Posts

Masa Penantian Hadir untuk Memproses Kita Lebih Baik

Oleh Abby Ciona

Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Waiting Shapes Us for The Better

“Pasrah.” Kata ini terdengar negatif dan sering kali menyiratkan gagal, putus asa, atau melepaskan kendali. Dan, di dunia di mana kita diberitahu untuk tidak pernah menyerah pada impian kita dan mengendalikan segala keinginan kita, pasrah bukanlah konsep yang kita pertimbangkan.

Tapi, tergantung dari jenis aktivitas yang kamu tekuni, “pasrah” bisa jadi bagian dari rutinitasmu. Semisal, bila kamu seorang penulis yang ingin mengirimkan karyamu ke sebuah penerbit. Saat kamu klik tombol “kirim”, tombol itu bisa berarti juga sebagai tombol “pasrah”. Kamu menyerahkan kendali kepada orang lain. Ini adalah hal yang menakutkan. Kamu melepaskan tanganmu dari apa yang kamu kerjakan dan menyerahkan keputusan akhir penerbitannya kepada orang lain.

Di tahun 2020, proyek yang kukerjakan saat pandemi adalah menulis novel fantasi. Aku sangat senang dengan hasilnya, jadi kuputuskan untuk mencoba menerbitkannya. Kuhabiskan dua tahun untuk merevisi, mengedit, mengikuti pelatihan, dan mendapatkan masukan dari teman dan keluarga. Akhirnya di tahun 2022, aku mengambil langkah selanjutnya dan mengirimkan novelku ke suatu penerbit.

Dalam beberapa minggu, aku menerima email penolakan pertamaku: sebuah tonggak sejarah dalam kehidupan sebagian besar penulis. Namun, meskipun penolakan ini adalah hal biasa bagi penulis, tapi kecewanya baru terasa sekitar setahun kemudian. Apakah aku benar-benar siap? Bagaimana kalau bukuku tidak cukup bagus? Kamu mungkin pernah punya pertanyaan serupa tentang harapan dan impianmu dalam hidup.

Kehidupan Kristen sejatinya adalah hidup yang meminta kita untuk tunduk, berserah, dan berbesar hati untuk mengubah rencana kita sendiri. Waktu kita menyerahkan hidup bagi Yesus, itu berarti kita menyerahkan impian dan keinginan kita sendiri untuk memikul salib-Nya (Lukas 9:23). Bagian terbaik yang bisa kita lakukan adalah dengan setia melayani dan mengasihi orang lain, sembari kita melakoni pekerjaan kita dan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Kita mungkin merencanakan jalan hidup kita, tetapi akhirnya Tuhanlah yang mengarahkan langkah kita (Amsal 16:9). Ini mungkin menakutkan (bagiku), tapi bisa jadi penghiburan yang luar biasa! Kita tidak perlu khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya jika kita bersedia dan terbuka untuk taat mengikuti rencana Tuhan, karena kita tahu bahwa Dia melihat gambaran yang lebih besar dan kekal.

Beberapa bulan lalu, aku sedang mengobrol di meja makan dengan keluargaku tentang sebuah artikel yang kukerjakan buat majalah Kristen. Papaku berkata, “Kamu sedang mewujudkan impian Papa.”

“Tapi, ini bukan impianku!” aku menolak dalam hati. Aku memang telah menerbitkan banyak artikel, puisi, dan cerpen, tapi itu tak pernah jadi rencanaku ketika aku terjun ke dunia penulisan kreatif. Impianku adalah melihat novel-novelku ada dipajang di toko buku dan perpustakaan. Aku tak pernah membayangkan aku akan menulis untuk majalah, renungan, dan website… tapi semua ini ternyata lebih baik daripada yang kuharapkan.

Daud mengalami penolakan dari Allah, yang bukannya membuat dia frustrasi (mungkin saja dia frustrasi), tapi justru membuatnya semakin memuji kedaulatan-Nya. Daud ingin sekali membangun Bait Suci, sebuah tempat permanen yang didedikasikan untuk beribadah kepada Allah, tetapi Allah menolak permintaan itu (2 Samuel 7). Sebaliknya, Allah memberi tahu Daud tentang rencana-Nya yang lebih besar: untuk membuat nama Daud mashyur dan mendirikan kerajaan kekal melalui garis keturunannya. Janji ini akhirnya digenapi di dalam Yesus dan jauh lebih besar daripada apa yang dapat dipahami Daud saat itu.

Mazmur 96:3 mengatakan, “Ceritakanlah kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan yang ajaib di antara segala suku bangsa.” Aku akan terus melakukan ini sampai Tuhan membukakan pintu berikutnya dalam perjalananku menulis. Aku akan terus mengirimkan pertanyaan, menulis cerita dan artikel karena aku tahu Tuhan memberikan karunia ini kepadaku untuk suatu alasan.

Yesaya 55:8-9 mengingatkan kita bahwa pikiran Tuhan jauh lebih tinggi daripada pikiran kita, dan aku bersyukur untuk itu. Meskipun Daud tidak membangun Bait Suci bagi Allah, dia mampu melakukan hal-hal besar lainnya dengan secara aktif menggunakan posisi otoritasnya untuk menyatukan bangsa Israel dan memimpin mereka setia mengikut Allah. Dia membuat persiapan bagi putranya untuk membangun Bait Suci. Semangat Daud untuk melayani Tuhan pada akhirnya membuat dia dikenal sebagai seorang yang berkenan di hati Tuhan (1 Samuel 13:14), yang merupakan tujuan yang lebih penting daripada membangun Bait Suci atau menerbitkan buku. Bahkan, ketika impian kita tidak terpenuhi, Tuhan tetap bekerja. Dia mungkin menggunakan karunia-karunia kita dengan cara yang tidak terduga, yang akan menjadi lebih menakjubkan dari yang kita bayangkan. Kita hanya perlu tetap terbuka pada kehendak-Nya ketika impian kita kelihatannya gagal.

Jadi, ketika aku menunggu kabar dari penerbit, bukan berarti aku tidak melakukan apa-apa. Aku terus menulis dan memperbaiki karya-karyaku sembari mengerjakan satu atau dua proyek lainnya. Seperti ikan hiu yang harus terus berenang untuk bernapas; bagiku, aku harus terus menulis agar kreativitasku tetap menyala. Ruang tunggu di rumah sakit atau kantor mungkin bisa menjadi tempat yang membosankan dan penuh kegelisahan. Dalam suasana demikian, mudah untuk membunuh bosan dengan main Internet saja, tapi menunggu tidak harus menjadi pasif atau tidak produktif.

Menerima lusinan email penolakan dari penerbit mungkin tidak terasa menyenangkan, tetapi ini menolongku untuk tabah dan mengingat lagi bahwa identitasku ada di dalam Kristus, bukan pada kesuksesanku. Pikirkanlah saat-saat dalam hidupmu ketika waktu-waktu penantian membantumu membentuk dirimu secara positif, atau ketika menunggu sesuatu membuatmu semakin bahagia ketika menerimanya nanti. Jika kamu belum terpikir apa pun, pertimbangkanlah apakah ada langkah-langkah yang bisa kamu lakukan untuk membuat masa penantianmu menjadi lebih aktif. Proses penantian mungkin tidak menyenangkan, tetapi itu bisa menjadi sehat ketika kita memilih untuk menunggu dengan tindakan, untuk terus bertumbuh dalam iman kita, dan untuk maju dalam melayani orang lain.

Kita semua sedang menunggu sesuatu. Mungkin itu adalah kesepakatan dari penerbit buku, atau mungkin seorang teman. Mungkin anak atau pekerjaan. Semoga kita membuat rencana kita dengan tangan terbuka. Kiranya kita menghormati dan memuliakan Tuhan dalam pekerjaan apa pun yang kita lakukan, karena kita tahu bahwa Dia bekerja melalui biji sesawi yang paling kecil untuk menghasilkan mukjizat (Matius 17:20). Kiranya kita membangun perahu kita dan dengan berani berlayar untuk mencapai tujuan. Bila kita masih ngotot ingin mencengkeram kemudi, lepaskanlah itu. Izinkan Roh Kudus menuntun kita ke tujuan yang mungkin berbeda dari harapan kita, tetapi pada akhirnya lebih baik daripada yang dapat kita bayangkan.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Melihat dan Mengalami Tuhan dari Luka yang Masih Membekas

Oleh Jefferson

Beberapa bulan yang lalu, aku menonton habis dua season pertama dari serial televisi yang sekarang menjadi salah satu favoritku, The Bear. Serial TV asal Amerika ini bercerita tentang koki muda bernama Carmy yang meneruskan restoran keluarganya. Terdengar sederhana bukan? Tapi, The Bear tidak cuma bercerita tentang sosok seorang koki, ada kisah yang menyentuh hati di baliknya. Izinkan kuceritakan sedikit.

Pada season pertama serial ini, Carmy pulang ke Chicago setelah kakaknya, Michael, meninggal. Kepulangannya cukup rumit karena hubungan Carmy dengan Michael tidak akur. Michael sering mengucilkannya dan melarangnya bekerja di restoran keluarga. Begitu lulus SMA, Carmy pun merantau dan belajar dari berbagai koki ternama untuk membuktikan dirinya kepada Michael. Apa daya Michael meninggal sebelum kesempatan itu datang. Namun, di akhir season pertama, Carmy mendapati bahwa kakak laki-lakinya itu sebenarnya ingin berdamai dan bekerja dengannya di restoran milik keluarga mereka.

Maka pada season kedua, The Bear menceritakan proses Carmy dan tim karyawannya merenovasi restorannya sesuai dengan visi yang pernah ia bagikan dengan Michael. Pada waktu bersamaan, Carmy bertemu dan mulai berpacaran dengan teman masa kecilnya, Claire. Bersama Claire, untuk pertama kalinya Carmy bisa bersantai di luar lingkungan dapur yang penuh tuntutan. Ia juga menemukan dukungan, hiburan, dan apresiasi dalam diri Claire. Tetapi, seiring berjalannya waktu, Carmy menghabiskan terlalu banyak waktu bersama Claire dan melalaikan tugas-tugasnya untuk renovasi restoran, termasuk lupa memperbaiki pintu kulkas dapur. Keteledoran Carmy mencapai klimaksnya pada episode penutup, di mana ia terkurung di dalam kulkas dapur pada malam pembukaan kembali restorannya.

Selama terperangkap di dalam kulkas, Carmy mulai panik dan memandang dengan negatif setiap keputusan yang diambilnya selama masa renovasi, termasuk hubungannya dengan Claire. Perenungan penuh penyesalan Carmy pun berakhir pada satu kesimpulan suram:

Aku adalah seorang psikopat! Itulah mengapa aku ahli dalam apa yang aku lakukan. Itulah cara aku bekerja. Aku adalah koki terbaik karena aku tidak memiliki hubungan dan semua omong kosong ini! Aku bisa fokus, aku bisa konsentrasi, aku memiliki rutinitas… […] Aku tidak perlu memberikan hiburan atau kenikmatan, aku tak perlu menerima hiburan atau kenikmatan, dan aku baik-baik saja tanpa semuanya itu, karena tidak ada hal baik apapun yang sepadan dengan betapa buruknya perasaanku sekarang. Itu semua hanya buang-buang waktu saja.

Belajar dari tokoh Carmy, tapi dalam terang Firman

Sehabis menonton episode di atas, aku menemukan diriku tak bisa tidak berempati dengan Carmy. Kali ini aku berempati dengan Carmy dari segi hubungan kami dengan orang lain. Sebenarnya aku bukanlah orang yang bisa berteman dengan mudah. Luka-luka masa kecil dan remajaku (yang pernah aku bagikan dalam beberapa tulisan) membuatku tak biasa diperhatikan dan dikasihi orang lain. Alhasil, ketika merenungkan kesimpulan Carmy di dalam kulkas dapur, aku berhipotesis bahwa aku pun adalah seorang “psikopat”; aku menjauhkan diri dari orang-orang terdekatku ketika aku perlu fokus mengerjakan panggilanku, yang ironisnya adalah masa-masa di mana aku justru paling membutuhkan mereka.

Hipotesa ini sempat membuatku stres, apalagi karena aku memasuki periode sibuk di paruh kedua tahun ini: penerbitan hasil proyek risetku, beberapa perjalanan ke luar kota dalam rangka pelayanan, dan pelaksanaan sejumlah tanggung jawab dalam pelayanan baruku di gereja. Di tengah segala kesibukan itu, aku jadi takut kalau aku akan mendorong jauh-jauh orang-orang terdekatku dan melukai mereka demi aku bisa fokus total. Merasa tak berdaya memproses kemungkinan ini sendirian, aku meminta bertemu dengan mentorku di rumahnya. Di sana, aku menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan dalam hidupku, termasuk perenunganku atas kesimpulan Carmy.

Setelah mendengarkan ceritaku, mentorku menegaskanku bahwa aku telah jadi orang yang berbeda sejak kali terakhir kami bertemu. Dia menjelaskan pengamatannya bahwa setelah mengalami sendiri luka-luka itu, aku mampu mengambil pelajaran darinya.

Sepulang dari bertemu mentorku, aku terhenyak dalam rasa syukur kepada Kristus yang tak membiarkanku larut dalam keputusasaan akibat masa laluku yang kurang baik. Sebaliknya, Tuhan Yesus menunjukkan dalam Firman-Nya bahwa orang-orang seperti Carmy dan aku bisa melenyapkan ketakutan kami di dalam kasih-Nya dan memberi ruang bagi orang-orang terdekat kami di tengah kesibukan kami. Pelan-pelan, aku mengingat ayat-ayat Alkitab yang mengingatkan aku tentang kebenaran-kebenaran Tuhan Yesus yang telah mati dan bangkit untuk menebus orang berdosa, seperti Roma 8, Ibrani 10:24–25, dan 1 Korintus 15:10. Yang paling berkesan di antara perikop Firman Tuhan yang aku ingat malam itu tercatat dalam 1 Yohanes 4, yang kemudian aku ingat dan renungkan kembali setiap kali aku merasa seperti terkurung di dalam kulkas dapur bersama Carmy:

“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan siapa yang takut, ia tidak sempurna di dalam kasih. Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.”

Ya, aku punya luka-luka yang mungkin masih membekas, tapi Yesus Kristus telah mengasihi aku lebih dulu, bahkan mati dan bangkit sebagai bukti kasih-Nya padaku dan semua orang yang percaya kepada-Nya. Ketakutanku pun lenyap. Aku dapat menjalankan panggilan-Nya dalam kasih dan dukungan orang-orang terdekatku sambil terus mengasihi mereka dengan kasih-Nya.

Penutup: sampai Anak Domba menggantikan matahari

Dalam terang kemuliaan Kristus, segala hal di dunia ini – termasuk serial TV, tokoh fiksi, dan pengalaman kehidupan kita – menunjuk kepada Dia yang telah menebus mereka demi kemuliaan-Nya dan sukacita kita. Jalan-jalan sinar dari hidup yang ditilik terang Firman ini tidak selalu jelas dan lurus, malahan mereka lebih sering tersembunyi dan berliku-liku. Walaupun begitu, tempat tujuan akhir dari jalan-jalan ini tidak asing bagi mereka yang hidup ditilik oleh Firman Kristus. Alkitab dengan konsisten melukiskan masa depan para pengikut Kristus dan seluruh ciptaan di langit dan bumi yang baru yang diterangi langsung oleh sang Anak Domba Allah sendiri:

Kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya. Bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya; dan pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup sepanjang hari, sebab malam tidak akan ada lagi di sana; dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya. (Wahyu: 21:23–26)

Dalam kasih anugerah Allah, aku berdoa supaya kita setia memberikan segenap hidup kita ditilik Firman sampai Anak Domba menjadi terang kita langsung dan kita melihat-Nya muka dengan muka (1 Kor. 13:12).

Kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, soli Deo gloria.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tuhan Tidak Punya Bintang Review

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Tuhan tidak punya bintang untuk diulas. Berapa pun penilaian kita tentang Tuhan tidak akan mempengaruhi pribadi-Nya. Bagian kita adalah berkenalan dan mengalami Tuhan secara langsung, bukan hanya sekadar kata orang saja. 

Beberapa minggu lalu aku memutuskan ingin membaca sebuah novel. Novel ini telah diadaptasi menjadi sebuah film. Keduanya, baik novel maupun film, cukup booming. Padahal yang aku tahu, novel atau film tersebut bersifat tabu di masyarakat. Akhirnya aku memutuskan membaca ulasan terlebih dahulu sebelum beralih ke novelnya. 

Aku sengaja mencari ulasan yang panjang dan membacanya satu persatu. aku jadi bisa tahu pendapat-pendapat orang mengenai karakter di novel tersebut. Tanpa perlu membuka halaman-halaman di dalamnya, aku bisa tahu beberapa scene penting lewat ulasan yang kubaca. Alurnya tertebak, penulisannya biasa, karakternya tidak romantis padahal banyak orang bilang ini novel romantis. Aku terlalu asyik membaca ulasan-ulasan tersebut hingga lupa membaca novel aslinya. 

Tiba-tiba aku teringat, ini semua sebenarnya merupakan opini-opini orang tentang pengenalan mereka terhadap novel itu. Siapa tahu opiniku berbeda dengan apa yang dialami orang-orang. Mengapa aku sibuk membaca ulasan dan tidak langsung membaca saja novel tersebut? Ada bagian dari diriku yang mengatakan mulai saja baca, tidak perlu sibuk lihat ulasan dan setelah itu baru menentukan mau baca atau tidak. Apa salahnya memang jika aku membaca sendiri? 

Di situs Goodreads, novel tersebut sampai hari ini memiliki rating tidak lebih dari 4. Aku cenderung malas membaca buku yang ratingnya tidak sampai empat. Terlalu lama aku membaca ulasan, terlalu banyak pertimbangan sebelum aku memutuskan membaca novel itu. Namun, akhirnya aku coba baca bab pertama novel itu. Don’t judge a book by its cover, katanya. Selesai bab pertama novel itu aku tidak lagi melanjutkannya. Aku menyetujui beberapa ulasan negatif mengenai novel itu. Entah buku itu memang tidak cocok bagiku, entah aku yang terpengaruh oleh ulasan yang aku baca, atau memang buku itu tidak sebagus promosi media.

Namun, aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Mengapa penting bagiku untuk mengetahui ulasan dari novel itu sebelum membacanya? Ternyata setelah disadari, aku ingin menghindari penderitaan yang dapat ditimbulkan dari membaca novel itu. Aku tidak mau merasa rugi membaca novel yang tidak berbobot. Aku tidak mau bertahan membaca tulisan yang sulit dinikmati kalimat-kalimatnya. Aku tidak mau membuang-buang waktu sebab ada begitu banyak buku lain yang lebih bagus untuk dibaca, pikirku.

Tiba-tiba pikiranku melompat. Apakah begitu juga sikapku kepada Tuhan? Jangan-jangan aku mengenali Tuhan bukan dengan mengalaminya secara langsung. Aku cenderung dengar kata orang-tentang Tuhan, tapi tidak mengalaminya. Aku dengar kata orang Tuhan itu baik, tapi aku tidak benar-benar menyadari dan mengalaminya. Mungkin kebanyakan orang juga mengalami hal yang sama sepertiku. Sering dengar khotbah atau berita-berita tentang Tuhan, dan dari situ mereka mengambil kesimpulan dan penilaian tentang Tuhan. Merasa cukup dengan semua informasi itu dan tidak perlu mengalami Tuhan. Akhirnya, kesimpulan kita tentang Tuhan bersifat tidak autentik dan cenderung tidak peduli.

Aku berdiskusi dengan salah satu teman. Dia mengatakan, dalam sebuah relasi butuh dua pengetahuan: Cognitive Knowledge dan Emotional Knowledge. Relasi yang kokoh dan autentik adalah relasi yang merupakan kolaborasi keduanya. Relasi orang tua dan anak misalnya. Orang tua mengajarkan kepada anak untuk tidak takut meminta apa yang mereka inginkan. Itu adalah informasi yang disimpan sebagai pengetahuan. Jika sang anak meminta, tapi orang tuanya terus mengabaikan, maka anak akan mengalami kebingungan. Sang anak akhirnya kesulitan untuk terikat secara emosi dengan orang tua. Kalau ini berlanjut, pelan-pelan sang anak bisa saja meragukan kebenaran dari pengetahuan yang selama ini dia pahami. Begitu juga relasi kita dengan Tuhan. 

Aku teringat kisah Ayub. Pada akhirnya Ayub mengenal Tuhan secara pribadi. Penderitaan bertubi-tubi menimpa Ayub, menyengsarakannya, dan secara khusus menempa imannya. Iman Ayub tidak lagi menjadi iman kata orang. Iman Ayub menjadi iman yang dapat dialami—utuh menyentuh aspek kemanusiaan Ayub. Pengenalan Ayub akan Tuhan jadi lebih kukuh dan autentik setelah ini. Aku suka menyebut kalau iman Ayub telah mendaging dalam dirinya, bukan lagi sekadar dalam ranah pikiran.    

Aku mengajak agar kita yang percaya pada Kristus tidak hanya puas dengan pengetahuan akan Tuhan—doktrin-doktrin, argumen-argumen apologetika, atau juga cerita tentang sejarah-sejarah gereja, tapi juga rindu mengalami Tuhan secara pribadi. Berjalan dalam kehidupan sehari-hari dengan kesadaran ada sebuah ikatan hubungan yang terjalin dengan Tuhan. Memang pengalaman kita harus bersandarkan pada firman Tuhan.

Kita mungkin pernah mendengar kesaksian mengenai orang yang mengaku bertemu Tuhan Yesus berkali-kali. Terkait klaim seperti ini, Alkitab mengajak kita mengujinya (1Tesalonika 5:21). Sebab, segala pengalaman spiritual tiap orang percaya jika dipersaksikan sudah selayaknya untuk mempermuliakan Tuhan, menguatkan iman orang percaya, dan selaras dengan sabda Tuhan.

Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu.Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. (2Petrus 1:19-21)

Petrus punya banyak pengalaman spiritual dengan Yesus setelah kenaikan Yesus. Namun, bukan itu yang ditekankan Petrus. “Makin diteguhkan oleh firman.” Petrus serius mempelajari firman dan mengulas pengalaman-pengalam spiritualnya dengan kacamata firman Tuhan. Dia tidak menafsir sembarangan nubuat-nubuat.

Pada akhirnya iman itu bukan hanya diketahui, tapi juga dialami. Bukan sembarang dialami, tapi sesuai dengan pengetahuan kita akan firman Tuhan. Keduanya harus bertumbuh sejalan agar iman menjadi kokoh dan asli.

Kalau kita yakin Tuhan itu baik, mengapa hanya berhenti dengan meyakininya saja? Rindukan untuk mengalaminya. Tidak perlu takut merugi mempercayai keyakinan kita pada Tuhan. Jalani saja dulu, baru setelah itu mengulas (red: bersaksi). Tuhan adalah buku tanpa sampul. Dia terbuka untuk dialami dan dikenal. Tidak akan Dia menipu sebagaimana seperti yang bisa kita alami dengan banyak sampul buku di toko buku. Indah di luar, tapi dalamnya tidak cocok dengan kita. Tidak akan merugi jika kita berkenalan dan mengalami Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥