Posts

Muak dan Lelah, Pergumulanku untuk Merasa Cukup

Oleh Jessie*

Apakah aku merasa cukup dengan hidupku?

Hampir setiap malam setelah lelah bekerja, aku suka menelusuri media sosial sambil berangan-angan akan hidup yang sempurna—hidup yang sangat berkelimpahan, serta semua cita-cita yang tercapai. Tak ada yang salah dong dengan berimajinasi seperti itu. Namun, tanpa disadari, itu jadi salah satu faktor yang membuatku sulit untuk merasa puas dan cukup.

Konsep cukup di zaman ini agaknya terasa lebih asing karena pesatnya kemajuan ekonomi dan teknologi. Hadirnya internet semakin membukakan mata kita akan dunia ini. Ketika apa yang kita lihat bertambah banyak, keinginan kita pun cenderung bertambah. Inilah yang kualami hingga lama-lama aku merasa muak dan lelah—selalu ingin lebih tapi tak pernah mencapai rasa cukup.

Mungkin sebagian dari kalian bisa merasakan juga apa yang pernah aku rasakan. Namun, apakah pergumulan kita dengan keinginan harus selalu seperti ini?

Firman Tuhan menyediakan jawabannya. Jika sampai hari ini kita terus berusaha memuaskan keinginan kita untuk mencapai rasa cukup itu, kita sudah salah besar! Rasa ingin itu tiada hentinya. Malahan, semakin dipuaskan semakin menjadi-jadi. Saat di mana rasa ingin itu tidak terpuaskan, kita mulai muak dengan hidup ini; sedangkan kondisi eksternal kita tidak bisa selalu dalam kendali kita. Hidup yang diperbudak oleh keinginan terus menerus sudah pasti menyebabkan hati tidak tenang, dan itu bukanlah nilai hidup orang Kristen. Meski begitu, kabar baiknya Tuhan telah menitipkan Paulus sebagai guru dan sumber yang tepat agar kita dapat menyelesaikan sumber permasalah hati manusia yang tidak pernah merasa cukup.

Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. (Filipi 4:11).

Surat ini ditulis kepada jemaat Filipi sebagai respons dari hadiah yang diterima Paulus oleh jemaat Filipi. Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan.Perkataan ini tidak diduga-duga, karena konteks surat ini dituliskan saat Paulus sedang berada di penjara Roma. Sebagai tawanan, kondisi Paulus sangat berkekurangan, apalagi penjara Roma di zaman itu dikenal cukup sadis. Akan tetapi, Paulus tetap menekankan bahwa dia tidak bergantung pada “hadiah” atau kebutuhan fisik yang diterimanya sebagai hal yang menentukan arti cukup baginya.

Paulus bukanlah orang yang selama hidupnya mengalami kesusahan sehingga dia mengatakan cukup untuk memvalidasi hidupnya yang tidak pernah bahagia. Dia mengatakan bahwa dia sudah mengalami apa yang namanya hidup senang dan susah (Filipi 4:12), dan untuk seluruh manis asam garam kehidupannya, rasa cukup itu ada senantiasa dalam segala keadaan.

“Sebab aku telah belajar…”

Paulus menyatakan bahwa ilmu “rasa cukup” itu harus dipelajari dan sangat mungkin untuk dikuasai. Kata “telah” menyatakan keberhasilannya dalam menguasai keinginan dalam dirinya. Sejak matanya dibutakan oleh Tuhan dalam perjalanan ke Damsyik, hidup Paulus berubah total–dari seorang penganiaya orang Kristen menjadi pemberita Injil, yang mengantarnya pada rupa-rupa penderitaan.

Derita demi derita menjadi proses pembentukan yang membuahkan hasil. Paulus pun tiba pada titik di mana dia tidak lagi menggantungkan rasa cukup atau pun kepuasannya pada hal-hal duniawi. Sesungguhnya, inilah yang Tuhan inginkan bagi seluruh pengikutnya: hari demi hari belajar untuk melepaskan ketergantungan kita pada keinginan-keinginan yang sifatnya fana dalam segala keadaan. Intinya, Paulus mengatakan bahwa rasa cukup dalam diri itu tidak ditentukan dari latar belakang, lingkungan, atau harta benda yang kita miliki; melainkan ditentukan oleh situasi internal kita. “Contentment is a state of heart” (Theodore Epp). Oleh sebab itu, semuanya kembali lagi kepada diri kita, pertanyaannya: apakah kita memiliki jiwa yang rendah hati yang dapat diajar oleh Roh Kudus untuk selalu merasa cukup, tanpa harus terbawa oleh emosi sesaat dari lingkungan eksternal kita?

Memang rasa cukup itu tidak datang secara alami, melainkan perlu adanya pelatihan. Untuk menikmati proses pelatihan tersebut dan tanpa harus mengurangi keseriusannya, aku ingin mengajak kita semua bergabung dalam klub “Mastering the Art of Contentment” (menguasai seni mencukupkan diri).

Frasa mencukupkan diri dalam terjemahan bahasa Indonesia sudah cukup tepat dan dapat diartikan secara harfiah. Paulus adalah seorang yang mandiri—independen dari kondisi eksternal dikarenakan kondisi internalnya yang sudah cukup. Terjemahan Yunaninya adalah autarkes, yang artinya seseorang tidak memerlukan lingkungannya atau pemenuhan secara eksternal untuk memuaskan hidupnya karena apa yang dibutuhkannya sudah ada dan cukup dalam dirinya.

Jadi, apa yang ada dalam diri Paulus sampai-sampai dia dapat mencukupkan diri? Jawabannya adalah Kristus.

Bagi kita semua yang selalu merasa gelisah dan rindu untuk menemukan kepuasan yang sejati, Kristus adalah satu-satunya sosok yang membuat kita merasa cukup. Yang Paulus maksudkan cukup di sini bukan berarti dia puas akan dirinya sendiri (self-sufficient). Melainkan, dia puas akan Kristus yang sudah memenuhi dirinya (God-sufficient). Pusat kepuasannya tidak bersandar pada dirinya sendiri maupun lingkungan di sekitarnya, melainkan pada Kristus yang senantiasa mengasihi dan memberinya kekuatan (Filipi 4:13).

Mungkin Paulus adalah orang yang mengalami paling banyak penganiayaan dan kesusahan demi Kristus, tapi dia jugalah orang yang berkata cukup dalam kesusahannya. Kepenuhan Kristus mengubah fokus hidup dan perspektif Paulus. Oleh sebab itu, Paulus dapat menilai seluruh pengalaman hidupnya dari sudut pandang kehendak Allah. Dia tidak lagi menganggap kebaikan atau keburukan yang diterimanya sebagai tolok ukur dari rasa cukup itu; apa pun kondisinya, rasa cukup itu akan senantiasa hadir selama Kristus ada bersamanya. Maka sesungguhnya, kuncinya terletak pada bagaimana relasi kita dengan Kristus selama ini. Apakah Kristus sudah menjadi tujuan hidupmu? Apakah Kristus sudah menjadi kepuasan sejatimu? Dia harus menjadi segalanya dalam hidupmu. “Sebab bagiku hidup adalah Kristus” (Filipi 1:21a).

Sehebat apa kuasa kepenuhan Kristus yang mencukupkan diri Paulus? Bayangkan, di tengah kondisi Paulus yang sedang dianiaya dan dipenjara, dia bisa berkata bahwa dia tetap merasa cukup. Jika bukan dorongan dari yang lebih berkuasa dari dirinya sendiri, yaitu Tuhan, siapa lagi yang dapat memampukan perasaan cukup itu semasa kesusahan menghadang? Oleh karena Paulus telah memusatkan nilai hidupnya pada standar Kristus, seluruh kesulitan yang dideritanya dia tanggung atas dasar kasih dan kepenuhannya akan Kristus. “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13).

Untuk mencapai kepenuhan dalam Kristus, kita tentu harus menyingkirkan apa yang menjadi keinginan daging kita. Maka, aku sarankan agar rasa keinginan itu kita ganti dengan ucapan syukur serta kasih Kristus. Sesungguhnya, tidak ada seorang Kristen yang tidak dapat mengucap syukur. Meksipun dia berada di dalam keterpurukannya, dia tidak memiliki alasan untuk tidak mengucap syukur atas pengampunan Tuhan dalam dirinya serta keselamatan yang diperolehnya. Memang pada kenyataannya seni mencukupkan diri dalam Kristus tidaklah mudah. Akan tetapi, ini merupakan panggilan bagi setiap orang Kristen yang sungguh-sungguh mau mengikuti-Nya dengan menyangkal dirinya.

Aku sendiri pun bergumul dengan rasa cukup itu. Sampai di satu titik aku merasa lelah dengan keinginan yang tidak kunjung ada usainya. Apa boleh buat, pada akhirnya aku juga menyerahkan diri dan berusaha untuk menyangkal diri, karena ternyata rasa ingin itu malah membuatku semakin tidak waras—iri hati, tidak puas, rendah diri, dan sebagainya. Karena sekali lagi, semakin diwujudukan, semakin menjadi-jadi. Sadar tidak sadar, rasa ingin itu hanya akan menghancurkan diri kita, sehingga solusi yang paling benar hanyalah satu: mencukupkan diri dalam Kristus.

Setiap proses untuk menyangkali keinginan yang tiada habisnya, anggaplah itu sebagai seni membenahi kewarasan diri kita. Dan setiap kali kita berusaha menggantikan rasa ingin dengan ucapan syukur, anggaplah kita lulus satu tingkat untuk masuk babak berikutnya. Jadikan ini seabgai kebiasaan sampai keinginan fana dalam diri kita mulai mati rasa dan digantikan secara penuh oleh kepenuhan kasih Kristus.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu