Bukan Tentang Adu Bakat
Oleh Rio Hosana, Jakarta
Usia 20-an awal adalah masa transisi yang menarik… dan sedikit banyak membuat takut.
Gimana nggak, di masa ini kita lulus kuliah. Teman-teman yang awalnya selalu bersama, mulai berpisah jalan karena pilihan karier yang berbeda. Uang yang dulu bisa dengan mudah kita terima dari orang tua, kini harus kita upayakan sendiri. Dan… segala pelajaran yang kita terima di jenjang studi tak jadi faktor utama yang membuat kita bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan.
Ketika mencari kerja begitu sulit, kita dengan mudah berpikir kalau hidup ini sejatinya adalah kompetisi, tentang adu bakat, siapa yang lebih pintar, lebih kaya, lebih cakap, dan lebih lebih lainnya. Konsep ini tidak muncul ujug-ujug. Kuamat-amati bahwa sudah jadi kecenderungan kita untuk melihat nilai diri seseorang berdasarkan atribut yang melekat padanya. Kita menilai seseorang sukses kalau uangnya banyak, pekerjaannya bagus, hidupnya selalu bahagia. Tapi, apakah dalam perspektif Kristen kesuksesan selalu berkaitan erat dengan atribut?
Pertanyaan ini membawaku masuk dalam perenungan. Tuhan Yesus pernah memberikan perumpamaan tentang talenta dalam Injil Matius 25;14-30. Alkisah terdapat seorang hamba yang terlalu malas untuk mengembangkan talentanya karena merasa si tuan yang memberinya talenta itu tidak adil. Dia hanya mendapatkan 1 talenta, sedangkan kedua rekannya yang lain mendapatkan 2 dan 5 talenta. Dibandingkan bekerja mengupayakan talenta itu supaya berbuah hasil, dia memilih untuk mengubur talenta itu dan menunggu tuannya pulang untuk dikembalikan. Talenta pada masa itu merupakan satuan uang sebesar 6000 dinar. Seorang pekerja mendapatkan upah sedinar sehari. Artinya, untuk mendapatkan 1 talenta, seseorang perlu bekerja selama 6000 hari! Anggaplah kalau sehari bekerja di Indonesia menghasilkan 150 ribu, berarti dia memiliki uang 900 miliar di sakunya! Sungguh jumlah yang sangat banyak untuk memulai sebuah usaha dan mengembangkan talenta tersebut.
Tapi.. kita semua tahu akhir kisahnya. Si hamba ketiga dengan satu talenta ini buta akan nilai dari talenta itu. Yang dilihatnya hanyalah persepsinya sendiri bahwa sang tuan adalah jahat.
Mudah buatku berpikir kalau teman-teman yang mudah mendapatkan kerja dan sukses adalah orang-orang seperti hamba kesatu dan kedua, yang diberikan talenta lebih banyak. Akan tetapi, nyatanya talenta yang diberikan kepada kita bukan hanya tentang bakat. O’Donnel dalam tulisannya di The Gospel Coalition memaparkan pengertian talenta sebagai berkat dari Tuhan yang mewujud melalui berbagai hal, seperti bakat, waktu, kesehatan, keluarga, alam dan sebagainya. Dengan kata lain, bakat hanyalah salah satu bagian dari talenta, sementara keluarga, waktu, teman, komunitas, alam, fisik juga merupakan bagian dari talenta yang Tuhan berikan.
Dosa yang mewujud dalam sikap egois yang besar menyelubungi mata kita untuk melihat hal lain di luar bakat sebagai wujud dari talenta yang Tuhan berikan. Alhasil, seringkali kita merasa orang lain lebih bertalenta daripada kita dengan berkata: “kok idenya keren banget, dia sukses banget, cakep banget ya”, atau alasan lainnya. Padahal, bisa jadi kitalah yang sesungguhnya terikat oleh dosa kemalasan.
Sebagai contoh yang lebih nyata, kita bisa melihat bahwa penulis Harry Potter, J. K. Rowling pernah ditolak oleh kurang-lebih 12 penerbit sebelum buah penanya mendunia. Steve Jobs pernah dikeluarkan dari Apple—perusahaan yang didirikannya dengan jerih lelah, sebelum akhirnya kembali lagi. Leonardo Da Vinci belajar dan berusaha puluhan tahun sebelum akhirnya tercipta sebuah mahakarya The Last Supper dan Mona Lisa. Lebih jauh, bahkan Paulus pun menempuh perjalanan panjang untuk akhirnya bisa menemukan titik pengembangan terbaik dari talentanya, yakni berpikir, menulis, mengajar dan menggembalakan gereja bagi Allah. Orang-orang yang seringkali kita banding-bandingkan di hadapan Tuhan karena lebih hebat, lebih berbakat atau lebih bertalenta menjadi sukses semata-mata bukan karena mereka “menerima lebih banyak”, tetapi bisa jadi karena mereka mau setia di dalam mengembangkan talenta yang sudah Tuhan berikan. Tuhan berkata bahwa talenta diberikan menurut kesanggupan (ability) masing-masing hamba (ayat 15). Oleh karena itu, melalui kerja keras di dalam Kristus yang dibarengi kesetiaan, setiap talenta pasti akan bertumbuh dan memuliakan nama Tuhan.
Kita juga tahu bahwa Tuhan tak cuma adil dalam memberikan talenta menurut kesanggupan anak-anak-Nya, tetapi juga penuh kasih dalam menerimanya kembali. Jika kita melihat kepada perikopnya, sebenarnya “juara pertama” dari perolehan terbanyak adalah hamba yang menerima lima talenta. Namun, nyatanya yang menerima dua talenta pun mendapatkan imbalan yang sama seperti hamba pertama yang mengembangkannya menjadi 10 talenta. Allah melihat iman dan kesetiaan kita di dalam mengerjakan talenta yang telah diberikan-Nya, bukan tentang hasil semata. Sesungguhnya memang Allah tidak memerlukan apa-apa dari kita yang berdosa ini. Oleh karena itu, kita tidak disebut sebagai “great and brilliant servant”, tetapi “good and faithful servant.”
Iman, kesetiaan dan pelayanan kepada Kristuslah yang akan menyingkapkan kita akan kecukupan talenta yang Tuhan berikan bagi kita untuk memuliakan nama-Nya di muka bumi ini.
Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥