Posts

Spiritualitas vs Ritualitas: Bagaimana Menjaga Keseimbangan dalam Kehidupan Kristen

Oleh Ari Setiawan, Jakarta

Sebagai remaja dan pemuda Kristen, kita mungkin sudah terbiasa dengan berbagai ritual keagamaan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, berdoa sebelum makan, membaca Alkitab setiap pagi, mengikuti ibadah mingguan, bergabung dengan persekutuan, dan lain-lain. Ritual-ritual ini tentu saja baik dan bermanfaat, tetapi apakah kita sudah memahami makna dan tujuan di baliknya? Apakah kita sudah benar-benar mengalami pertumbuhan spiritual yang sesungguhnya?

Sayangnya, ada beberapa kasus di mana pendeta, hamba Tuhan, dan aktivis gereja yang seharusnya menjadi teladan bagi kita, malah tersandung dalam beberapa kasus dosa dan terjerat hukum. Mereka mungkin sudah aktif dalam ritual bergereja, tetapi ternyata tidak mendalami aspek spiritualitas keimanan mereka. Mereka mungkin sudah tahu banyak tentang ajaran-ajaran Kkristen, tetapi tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Mereka mungkin sudah beribadah dengan lantang, tetapi tidak memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan.

Mungkin hal yang sama juga terjadi di kita, aktif menjalankan ritual beragama tapi tidak menunjukkan pertumbuhan spiritual. Bagi aku sendiri, ada fase di mana keluarga selalu menelepon di malam hari, mengajak berdoa bersama, dan hal ini dilakukan setiap hari. Menyenangkan? Kadang tidak, hanya kosong, seperti menjalankan formalitas tanpa adanya kerinduan untuk benar-benar mengucap syukur, benar-benar mengasihi orang yang kita ucapkan namanya dalam doa.

Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara aktif dalam ritual bergereja dan mendalami aspek spiritualitas keimanan. Ritual bergereja adalah bentuk ekspresi dari keimanan kita, tetapi bukanlah ukuran dari kualitas keimanan kita. Spiritualitas keimanan adalah hubungan intim dan dinamis dengan Tuhan, yang melibatkan hati, pikiran, jiwa, dan kehendak kita. Ritual bergereja dapat membantu kita memperdalam spiritualitas keimanan kita, tetapi tidak dapat menggantikannya.

Dalam Matius 15:8-9, disampaikan bahwa:

“Bangsa ini menghormati Aku dengan bibirnya, tetapi hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, karena yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.”

Ayat ini mengutip Yesaya 29:13, di mana Yesus Kristus menegur orang-orang yang hanya beribadah kepada Tuhan secara lahiriah, tetapi tidak mengasihi-Nya dengan segenap hati. Ayat ini mengajak kita untuk tidak hanya mengikuti ritual-ritual keagamaan, tetapi juga menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan.

Lalu, bagaimana kita dapat membedakan apakah kita hanya sekadar aktif dalam ritual atau juga mendalami spiritualitas keimanan kita? Berikut adalah beberapa pertanyaan yang dapat kita renungkan:

  • Apakah kita berdoa karena ingin berkomunikasi dengan Tuhan atau hanya karena kebiasaan?
  • Apakah kita membaca Alkitab karena ingin belajar dari firman Tuhan atau hanya karena kewajiban?
  • Apakah kita mengikuti ibadah karena ingin menyembah Tuhan atau hanya karena tradisi?
  • Apakah kita bergabung dengan persekutuan karena ingin saling mengasihi atau hanya karena gengsi?

Jika jawaban kita cenderung ke arah yang pertama, maka kita sudah berada di jalur yang benar. Tetapi jika jawaban kita cenderung ke arah yang kedua, maka kita perlu melakukan introspeksi dan perubahan.

Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan ritualitas dalam kehidupan Kkristen adalah dengan menjalin spiritualitas terus menerus. Artinya, kita tidak hanya berhubungan dengan Tuhan saat-saat tertentu, tetapi sepanjang waktu. Kita tidak hanya mengandalkan ritual-ritual tertentu, tetapi juga mengembangkan kepekaan dan keterbukaan terhadap pimpinan Roh Kudus. Kita tidak hanya mengikuti aturan-aturan tertentu, tetapi juga mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi kita.

Dalam tulisan rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, ia menyampaikan pada 1 Korintus 10:31

“Jadi, apakah yang kamu makan atau minum atau apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Ayat ini mengajak kita untuk mengabdikan segala sesuatu yang kita lakukan kepada Tuhan, sebagai bentuk penyembahan dan penghormatan kepada-Nya. Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak memisahkan antara hal-hal rohani dan duniawi, tetapi untuk melihat semuanya sebagai kesempatan untuk memuliakan Tuhan.

Dengan menjalin spiritualitas terus menerus, kita akan lebih mudah menghindari dosa dan kesalahan yang dapat merusak hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Kita juga akan lebih mudah mengalami pertumbuhan dan pembaruan dalam kehidupan rohani kita. Kita juga akan lebih mudah menjadi saksi dan garam bagi dunia yang membutuhkan kasih dan kebenaran Tuhan.

Semoga artikel ini dapat memberkati dan menginspirasi kita semua. Tuhan Yesus memberkati. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Menilik Relevansi “Ritual” Kristen dalam Realisasinya di Kehidupan Kita

Oleh Jefferson

Apa yang kamu bayangkan ketika membaca kata “ritual”? Apakah gambaran yang muncul di dalam benakmu adalah imam yang mempersembahkan korban bakaran di atas altar? Atau kamu justru teringat ibadah Minggu yang setiap elemen liturginya ditata sedemikian rupa? Atau barangkali kamu malah membayangkan rutinitasmu setiap pagi sebelum memulai hari?

Gambaran-gambaran di atas adalah ilustrasi dari tiga definisi “ritual” menurut kamus Oxford (silakan Google define ritual kalau ingin membaca ketiga artinya lebih lanjut). Mengapa aku membuka dengan membicarakan definisi? Karena aku mengamati adanya perluasan makna “ritual” di masa kini, di mana rutinitas kita sehari-hari yang tak ada hubungannya sama sekali dengan praktik-praktik keagamaan pun dapat dianggap sebagai suatu “ritual”. Praktik “ritual” seolah-olah sudah kehilangan kekhususan dan kesakralannya di zaman kita.

Tapi, apa implikasi dari pandangan ini? Ketika membicarakan praktik-praktik “ritual”, terutama dalam konteks Kekristenan, tanpa kita sadari kita mungkin saja telah menganggap itu sebagai norma kehidupan bergereja yang tidak perlu dimengerti lebih dari pelaksanaannya. Kita bahkan mungkin merasa praktik-praktik “ritual” Kristen tidak lagi relevan sehingga kita tidak perlu lagi mempraktikkannya. Praktik-praktik “ritual” seperti aksesoris yang elok dipakai tapi pada hakikatnya tak punya nilai tambah yang tinggi.

Setelah menelusuri paham ini lebih jauh, apakah kamu juga melihat bahaya yang mengintai di baliknya? Ada suatu reduksionisme yang mendasari pandangan ini yang tidak berusaha untuk memahami makna di balik unsur-unsur dalam “ritual” Kristen terlebih dulu dan malah langsung loncat kepada kesimpulan. Menurutku, praduga ini akhirnya tidak dapat menjawab dengan memuaskan apakah praktik “ritual” Kristen saat ini masih relevan.

Dari relevansi menuju realisasi

Awalnya aku ingin membicarakan tentang relevansi dari dua praktik “ritual” Kristen, yang aku persempit cakupannya pada baptisan dan Perjamuan Kudus (alasannya dapat kamu baca di sini). Namun, setelah menulis beberapa lama, aku merasa jawaban yang sedang kusiapkan sama tidak memuaskannya dan malah beresiko jatuh juga ke dalam reduksionisme yang aku amati di atas. Syukurnya, lewat “kegagalan” ini Tuhan menuntunku untuk melihat bahwa perluasan pengertian “ritual” memiliki dasar yang tersembunyi di dalam Firman-Nya. 

Apa maksudnya? Memang saat ini kata dan praktik “ritual” dalam konotasi keagamaan jadi kehilangan—atau paling tidak berkurang—kesakralannya, namun perspektif bahwa rutinitas kita sehari-hari pun bisa dianggap sebagai “ritual” sebenarnya memberi ruang bagi kita untuk bersaksi kepada dunia. Bersaksi tentang apa? Bahwa pada kenyataannya tidak ada pemisahan antara yang kita sebut “kudus” dengan “duniawi”, bahwa setiap detik dan jengkal dari kehidupan kita dengan segala kesepelean dan keduniawiannya merupakan bagian dari “ritual” yang kita persembahkan kepada Allah.

Sampai di sini seharusnya kamu dapat menebak perikop Alkitab mana yang ingin kuangkat.

Bukan sembarang “persembahan”

Mengingat tempatnya dalam struktur kitab Roma, tidaklah heran kalau Roma 12:1–2 adalah salah satu perikop yang paling sering dikutip sebagai aplikasi khotbah. Setelah menjelaskan dasar-dasar Kekristenan sepanjang 11 pasal dari suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menggeser fokusnya kepada bagaimana pengikut Kristus bisa menerapkan dasar-dasar itu dalam kehidupan mereka secara pribadi dan komunal. Ayat 1–2 merumuskan prinsip utama dari aplikasi-aplikasi yang ia jabarkan di sepanjang sisa suratnya:

(1) Karena itu, Saudara-saudara, oleh kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: Itulah ibadahmu yang sejati. (2) Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna.”

Kedua ayat ini mengajarkan bahwa kita sepatutnya menyelaraskan kehidupan kita dengan kehendak Tuhan, karena lewat kasih karunia-Nya Ia telah menyelamatkan kita lewat iman kepada anak-Nya (pasal 4–7) dari maut dan kerusakan dosa (pasal 1–3), dan diadopsi ke dalam keluarga sang Raja (pasal 8–11). Tapi bagaimana caranya kita bisa hidup seperti itu? Ayat 1 menjawab, dengan mempersembahkan tubuh [kita] sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah: Itulah ibadah [kita] yang sejati.”

Dari pilihan kata-kata Paulus saja kita bisa melihat mengapa aku sengaja memilih perikop ini untuk membahas tentang “ritual” Kristen. Namun, alasanku lebih dalam dari sekadar pilihan kata yang dipakai dalam praktik “ritual”. Dr. Andrew Spurgeon dalam khotbahnya di gerejaku di awal September menunjukkan bahwa kata “persembahan” yang digunakan di ayat 1 pada dasarnya serupa dengan yang dipakai untuk korban sajian di Imamat 2.

Apa signifikansi dari diksi ini? Dalam Perjanjian Lama, korban sajian tidak dipersembahkan untuk memohon pengampunan dosa kepada Tuhan, seperti yang mungkin selama ini kita pahami tentang persembahan. Korban sajian justru dipersembahkan di altar setelah korban bakaran sebagai ucapan syukur atas anugerah dan kasih karunia-Nya yang terus memenuhi kebutuhan mereka, terutama dalam perjalanan memasuki tanah perjanjian.

Mendengar tentang “persembahan” di Roma 12:1–2 dalam konteks korban sajian di Imamat 2, aku jadi teringat diskusi dalam kelompok pemuridan yang kupimpin beberapa bulan lalu. Kami sedang mempelajari kitab Roma menggunakan pendekatan induktif dan baru saja selesai membahas pasal pertama di kitab Roma. Di antara poin-poin pembelajaran yang aku dapatkan selama mempelajari Roma 1 bersama kelompok, aku mengingat bahwa manusia dalam kerusakan total karena dosa tidak mau dan tak dapat memuliakan ataupun mengucap syukur kepada Tuhan (ay. 21). Maka poin penerapan yang paling berkesan hari itu buatku adalah untuk terus memuliakan Allah dan mengucap syukur kepada-Nya sebagai anak-Nya yang telah Ia tebus dari perbudakan dosa (bdk. 8:12–17).

Kehidupan kita sebagai ucapan syukur yang hidup

Pembelajaran-pembelajaran Firman yang dipisahkan waktu ini akhirnya menuntunku untuk melihat bahwa kehidupan kita yang telah ditebus oleh darah Kristus pada dasarnya adalah persembahan “ritual”, bukan sebagai usaha kita untuk menyogok Tuhan dan mengusahakan keselamatan dengan kekuatan kita sendiri tapi sebagai pengucapan syukur seumur hidup kita kepada Ia yang telah beranugerah untuk menyelamatkan kita. Perhatikan bahwa yang Allah tebus adalah segenap keberadaan kita, baik “tubuh” kita yang dulu mati karena dosa tetapi sekarang hidup karena Kristus (12:1), maupun “budi” kita yang dulunya mati-matian menolak-Nya tapi sekarang Ia perbarui sehingga dapat membedakan “apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya, dan sempurna” (12:2).

Mengingat korban sajian pada umumnya dipersembahkan setelah korban bakaran, dan bahwa Kristus sebagai Imam Besar telah melakukan segala ritual penebusan dosa yang seharusnya kita jalankan tetapi tak mampu kita penuhi oleh karena kerusakan total akibat dosa (Ibr. 9:11–28), bukankah masuk akal bagi kita yang telah ditebus-Nya untuk mempersembahkan segenap keberadaan kita sebagai “korban sajian” bagi-Nya? Maka setiap tindakan, pikiran, dan perkataan, termasuk rutinitas kita sehari-hari serta praktik baptisan dan Perjamuan Kudus, merupakan persembahan syukur kita yang memuliakan Kristus atas pengorbanan-Nya di atas kayu salib.

Ada banyak penerapan dan perenungan lebih jauh yang dapat kamu kembangkan sendiri dari apa yang telah kubagikan di sini. Dr Andrew Spurgeon sendiri mengakhiri khotbahnya di gerejaku dengan empat aplikasi: dengan tanpa pamrih menggunakan karunia Roh kita untuk melayani sesama (12:3–8), mengasihi sesama dengan tulus (12:9–21), dengan tanpa syarat menundukkan diri kepada otoritas yang telah Tuhan tunjuk (13:1–14), serta menerima satu sama lain apa adanya tanpa prasangka (14:1–15:13). Aku sendiri ingin menyoroti dengan singkat aplikasi yang signifikansinya kurasakan lagi sejak kembali ke dunia kerja: work-rest balance (keseimbangan bekerja dan beristirahat), yang sudah pernah kubahas di artikel lain

Walaupun pekerjaanku saat ini adalah kelanjutan dari apa yang aku pelajari selama kuliah S-2, ada banyak hal yang masih tidak aku mengerti di bidang baruku (aku berganti haluan dari konsultansi lingkungan hidup ke sustainable finance) sehingga aku jadi sering lembur di kantor untuk mengejar ketinggalanku dalam proyek. Kesibukan selama 1,5 bulan terakhir membuatku lebih mengapresiasi waktu-waktu istirahat yang Tuhan berikan, di mana aku bisa merenungkan pekerjaan-Nya yang sedang ia kerjakan lewatku di bidang baru ini dan memperhatikan kebutuhan orang-orang di sekelilingku. Ketika segenap kehidupan telah kita persembahkan sebagai ucapan syukur kita kepada Tuhan, niscaya ada sukacita dan damai sejahtera yang Ia sediakan untuk kita di tengah kesibukan dan penderitaan kita.

Akhir kata, apakah praktik-praktik “ritual” Kristen masih relevan di masa kini? Jawaban yang aku coba sampaikan secara tidak langsung dalam tulisan ini adalah “Ya”, dengan tegas dan penuh sukacita. “Karena itu, baik kamu makan atau minum, ataupun melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31).

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu yang mengasihi-Nya dengan kasih yang tidak binasa, soli Deo gloria.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ritual: Bukan Cuma Tentang Praktik, tapi Juga Perspektif

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Teruntuk kita yang sering merasa iman saja sudah cukup, dan bagi mereka yang sering melontarkan kalimat seperti, “Ga perlu lah melakukan ritual dan sakramen gereja, karena Tuhan kan Mahatahu dan mengerti hati kita.” Ritual memang terdengar kuno dan terkesan tidak penting. Namun, apakah se-irelevan itu adanya konsep “ritual” di zaman ini? 

Bicara agama tidak bisa terlepas dari ritual. Jika kita menelisik kembali sejarah kekristenan, pada abad 16 terjadi peristiwa besar yang kita kenal sebagai Reformasi Protestan. Salah satu alasan lahirnya reformasi yang diinisiasi oleh Martin Luther adalah karena dia menentang praktik penjualan surat indulgensi. Umat kala itu dapat membeli koin-koin yang dipercaya dapat mengurangi waktu mereka di dalam masa-masa api penyucian atau purgatorium agar bisa cepat masuk ke surga. Seiring berlalunya waktu, reformasi Protestan pun menghasilkan dinamika baru dalam wajah kekristenan di dunia dengan pemahaman-pemahaman akan ritual yang dilandaskan pada Alkitab. 

Nah, kembali pada premis di paragraf pertama: Jadi, apakah ritual itu penting? Tidak kalah sering orang Kristen Protestan dijuluki sebagai agama yang kurang menerapkan ritual-ritualnya. Beberapa pandangan ekstrem malah menggunakan alasan para reformator untuk meremehkan semua ritual kekristenan. Katanya, “Keselamatan manusia tidak bergantung pada perbuatan atau ritual yang dilakukannya.” Pernyataan ini perlu kita cerna dengan cermat dan rendah hati. Ritual atau sakramen dalam kekristenan itu penting. James K.A. Smith, seorang filsuf dan teolog, menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya terbentuk dari ritual-ritual yang dilakukannya. Setiap pagi, asal melek buka HP saja bisa menjadi sebuah ritual! Oleh sebab itu, ritual yang salah juga dapat merusak diri kita. 

Lalu, mengapa “ritual” itu penting? 

Pertama-tama, Smith menjabarkan konsep ritual itu sendiri dengan ritual dalam kehidupan keseharian kita. Anggap saja, kita ingin menjadi seorang pianis yang handal lalu kita latihan setiap hari. Entah kita latihan dengan hati terpaksa karena disuruh orang tua atau sepenuh hati, latihan demi latihan sedikit banyak akan membentuk keahlian kita dalam bermain piano. Seperti kata pepatah, “practice makes perfect.” Sama halnya dalam kehidupan spiritual kita, ritual (atau latihan) kerohanian yang kita lakukan pada akhirnya akan membentuk dan mengubahkan hati kita, secara sadar atau tidak sadar. Ritual kerohanian itu penting untuk melatih tubuh kita. Tuhan menciptakan manusia dengan wujud atau bentuk, di mana tubuh ini adalah wujudnya. Dengan adanya ritual konkrit (concrete practices) yang dialami oleh indera kita, tubuh ini menjadi media perantara ritual untuk menggerakkan hati atau pikiran kita. Seperti saat kita melakukan perjamuan kudus, saat kita makan roti dan minum anggur, seluruh indera dari fisik tubuh kita merasakan (memegang) langsung wujud ritual tersebut. Ini adalah ritual yang mengingatkan kita akan Tuhan Yesus yang menyerahkan diri-Nya untuk mati di atas kayu salib untuk menebus dosa kita. Saat beberapa gereja mempraktikkan berlutut saat berdoa, secara tidak sadar ritual postur berlutut ini memberikan sinyal pada hati kita untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan. Banyak ritual-ritual kecil yang dilakukan setiap minggunya di gereja, yang secara tidak sadar, mengajarkan dan mengubahkan hati dan pikiran kita secara perlahan. Oleh sebab itu, perspektifnya harus dibalik. Harus dipahami bahwa Tuhan menetapkan adanya ritual kerohanian dikarenakan itu penting untuk kita, untuk melatih tubuh kita dan mengubah pikiran kita, bukan untuk diri-Nya.

Poin kedua. Letak perbedaan yang menjadikan ritual kerohanian orang Kristen itu penting ada pada penyertaan Roh Kudus. Ritual kerohanian kita disertai oleh kehadiran Roh Kudus. Craig Dykstra menggunakan istilah habitation of the Spirit”, di mana praktik yang konkrit (ritual/sakramen) ini menjadi saluran atau media kuasa Roh Kudus untuk mengulik dan mengubahkan kita. Seperti yang beberapa kali kusebutkan di poin sebelumnya, “secara tidak sadar” memang seringkali kita tidak lagi memaknai arti dari setiap ritual ini, namun bukan berarti Roh Kudus tidak bekerja. Adanya kehadiran kuasa Roh Kudus yang unik untuk momen ritual kerohanian yang dilakukan oleh orang percaya. 

Ada kutipan yang penting: 

“Historic Christian Devotion bequeaths to us rituals and rhythms and routines that are what Craig Dykstra calls “habitations of the Spirit” – concrete practices that are conduits of the power of the Spirit and the transformative grace of God.”

“Devosi Kristiani yang bersejarah mewariskan kepada kita ritual-ritual, ritme-ritme, dan rutinitas yang disebut oleh Craig Dykstra sebagai “habitations of the Spirit” – praktik-praktik konkrit yang menjadi saluran bagi kuasa Roh dan kasih karunia Allah yang transformatif.”

Lalu, bagaimana mendamaikan konsep “ritual” dan “anugerah keselamatan”?

Ritual atau sakramen yang kita lakukan merupakan respons dari anugerah keselamatan yang kita telah dapatkan. Jadi jangan dibalik ya. Bukan karena kita melakukan ritual, maka kita dapat diselamatkan oleh Tuhan; namun karena kita sudah diselamatkan, maka kita ingin melakukan ritual tersebut sebagai tanda ucapan syukur kita kepada Tuhan. Patut diingat bahwa tidak ada pekerjaan baik manusia yang dapat membawa kita ke surga, karena keselamatan yang kita terima murni dari belas kasihan Tuhan kepada umat-Nya. Jika kita mengerti arti ritual dari sudut pandang ini, maka sesungguhnya setiap ritual kerohanian kekristenan adalah reminder bagi orang percaya akan anugerah dan kasih setia Tuhan sepanjang masa.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mengenal Ritual-ritual dalam Iman Kristen

Oleh Dhimas Anugrah

La Tomatina atau “perang tomat” yang ada di Spanyol mungkin merupakan pesta atau ritual terbesar di dunia. Biasanya, La Tomatina diadakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Agustus. Para peserta saling melempar tomat dan terlibat dalam pertarungan yang tak menyakitkan satu sama lain. Ritual ini menjadi terkenal sejak abad yang lalu. Di seberang benua lainnya, selama ratusan tahun ada upacara Okali, ritual melempar bayi yang baru lahir dari atas atap kuil di India. Namun, keselamatan bayi tetap diutamakan dengan sejumlah orang bersiap menangkap si bayi dari bawah dengan menggunakan kain putih lebar yang dibentangkan. Muasal ritual ini, konon dulu ada pasangan yang bersumpah di kuil apabila mereka mempunyai keturunan, maka mereka akan rutin menjalankan ritual di situ untuk berterima kasih kepada dewa. 

Dua praktik di atas hanya sedikit contoh dari sekian banyak ritual yang dilakukan komunitas-komunitas manusia di muka bumi. Ritual secara sederhana dipahami sebagai ekspresi batin yang melibatkan tindakan fisik simbolis. Namun, yang perlu diingat adalah frasa “ritual” tidak terisolasi hanya pada ranah agama, melainkan juga budaya dan adat-istiadat.

Umat Kristen, seperti halnya komunitas tradisi atau agama lain, pun memiliki ritual yang unik. Para pengikut Kristus memiliki ritual khasnya, dengan melakukan sakramen baptisan, perjamuan kudus, berdoa, bernyanyi, beribadah di gereja, berpuasa, kolekte, bersaksi, dan beragam ekspresi iman lainnya.

Ritual-ritual Kristiani

Frasa “ritual” sendiri berasal dari bahasa Latin “ritualis” dengan akar kata “ritus” yang biasanya dipahami sebagai jenis upacara atau kegiatan. Kata “ritual” dalam bahasa Inggris menjadi lebih dikaitkan dengan agama mulai pada tahun 1600-an. Ritual dalam iman Kristiani sendiri, secara mendasar dilandasi oleh ungkapan syukur kepada Allah yang telah menyelamatkan umat-Nya melalui Sang Juruselamat Yesus Kristus (Mazmur 28:7; Ibrani 12:28; Kolose 3:1). Berdoa adalah salah satu ritual umum dalam iman Kristiani. Praktik ini berakar dari Perjanjian Lama, dan terus berlanjut dalam Perjanjian Baru, seperti dapat dilihat pada doa harian yang dilakukan secara teratur baik di rumah maupun di Bait Allah, Yerusalem. Dalam Kisah Para Rasul kita membaca bahwa doa dilakukan tiga kali (2:15; 10:9; 10:30-31; 3:1). Menurut Maxwell E. Johnson dalam “The Apostolic Tradition,” in The Oxford History of Christian Worship, hal ini sesuai dengan pengorbanan Bait Suci pada pagi hari (sekitar pukul 09.00), tengah hari, dan sore hari (sekitar pukul 15.00). Jemaat akan berdiri di luar Bait Suci sambil berdoa ketika imam mempersembahkan dupa di atas mezbah (bdk. Lukas 1:10).

Ritual lainnya, menyanyikan pujian. Seringkali memang seperti tidak ada batasan yang jelas antara menyanyikan pujian, berdoa, dan membaca Alkitab. Dalam Kitab Suci, memuji Allah dapat merujuk pada doa dan juga nyanyian (Kisah Para Rasul 16:25; Ibrani 13:15). Pengajaran juga dapat berbentuk nyanyian, seperti membaca mazmur yang dapat disebut sebagai menyanyikan “puji-pujian dan nyanyian rohani” (Kolose 3:16; Efesus 5:19). Jesper Svenpro dalam “Archaic and Classical Greece: The Invention of Silent Reading,” in A History of Reading in the West, menunjukkan lagu-lagu rohani juga bisa jadi merupakan ekspresi iman spontan yang diilhami oleh Roh Kudus. Menyanyi sebagai doa dan pengajaran turut dilatarbelakangi fakta bahwa membaca memang jarang dilakukan di dunia kuno. Praktik membaca justru biasa menjadi aktivitas vokal atau bahkan musik (Filipi 2:5-11; Kolose 1:15-20; dan 1 Petrus 3:18-22). 

Perjamuan Kudus juga merupakan ritual dalam laku sakramen “makan serta minum tubuh dan darah Yesus Kristus.” Sakramen sendiri merupakan “tanda yang terlihat” atau simbol yang dapat ditangkap pancaindra, sehingga anugerah keselamatan Allah yang adikodrati dapat dihayati umat pilihan-Nya. Tradisi Kristiani lainnya menyebut sakramen sebagai “Misteri Suci.” Perjamuan Kudus adalah inti dari ibadah Kristen mula-mula dan dimaksudkan untuk terus mengenang Kristus dan ajaran-Nya. Sejak awal dalam tradisi Kristiani, ritual ini dikaitkan dengan perkataan Yesus, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (1 Korintus 11:24; Lukas 22:19). Ajakan “mengingat” ini demi menghayati kembali peristiwa ”pemecahan roti” yang Kristus lakukan dalam Perjamuan Akhir (Lukas 24:35).

Dalam sejarah, orang Kristen mula-mula berusaha menjaga ingatan ini tetap hidup dengan melakukan “komuni” atau memecah-mecahkan roti setiap hari dan memanjatkan doa (Kisah Para Rasul 2:42, 46). Namun, di kemudian hari dalam kitab yang sama Lukas menginformasikan, orang-orang Kristen memecah-mecahkan roti pada hari pertama dalam pekan itu, yaitu hari Minggu (Kisah Para Rasul 20:11). Para ahli umumnya percaya perjamuan ini adalah sebuah peraturan dan perjamuan yang asli. Meskipun kita tidak mengetahui semua detail dari praktik ini, Perjanjian Baru menyebutkan perjamuan mencakup makanan seperti roti, anggur, ikan, dan sejenisnya (Lukas 24:39-43; Yohanes 21:12-13). Mereka juga menyertakan kegiatan seperti berkhotbah dan berdoa, dan para anggota jemaat makan “dengan sukacita dan dengan hati yang tulus” (Kisah Para Rasul 2:46).

Selain itu, ritual yang dikenal paling khas dari iman Kristiani adalah Baptisan. Kata kerja Yunani βαπτίζω (baptizō) memiliki arti antara lain: menyiram, menyeka, menyelam, mencelupkan atau bahkan menceburkan seseorang ke dalam air. Dalam Perjanjian Baru, praktik pembaptisan secara selam tampak tersirat, karena Yesus “keluar dari air” setelah ritual tersebut dilakukan (Markus 1:10; bandingkan dengan Roma 6:3-6). Meski demikian, sejarah dan faktanya hingga kini, gereja memiliki praktik baptisan yang berbeda, seperti dipercik maupun disiram secara terbatas di atas kepala peserta baptis. Keragaman metode teknis baptisan ini suatu keniscayaan dan bukan hal yang perlu diperdebatkan, justru kita didorong membuka hati bagi perbedaan itu sebagai kekayaan ekspresi iman yang perlu dirayakan. 

Injil-injil Sinoptik setuju bahwa tujuan baptisan Yohanes adalah untuk menghasilkan pertobatan dan pengampunan dosa (Markus 1:4; Matius 3:11; Lukas 3:3), bahkan Injil Yohanes memusatkan perhatian pada “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). Injil Yohanes juga menyamakan baptisan dengan “dilahirkan kembali.” Kelahiran kembali ini memiliki makna ganda dalam teks Yunani, karena kata ἄνωθεν (anōthen) dapat berarti: (1) “kembali” atau (2) “dari atas.” Dalam teks ini, Nikodemus tampak tidak mengerti karena ia berpikir bahwa ia harus “dilahirkan kembali” secara harfiah, sebab ia belum paham bahwa “dilahirkan kembali” itu bermakna spiritual atau “dilahirkan dari Allah” (Yohanes 3:3-7, 3:31, 19:11, 23).

Akhirul Kalam

Apakah semua ritual itu wajib kita jalankan? Kalau kita tidak melakukannya, akan berdampak apa? Dari sedikit uraian di atas, tampak jelas bahwa ritual dalam iman Kristiani memberi kita kesempatan mengingat kisah-kisah penting dalam Alkitab dan ajaran Juruselamat serta Guru Agung kita Yesus Kristus. Semua ritus religius gerejawi yang dilandasi kisah dalam Alkitab, secara khusus Perjanjian Baru, membuka ruang bagi orang percaya untuk tetap belajar merenungkan pesan-pesan iman yang dia dengar dari sabda Tuhan (Roma 10:17). Ritual secara simbolis membantu kita mengungkapkan dan merayakan iman kepada Allah secara nyata, sekaligus menghubungkan diri kita di masa kini dengan kesinambungan sejarah iman umat Kristiani di sepanjang segala abad. 

Kita diajak memahami, bahwa ritual Kristen memiliki peran penting dalam mengaktualisasikan iman dan memperdalam relasi kita dengan Allah Yang Maharahim. Penting diingat bahwa sifat dan signifikansi ritual dalam iman Kristen dapat bervariasi antara denominasi dan kelompok gereja. Di sini kita diundang untuk menghargai dan mengapresiasi setiap ekspresi iman tiap kelompok Kristiani dalam menjalankan ritualnya. Tidak perlu saling merendahkan maupun menganggap diri lebih benar atau superior dari denominasi yang lain. Beberapa komunitas Kristiani mungkin menekankan beberapa ritual lebih dari yang lain, atau sebaliknya. Ini merupakan keindahan taman teologi gereja yang perlu dirayakan. Ritual adalah bagian dari ungkapan cinta kita kepada Allah, sekaligus ikhtiar dalam menggenapi tujuan hidup kita, yaitu memuliakan Dia (Roma 11:36; 1 Korintus 10:31; Mazmur 73:25-26).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥