Posts

Single = “Neraka”, Berpasangan = “Surga”? Menilik Ulang Nilai Romansa Modern dari Single’s Inferno

Oleh Mary Anita, Surabaya

Apa yang akan terjadi bila sekelompok pria dan wanita muda yang rupawan dan mapan harus bertahan hidup di pulau terpencil sembari berlomba menemukan sosok cinta sejati?

Plot ini diungkap dalam reality dating show asal Korea Selatan yang begitu populer tiga tahun terakhir lewat Netflix, yaitu Single’s Inferno. Bersama dengan panelis artis Korea papan atas, acara dibuat se-real mungkin sebagai eksperimen sosial dan diskusi menarik yang relate dengan segala pergumulan romantis kaum muda. Saat menontonnya, aku menemukan empat hal yang perlu kita renungkan ulang:

1. Lajang adalah neraka, tapi berpasangan itu surga

Secara garis besar, konsep surga dan neraka adalah kunci utamanya. Setiap hari apabila ada peserta yang gagal atau bertepuk sebelah tangan untuk memenangkan hati si target pujaan, mereka akan ditinggalkan di pulau inferno atau “neraka”. Di sisi lain, siapa yang menang lomba atau kedapatan memiliki perasaan yang sama satu sama lain, bisa berpasangan dan menikmati quality time ke “surga”, yaitu resor mewah.

Dari segi entertainment, jelas konsep berbasis reward surga justru memacu semangat bagi tiap peserta sekaligus bumbu hiburan bagi penonton. Namun, bukankah ini sebenarnya rekonstruksi streotipe masyarakat yang ada di dunia nyata? Jika kamu masih lajang, maka kamu dianggap buruk, kamu orang buangan yang pantas berada di “neraka”. Berbanding terbalik dengan mereka yang berpasangan, tentu layak menikmati “surga”. Namun, benarkah demikian?

Nyatanya, tak ada ayat di Alkitab yang tercatat kalau derajat orang lajang lebih rendah daripada mereka yang berpasangan. Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa hidup ini adalah anugerah Allah semata yang layak untuk dinikmati, termasuk di dalamnya masa lajang. Yakobus 1:17 berkata, “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.”

Rasul Paulus yang hidup melajang juga menegaskan dalam keseluruhan perikop 1 Korintus 7 bahwa menjadi lajang pun baik karena kita dapat melayani Tuhan tanpa rasa khawatir. “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya.” (ayat 32).

2. Semua orang mengingini cinta sejati

Saat acara dibuka, setiap peserta akan melakukan briefing sekilas memperkenalkan diri penuh percaya diri dan optimis. Namun, seiring hitungan hari, ada kalanya rasa itu sirna, malahan membuat mereka rapuh. Adanya ketegangan yang melukai harga diri saat cinta ditolak, dan persaingan saat memperebutkan hati seorang yang disukai tentunya sangat menguras emosi dan mental, menunjukkan betapa setiap manusia sebenarnya sama-sama rindu untuk diinginkan dan dicintai. Di saat kita terluka dan pernah mengalami hal yang sama karena cinta, ketahuilah cinta sejati yang tanpa syarat dan kekal hanya ada dalam Tuhan dan bukan manusia.

“Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu.” (Yeremia 31:3).

3. Jadilah dirimu yang asli dan kenali orang lain tidak hanya di permukaan saja

Ada aturan unik dalam acara ini yang mewajibkan peserta untuk merahasiakan usia dan pekerjaan, kecuali kepada siapa yang berhasil diajak ke “surga”. Maksudnya, untuk membantu mereka lebih nyaman menjadi diri sendiri sedari awal, sehingga proses pendekatan pun dapat disorot lebih transparan. Aturan ini membuatku tersadar, mungkinkah ini krisis yang sebenarnya kita butuhkan saat berelasi? Suatu keaslian diri dan tidak cepat menilai orang lain hanya di permukaannya saja. Dalam  1 Samuel 16 : 7 tertulis “ Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”

Di dunia yang penuh kepalsuan, ini saatnya kita berani menjadi diri sendiri dengan hati yang murni sebagai murid Krisus dengan tidak menghakimi orang lain berdasarkan yang kita lihat di luar saja.

4. Happy ending hubungan romantis bukanlah sekadar pacaran

Puncak euforia yang ditunggu-tunggu ada pada ending yang mengungkapkan siapa saja yang berhasil berpasangan secara resmi. Namun, beberapa penonton rupanya tak puas hanya sampai di situ. Mereka malahan membanjiri akun medsos peserta dengan pertanyaan memastikan apakah mereka sungguh berpacaran di dunia nyata. Dengan harapan, itulah happy ending yang sesungguhnya.

Namun menurut Alkitab, sekadar berpacaran bukanlah gol happy ending dari sebuah hubungan romantis.

Dalam Kejadian 1:28, ada alasan serius mengapa Tuhan mempersatukan Adam dan Hawa. Bukan romantisme kosong semata tanpa tujuan, tetapi sebuah happy ending yang dikehendaki-Nya, yaitu pernikahan. Di saat kita siap memulai hubungan romantis dengan lawan jenis, pertimbangkanlah secara matang untuk tujuan jangka panjang ke arah pernikahan, dan bawalah itu dalam doa meminta tuntunan Tuhan karena nantinya hubungan itu berujung menjadi pertanggung jawaban kita pada Tuhan dalam mewujudkan kasih Kristus dan kepada jemaat-Nya seumur hidup.

“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Efesus 5: 31-32).

Kawanku, di masa mana pun kamu saat ini berada, baik lajang, dalam masa pendekatan, berpacaran, atau sudah menikah, ingatlah untuk selalu berpegang pada nilai yang telah Tuhan, Sang Sumber Kasih itu ajarkan dalam Alkitab. Pastilah kebenarannya akan memerdekakan kita dari segala bentuk kegalauan dan nilai-nilai dunia yang dunia ajarkan. Amin.

“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1 Yohanes 4:16).

Hoaks, Asal Viral, dan Penghakiman: Bagaimana Film Budi Pekerti Menunjukkan Kondisi Masyarakat Kita

Oleh Sandyakala Senandika

Kalau kamu belum menonton film berjudul “Budi Pekerti”, mungkin kamu penasaran ini film apa karena kesan dan review mulai bermunculan di media sosial. Dan, kalau kamu sudah menontonnya, mungkin kamu merasa gereget dengan warganet yang mengakibatkan hidup Ibu Prani dan keluarganya porak poranda dalam sekejap, ibarat puting beliung yang menerbangkan atap rumah seisi kampung.

Mengambil setting kota Yogyakarta kala masa pandemi, film besutan sutradara Wregas Bhanuteja ini menyajikan fenomena buruk dari budaya kita bermedia sosial: bagaimana suatu peristiwa dibingkai, dilepas dari konteksnya, dan diviralkan begitu saja hingga melahirkan hoaks yang kemudian menghancurkan kehidupan korbannya.

Sedikit spoiler, Ibu Prani Siswoyo yang diperankan Sha Ine Febriyanti adalah guru Bimbingan Penyuluhan (BP) di suatu SMP. Dia guru yang gaul, melek teknologi, dan dicintai karena metodenya yang selalu memberikan “refleksi” alih-alih hukuman pada murid-muridnya yang bermasalah. Tapi, di balik pengabdiannya sebagai guru, Ibu Prani punya segudang beban. Suaminya, Didit Wibowo yang diperankan Dwi Sasono mengalami depresi yang mengarah bipolar lantaran usahanya hancur dihantam pandemi. Untuk pengobatan, tabungan mereka pun terkuras, sampai-sampai uang bayar kontrakan pun harus dipakai lebih dulu.

Konflik panas dimulai saat Ibu Prani sedang mengantre makanan kue putu Mbok Rahayu yang terkenal. Ibu Prani menegur seorang yang menyerobot antrean, tapi orang itu tak terima. Peristiwa cekcok itu direkam oleh orang-orang yang ada di pasar dan kemudian diunggah. Celakanya, bagian yang menjadi viral adalah momen ketika Ibu Prani mengucap “Ah suwi,” yang artinya “ah lama”. Tapi, karena diucap dengan cepat, frasa itu terdengar seperti “asu..i” yang dalam bahasa Jawa berarti “anjing”.

Pasca viralnya video itu, kehidupan Bu Prani berubah total. Hoaks bermunculan di mana-mana. Kedua anaknya, Tita (Prilly Latuconsina) dan Muklas (Angga Yunanda) pun terkena getahnya.

Belantara Maya yang Ganas

Artikel karya Dwi Bayu Radius yang dimuat di harian Kompas.id menuliskan bahwa secepat jemarinya bergerak, pengguna media sosial menomorsatukan pembenaran, bukan kebenaran.

Dalam teori komunikasi massa, ada teori yang disebut agenda setting. Teori ini berkata bahwa media tidak mengabarkan suatu peristiwa secara utuh, melainkan membingkainya (framing) agar memenuhi kepentingan mereka sendiri. Dalam konteks saat ini ketika setiap orang dapat berperan menjadi media lantaran panggung bernama medsos, kepentingan yang lahir adalah klik dan viralitas. Orang berlomba-lomba ingin jadi pahlawan yang seolah sedang memperjuangkan sesuatu tetapi abai terhadap konteks. Warganet yang cepat terbakar emosinya pun menjadi faktor yang menyuburkan konten menjadi viral.

Kita dapat dengan mudah menjumpai konten atau peristiwa viral setiap harinya. Meskipun ada konten-konten viral yang baik seperti Twitter do your magic yang mampu mengungkap orang hilang atau kasus penipuan, tapi tak sedikit pula yang berakhir pada bully atau perundungan. Pada Juni 2022 seorang perempuan muda dihujat habis-habisan oleh warganet lantaran ada seseorang yang merekam diam-diam peristiwa ketika seorang petugas kebersihan di mal menolongnya membersihkan sepatunya yang tak sengaja menginjak kotoran anjing. Konteks sebenarnya adalah petugas tersebut dengan rela hati menawarkan pertolongan. Tetapi, pada unggahan yang dipotong, dibingkai, dan diviralkan itu dibumbui caption bernada iba, seolah si perempuan itu merendahkan petugas kebersihan.

Vox Populi tak selalu Vox Dei

Ada ungkapan bahasa Latin yang berkata: Vox Populi Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Ungkapan ini kerap dipakai dalam dunia politik yang menegaskan bahwa suara mayoritas bisa jadi representasi dari kehendak Tuhan.

Namun, dalam konteks bermasyarakat kita di masa sekarang, sebagai orang Kristen kita perlu mengingat bahwa kebenaran dan kehendak Allah tidak berbicara soal jumlah suara mayoritas. Semisal, ketika seisi kelas sepakat membeli kunci jawaban ujian nasional, tidak berarti mencontek itu menjadi benar. Atau, ketika orang berbondong-bondong menerobos lampu merah di suatu perempatan yang sibuk, itu tidak berarti lampu merah tersebut menjadi salah.

Tidak mudah untuk berdiri teguh ketika hampir semua orang di sekeliling kita melakukan yang berbeda. Inilah yang disebut sindrom mob mentality, yaitu pola pikir atau kecenderungan ketika seseorang mengikuti atau meniru sekelompok orang tanpa mengerti hal tersebut salah atau benar. Dalam Alkitab, kita dapat melihat perilaku mob mentality ini dalam kasus Stefanus, martir Kristen pertama. Dalam Kisah Para Rasul 6:8-15, dikisahkan bahwa anggota rumah ibadah Yahudi tak sanggup melawan hikmat Stefanus dalam perdebatan. Alhasil mereka menebarkan berita palsu, menuduh Stefanus telah menghujat Musa dan Allah supaya Stefanus dihukum. Massa pun mengamuk karena merasa tersakiti oleh Stefanus. Pada pasal 7 ayat 54-60, dituturkan akhirnya Stefanus diserbu, dihalau ke luar kota, dan dirajam hingga meninggal.

Kisah Stefanus adalah contoh yang relevan hingga sekarang, tentang bagaimana berita bohong dapat dengan mudah disebarkan dan memantik emosi massa. Hari-hari ini, ketika zaman telah berkembang pesat, kecenderungan untuk menelan mentah-mentah berita bohong itu tetap ada. Dalam konteks media sosial, mungkin kita tidak merajam seseorang dengan batu, tetapi dengan kata-kata hujatan yang kita ketikkan dengan begitu luwesnya. Ganasnya tindakan ini dipengaruhi juga oleh pola pikir mob mentality yang turut diperparah dengan mudahnya seseorang menyembunyikan identitas atau jati dirinya menggunakan akun alter atau anonim. Tak cuma kritik atas karya, tapi juga menyerang pribadi seseorang. Jika kita mudah terpancing emosinya saat bermedsos, Pemazmur mengundang kita untuk “jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu” (Mazmur 34:14).

Ketika warganet dengan semangat merundung seseorang lalu menghukumnya dengan cancel-culture karena satu peristiwa yang kita tak ketahui konteks utuhnya, kita perlu berhenti sejenak: apakah kita perlu menanggapi peristiwa tersebut dan menuturkannya kepada orang lain? Atau, cukup melihat dan menyimpannya dalam hati? Untuk memutuskan ini kita membutuhkan hikmat ilahi (Amsal 2:6), yang menolong kita untuk bisa mengidentifikasi apa yang terbaik yang dapat dan perlu kita lakukan.

Hikmat ilahi jugalah yang akan memampukan kita untuk menyaring apa yang baik dari dunia maya, khususnya media sosial. Kejadian-kejadian dan budaya buruk yang hadir di sini tidak berarti bahwa dunia maya adalah dunia yang mutlak rusak, tetapi ini adalah dunia yang di dalamnya terbuka luas kesempatan untuk kita dapat memuridkan dan dimuridkan. Meski tidak segaduh konten-konten negatif, ada banyak tokoh dan konten yang digerakkan oleh visi mulia, yang tidak menjadikan klik dan viral sebagai tujuan.

Menutup tulisan ini, aku teringat akan kisah ketika para gembala cepat-cepat berangkat menjumpai Maria, Yusuf, dan bayi Yesus (Lukas 2:8-20). Saat tiba di sana, para gembala pun bercerita tentang kejadian luar biasa yang baru saja mereka alami: para malaikat tampak bersama bala tentara surga dan memuji Allah. Coba kita bayangkan. Jika kita adalah para gembala yang sedang duduk-duduk menjaga domba di padang rumput luas kala malam, mungkin kita akan kaget dan seolah tak percaya didatangi malaikat, lalu kita pun dengan segala macam ekspresi menceritakannya pada orang lain. Menariknya, pada ayat 19 dituliskan bahwa Maria memilih menanggapi cerita para gembala itu dengan tenang, dia “menyimpan semua hal itu di dalam hatinya dan merenungkannya”.

Pada dunia yang sangat berisik dan telah tersapu tsunami informasi, dengan hikmat dan tuntunan Roh Kudus barangkali kita dapat melakukan apa yang Maria telah lakukan, yakni menyimpan apa yang telah kita lihat, dengar, atau rasakan dalam hati kita dan merenungkannya terlebih dulu sebelum kita memutuskan apakah kita perlu meneruskannya pada orang lain, atau menyimpannya di dalam hati.

Ketika di depanku tersaji suatu peristiwa,

Kiranya terbitlah lebih dulu kesabaran untuk melihat, mencerna, memilah, serta memutuskan apakah itu patut kututurkan ulang, atau sekadar kusimpan dalam hati.

Agar dari dalamku, janganlah lahir penghakiman yang mendahului pengertian.

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tuhan Tidak Punya Bintang Review

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Tuhan tidak punya bintang untuk diulas. Berapa pun penilaian kita tentang Tuhan tidak akan mempengaruhi pribadi-Nya. Bagian kita adalah berkenalan dan mengalami Tuhan secara langsung, bukan hanya sekadar kata orang saja. 

Beberapa minggu lalu aku memutuskan ingin membaca sebuah novel. Novel ini telah diadaptasi menjadi sebuah film. Keduanya, baik novel maupun film, cukup booming. Padahal yang aku tahu, novel atau film tersebut bersifat tabu di masyarakat. Akhirnya aku memutuskan membaca ulasan terlebih dahulu sebelum beralih ke novelnya. 

Aku sengaja mencari ulasan yang panjang dan membacanya satu persatu. aku jadi bisa tahu pendapat-pendapat orang mengenai karakter di novel tersebut. Tanpa perlu membuka halaman-halaman di dalamnya, aku bisa tahu beberapa scene penting lewat ulasan yang kubaca. Alurnya tertebak, penulisannya biasa, karakternya tidak romantis padahal banyak orang bilang ini novel romantis. Aku terlalu asyik membaca ulasan-ulasan tersebut hingga lupa membaca novel aslinya. 

Tiba-tiba aku teringat, ini semua sebenarnya merupakan opini-opini orang tentang pengenalan mereka terhadap novel itu. Siapa tahu opiniku berbeda dengan apa yang dialami orang-orang. Mengapa aku sibuk membaca ulasan dan tidak langsung membaca saja novel tersebut? Ada bagian dari diriku yang mengatakan mulai saja baca, tidak perlu sibuk lihat ulasan dan setelah itu baru menentukan mau baca atau tidak. Apa salahnya memang jika aku membaca sendiri? 

Di situs Goodreads, novel tersebut sampai hari ini memiliki rating tidak lebih dari 4. Aku cenderung malas membaca buku yang ratingnya tidak sampai empat. Terlalu lama aku membaca ulasan, terlalu banyak pertimbangan sebelum aku memutuskan membaca novel itu. Namun, akhirnya aku coba baca bab pertama novel itu. Don’t judge a book by its cover, katanya. Selesai bab pertama novel itu aku tidak lagi melanjutkannya. Aku menyetujui beberapa ulasan negatif mengenai novel itu. Entah buku itu memang tidak cocok bagiku, entah aku yang terpengaruh oleh ulasan yang aku baca, atau memang buku itu tidak sebagus promosi media.

Namun, aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Mengapa penting bagiku untuk mengetahui ulasan dari novel itu sebelum membacanya? Ternyata setelah disadari, aku ingin menghindari penderitaan yang dapat ditimbulkan dari membaca novel itu. Aku tidak mau merasa rugi membaca novel yang tidak berbobot. Aku tidak mau bertahan membaca tulisan yang sulit dinikmati kalimat-kalimatnya. Aku tidak mau membuang-buang waktu sebab ada begitu banyak buku lain yang lebih bagus untuk dibaca, pikirku.

Tiba-tiba pikiranku melompat. Apakah begitu juga sikapku kepada Tuhan? Jangan-jangan aku mengenali Tuhan bukan dengan mengalaminya secara langsung. Aku cenderung dengar kata orang-tentang Tuhan, tapi tidak mengalaminya. Aku dengar kata orang Tuhan itu baik, tapi aku tidak benar-benar menyadari dan mengalaminya. Mungkin kebanyakan orang juga mengalami hal yang sama sepertiku. Sering dengar khotbah atau berita-berita tentang Tuhan, dan dari situ mereka mengambil kesimpulan dan penilaian tentang Tuhan. Merasa cukup dengan semua informasi itu dan tidak perlu mengalami Tuhan. Akhirnya, kesimpulan kita tentang Tuhan bersifat tidak autentik dan cenderung tidak peduli.

Aku berdiskusi dengan salah satu teman. Dia mengatakan, dalam sebuah relasi butuh dua pengetahuan: Cognitive Knowledge dan Emotional Knowledge. Relasi yang kokoh dan autentik adalah relasi yang merupakan kolaborasi keduanya. Relasi orang tua dan anak misalnya. Orang tua mengajarkan kepada anak untuk tidak takut meminta apa yang mereka inginkan. Itu adalah informasi yang disimpan sebagai pengetahuan. Jika sang anak meminta, tapi orang tuanya terus mengabaikan, maka anak akan mengalami kebingungan. Sang anak akhirnya kesulitan untuk terikat secara emosi dengan orang tua. Kalau ini berlanjut, pelan-pelan sang anak bisa saja meragukan kebenaran dari pengetahuan yang selama ini dia pahami. Begitu juga relasi kita dengan Tuhan. 

Aku teringat kisah Ayub. Pada akhirnya Ayub mengenal Tuhan secara pribadi. Penderitaan bertubi-tubi menimpa Ayub, menyengsarakannya, dan secara khusus menempa imannya. Iman Ayub tidak lagi menjadi iman kata orang. Iman Ayub menjadi iman yang dapat dialami—utuh menyentuh aspek kemanusiaan Ayub. Pengenalan Ayub akan Tuhan jadi lebih kukuh dan autentik setelah ini. Aku suka menyebut kalau iman Ayub telah mendaging dalam dirinya, bukan lagi sekadar dalam ranah pikiran.    

Aku mengajak agar kita yang percaya pada Kristus tidak hanya puas dengan pengetahuan akan Tuhan—doktrin-doktrin, argumen-argumen apologetika, atau juga cerita tentang sejarah-sejarah gereja, tapi juga rindu mengalami Tuhan secara pribadi. Berjalan dalam kehidupan sehari-hari dengan kesadaran ada sebuah ikatan hubungan yang terjalin dengan Tuhan. Memang pengalaman kita harus bersandarkan pada firman Tuhan.

Kita mungkin pernah mendengar kesaksian mengenai orang yang mengaku bertemu Tuhan Yesus berkali-kali. Terkait klaim seperti ini, Alkitab mengajak kita mengujinya (1Tesalonika 5:21). Sebab, segala pengalaman spiritual tiap orang percaya jika dipersaksikan sudah selayaknya untuk mempermuliakan Tuhan, menguatkan iman orang percaya, dan selaras dengan sabda Tuhan.

Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu.Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. (2Petrus 1:19-21)

Petrus punya banyak pengalaman spiritual dengan Yesus setelah kenaikan Yesus. Namun, bukan itu yang ditekankan Petrus. “Makin diteguhkan oleh firman.” Petrus serius mempelajari firman dan mengulas pengalaman-pengalam spiritualnya dengan kacamata firman Tuhan. Dia tidak menafsir sembarangan nubuat-nubuat.

Pada akhirnya iman itu bukan hanya diketahui, tapi juga dialami. Bukan sembarang dialami, tapi sesuai dengan pengetahuan kita akan firman Tuhan. Keduanya harus bertumbuh sejalan agar iman menjadi kokoh dan asli.

Kalau kita yakin Tuhan itu baik, mengapa hanya berhenti dengan meyakininya saja? Rindukan untuk mengalaminya. Tidak perlu takut merugi mempercayai keyakinan kita pada Tuhan. Jalani saja dulu, baru setelah itu mengulas (red: bersaksi). Tuhan adalah buku tanpa sampul. Dia terbuka untuk dialami dan dikenal. Tidak akan Dia menipu sebagaimana seperti yang bisa kita alami dengan banyak sampul buku di toko buku. Indah di luar, tapi dalamnya tidak cocok dengan kita. Tidak akan merugi jika kita berkenalan dan mengalami Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥