Posts

Sarjana Teologi yang Jadi Pedagang

Oleh Jessie

Sebagai orang yang memiliki gelar sarjana Teologi dan sekarang berkecimpung di dunia bisnis, tidak sedikit orang yang terheran-heran akan cerita di baliknya. Tidak jarang juga orang menjadikan hal ini sebagai candaan bahwa aku sempat salah mendengar bisikan Tuhan. Bahkan, ada yang berkomentar bahwa aku ingin meng-uang-kan Tuhan karena lulusan sarjana Teologi tapi bekerja sebagai pedagang, hahaha! Tidak ada perasaan tersinggung sama sekali karena semua candaan ini dibuat oleh orang-orang dekatku. Namun, aku juga yakin kalau kalian semua akan penasaran, “Kok bisa?!”

Sedikit cerita mengenai latar belakang sarjanaku. Karena aku kuliah di luar negeri, umumnya gelar sarjana yang ditawarkan hanya ada dua tipe, yaitu Bachelor of Arts (untuk mereka yang jurusannya dalam ranah bidang ilmu pengetahuan sosial dan seni) dan Bachelor of Science (untuk mereka yang jurusannya di bidang IT dan sains). Seluruh gelar yang menjurus spesifik seperti Kedokteran, Pengacara, bahkan Pastoral harus diambil di jenjang S-2. Sehingga, gelar dan proses pendidikan Teologi yang kumiliki berbeda dengan yang lumrah di Indonesia: studi S-1 lalu setelah lulus menjadi Guru Injil dan sebagainya.

Terus terang, aku sempat terpikir untuk melanjutkan sekolah Teologi setelah lulus SMA karena saat itu aku sedang mengalami krisis berat secara iman dan eksistensial. Puji Tuhan tidak jadi, hahaha! Jangan salah paham ya saudara, tidak ada maksud apa pun teruntuk para pendeta. Hanya saja, aku paham betul komitmen yang harus dijalani sebagai seorang pendeta, dan panggilanku tidak (atau setidaknya belum) menjurus ke sana. Sehingga, dengan kesempatan bisa mempelajari Teologi tanpa harus menjadi seorang hamba tuhan full-timer serta komitmen yang mengekor pada gelar tersebut, aku anggap ini merupakan arahan dari Tuhan untuk melewati krisis iman di saat itu.

Mungkin banyak di antara kita juga pernah melewati momen yang menggiring kita pada kelahiran hidup baru dalam roh, di mana kita ingin mempertanggung-jawabkan dan memastikan kepercayaan yang sudah kita pilih. Aku dapat yakinkan, bukan hanya aku saja yang perlu belajar Teologi, tapi kita semua yang mengaku percaya Kristus. Bukan berarti kita semua harus pergi ke sekolah Teologi secara formal, karena ada banyak cara untuk belajar Teologi: melalui buku, artikel, seminar, atau bahkan mendengarkan dengan saksama apa kata pendeta kita di hari minggu pagi.

Ada 3 poin mengapa penting yang ingin aku bagikan dari pengalaman pribadiku: mengapa orang beriman harus belajar ilmu Teologi, atau menggunakan bahasa sederhananya: belajar Alkitab.

Yang pertama, ilmu Teologi berperan penting bagi pertumbuhan iman orang percaya.

Memang patut kita ketahui bahwa status keselamatan yang kita dapatkan adalah murni anugerah dari Tuhan dan tidak ada pengetahuan serta pekerjaan baik kita yang mampu menyelamatkan kita. Walaupun iman tidak sama dengan pengetahuan, bukan berarti keselamatan yang kita terima itu ada tanpa sebuah pondasi serta pengertian yang rasional.

Iman Kristiani adalah iman yang masuk akal. Sehingga, jika kita telah memperoleh iman keselamatan tersebut, sudah sewajibnya kita dapat menjelaskan arti dan makna di balik perolehan keselamatan itu. Malahan, aku agak ragu jika ada yang mengaku beriman pada Kristus, tapi tidak mengerti makna atau arti dari kenapa kita harus beriman pada Kristus. Karena jika kita sudah menerima Kristus, maka respons yang sewajarnya adalah belajar mengenal Tuhan yang sudah kita serahkan jiwa kita kepada. Oleh sebab itu, iman dan pengetahuan (pengetahuan akan Tuhan) merupakan dua unsur yang hakikatnya tidak dapat dipisahkan.

Iman kita tidak berhenti pada momen saat kita percaya dan menerima keselamatan tersebut; iman kita harus bertumbuh. Dalam proses pertumbuhan iman inilah, orang percaya mulai belajar tentang siapa Tuhan yang ia percayai, serta pekerjaan yang dilakukan-Nya. Rasul Paulus berkata, “Berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2b). Paulus mendorong kita untuk selalu memperbaharui akal budi atau pengetahuan kita agar kita semakin arif dalam mengetahui visi Tuhan. Salah satu indikator pertumbuhan iman kita adalah saat di mana kita semakin mengenal Tuhan dan cara pikir kita semakin serupa dengan Kristus. Oleh sebab itu, perlunya kesadaran akan betapa pentingnya belajar Teologi, karena pengetahuan tentang Tuhan (ilmu Teologi) berperan vital dalam pertumbuhan iman orang percaya.

Poin kedua, pengetahuan tentang Allah memimpin kita pada pengetahuan tentang diri yang sejati.

John Calvin mengatakan bahwa pengetahuan yang sejati terdiri dari 2 bagian yaitu pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan tentang diri (true wisdom consists of two things, the knowledge of God and self). Pengetahuan akan Allah dan diri layaknya relasi sebab-akibat. Saat kita mengenal Allah, maka kita akan mengenal diri kita—khususnya mengenai panggilan pribadi kita. Karena, siapa lagi yang mengenal siapa diri kita yang sesungguhnya selain Pencipta kita? Buat kita semua yang masih terus terombang-ambing dengan arah hidup kita,  maka sesungguhnya, kita perlu mengenal Tuhan kita lebih dalam lagi. Hanya di dalam proses pengenalan akan Allah-lah, kita dapat mengenal jati diri, natur, serta tujuan hidup kita.

Jadi kalau kalian penasaran kenapa hari ini aku berkecimpung di dunia bisnis, jawabannya adalah karena ingin membantu mengembangkan dan meneruskan usaha orang tua. Terus terang, apakah aku yakin ini adalah panggilan hidup-ku? Iya dan tidak. Sejauh ini, boleh dikatakan aku 85% yakin ini merupakan opsi yang tepat. Saat itu aku ditawarkan untuk bekerja di perusahaan di luar negeri atau kembali ke Indonesia, aku merasa kembali ke rumah adalah hal yang benar. Tentu hal ini bukan keputusan yang mudah, karena aku happy-nya bukan main, dan tidak ada rasa ingin pulang. Akan tetapi, mengingat adanya hubungan yang baik dengan kedua orang tuaku, aku merasa terpanggil untuk pulang dan membantu mereka. Lalu, kemana sisa 15% itu? 15% keraguan itu tetap ada, khususnya di saat aku sedang dilanda masalah besar dalam pekerjaan atau saat di mana aku dan orang tua memiliki opini yang berbeda. Aku tidak bisa jelaskan secara mendetail kenapa ini merupakan salah satu panggilan karier yang aku rasa tepat, karena nanti artikel ini menjadi makalah. Akan tetapi, melihat ke belakang, aku merasakan ada pimpinan Tuhan serta kesejahteraan emosional. Apakah nanti ke depannya panggilan itu bisa berubah? Mungkin saja! Pada intinya, setiap orang memiliki panggilan pribadinya masing-masing, dan semua itu bisa kita rasakan melalui relasi pribadi kita dengan Tuhan. Seberapa tepat kita mengetahui panggilan kita, tergantung dari seberapa kamu mengenal apa mau Tuhan dalam diri kita.

Relasi “mengenal-Allah-mengenal-diri” merupakan relasi yang tidak dapat dipungkiri. Saat kita mengenal diri kita, kita semakin disadarkan akan keterbatasan dan keberdosaan kita; dan jika kita betul tahu akan ketidakmampuan kita, kita akan terus terdorong untuk selalu mencari Allah. Itu sebabnya di poin ketiga ini, aku ingin menyampaikan bahwa belajar teologi “memerdekakan” pengikutnya. Kebenaran Firman membebaskan kita dari belenggu dosa. “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:31-32). Sering kita mendengar pepatah, “the truth will set you free.” Kebenaran itu memang sifatnya membebaskan, apalagi kebenaran Firman yang adalah kebenaran mutlak dan absolut. Kebenaran Firman bukan hanya membebaskan, namun juga mengubahkan hidup kita.

Banyak hal di hidup ini yang membawa kita kepada kesia-siaan serta kenikmatan sementara yang sesungguhnya merusak hidup kita. Mungkin sebagian besar di antara kita sadar bahwa itu adalah dosa dan sulit untuk melepaskannya. Akan tetapi, jika kita secara konsisten belajar mengenai kebenaran Firman, maka pelan-pelan cara pikir kita akan dibukakan dengan hal yang sifatnya kekal. Pada akhirnya, kebenaran firman akan menyadarkan kita untuk melakukan apa yang benar, sehingga menguatkan kita untuk berubah menjadi serupa dengan kebenaran Kristus.

Apakah lalu perjalananku mengenal Tuhan selesai setelah aku mendapatkan gelar sarjana Teologiku? Tentu tidak, malahan 4 tahun bersekolah Teologi merupakan awal dari fondasi imanku. Mengenal Tuhan merupakan perjalanan seumur hidup setiap orang. Semakin aku belajar, semakin aku diyakinkan dengan kepercayaanku. Semakin luas wawasan Alkitabiahku, semakin masuk akal juga perjalanan hidupku. Hal yang memang tidak bisa disangkal bahwa ilmu Teologi sedikit banyaknya menuntunku ke arah hidup yang jelas, serta merta membebaskanku dari keresahan hidup yang fana ini.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tuhan Tidak Punya Bintang Review

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Tuhan tidak punya bintang untuk diulas. Berapa pun penilaian kita tentang Tuhan tidak akan mempengaruhi pribadi-Nya. Bagian kita adalah berkenalan dan mengalami Tuhan secara langsung, bukan hanya sekadar kata orang saja. 

Beberapa minggu lalu aku memutuskan ingin membaca sebuah novel. Novel ini telah diadaptasi menjadi sebuah film. Keduanya, baik novel maupun film, cukup booming. Padahal yang aku tahu, novel atau film tersebut bersifat tabu di masyarakat. Akhirnya aku memutuskan membaca ulasan terlebih dahulu sebelum beralih ke novelnya. 

Aku sengaja mencari ulasan yang panjang dan membacanya satu persatu. aku jadi bisa tahu pendapat-pendapat orang mengenai karakter di novel tersebut. Tanpa perlu membuka halaman-halaman di dalamnya, aku bisa tahu beberapa scene penting lewat ulasan yang kubaca. Alurnya tertebak, penulisannya biasa, karakternya tidak romantis padahal banyak orang bilang ini novel romantis. Aku terlalu asyik membaca ulasan-ulasan tersebut hingga lupa membaca novel aslinya. 

Tiba-tiba aku teringat, ini semua sebenarnya merupakan opini-opini orang tentang pengenalan mereka terhadap novel itu. Siapa tahu opiniku berbeda dengan apa yang dialami orang-orang. Mengapa aku sibuk membaca ulasan dan tidak langsung membaca saja novel tersebut? Ada bagian dari diriku yang mengatakan mulai saja baca, tidak perlu sibuk lihat ulasan dan setelah itu baru menentukan mau baca atau tidak. Apa salahnya memang jika aku membaca sendiri? 

Di situs Goodreads, novel tersebut sampai hari ini memiliki rating tidak lebih dari 4. Aku cenderung malas membaca buku yang ratingnya tidak sampai empat. Terlalu lama aku membaca ulasan, terlalu banyak pertimbangan sebelum aku memutuskan membaca novel itu. Namun, akhirnya aku coba baca bab pertama novel itu. Don’t judge a book by its cover, katanya. Selesai bab pertama novel itu aku tidak lagi melanjutkannya. Aku menyetujui beberapa ulasan negatif mengenai novel itu. Entah buku itu memang tidak cocok bagiku, entah aku yang terpengaruh oleh ulasan yang aku baca, atau memang buku itu tidak sebagus promosi media.

Namun, aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Mengapa penting bagiku untuk mengetahui ulasan dari novel itu sebelum membacanya? Ternyata setelah disadari, aku ingin menghindari penderitaan yang dapat ditimbulkan dari membaca novel itu. Aku tidak mau merasa rugi membaca novel yang tidak berbobot. Aku tidak mau bertahan membaca tulisan yang sulit dinikmati kalimat-kalimatnya. Aku tidak mau membuang-buang waktu sebab ada begitu banyak buku lain yang lebih bagus untuk dibaca, pikirku.

Tiba-tiba pikiranku melompat. Apakah begitu juga sikapku kepada Tuhan? Jangan-jangan aku mengenali Tuhan bukan dengan mengalaminya secara langsung. Aku cenderung dengar kata orang-tentang Tuhan, tapi tidak mengalaminya. Aku dengar kata orang Tuhan itu baik, tapi aku tidak benar-benar menyadari dan mengalaminya. Mungkin kebanyakan orang juga mengalami hal yang sama sepertiku. Sering dengar khotbah atau berita-berita tentang Tuhan, dan dari situ mereka mengambil kesimpulan dan penilaian tentang Tuhan. Merasa cukup dengan semua informasi itu dan tidak perlu mengalami Tuhan. Akhirnya, kesimpulan kita tentang Tuhan bersifat tidak autentik dan cenderung tidak peduli.

Aku berdiskusi dengan salah satu teman. Dia mengatakan, dalam sebuah relasi butuh dua pengetahuan: Cognitive Knowledge dan Emotional Knowledge. Relasi yang kokoh dan autentik adalah relasi yang merupakan kolaborasi keduanya. Relasi orang tua dan anak misalnya. Orang tua mengajarkan kepada anak untuk tidak takut meminta apa yang mereka inginkan. Itu adalah informasi yang disimpan sebagai pengetahuan. Jika sang anak meminta, tapi orang tuanya terus mengabaikan, maka anak akan mengalami kebingungan. Sang anak akhirnya kesulitan untuk terikat secara emosi dengan orang tua. Kalau ini berlanjut, pelan-pelan sang anak bisa saja meragukan kebenaran dari pengetahuan yang selama ini dia pahami. Begitu juga relasi kita dengan Tuhan. 

Aku teringat kisah Ayub. Pada akhirnya Ayub mengenal Tuhan secara pribadi. Penderitaan bertubi-tubi menimpa Ayub, menyengsarakannya, dan secara khusus menempa imannya. Iman Ayub tidak lagi menjadi iman kata orang. Iman Ayub menjadi iman yang dapat dialami—utuh menyentuh aspek kemanusiaan Ayub. Pengenalan Ayub akan Tuhan jadi lebih kukuh dan autentik setelah ini. Aku suka menyebut kalau iman Ayub telah mendaging dalam dirinya, bukan lagi sekadar dalam ranah pikiran.    

Aku mengajak agar kita yang percaya pada Kristus tidak hanya puas dengan pengetahuan akan Tuhan—doktrin-doktrin, argumen-argumen apologetika, atau juga cerita tentang sejarah-sejarah gereja, tapi juga rindu mengalami Tuhan secara pribadi. Berjalan dalam kehidupan sehari-hari dengan kesadaran ada sebuah ikatan hubungan yang terjalin dengan Tuhan. Memang pengalaman kita harus bersandarkan pada firman Tuhan.

Kita mungkin pernah mendengar kesaksian mengenai orang yang mengaku bertemu Tuhan Yesus berkali-kali. Terkait klaim seperti ini, Alkitab mengajak kita mengujinya (1Tesalonika 5:21). Sebab, segala pengalaman spiritual tiap orang percaya jika dipersaksikan sudah selayaknya untuk mempermuliakan Tuhan, menguatkan iman orang percaya, dan selaras dengan sabda Tuhan.

Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu.Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. (2Petrus 1:19-21)

Petrus punya banyak pengalaman spiritual dengan Yesus setelah kenaikan Yesus. Namun, bukan itu yang ditekankan Petrus. “Makin diteguhkan oleh firman.” Petrus serius mempelajari firman dan mengulas pengalaman-pengalam spiritualnya dengan kacamata firman Tuhan. Dia tidak menafsir sembarangan nubuat-nubuat.

Pada akhirnya iman itu bukan hanya diketahui, tapi juga dialami. Bukan sembarang dialami, tapi sesuai dengan pengetahuan kita akan firman Tuhan. Keduanya harus bertumbuh sejalan agar iman menjadi kokoh dan asli.

Kalau kita yakin Tuhan itu baik, mengapa hanya berhenti dengan meyakininya saja? Rindukan untuk mengalaminya. Tidak perlu takut merugi mempercayai keyakinan kita pada Tuhan. Jalani saja dulu, baru setelah itu mengulas (red: bersaksi). Tuhan adalah buku tanpa sampul. Dia terbuka untuk dialami dan dikenal. Tidak akan Dia menipu sebagaimana seperti yang bisa kita alami dengan banyak sampul buku di toko buku. Indah di luar, tapi dalamnya tidak cocok dengan kita. Tidak akan merugi jika kita berkenalan dan mengalami Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥