Posts

Selalu Indah Pada Waktu-Nya

Oleh Claudia Tanubrata, Bandung

Menjelang akhir tahun 2023, aku kembali memasuki ruang rawat inap untuk operasi lateral meniscus tear, lateral collateral ligament injury, chondromallacia, knee joint synovial fliud, dan minor osteoporosis. Mungkin istilah-istilah medis ini terasa asing buatmu, tapi inilah kenyataan yang harus kuhadapi di awal usia 30-an karena kecelakaan dan faktor-faktor lainnya yang juga berkaitan dengan kecelakaan itu.

Aku masuk gedung khusus rawat inap yang diperuntukkan bagi pasien-pasien pra dan pasca bedah. Di gedung itu pula terdapat ruang HND (High Nursing Dependency), yaitu ruangan peralihan dari ICU sebelum memasuki kamar biasa), stroke unit, ruang isolasi, dan ruang lain sejenis.

Dari masuk sampai menjelang operasi, aku menjumpai beragam pasien dari berbagai latar belakang, usia (dari bayi hingga lanjut usia), suku, agama, ras, pendidikan, dan penyakitnya. Sambil mempersiapkan banyak syarat medis yang harus dipenuhi dari dokter penyakit dalam yang mengontrolku selama sekian tahun belakangan, aku melihat satu hal menarik yaitu tentang waktu yang sangat berarti bagi pasien dan para medis, bahkan satu detik pun! Sedikit bisa jadi momen penentu bagi pasien yang mendadak kritis dan harus segera ditangani atau pasien pasca bedah. Terlambat sedikit saja bisa mengakibatkan nyawa melayang.

Keesokan harinya, aku memasuki ruang operasi ortopedi seperti yang telah dijadwalkan. Operasi berlangsung selama empat jam lamanya sebelum akhirnya aku dibawa ke ruang pemulihan lalu dibawa ke ruang HND karena aku mengalami masa kritis. Tekanan darah dan saturasiku menurun drastis.

Di ruang HND itulah aku berada pada suatu kondisi untuk merenung seutuhnya. Ruangan itu berisi lima pasien dengan lima perawat yang mengontrolnya secara intensif. Dalam waktu sebentar saja, empat pasien yang bersama denganku mendadak kritis dan meninggal dalam waktu yang berdekatan. Pasien pertama meninggal karena penyakit jantung. Meskipun pasca operasi keadaannya sudah stabil, namun Sang Khalik berkata lain. Bapak tersebut meninggalkan seorang istri dan dua anaknya yang masih SD. Pasien kedua berusia 19 tahun dengan diagnosa utama lupus SLE, TB paru, dan jantung. Saat dia meninggal, sang ayah menangis cukup kencang sambil berkata, “Dokter! Tolonglah anak saya agar hidup lagi… Saya akan membayar berapapun supaya anak saya kembali hidup!” Namun, kenyataan berkata lain. Pasien ketiga seorang pria yang sudah berumur. Bapak tersebut terkena stroke dan baru turun kamar dari ICU, namun keadaan seketika berubah. Serangan stroke kedua terjadi berselang beberapa hari. Pasien keempat yang meninggal adalah seorang anak usia tiga tahun yang terdiagnosa TB paru dan pneumothorax. Anak tersebut kritis karena kekurangan oksigen dan tidak dapat tertolong.

All Things in His Hand

Larut malam, aku teringat satu ayat begitu kuat dalam pikiranku. Ayat itu berkata:

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. (Pengkhotbah 3:11 TB).

Aku sendiri sebagai pasien yang satu ruangan tidak dapat memahami secara persis apa yang Tuhan lakukan apalagi bagi pasien yang berpulang maupun keluarga yang ditinggalkan. Dari sudut pandang manusia, waktu Tuhan sering kali tidak tampak sempurna, dan sulit untuk memahami bagaimana peristiwa-peristiwa buruk terjadi bisa dibuat “indah”.

Raja Salomo dalam kitab Pengkhotbah berkata, “Dia [Tuhan] menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya.” (Pengkhotbah 3:11). Apa artinya ini, khususnya sehubungan dengan waktu Tuhan yang tepat?

1. “Dia telah membuat segalanya…”

Yohanes 1:3 mengatakan, “Melalui dia segala sesuatu dijadikan; tanpa dia tidak ada sesuatu pun yang telah jadi.” Allah telah menciptakan segala sesuatu dan ada di dalam segala sesuatu (Kolose 3:11). Dia berada di balik apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi.

2. “…indah pada waktunya.”

Terjemahan yang lebih akurat dari kata yang diterjemahkan di sini sebagai “indah” adalah “pantas.” Segala sesuatu yang terjadi, terjadi pada saat yang seharusnya terjadi sesuai rencana Tuhan. Hal ini tidak serta merta membantu untuk memahami alasannya, namun hal ini memungkinkan kita untuk memercayai Dia dan menemukan tujuan utama kita dalam hal tersebut.

3. “Dia juga telah memberikan keabadian dalam hati manusia.”

Manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, dibangun dengan perasaan batin akan kekekalan. Kita tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang final, bahwa segala sesuatu yang terjadi penting dalam arti kosmis. Hewan tidak berpikir seperti ini.

4. “Namun tak seorang pun dapat memahami apa yang telah Tuhan lakukan dari awal hingga akhir.”

Mengetahui bahwa Tuhan memegang kendali, bahwa segala sesuatu terjadi pada waktunya, dan bahwa kita diciptakan untuk kekekalan, tindakan kita memiliki makna kekal, tidak mengubah fakta bahwa kita tidak selalu memahami apa yang sebenarnya Tuhan lakukan dan mengapa. Kadang-kadang Dia menyatakan diri-Nya, namun seringkali Dia puas meninggalkan kita dengan fakta ini: Dia melakukan segala sesuatu demi kemuliaan-Nya dan demi kebaikan kita (Yesaya 48:9; Roma 8:28).

“Waktu Tuhan yang tepat” adalah salah satu aspek kedaulatan ilahi. Dalam waktu Tuhan yang tepat, Dia bertindak pada saat yang optimal untuk mencapai apa yang ingin Dia capai dalam kerajaan-Nya. Dalam kemahatahuan-Nya, Tuhan melihat segala sesuatu yang terjadi di dunia pada saat tertentu—yang mencakup triliunan detail yang hanya dapat dipahami sepenuhnya oleh Roh Tuhan.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika Mimpiku Tak Sejalan dengan Realita, Tuhan Mengubah Cara Pandangku Tentang Kehidupan

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja.

Aku menangis sesenggukan, lalu kuanggukkan kepalaku seraya menyeka air mata. “Wajar bila kau menangis, tapi jangan putus harapan.”

Sepenggal pesan yang kuat bergema dari sanubariku, sungguhlah menyegarkan jiwaku. Apa  yang kualami mungkin tidak sepahit penderitaan yang juga dirasakan orang lain di luar sana, tetapi bila aku menoleh ke belakang, aku melihat kembali dengan jelas betapa kegetiran hidup teramat menghimpitku.

Beberapa kali aku berjuang dengan segenap hatiku untuk mendapatkan pekerjaan baru, namun ternyata tak pernah kutemui namaku tertulis dalam pengumuman kelulusan. Di sisi lain, aku pun berjuang dengan penuh semangat setiap hari untuk melawan rasa sakit dalam tubuh yang kerap kali mengganggu aktivitasku.

Ketika tidak bekerja, berarti aku tidak punya income, masa depan yang kumimpikan dari dulu akan sulit terwujud. Banyak hal yang kuharapkan mungkin hanya akan menjadi kenangan belaka. Dan, bila aku terus-terusan sakit, itu artinya akan lebih sulit bagiku mendapatkan pekerjaan. Aku menjadi beban bagi keluarga. Aku sama sekali tidak punya peran untuk menopang ekonomi keluarga. Bahkan, dengan kondisi yang pelik, pikiran yang jenuh, aku pun benar-benar merasakan mentalku goyah saat sejumlah orang bertanya padaku mengapa aku tidak bekerja. Aku pun jadi minder dan tidak mau bercerita apalagi berjumpa dengan orang banyak selama sekian waktu.

Demikianlah hari-hari yang kujalani terasa hampa dan tak berarti. Aku hidup memikul beban yang terlalu berat. Hidupku terhempas jauh dari sederet mimpi dan cita-cita yang terbenam dalam jiwa sedari masa kecilku. Aku merenungi perjalanan hidupku dan di saat yang sama aku belajar menghayati bagaimana penulis kitab Pengkhotbah memandang kehidupan umat manusia di atas muka bumi.

Mencari makna dalam kesia-siaan

Kondisi hidup yang kualami mengingatkanku akan sang Pengkhotbah (Pengkhotbah 1:2-26) yang mengamati kehidupan di bawah matahari segala sesuatunya adalah sia-sia. Setiap jerih payah manusia sia-sia, hidup ibarat menjaring angin. Ya, dalam kehidupan ini baik yang mujur maupun yang malang, baik yang berhikmat maupun yang bodoh atau fasik, pada akhirnya setiap manusia akan menuju pada kematian. Bukankah hal ini adalah realita yang takkan terbantahkan?

Karena tidak ada kenang-kenangan yang kekal baik dari orang yang berhikmat, maupun dari orang yang bodoh, sebab pada hari-hari yang akan datang kesemuanya sudah lama dilupakan. Dan, ah, orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh! (Pengkhotbah 2:16).

Lalu, apa sebenarnya yang Tuhan kehendaki dari realita yang terbilang jauh dari yang kudoakan dan kuharapkan sejauh perjalanan hidup yang telah kutempuh? Adakah sesuatu yang jauh lebih penting dari kesuksesan dan kebahagiaan dari sebuah kehidupan di dunia ini?

Kitab Pengkhotbah adalah salah satu kitab hikmat dalam Perjanjian lama. Isinya tidak hanya memuat tentang kesia-siaan dalam hidup, keterbatasan manusia, tetapi juga tentang karya/pekerjaan Allah dan kedaulatan-Nya. Walau Sang Pengkhotbah menampilkan sikap pesimisnya, ia tetap memandang kehidupan secara realistis. Ia menemukan betapa pentingnya hikmat kala menjumpai realita kehidupan (Pengkhotbah 7:1-8:9).

Setelah aku membaca keseluruhan kitab Pengkhotbah, aku tertegun. Ikatan-ikatan beban yang membelitku, sedikit demi sedikit terasa longgar.

Tuhan memberiku cara baru memandang kehidupan. Ia memperbaharui pikiranku dengan memberiku pengertian bahwa segala pencapaian di dunia ini, entah kegagalan atau kesuksesan, semuanya itu hanyalah sementara, sama seperti hidup manusia yang terbatas. Tidak ada yang lebih penting dari semuanya itu, selain kita memiliki makna dan tujuan dari hidup dan kehidupan kita. Pengkhotbah 7 :1-22, mengingatkanku bahwa dengan memiliki hikmat yang benar akan menolongku menjalani sisa hidup dengan makna dan tujuan yang benar, yakni memuliakan Dia.

Aku jadi sadar dan bertanya pada diriku. Apakah selama ini aku telah melupakan poin penting dari hidup yang  telah kujalani?”

Sejujurnya, aku mendapati sikap ambisius tumbuh dalam diriku. Aku tidak tahu sejak kapan ambisi itu mengambil peran dalam hidupku belakangan. Tetapi satu yang pasti bahwa aku merasa tidak puas dengan apa yang telah kumiliki. Makna dan tujuan hidupku jadi samar-samar dan kabur, sebab aku terus mengejar hal-hal yang  sebenarnya di luar kemampuanku karena  keterbatasan fisik yang kumiliki. Ternyata sisi kemanusiaanku lebih menguasaiku ketimbang hal-hal yang  kupahami soal iman dan pengharapanku pada Kristus.

Kendati belum kujumpai pekerjaan baru—sebuah hal yang masih misteri—aku yakin Tuhan punya rencana yang terbaik bagiku dan berdaulat penuh atas hidupku. Bahkan, untuk semua hal yang  belum kuketahui  termasuk pasangan hidup, sesungguhnya Tuhan sudah mengetahuinya dan Dia punya waktu terbaik untuk menyingkapkannya bagiku.

Dan, satu hal yang aku yakini Tuhan kehendaki bagiku dalam realita kehidupanku adalah Dia menginginkan agar aku menikmati apa yang menjadi bagianku; menerima dengan sukacita setiap kenyataan pun jalan hidupku, menikmati semua musim hidupku dengan ucapan syukur padaNya, karena setiap hari adalah pemberian-Nya.

Dengan segala kegetiran hidup yang kualami, aku beruntung memiliki Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku. Ia tidak hanya memberiku kekuatan baru untuk menjalani hidupku, tetapi juga memberiku kedamaian yang penuh di hati.

Kurenungkan sekali lagi, tentang makna dan tujuan hidupku. Aku ingin dan tetap memuliakan Dia dalam suka dan duka di sepanjang sisa hidupku. Aku bersedia melibatkan Tuhan dalam  segala perjuanganku, dalam setiap jerih payahku, supaya ketika aku berhasil atau gagal, aku tidak memegahkan diri juga tidak meratapi nasibku. Dengan jalan demikian, aku dapat mengucap syukur dalam segala hal, terlebih aku tidak diperbudak oleh kesuksesan oleh rasa ambisius dalam diriku.

Hidup di dunia sungguhlah terbatas. Namun, sebagai pribadi yang telah diselamatkan oleh pengorbanan Kristus di atas kayu salib aku harus berdampak bagi  orang lain dan bijak menjalani hari demi hari. Karya-Nya yang agung bagiku, telah melandasi tujuan hidupku, hingga aku tiba di pelabuhan akhir, yaitu hidup kekal bersama-Nya selamanya kelak. Oleh karena hal inilah aku dapat berkata seperti rasul Paulus, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.” (Filipi 1 :21-22a).

Pada akhirnya, aku menemukan bahwa yang terpenting dari hidup ini bukanlah tentang kekayaan, kesuksesan, pekerjaan yang bagus, tetapi soal bagaimana seharusnya aku menjalani hidupku di bawah matahari sebagai  seorang murid Kristus.

Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya.” (Amsal 16:9).

Terpujilah Kristus!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Di Bawah vs di Atas Matahari, Pergumulan Manusia Mencari Makna Hidup

Oleh Jessie

Semakin umurku bertambah, aku punya kebebasan untuk mengerjakan apa yang aku sukai. Jika dibandingkan masa-masa sekolah dulu, kupikir menjadi dewasa akan memudahkanku mencari makna hidup. Tapi, ternyata tidak juga. Menjadi dewasa tidak melepaskanku dari rutinitas yang lama-lama terasa membosankan.

Kebosanan cenderung membuat kita melihat hidup sebagai tak ada maknanya. Orang tuaku sering mengatakan, “beginilah hidup, banyak hal yang kita kerjakan berakhir sia-sia pada akhirnya.” Jadi, ngapain ya kita sebenarnya hidup kalau Raja Salomo yang paling bijaksana di muka bumi pun mengatakan, “segala sesuatu adalah sia-sia” (Pengkhotbah 1:2b)?

Topik mengenai tujuan dan kesia-siaan hidup merupakan topik yang sangat-sangat aku telusuri dalam keseharianku. Bagaimana tidak, aku diresahkan dengan pengertian bahwa segala sesuatu yang aku lakukan tidak akan aku bawa saat mati nanti. Dahulu, piagam dan sertifikat sekolah sangatlah berharga, tapi semakin berumur, secarik kertas bergambarkan wajah Ir. Soekarno dan Moh. Hatta alias uang seratus ribu jauh lebih bernilai. Jika ditanyakan kepada orang tuaku, maka menurut mereka kesehatan adalah nomor satu. Sudah dipastikan betul apa yang dikatakan Raja Salomo, bahwa segala sesuatunya merupakan sebuah fase, dan fase tersebut memiliki masanya, sehingga semua yang kita kejar akan menjadi sebuah kesia-siaan saat fase tersebut berakhir. Kitab Pengkhotbah tidak bohong saat penulisnya menjelaskan betapa fananya hidup ini. Tentu sebagai pembaca, aku cukup merenungkan tujuan dari si penulis berkoar-koar akan kesia-siaan hidup, mengetahui bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan hidup yang sangat jelas. Di sinilah keindahan dari Kitab Pengkhotbah. Terdengarnya bertentangan, namun sebenarnya seluruh pernyataannya sangatlah masuk akal dan berkesinambungan.

“Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.” (Pengkhotbah 1:2). Lalu di ayat berikutnya, dituliskan, “Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (Pengkhotbah 1:3).

Entah kenapa, meskipun sudah berkali-kali membaca kitab ini, aku melewatkan arti penting dari kata-kata “di bawah matahari”  (1:3b); karena sesungguhnya, “di bawah matahari” ini merupakan sebuah cerita dari hidup yang terpisah dari Tuhan (life apart from God). Waktu seorang ilmuwan Alkitab bernama Mike Mazzalongo menjelaskan arti sesungguhnya dari “di bawah matahari,” barulah aku paham adanya kesinambungan di antara kesia-siaan hidup yang terpisah dari Tuhan dengan tujuan hidupku yang sesungguhnya. Dari pasal 1 sampai pasal 6, Salomo menggunakan frasa “di bawah matahari” untuk menjelaskan fase-fase kehidupan duniawi yang lazim, serta kesia-siaannya jika manusia menjalaninya tanpa melibatkan Tuhan. Bahkan, raja yang sudah memiliki begitu banyak harta, istri, status, serta ilmu, akhirnya pun harus menyerah dan mengakui kekalahannya akan memaknai hidup di luar Tuhan.

Jika kita mencari makna hidup dari apa yang ada “di bawah matahari” merupakan sebuah kesia-siaan, maka harapan dan jawaban kita mungkin ada di atas matahari atau hal-hal yang sifatnya spiritual. C.S. Lewis dalam bukunya yang berjudul Surprised by Joy, menjelaskan bahwa sudah menjadi hukum alam bahwa segala sesuatu yang manusia butuhkan dan inginkan dapat dipuaskan dan dipenuhi, seperti contohnya adanya rasa lapar dapat dipuaskan oleh makanan yang kita makan. Maka, logisnya, jika kita memiliki hasrat untuk memaknai hidup kita, maka tentu hal itu pun bisa dipenuhi. Hanya saja jika hasrat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh apa yang ada “di bawah matahari” atau hal-hal yang duniawi, maka penjelasan yang paling mungkin adalah hasrat tersebut hanya dapat dipenuhi oleh apa yang ada di luar matahari ini. Atau bahkan, adanya keinginan besar untuk memaknai hidup ini hanyalah sebuah bisikan kepada manusia untuk menyiratkan hal yang sesungguhnya, yaitu Tuhan itu sendiri.

Jika perkara “di bawah matahari” ini bukanlah jawaban dari makna hidup yang sesungguhnya, maka pencarian makna yang seperti apa yang ada di “atas” matahari? Jawabannya ada pada relasi kita dengan Tuhan. Apa kurang logis jika makna kehidupan manusia hanya dapat ditemukan saat mereka datang kepada penciptanya (Pengkhotbah 2:25)?

Makna hidup kita yang sesungguhnya bergantung penuh pada relasi dan ketaatan kita kepada Tuhan. Relasi yang benar dengan Tuhan akan membawa kita kepada kepuasan yang sejati, dan dengan kepuasan yang datangnya dari Tuhan itu sendiri, barulah kita dapat memaknai hidup ini. Jadi jangan terbalik sumbernya ya! Bukan kepuasan yang ada “di bawah matahari” ini yang akan memberikan kita sebuah makna kehidupan, tetapi kepuasan sejati yang dari Kristuslah yang memampukan kita untuk dapat menikmati segala fase kehidupan yang sia-sia ini.

Tapi… Stop stop stop! Jangan lalu kita menjadikan kitab Pengkhotbah ini sebagai alasan kita tidak berbuat lebih, karena tidak ada salahnya melakukan semua aktivitas positif yang ada “di bawah matahari” ini; hanya saja, perkara yang “di bawah matahari” ini bukanlah sumber dari arti hidup seorang manusia, melainkan merupakan media respons hati kita untuk memuji keagungan Sang Pencipta.

Relasi dengan Tuhan ini memang ide yang cukup mengawang, tapi kalau aku boleh bantu jelaskan, relasi ini dapat diartikan juga sebagai pengalaman pribadi kita bersama Tuhan, di kala senang, susah, ataupun bosan menjalankan rutinitas kehidupan kita, kita selalu bergumul, berdoa, dan melibatkan Tuhan terus-menerus sampai instinct kita menyatu dengan apa yang Tuhan mau. Di saat kita berjuang melaksanakan apa yang Tuhan sudah titipkan dalam hati kita, dan berusaha taat kepada perintah-Nya, di situlah pengalaman pribadi kita bersama Kristus terbentuk. Pengalaman pribadi bersama Kristus inilah yang akan memberikan makna dan kepuasan dalam segala aspek kehidupan kita. Oleh sebab itu, esensi dari kesejahteraan seseorang (one’s well being) bergantung penuh dari relasinya bersama dengan Tuhan. Kalau hari ini kita dapat bersyukur, berbahagia, dan menikmati segala aspek kehidupan ini, itu merupakan anugerah semata, karena tidak semua orang dapat merasakannya. Memang ada orang non-Kristen diluar sana yang juga bisa menikmati hidupnya, tapi kepuasan itu tidak akan senikmat dan sepuas yang dimiliki orang-orang percaya yang mengenal baik penciptanya (Pengkhotbah 2:26).

Sebenarnya, untuk kesekian kalinya, banyak tema dari Alkitab selalu mengajarkan kita bahwa hidup ini pada hakekatnya merupakan perjalanan relasi kita bersama Tuhan, dan salah satu kitab yang bertemakan hal tersebut ya kitab Pengkhotbah ini. Karena kalau dipikir-pikir, benar juga; Tuhan itu Pencipta, lho! Semua terjadi atas kehendak-Nya. Kalau Dia mau memberi, maka sekejap saja Dia bisa berikan; kalau Dia tidak berkehendak, maka tidak ada satu doa manusia pun yang akan menggubris hati-Nya. Akan menjadi sebuah kesia-siaan jika kita menjalankan siklus kehidupan tanpa mengetahui apa mau-Nya, karena setiap pertarungan hidup adalah pertarungan Tuhan, kewajiban kita ya berjalan bersama-Nya dibawah tuntunan kehendak-Nya. 🙂

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Di Bawah Matahari

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

”Fani, buat acara penutupan ibadah Youth Sabtu depan kamu ‘kan MC nya?”

Aku mengangguk, fokus dengan layar di hadapanku.

“Konsep acara buat jam doa minggu ini udah selesai?”

“Ini hampir selesai,” jawabku singkat sambil mengangguk samar.

“Oke. Aku kabarin yang lain dulu ya!” katanya berjalan ke luar ruangan, lalu kembali beberapa waktu kemudian.

Beberapa menit suasana hening, suara orang-orang di ruang utama juga hampir tak terdengar. Hanya suara ketikan keyboard laptop yang terdengar beradu.

“Anna,” panggilku pelan.

Yang dipanggil hanya menyahut samar.

“Ann!”

Barulah Anna menoleh. “Why?”

Suara ketikan keyboard tidak terdengar lagi, berganti dengan suara deru nafasku yang tidak beraturan. Aku menghela napas panjang, dan menghembuskannya perlahan.

“Aku lagi lost motivation nih, Ann,” kataku akhirnya.

Anna mengerutkan kening, tidak langsung menanggapi, tampak berpikir sejenak lalu menjawab. “Ehm maksudnya? Gimana lost motivation versimu?”

Aku menghembuskan napas lagi.  “I don’t know, it just happened.

“Maksudmu, lagi butuh disemangatin nih? Lagi butuh bepergian buat healing?”

Aku mengangkat bahu, “Kayaknya disemangatin juga nggak pengaruh gitu lho Ann. Dan, aku nggak tahu apa itu akan membantu.”

“Atau lagi di fase nggak peduli apa-apa dan malas melakukan apa-apa?”

“Hampir iya” jawabku pelan. Aku menghembuskan napas lagi lalu melanjutkan, “Entah mengapa aku merasa kosong dalam melakukan apa pun, Na. Aku malas setiap bangun pagi dan memikirkan untuk berangat kerja. Aku ingin berlama-lama tidur dan membiarkan waktu berlalu. Tapi menyadari waktu berlalu dengan cepat, aku juga merasa cemas. Aku nggak tahu untuk apa melakukan kegiatanku setiap hari. Aku kayak robot yang hanya melakukannya sebagai aktivitas, menyelesaikan satu hari untuk kemudian mengulang aktivitas yang sama di hari berikutnya. Aku frustrasi. Aku kayak kehilangan alasan mengapa aku melakukan semua ini. Entah kehilangan atau aku yang tidak berhasil menemukannya.”

Anna terdiam sejenak. Aku tahu dia sedikit banyak mengerti apa yang sedang aku rasakan. Walau tidak mengetahui bagaimana persisnya, tapi kurasa dia tahu kalau perasaan ini menyesakkan dan memang sulit dideskripsikan.

Anna bergerak mendekat, duduk di sebelahku.

“Apa baru-baru ini hal-hal tidak terjadi seperti yang kamu harapkan?” tanyanya lembut. Aku menoleh, namun tidak mengangguk atau menggeleng. Kemudian aku kembali menatap  layar laptopku.

“Mungkin.” 

“Apa itu yang membuatmu merasa tidak bersemangat lagi? Karena merasa kehilangan alasan untuk melakukan sesuatu? Yang kamu artikan sebagai kehilangan motivasi?”

Aku tidak menanggapi apa-apa, tapi sejujurnya mulai menyadari apa yang dikatakan Anna. 

“Kadang aku bertanya, aku hidup buat apa sih? Apa sih yang aku kejar dengan semua aktivitas ini?” kataku akhirnya. “Wajar nggak sih kita berpikir seperti itu?”

Anna tidak menjawab apa-apa. Seolah dia sengaja membiarkan aku berkutat dengan pikiranku. 

“Kamu nggak ada tanggapan Ann?” tanyaku akhirnya setelah beberapa saat dia hanya terdiam.

“Ehmm… Aku rasa sebenarnya kamu tahu kok apa jawaban dari pertanyaan itu, Fan” jawab Anna penuh arti.

Aku menghembuskan napas. Berpikir beberapa saat.

“Iya kan, kamu sebenarnya tahu untuk apa kita melakukan semua ini. Untuk siapa kita sebenarnya hidup,” sambungnya lagi.

Aku masih tidak berkata apa-apa.

“Atau, kamu hanya sedang butuh diingatkan lagi?” tanyanya. Lalu tanpa menunggu responsku, ia melanjutkan.

“Fan, that’s life. Sebuah perjalanan panjang. Kita memang bisa aja berada di titik seperti itu, hanya berjalan, merasa asing, dan seolah sedang tidak tahu tujuan dalam perjalanan kita ini. Seperti sedang tidak tahu untuk apa melakukannya. Tapi Fan, bukannya fase ini bisa aja jadi titik balik untuk kita menyadari lagi kita sedang berada di mana? Kita tidak sedang berada di rumah, Fan. Tentu saja kita sering merasa tidak menemukan apa-apa di sini, karena dunia ini memang bukan rumah kita. Jadi, kalau kita tidak menemukan alasan apa pun di dunia ini untuk melakukan segala sesuatunya, apa Yesus tidak cukup menjadi motivasi kita untuk melakukannya?”

Aku membisu, pandanganku masih tertuju pada layar laptop di depanku. Tapi pikiranku benar-benar sedang bekerja keras mengolah kata-kata Anna yang disampaikan dengan lembut namun tepat sasaran. Beberapa waktu ini memang suatu hal telah membuatku khawatir dan mempengaruhi semangatku dalam bekerja atau dalam kegiatan pelayananku. Aku melupakan dan mengesampingkan Pribadi yang harusnya menjadi satu-satunya motivasiku untuk mengerjakan semua aktivitas ini. Sepertinya aku benar-benar telah dikelabui oleh perasaan khawatirku sendiri.

Aku menoleh dan menatap mata temanku ini. Aku tahu dia berusaha untuk mengerti dan membuatku mengetahui kalau dia mengerti. Aku tersenyum padanya. Dia juga. Lalu entah mengapa kami tertawa bersamaan.

“Jadi, apa kita masih perlu pergi healing dulu weekend ini?” tanyanya.

“Ah, healing juga bisa dimana-mana, sekarang aja kita sedang healing kok.”

Kami kembali tertawa lagi.

Kalau kita melihat hidup hanya sebagai hidup di bawah matahari, kita akan terperangkap dalam sebuah dunia yang tak berjendela. Solusinya ada di atas matahari. Yesus, Sang Pengharapan Dunia. (Pengkhotbah 2:11) – Sen Sendjaya, Menghidupi Injil Menginjili Hidup.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥