Posts

Lebih Dari Sekadar Romantis (Realita Cinta di Balik Layar)

Siapa sih yang gak pengen punya hubungan romantis kayak di k-drama atau cerita novel? 😆

Kita semua pasti ingin punya hubungan yang romantis. Tapi kenyataannya, gak ada hubungan yang selalu romantis (sempurna) karena kita manusia yang gak sempurna, sehingga konflik pun tidak terhindarkan. Nah, gimana sih kita sebagai orang Kristen menyikapinya?

Simak yuk cerita di bawah dan share ke dia yang kamu sayang 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today (IG) dan dibuat oleh @ohdoodlez (IG).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Single = “Neraka”, Berpasangan = “Surga”? Menilik Ulang Nilai Romansa Modern dari Single’s Inferno

Oleh Mary Anita, Surabaya

Apa yang akan terjadi bila sekelompok pria dan wanita muda yang rupawan dan mapan harus bertahan hidup di pulau terpencil sembari berlomba menemukan sosok cinta sejati?

Plot ini diungkap dalam reality dating show asal Korea Selatan yang begitu populer tiga tahun terakhir lewat Netflix, yaitu Single’s Inferno. Bersama dengan panelis artis Korea papan atas, acara dibuat se-real mungkin sebagai eksperimen sosial dan diskusi menarik yang relate dengan segala pergumulan romantis kaum muda. Saat menontonnya, aku menemukan empat hal yang perlu kita renungkan ulang:

1. Lajang adalah neraka, tapi berpasangan itu surga

Secara garis besar, konsep surga dan neraka adalah kunci utamanya. Setiap hari apabila ada peserta yang gagal atau bertepuk sebelah tangan untuk memenangkan hati si target pujaan, mereka akan ditinggalkan di pulau inferno atau “neraka”. Di sisi lain, siapa yang menang lomba atau kedapatan memiliki perasaan yang sama satu sama lain, bisa berpasangan dan menikmati quality time ke “surga”, yaitu resor mewah.

Dari segi entertainment, jelas konsep berbasis reward surga justru memacu semangat bagi tiap peserta sekaligus bumbu hiburan bagi penonton. Namun, bukankah ini sebenarnya rekonstruksi streotipe masyarakat yang ada di dunia nyata? Jika kamu masih lajang, maka kamu dianggap buruk, kamu orang buangan yang pantas berada di “neraka”. Berbanding terbalik dengan mereka yang berpasangan, tentu layak menikmati “surga”. Namun, benarkah demikian?

Nyatanya, tak ada ayat di Alkitab yang tercatat kalau derajat orang lajang lebih rendah daripada mereka yang berpasangan. Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa hidup ini adalah anugerah Allah semata yang layak untuk dinikmati, termasuk di dalamnya masa lajang. Yakobus 1:17 berkata, “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.”

Rasul Paulus yang hidup melajang juga menegaskan dalam keseluruhan perikop 1 Korintus 7 bahwa menjadi lajang pun baik karena kita dapat melayani Tuhan tanpa rasa khawatir. “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya.” (ayat 32).

2. Semua orang mengingini cinta sejati

Saat acara dibuka, setiap peserta akan melakukan briefing sekilas memperkenalkan diri penuh percaya diri dan optimis. Namun, seiring hitungan hari, ada kalanya rasa itu sirna, malahan membuat mereka rapuh. Adanya ketegangan yang melukai harga diri saat cinta ditolak, dan persaingan saat memperebutkan hati seorang yang disukai tentunya sangat menguras emosi dan mental, menunjukkan betapa setiap manusia sebenarnya sama-sama rindu untuk diinginkan dan dicintai. Di saat kita terluka dan pernah mengalami hal yang sama karena cinta, ketahuilah cinta sejati yang tanpa syarat dan kekal hanya ada dalam Tuhan dan bukan manusia.

“Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu.” (Yeremia 31:3).

3. Jadilah dirimu yang asli dan kenali orang lain tidak hanya di permukaan saja

Ada aturan unik dalam acara ini yang mewajibkan peserta untuk merahasiakan usia dan pekerjaan, kecuali kepada siapa yang berhasil diajak ke “surga”. Maksudnya, untuk membantu mereka lebih nyaman menjadi diri sendiri sedari awal, sehingga proses pendekatan pun dapat disorot lebih transparan. Aturan ini membuatku tersadar, mungkinkah ini krisis yang sebenarnya kita butuhkan saat berelasi? Suatu keaslian diri dan tidak cepat menilai orang lain hanya di permukaannya saja. Dalam  1 Samuel 16 : 7 tertulis “ Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”

Di dunia yang penuh kepalsuan, ini saatnya kita berani menjadi diri sendiri dengan hati yang murni sebagai murid Krisus dengan tidak menghakimi orang lain berdasarkan yang kita lihat di luar saja.

4. Happy ending hubungan romantis bukanlah sekadar pacaran

Puncak euforia yang ditunggu-tunggu ada pada ending yang mengungkapkan siapa saja yang berhasil berpasangan secara resmi. Namun, beberapa penonton rupanya tak puas hanya sampai di situ. Mereka malahan membanjiri akun medsos peserta dengan pertanyaan memastikan apakah mereka sungguh berpacaran di dunia nyata. Dengan harapan, itulah happy ending yang sesungguhnya.

Namun menurut Alkitab, sekadar berpacaran bukanlah gol happy ending dari sebuah hubungan romantis.

Dalam Kejadian 1:28, ada alasan serius mengapa Tuhan mempersatukan Adam dan Hawa. Bukan romantisme kosong semata tanpa tujuan, tetapi sebuah happy ending yang dikehendaki-Nya, yaitu pernikahan. Di saat kita siap memulai hubungan romantis dengan lawan jenis, pertimbangkanlah secara matang untuk tujuan jangka panjang ke arah pernikahan, dan bawalah itu dalam doa meminta tuntunan Tuhan karena nantinya hubungan itu berujung menjadi pertanggung jawaban kita pada Tuhan dalam mewujudkan kasih Kristus dan kepada jemaat-Nya seumur hidup.

“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Efesus 5: 31-32).

Kawanku, di masa mana pun kamu saat ini berada, baik lajang, dalam masa pendekatan, berpacaran, atau sudah menikah, ingatlah untuk selalu berpegang pada nilai yang telah Tuhan, Sang Sumber Kasih itu ajarkan dalam Alkitab. Pastilah kebenarannya akan memerdekakan kita dari segala bentuk kegalauan dan nilai-nilai dunia yang dunia ajarkan. Amin.

“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1 Yohanes 4:16).