggu ini udah selesai?”

“Ini hampir selesai,” jawabku singkat sambil mengangguk samar.

“Oke. Aku kabarin yang lain dulu ya!” katanya berjalan ke luar ruangan, lalu kembali beberapa waktu kemudian.

Beberapa menit suasana hening, suara orang-orang di ruang utama juga hampir tak terdengar. Hanya suara ketikan keyboard laptop yang terdengar beradu.

“Anna,” panggilku pelan.

Yang dipanggil hanya menyahut samar.

“Ann!”

Barulah Anna menoleh. “Why?”

Suara ketikan keyboard tidak terdengar lagi, berganti dengan suara deru nafasku yang tidak beraturan. Aku menghela napas panjang, dan menghembuskannya perlahan.

“Aku lagi lost motivation nih, Ann,” kataku akhirnya.

Anna mengerutkan kening, tidak langsung menanggapi, tampak berpikir sejenak lalu menjawab. “Ehm maksudnya? Gimana lost motivation versimu?”

Aku menghembuskan napas lagi.  “I don’t know, it just happened.

“Maksudmu, lagi butuh disemangatin nih? Lagi butuh bepergian buat healing?”

Aku mengangkat bahu, “Kayaknya disemangatin juga nggak pengaruh gitu lho Ann. Dan, aku nggak tahu apa itu akan membantu.”

“Atau lagi di fase nggak peduli apa-apa dan malas melakukan apa-apa?”

“Hampir iya” jawabku pelan. Aku menghembuskan napas lagi lalu melanjutkan, “Entah mengapa aku merasa kosong dalam melakukan apa pun, Na. Aku malas setiap bangun pagi dan memikirkan untuk berangat kerja. Aku ingin berlama-lama tidur dan membiarkan waktu berlalu. Tapi menyadari waktu berlalu dengan cepat, aku juga merasa cemas. Aku nggak tahu untuk apa melakukan kegiatanku setiap hari. Aku kayak robot yang hanya melakukannya sebagai aktivitas, menyelesaikan satu hari untuk kemudian mengulang aktivitas yang sama di hari berikutnya. Aku frustrasi. Aku kayak kehilangan alasan mengapa aku melakukan semua ini. Entah kehilangan atau aku yang tidak berhasil menemukannya.”

Anna terdiam sejenak. Aku tahu dia sedikit banyak mengerti apa yang sedang aku rasakan. Walau tidak mengetahui bagaimana persisnya, tapi kurasa dia tahu kalau perasaan ini menyesakkan dan memang sulit dideskripsikan.

Anna bergerak mendekat, duduk di sebelahku.

“Apa baru-baru ini hal-hal tidak terjadi seperti yang kamu harapkan?” tanyanya lembut. Aku menoleh, namun tidak mengangguk atau menggeleng. Kemudian aku kembali menatap  layar laptopku.

“Mungkin.” 

“Apa itu yang membuatmu merasa tidak bersemangat lagi? Karena merasa kehilangan alasan untuk melakukan sesuatu? Yang kamu artikan sebagai kehilangan motivasi?”

Aku tidak menanggapi apa-apa, tapi sejujurnya mulai menyadari apa yang dikatakan Anna. 

“Kadang aku bertanya, aku hidup buat apa sih? Apa sih yang aku kejar dengan semua aktivitas ini?” kataku akhirnya. “Wajar nggak sih kita berpikir seperti itu?”

Anna tidak menjawab apa-apa. Seolah dia sengaja membiarkan aku berkutat dengan pikiranku. 

“Kamu nggak ada tanggapan Ann?” tanyaku akhirnya setelah beberapa saat dia hanya terdiam.

“Ehmm… Aku rasa sebenarnya kamu tahu kok apa jawaban dari pertanyaan itu, Fan” jawab Anna penuh arti.

Aku menghembuskan napas. Berpikir beberapa saat.

“Iya kan, kamu sebenarnya tahu untuk apa kita melakukan semua ini. Untuk siapa kita sebenarnya hidup,” sambungnya lagi.

Aku masih tidak berkata apa-apa.

“Atau, kamu hanya sedang butuh diingatkan lagi?” tanyanya. Lalu tanpa menunggu responsku, ia melanjutkan.

“Fan, that’s life. Sebuah perjalanan panjang. Kita memang bisa aja berada di titik seperti itu, hanya berjalan, merasa asing, dan seolah sedang tidak tahu tujuan dalam perjalanan kita ini. Seperti sedang tidak tahu untuk apa melakukannya. Tapi Fan, bukannya fase ini bisa aja jadi titik balik untuk kita menyadari lagi kita sedang berada di mana? Kita tidak sedang berada di rumah, Fan. Tentu saja kita sering merasa tidak menemukan apa-apa di sini, karena dunia ini memang bukan rumah kita. Jadi, kalau kita tidak menemukan alasan apa pun di dunia ini untuk melakukan segala sesuatunya, apa Yesus tidak cukup menjadi motivasi kita untuk melakukannya?”

Aku membisu, pandanganku masih tertuju pada layar laptop di depanku. Tapi pikiranku benar-benar sedang bekerja keras mengolah kata-kata Anna yang disampaikan dengan lembut namun tepat sasaran. Beberapa waktu ini memang suatu hal telah membuatku khawatir dan mempengaruhi semangatku dalam bekerja atau dalam kegiatan pelayananku. Aku melupakan dan mengesampingkan Pribadi yang harusnya menjadi satu-satunya motivasiku untuk mengerjakan semua aktivitas ini. Sepertinya aku benar-benar telah dikelabui oleh perasaan khawatirku sendiri.

Aku menoleh dan menatap mata temanku ini. Aku tahu dia berusaha untuk mengerti dan membuatku mengetahui kalau dia mengerti. Aku tersenyum padanya. Dia juga. Lalu entah mengapa kami tertawa bersamaan.

“Jadi, apa kita masih perlu pergi healing dulu weekend ini?” tanyanya.

“Ah, healing juga bisa dimana-mana, sekarang aja kita sedang healing kok.”

Kami kembali tertawa lagi.

Kalau kita melihat hidup hanya sebagai hidup di bawah matahari, kita akan terperangkap dalam sebuah dunia yang tak berjendela. Solusinya ada di atas matahari. Yesus, Sang Pengharapan Dunia. (Pengkhotbah 2:11) – Sen Sendjaya, Menghidupi Injil Menginjili Hidup.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Jawaban Atas Pencarian Tentang Makna Hidupku

Oleh Jenni, Bandung

Sebenarnya, untuk apa aku di dunia? Bekerja? Berkarya? Membangun hubungan? Bukannya saat aku mati nanti itu semua akan sia-sia?

Pertanyaan itu membayangiku selama beberapa tahun. Aku mencari jawaban dengan usahaku, tapi sepertinya tak ada jawaban lain selain kesia-siaan. Sampai pada suatu waktu, aku membawa pertanyaan ini pada Tuhan. Kukira Dia diam, akan tetapi Tuhan memberikan firman-Nya untuk menerangi pertanyaanku mengenai makna kehidupan.

Seiring aku menjalani waktu-waktuku, jawaban-jawaban itu pun kutemukan.

1. Aku menemukan makna bekerja

Saat SMP, aku pernah mendapat tugas menjahit dengan mempraktikkan beberapa teknik dasar. Itu adalah tugas paling ampun deh seumur sekolahku. Aku harus bolak-balik bertanya pada teman, dan tak lupa diomeli guru karena tugasku tidak kunjung selesai. Akan tetapi, begitu selesai, aku sangat bangga dengan hasilnya. Meskipun belum sempurna, tapi aku menikmati dan bangga akan proses juga jerih payah dalam mengerjakan tugas itu.

Pada Pengkotbah 2:24-25 tertulis, “Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?

Rutinitas bekerja membuatku bertanya, apakah aku sekedar hidup untuk bekerja? Ternyata, selain menerima dan menjadi berkat, proses berjerih payah demi hasil yang terbaik adalah kesempatan dari Tuhan. Kesempatan untuk mengelola dan menikmati hasilnya dengan wajar juga sebuah anugerah. Hal tersebut tidak bisa direbut ataupun diambil dari kita, dan itulah yang membuatnya bermakna.

2. Aku menemukan makna dalam berelasi

Perpisahan adalah hal yang membuatku bertanya, untuk apa kita berelasi? Sahabat, kekasih, dan keluarga suatu hari nanti pasti akan berpisah. Lalu, munculah pertanyaan, untuk apa berelasi? Toh, pada akhirnya akan berpisah, dan apa artinya hal yang sudah kita lalui bersama?

Baru-baru ini aku dikejutkan oleh kabar duka. Seorang dari keluarga iparku berpulang ke rumah Bapa. Kejadiannya terjadi begitu cepat dan tiba-tiba saja beliau telah tiada. Saat aku teringat beliau, yang kuingat adalah kasihnya yang besar. Beliau menganggap dan memperlakukan orang-orang lain seperti anak-anaknya sendiri. Kasihnya tulus dan tidak menuntut balas.

Dalam 1 Korintus 13:13 tertulis: “Demikanlah tinggal ketiga hal ini; yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” Seperti karya kasih Tuhan yang menyelamatkan jiwa, kasih juga menyentuh hati dan mengubahkan sebuah pribadi menjadi lebih baik. Meski telah berpulang, orang tua iparku telah meninggalkan warisan untuk orang-orang sekelilingnya, yaitu kasih. Sebagai penerima warisan itu, aku ingin meneruskannya bagi orang sekelilingku.

3. Aku menemukan makna hidup sekarang untuk masa kekal

Kata orang, hidup harus bahagia, sukses dan kalau bisa kaya raya. Aku percaya, kita harus bekerja dan menjadi berkat untuk orang sekitar. Tapi kalau sudah mati, lalu apa?

Dalam Yohanes 14:1-3 tertulis Tuhan Yesus menguatkan murid-murid-Nya dengan berkata bahwa Dia menyiapkan tempat bagi mereka di sorga. Aku percaya janji ini juga dibagikan untuk setiap kita. Dari pertama kali manusia jatuh dalam dosa, Tuhan segera menjalankan rencana penyelamatan-Nya. Tuhan Yesus menebus jiwa kita supaya tidak binasa dan bisa tinggal bersama dengan-Nya.

Aku percaya bahwa hidup kita tidak dibatasi oleh masa-masa fana di dunia. Setelah meninggal nanti, ada kehidupan baru yang menanti. Kolose 3:2 berbunyi, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Ayat ini memberikanku harapan sekaligus keinginan untuk hidup sebagai terang di dunia dan pulang ke rumah yang Tuhan sediakan.

4. Aku menemukan makna dalam mengenal Tuhan

“Ayo, jangan lupa digantung di motor, nanti ketinggalan, loh,” ucap mamaku yang sudah hafal kebiasaanku meninggalkan tas bekal saat mau bekerja. Aku mengenal mama paling banyak baru separuh hidupnya, tetapi mama mengenalku sejak kecil. Dia tahu kepribadian dan kebiasaanku yang tidak kusadari. Dekat dengan mama membuatku mengenal sebagian diriku yang tidak kuketahui sebelumnya. Aku merasakan hal yang sama dalam proses mengenal Tuhan.

Dalam Keluaran 2-4:17 tertulis bahwa Tuhan mengutus Musa untuk memimpin orang Israel keluar dari Mesir. Inilah momen Tuhan melanjutkan rencana-Nya untuk menjadikan orang Israel umat yang menjadi asal kelahiran Sang Juruselamat, Yesus Kristus. Musa tidak percaya diri akan kemampuannya, tetapi Tuhan menyatakan bahwa Dialah sang pencipta yang mengenal kemampuan Musa. Tuhan percaya Musa sanggup dan berjanji akan menyertainya. Akhirnya dengan iman dan ketaatan, Musa menjadi bagian dalam perjalanan lahirnya Tuhan Yesus.

Tuhan mengenal kita jauh sebelum kita lahir. Dia sudah merencanakan karya penebusan bagi setiap kita. Aku percaya Dia memiliki rencana dan maksud yang unik untuk setiap musim kehidupan kita. Dalam Dia ada identitas, makna, kekuatan dan tujuan hidup kita.

Pencarian makna hidup tidaklah mudah. Kita bisa tersesat dan merasa hampa. Akan tetapi, ada firman Tuhan yang setia memberikan arah dan jawaban. Dalam Mazmur 119:105 tertulis,Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Saat mulai goyah, arahkan pikiran pada-Nya, sang Pencipta, pemegang hidup dan pemilik masa depan setiap kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥