Posts

Bukan Tentang Adu Bakat

Oleh Rio Hosana, Jakarta

Usia 20-an awal adalah masa transisi yang menarik… dan sedikit banyak membuat takut.

Gimana nggak, di masa ini kita lulus kuliah. Teman-teman yang awalnya selalu bersama, mulai berpisah jalan karena pilihan karier yang berbeda. Uang yang dulu bisa dengan mudah kita terima dari orang tua, kini harus kita upayakan sendiri. Dan… segala pelajaran yang kita terima di jenjang studi tak jadi faktor utama yang membuat kita bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan.

Ketika mencari kerja begitu sulit, kita dengan mudah berpikir kalau hidup ini sejatinya adalah kompetisi, tentang adu bakat, siapa yang lebih pintar, lebih kaya, lebih cakap, dan lebih lebih lainnya. Konsep ini tidak muncul ujug-ujug. Kuamat-amati bahwa sudah jadi kecenderungan kita untuk melihat nilai diri seseorang berdasarkan atribut yang melekat padanya. Kita menilai seseorang sukses kalau uangnya banyak, pekerjaannya bagus, hidupnya selalu bahagia. Tapi, apakah dalam perspektif Kristen kesuksesan selalu berkaitan erat dengan atribut?

Pertanyaan ini membawaku masuk dalam perenungan. Tuhan Yesus pernah memberikan perumpamaan tentang talenta dalam Injil Matius 25;14-30. Alkisah terdapat seorang hamba yang terlalu malas untuk mengembangkan talentanya karena merasa si tuan yang memberinya talenta itu tidak adil. Dia hanya mendapatkan 1 talenta, sedangkan kedua rekannya yang lain mendapatkan 2 dan 5 talenta. Dibandingkan bekerja mengupayakan talenta itu supaya berbuah hasil, dia memilih untuk mengubur talenta itu dan menunggu tuannya pulang untuk dikembalikan. Talenta pada masa itu merupakan satuan uang sebesar 6000 dinar. Seorang pekerja mendapatkan upah sedinar sehari. Artinya, untuk mendapatkan 1 talenta, seseorang perlu bekerja selama 6000 hari! Anggaplah kalau sehari bekerja di Indonesia menghasilkan 150 ribu, berarti dia memiliki uang 900 miliar di sakunya! Sungguh jumlah yang sangat banyak untuk memulai sebuah usaha dan mengembangkan talenta tersebut.

Tapi.. kita semua tahu akhir kisahnya. Si hamba ketiga dengan satu talenta ini buta akan nilai dari talenta itu. Yang dilihatnya hanyalah persepsinya sendiri bahwa sang tuan adalah jahat.

Mudah buatku berpikir kalau teman-teman yang mudah mendapatkan kerja dan sukses adalah orang-orang seperti hamba kesatu dan kedua, yang diberikan talenta lebih banyak. Akan tetapi, nyatanya talenta yang diberikan kepada kita bukan hanya tentang bakat. O’Donnel dalam tulisannya di The Gospel Coalition memaparkan pengertian talenta sebagai berkat dari Tuhan yang mewujud melalui berbagai hal, seperti bakat, waktu, kesehatan, keluarga, alam dan sebagainya. Dengan kata lain, bakat hanyalah salah satu bagian dari talenta, sementara keluarga, waktu, teman, komunitas, alam, fisik juga merupakan bagian dari talenta yang Tuhan berikan.

Dosa yang mewujud dalam sikap egois yang besar menyelubungi mata kita untuk melihat hal lain di luar bakat sebagai wujud dari talenta yang Tuhan berikan. Alhasil, seringkali kita merasa orang lain lebih bertalenta daripada kita dengan berkata: “kok idenya keren banget, dia sukses banget, cakep banget ya”, atau alasan lainnya. Padahal, bisa jadi kitalah yang sesungguhnya terikat oleh dosa kemalasan.

Sebagai contoh yang lebih nyata, kita bisa melihat bahwa penulis Harry Potter, J. K. Rowling pernah ditolak oleh kurang-lebih 12 penerbit sebelum buah penanya mendunia. Steve Jobs pernah dikeluarkan dari Apple—perusahaan yang didirikannya dengan jerih lelah, sebelum akhirnya kembali lagi. Leonardo Da Vinci belajar dan berusaha puluhan tahun sebelum akhirnya tercipta sebuah mahakarya The Last Supper dan Mona Lisa. Lebih jauh, bahkan Paulus pun menempuh perjalanan panjang untuk akhirnya bisa menemukan titik pengembangan terbaik dari talentanya, yakni berpikir, menulis, mengajar dan menggembalakan gereja bagi Allah. Orang-orang yang seringkali kita banding-bandingkan di hadapan Tuhan karena lebih hebat, lebih berbakat atau lebih bertalenta menjadi sukses semata-mata bukan karena mereka “menerima lebih banyak”, tetapi bisa jadi karena mereka mau setia di dalam mengembangkan talenta yang sudah Tuhan berikan. Tuhan berkata bahwa talenta diberikan menurut kesanggupan (ability) masing-masing hamba (ayat 15). Oleh karena itu, melalui kerja keras di dalam Kristus yang dibarengi kesetiaan, setiap talenta pasti akan bertumbuh dan memuliakan nama Tuhan.

Kita juga tahu bahwa Tuhan tak cuma adil dalam memberikan talenta menurut kesanggupan anak-anak-Nya, tetapi juga penuh kasih dalam menerimanya kembali. Jika kita melihat kepada perikopnya, sebenarnya “juara pertama” dari perolehan terbanyak adalah hamba yang menerima lima talenta. Namun, nyatanya yang menerima dua talenta pun mendapatkan imbalan yang sama seperti hamba pertama yang mengembangkannya menjadi 10 talenta. Allah melihat iman dan kesetiaan kita di dalam mengerjakan talenta yang telah diberikan-Nya, bukan tentang hasil semata. Sesungguhnya memang Allah tidak memerlukan apa-apa dari kita yang berdosa ini. Oleh karena itu, kita tidak disebut sebagai “great and brilliant servant”, tetapi “good and faithful servant.”

Iman, kesetiaan dan pelayanan kepada Kristuslah yang akan menyingkapkan kita akan kecukupan talenta yang Tuhan berikan bagi kita untuk memuliakan nama-Nya di muka bumi ini.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Semuak-muaknya, Tetap Lakukan Tanggung Jawabmu dengan Maksimal

Oleh Edilia Vinita, Jakarta

Matius 25:14-30.

Perikop apakah ini? Kalau kamu menjawab tentang “talenta”, kamu dapat nilai 100!

Membaca perikop ini membuatku bertanya-tanya akan apa yang ada di benak Tuhan Yesus saat Dia memberikan perumpamaan ini. Pernahkah kamu berpikir mengapa Yesus membuat si penerima 1 talenta memiliki akhir cerita yang buruk? Alangkah lebih mudah dimengerti jika Yesus berkata bahwa si penerima 1 talenta membuahkan 2 talenta, dan si penerima 5 talenta tidak membuahkan talenta apa pun. Kalau contohnya seperti ini kan, secara moralitas, kita dapat simpulkan, bahwa tidak peduli seberapa besar talenta yang kita punya asalkan kita setia mengelolanya sepadan dengan talenta yang kita terima, maka Tuhan akan memperhitungkan hal itu sebagai kebenaran dan perbuatan yang terpuji. Akan tetapi, Tuhan Yesus malah menjadikan si penerima 1 talenta yang sudah cuma punya 1, malas pula! Perumpamaan yang cukup kontroversial karena membuat sebagian orang diyakinkan dengan konsep “yang kaya makin kaya, dan yang miskin semakin miskin.” Apakah betul begitu?

Pertama-tama, talenta adalah satuan uang di zaman itu, dan ada beberapa penafsiran yang mengatakan bahwa satu talenta setara dengan upah bekerja belasan tahun! Jika benar seperti ini, 1 talenta bukanlah uang yang kecil, meskipun dalam kisah ini ada beberapa hamba lainnya yang menerima lebih banyak talenta. Aku yakin banyak dari kita sudah tahu bahwa perumpamaan talenta ini ingin mengingatkan kita sebagaimana seharusnya kita bertanggung jawab dan setia mengelola apa yang sudah Tuhan berikan kepada kita, termasuk yang terkecil sekalipun. Akan tetapi, aku ingin mengajak kita semua untuk merenungkan perikop ini lebih dalam lagi, khususnya mengenai makna dari perbedaan pendistribusian talenta ini serta kisah tentang hamba ketiga, si penerima 1 talenta ini.

Tuhan yang adil & kesanggupan setiap orang yang berbeda-beda

Tuan dan hamba dalam perumpamaan ini digunakan Tuhan Yesus untuk menggambarkan relasi Allah dengan manusia. Selayaknya satu tubuh manusia yang memiliki fungsi dan beban pekerjaan yang berbeda-beda, pendistribusian talenta yang berbeda-beda ini menggambarkan perbedaan peranan umat-Nya untuk memenuhi pekerjaan Tuhan. Mungkin banyak di antara kita mempertanyakan fondasi atau dasar dari perbedaan pendistribusian talenta ini.

Berdasarkan perikop Matius 25:14-30, pendistribusian talenta yang berbeda ini Tuhan berikan “menurut kesanggupannya.” Perbedaan angka pendistribusian dari sang tuan bersifat sangat adil dikarenakan kesanggupan hambanya yang berbeda-beda. Adil tidak berartikan sama rata; perlakuan yang adil adalah saat di mana setiap orang menerima bagiannya sesuai dengan porsi atau kemampuannya. Oleh sebab itu, perbedaan angka bukanlah standar kaya atau miskinnya si hamba, melainkan standar kemampuan setiap hamba yang berbeda-beda.

Matthew Henry dalam penafsirannya menjelaskan bahwa memang betul “kesanggupan” atau kemampuan di awal ini juga merupakan pemberian dari Tuhan, akan tetapi, Tuhan adalah agen yang bebas yang dapat membagikan kesanggupan setiap orang sesuai dengan kehendak-Nya (God is a free agent, dividing to every man severally as he will). Tuhan atau tuan yang digambarkan dalam perumpamaan ini adalah seorang yang perbuatan dan kehendaknya merupakan kebenaran absolut, sehingga tidak ada manusia yang layak menyatakan bahwa keputusan yang dipilih-Nya salah. Meskipun kesanggupan dan talenta setiap orang berbeda-beda, yang pastinya tuntutan pertanggungjawabannya tidak melampaui apa yang diberikan-Nya di awal. Hamba yang menerima 5 talenta lalu menghasilkan 5 talenta lagi dikatakan hamba yang baik dan setia; begitu juga hamba yang menerima 2 talenta lalu menghasilkan 2 talenta lagi juga dikatakan sebagai hamba yang baik dan setia. Boleh dibilang, adanya kebijakan Tuhan yang adil dan bijaksana dengan adanya pemberian dan tuntutan yang setimpal. Aku percaya bahwa Tuhan juga akan mengatakan hamba ketiga hamba yang baik dan setia jika dia menghasilkan 1 talenta lagi. Matthew Henry dalam penafsirannya juga mengangkat poin yang menarik, bahwa se-sedikitnya seorang menerima talenta, dia minimal mendapatkan satu talenta. Nyawa kita ini adalah satu talenta tersebut yang Tuhan sudah percayakan bagi kita semua yang lahir ke dunia ini, agar kita dapat berbagian dalam pekerjaan Tuhan.

Hamba ketiga: sentimen musuh

Mari kita melihat secara detail perkataan si hamba ketiga ini. “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam.” (Matius 25:24). Hamba ketiga dengan percaya diri mengatakan “tahu” tentang tuannya, lalu mengecam tuannya sebagai manusia kejam. Jika diperhatikan secara seksama, kalimat yang dilontarkan hamba ketiga sesungguhnya bertentangan dengan perbuatannya. Kalau dia sudah tahu tuannya adalah manusia yang kejam serta menuai tempat di mana dia tidak menabur, bukankah seharusnya dia bekerja dengan rajin dan teliti lagi supaya dia tidak dihukum? Maka, kalimat yang si hamba lontarkan merupakan sebuah tudingan terhadap sang tuan. Si hamba seolah menyalahkan ketidak-berbuahan talentanya alhasil dari ketidakadilan talenta yang diberikan tuannya. Hal ini tentu bukan yang pertama kalinya terjadi di antara banyaknya tokoh di Alkitab. Jangankan hamba yang ketiga ini, Adam saja saat kejatuhannya menyalahkan Tuhan karena telah menghadirkan Hawa baginya. Kedagingan serta hati berdosa manusia cenderung memiliki opini yang salah dan jahat terhadap kehendak Tuhan. Bagaikan sentimen sang musuh, penuduhan terhadap Tuhan hanya datang dari mereka yang tidak mengasihi dan tidak percaya pada kehendak-Nya.

“Karena itu aku takut,” kata hamba ketiga. Karena kesalahpahaman opininya terhadap sang tuan, dia mengambil respon yang salah, yang akhirnya menghalanginya melakukan kewajibannya. Ketakutan si hamba membuatnya menyembunyikan talentanya. Pikiran yang baik terhadap Tuhan seharusnya membuahkan kasih, dan kasih itu akan mendorong kita untuk bekerja lebih keras dan lebih setia untuk Tuhan; pikiran yang jahat terhadap Tuhan akan membuahkan ketakutan yang membuat kita tidak berbuah, atau yang si tuan katakan sebagai “hamba yang malas.” Seperti saat kita berasumsi bahwa kita tidak mungkin dapat menyenangkan hati Tuhan, atau kita tidak layak sehingga kita tidak ingin terlibat dalam pelayanan. Tudingan yang salah terhadap Tuhan akan menghalau kita berbagian dalam pekerjaan Tuhan.

Walaupun hamba ketiga ini tidak menghabiskan satu talenta yang diterimanya, ternyata tidak melakukan apa pun sebuah pelanggaran di mata sang tuan. Dia pikir, dengan tidak menghabiskan satu talentanya, walaupun tidak mendapatkan pujian, setidaknya dia aman. Ternyata tidak, Tuhan juga akan menuntut pertanggungjawaban dari apa yang telah Dia berikan, termasuk yang terkecil sekalipun. Untuk perbuatan yang tidak menyia-nyiakan namun tidak juga berbuah, hamba ketiga tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.

Stewardship, Responsibility, and Faithfulness (Pengelolaan, Tanggung Jawab, dan Kesetiaan)

Mungkin banyak dari kita beranggapan bahwa si penerima 5 talenta adalah hamba yang beruntung karena mendapatkan modal awal yang lebih banyak. Akan tetapi, pernahkah terlintas di pikiran kita semua akan pertanggungjawaban dan penderitaan yang setimpal dengan apa yang diterimanya? Setiap dari kita akan dituntut sesuai dengan “talenta” yang telah Tuhan berikan di awal. Terus terang, karena aku juga seorang pedagang, aku cukup paham bahwa semakin besar modalnya, maka semakin rumit mengelolanya dan semakin besar risikonya. Sama halnya dengan apa pun yang dititipkan Tuhan dalam diri kita, lebih besar “talenta”nya maka lebih besar juga beban dan tanggung jawabnya.

Perikop ini bukan dilihat dari jumlah talenta yang diberikan, akan tetapi dari perspektif tanggung jawab. Jika dilihat dari sudut pandang level tanggung jawab, hal ini bukanlah perkara “yang miskin jadi semakin miskin,” akan tetapi “sudah diberikan tugas yang paling gampang, tapi paling malas.” Perumpamaan ini bertujuan untuk mengingatkan kita bahwa seringkali manusia cenderung meremehkan dan melalaikan perkara kecil. Padahal, sekecil apapun pemberian Tuhan, itu tetap memiliki peran yang penting dan juga perlu dikelola. Walaupun pengelolaanya mudah seakan tiada dampaknya, tidak berarti kita luput dari pertanggungjawaban Tuhan.

Terbersit sebuah pemikiran, apakah mungkin perikop ini ditujukan buat kita yang selalu berperasaan seperti hamba ketiga ini, baik itu prasangka kita terhadap Tuhan maupun pemberian Tuhan kepada diri kita. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi bahwa satu talenta setara gaji bertahun-tahun, maka sekecil-kecilnya yang Tuhan berikan masih sangat amat cukup.

Mungkin perumpamaan ini Tuhan ingin sampaikan kepada kita yang selalu merasa Tuhan tidak adil dengan keadaan kita yang kurang modal, kurang kepandaiaan, kurang ahli, kurang ini itu. Mindset selalu merasa kurang malah menjadi faktor hambatan terbesar kita. Hamba yang memiliki dua talenta juga memiliki kemungkinan untuk berasumsi buruk dengan apa yang dimilikinya karena berbanding pada hamba yang menerima 5 talenta, akan tetapi, tidak pada kasusnya. Hamba yang menerima dua talenta tetap setia mengerjakan apa yang diberikan dan alhasil memiliki empat talenta. Sesungguhnya, hal ini menunjukan bahwa adanya ruang untuk pertumbuhan jika kita fokus dan setia mengerjakan apa yang kita miliki.

“Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.” (Matius 25:29). Kalimat ini terus terang cukup kontroversial mengingat pemberian talenta di awal itu berasal dari Tuhan, sehingga memberikan celah bagi banyak orang untuk menyalahkan Tuhan. Akan tetapi, mempunyai atau tidak mempunyai di penghujung kisah tidak mengacu pada jumlah talenta. Matthew Henry menjelaskan bahwa konsep mempunyai di sini dapat diartikan sebagai mempunyai karakter dan tanggung jawab seperti hamba yang menerima 2 dan 5 talenta; dan tidak mempunyai dalam perikop ini merujuk pada hamba ketiga yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola.

Kesetiaan adalah karakter utama orang Kristen dalam berbagian dalam pekerjaan Tuhan. Kesetiaan membuat kita fokus pada apa yang kita miliki, serta mendorong kita mengerjakan dari apa yang sudah kita dapatkan. Mungkin pada konteks hari ini, kesetiaan pada perkara kecil itu melibatkan perkara keseharian kita, seperti saat kita bekerja, berinteraksi, beraktivitas, dsb. Dan ada kalanya rutinitas kita sudah bikin kita enek-blenek sampai mau muntah, tapi ya itulah tantangan kita sebagai orang Kristen, semuak-muaknya harus tetap dilakukan semaksimal mungkin mengingat bahwa semua ini telah Tuhan percayakan untuk kita kerjakan.

Semangat terus man-teman!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Podcast KaMu ep. 32: Yang (Mungkin) Kamu Belom Tahu Soal TALENTA | Ngobrol Santai Bareng Pdt. Andreas Pilipus

Perumpamaan Tuhan Yesus tentang talenta yang tercatat di Matius 25:14-30 adalah salah satu perumpamaan yang sering kita dengar sejak dari sekolah Minggu. Biasanya, kita memaknai talenta secara sederhana sebagai suatu bakat atau kemampuan yang Tuhan berikan.

Namun, apakah ada makna lain yang sebenarnya Tuhan Yesus ingin sampaikan kepada semua umat-Nya di sepanjang zaman?

Di Podcast KaMu episode 32 ini, kita akan membahas dengan detail konteks dan makna dari perumpamaan Tuhan Yesus tentang talenta ini: Yang (Mungkin) Kamu Belom Tahu Soal TALENTA | Ngobrol Santai Bareng Pdt. Andreas Pilipus.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Desir Pasir di Padang Tandus, Bolehkah Saya Pinjam Seratus?

Oleh Joshua Effendy, Semarang

Akhir-akhir ini sering beredar pantun-pantun tentang pinjam-meminjam yang berujung tidak dikembalikan. Mungkin beberapa di antara kamu juga pernah merasakan pengalaman yang sama ‘kan?

Pandemi Covid-19 menghantam banyak sisi, salah satunya adalah perekonomian. Sebagian besar dari kita merasakan secara langsung dampak tersebut. Namun, setelah pandemi usai pun, mengembalikan kondisi ekonomi seperti sedia kala jadi upaya yang sulit. Kondisi perang antar negara, persaingan dagang, embargo, dan sebagainya membuat inflasi meroket dan mempersulit upaya pemulihan ekonomi. Alhasil, banyak orang yang mengalami krisis keuangan.

Terus, apa dong jalan keluar dari krisis keuangan? Teori sederhana ya cari uangnya. Tapi, cari uang itu sulit kan? Maka muncullah cara-cara ‘mudah’ yang belakangan ini populer di masyarakat kita: pinjol dan judi slot!

Ironisnya, generasi muda yang lebih melek teknologi pun tidak sedikit yang ikut terlilit di dua masalah ini. Dari kasus ini, kita bisa mengambil perenungan: menjadi anak muda yang percaya kepada Yesus memang tidak melepaskan kita dari keuangan yang seret. Tapi, apakah kita juga diperbolehkan pinjam-meminjam uang?

Firman Tuhan tidak secara tegas melarang meminjam uang, tetapi mencatat bahwa utang harus dikelola dengan bijak. Mazmur 37:21 (TB2), “Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali, tetapi orang benar selalu berbelas kasih dan murah hati.” Ini menggarisbawahi pentingnya menghormati kewajiban untuk mengembalikan utang dan senantiasa bermurah hati kepada orang lain. Orang percaya juga diajarkan untuk menghindari utang yang tidak perlu, Roma 13:8 (TB2) “Janganlah kamu berutang apa-apa kepada siapa pun, kecuali kasih kepada satu sama lain. Sebab, siapa saja yang mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.” Utang karena memenuhi tuntutan gaya hidup, keinginan hati yang berfoya-foya, dan yang tidak membawa kepada pengembangan diri sudah seharusnya dihindari.

Oleh sebab itu, sebagai orang percaya seharusnya kita berhikmat sebelum berutang. Bahkan, jika kita mampu mengelola keuangan kita dengan hikmat dan benar, kita tidak perlu berutang kepada sesama kita! Prinsip manajemen keuangan yang bijak, seperti membuat anggaran, menabung untuk masa depan, dan menghormati kewajiban keuangan, adalah nilai yang terdapat dalam Firman Tuhan. Ayo, kita bedah satu persatu.

Pentingnya membuat anggaran

Lukas 14:28-30 (TB2) “Sebab, siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, apakah uangnya cukup untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Jangan sampai, setelah ia meletakkan dasarnya namun tidak mampu menyelesaikannya, semua orang yang melihatnya, mengejek dia dan berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak mampu menyelesaikannya.”

Ketika banyak orang berduyun-duyun datang, Yesus menyampaikan kepada mereka tentang hal-hal yang perlu dilepaskan untuk mengikut-Nya. Salah satunya adalah keteledoran dalam hal finansial. Yesus menggunakan perumpamaan tentang seseorang yang ingin membangun sebuah menara untuk menggarisbawahi pentingnya perencanaan yang bijak dalam kehidupan. Yesus bukan hanya bicara soal perencanaan rohani dalam mengikut-Nya yang memerlukan perhitungan dan ketekunan, tetapi juga bicara soal perencanaan fisik, yakni soal finansial. Konsekuensi bagi orang-orang yang tidak bijak dalam finansial akan berdampak kepada diri mereka sendiri dan orang lain, yakni  reputasi buruk dan kehidupan yang tidak menjadi berkat.

Membuat anggaran menjadi sangat penting di dalam upaya kita untuk bijak finansial di hadapan Tuhan. Anggaran akan menolong kita untuk merencanakan dengan rinci akan digunakan untuk apa dan bagaimana setiap rupiah yang ada pada kita—apa tujuan keuangan kita? Berapa banyak yang hendak ditabung? Apakah surplus atau defisit?  Membuat anggaran sebenarnya tidak ribet. Kita tidak dituntut untuk membuat anggaran super detail dan kompleks seperti anggaran negara. Secara sederhana, kita bisa memaksa diri kita untuk belajar disiplin. Mulailah untuk tekun mencatat pengeluaran, membatasi pembelian yang tidak perlu, menabung dan menyisihkan uang, serta terus-menerus mengevaluasi anggaran keuangan.

Aku pun tidak terbiasa membuat anggaran keuangan, sehingga setiap kali mau membayar makanan dan minumanku di kasir, aku harus memindahkan uang dari rekening tabungan menuju rekening jajan. Kesulitan menabung terjadi karena kita tidak terbiasa membuat anggaran dan berdisiplin di dalam pengeluaran kita. Godaan promosi, mudahnya pembayaran non-tunai, dan belanja digital membuat kita tidak lagi mengontrol pengeluaran kita. Sehingga setiap bulan kita hanya menantikan gajian atau jatah jajan bulan depan kembali. Ini adalah sebuah siklus tanpa akhir dan membuat kita tidak bisa menyelesaikan ‘menara keuangan’ kita. Parahnya, kita terlilit oleh hutang demi memenuhi keinginan diri.

Menabung untuk masa depan

Amsal 21:20 (TB2) “Harta yang indah dan minyak ada di kediaman orang bijak, tetapi orang bebal memboroskannya.”

Amsal menyatakan bahwa di dalam kediaman orang bijak akan senantiasa tersedia harta yang indah dan minyak—yang pada zaman itu merupakan perlambang kebutuhan utama. Sedangkan orang bebal akan memboroskan apa yang ia miliki.

Riset membuktikan bahwa 69 persen generasi milenial (artinya aku dan kamu di dalamnya), cenderung lebih boros, sulit untuk menabung dan tidak mempedulikan kebutuhan investasi atau menabung untuk hari depan. Dampaknya, generasi milenial akan menghadapi risiko finansial lebih besar di masa depan akibat gaya pengelolaan keuangan yang kurang sehat.

Selain tidak adanya disiplin anggaran, pola pikir YOLO dan FOMO menjadi penyebab utama sulit menabung. Banyak orang muda menghabiskan uangnya hanya untuk memenuhi keinginan diri dengan membeli kopi, boba, es krim, atau hal-hal yang sedang viral saat ini. Tidak jarang juga orang-orang muda yang berpikiran ‘usia tidak ada yang tahu’, sehingga lebih baik tidak pelit terhadap diri sendiri, dan berusaha menikmati selagi masih bisa.

Firman Tuhan banyak menunjukkan pentingnya mengatur keuangan dengan bijak, salah satunya merencanakan bagi masa depan. Perumpamaan semut yang mempersiapkan bagi musim dingin (Amsal 6:6-8), Kisah Yusuf di Mesir dan menabung gandum bagi masa paceklik (Kejadian 41:34-36), dan banyak lainnya. Disiplin dan penguasaan diri untuk memilah pengeluaran yang tidak perlu dan mengikuti anggaran yang telah disiapkan menjadi cara utama agar kita disiplin menabung. Bahkan, beberapa tips menabung yang lebih ketat adalah dengan menginvestasikannya, sehingga kita tidak asal ambil untuk menghamburkan uang tersebut.

Menghormati kewajiban keuangan

Roma 13:7-8 (TB2) “Bayarlah kepada semua orang apa yang wajib kamu bayar: Pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat. Janganlah kamu berutang apa-apa kepada siapa pun, kecuali kasih kepada satu sama lain. Sebab, siapa saja yang mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.”

Firman ini mengajarkan tentang pentingnya menghormati kewajiban finansial kita. Membayar tagihan, pajak, memberikan persembahan dan persepuluhan, menyediakan dana darurat dan sosial merupakan wujud kewajiban finansial kita. Melakukan kewajiban finansial akan mencerminkan hidup kita yang berintegritas, sehingga penting untuk menjalankan kewajiban finansial dengan hati yang tulus dan sukacita. Menghormati kewajiban finansial adalah cara bagi orang percaya untuk mencerminkan nilai-nilai iman mereka dalam pengelolaan keuangan sehari-hari mereka.

Firman ini juga menekankan agar kita tidak memiliki utang yang tidak diperlukan, kecuali utang kasih. Konsep “utang kasih” menekankan pada pentingnya memberi kasih, baik dalam bentuk bantuan finansial ataupun lainnya kepada sesama yang membutuhkan. Ini menggarisbawahi tanggung jawab orang Kristen untuk saling mendukung dan membantu sesama dengan sukacita dan tanpa paksaan. Daripada berutang, kita diajari untuk menolong sesama kita dengan sukacita dan tulus.

Untuk bisa menghormati kewajiban finansial, maka kita perlu penguasaan diri dan ketekunan. Penguasaan diri agar tidak mengikuti keinginan mata dan ketekunan untuk belajar menahan keinginan yang mengikat kita dan menjauhkan dari Tuhan.

Sebagai orang percaya kita dituntut untuk senantiasa berhikmat di dalam mengelola finansial kita, sebab dari situlah tercermin nilai-nilai iman dan integritas diri kita. Situasi ekonomi yang semakin sulit memang tidak bisa kita kendalikan, satu-satunya hal yang dapat kita kendalikan adalah diri kita sendiri. Ingatlah bahwa gaji, uang, pendapatan yang kamu miliki saat ini juga merupakan berkat dari Tuhan yang perlu dikelola dengan baik. Ketika kita tidak berhikmat dalam mengelola berkat yang kita miliki saat ini, maka konsekuensinya adalah terjerat dengan berbagai hal yang sia-sia. Teruslah memohon hikmat dari Roh Kudus yang menolongmu untuk bijak dalam finansial. Jiayou… Hwaiting!

– Soli Deo Gloria!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu