Posts

Menghidupkan Hidup

Oleh Charisto*

Seseorang dapat dikatakan hidup ketika ia masih bernafas serta jasmani dan rohnya masih menyatu atau dapat dikatakan bernyawa. Tetapi, tidak sedikit orang yang merasa hidupnya seolah sudah seperti zombie—masih bisa bernafas, hanya tak lagi ada gairah hidup karena diselimuti oleh kecemasan, kebingungan, ketakutan yang tak terdefinisikan, lelah atau muak dengan situasi yang ada ataupun karena banyak pikiran. Tentunya tidak ada orang yang menginginkan hidupnya menjadi seperti zombie. Namun, proses kehilangan gairah hidup itu tidak terjadi begitu saja,  melainkan terpupuk secara berkala saat menghadapi situasi-situasi yang pelik… apalagi ditambah dengan urusan dosa.

Apa yang terjadi dalam hidupku juga demikian. Aku harus menerima realita di mana saat ini kondisiku tidak sedang baik-baik saja dan ingin mati rasanya, tapi aku masih hidup jadi seperti zombie. Aku harus menerima kenyataan bahwa studi sarjanaku di jurusan Psikologi tidak selesai, terlilit utang, kesulitan mencari pekerjaan, bingung untuk biaya hidup, didiagnosis mengalami psikotik, dan lagi soal masa depan yang semua terasa kelabu. Ada peristiwa masa lalu seperti trauma dengan orang tua dan broken home, yang sempat teratasi, tetapi sekarang trauma itu memperparah yang terjadi saat ini. Aku tidak tahu lagi rasanya hidup itu seperti apa, ke depan seperti apa, nanti jadi apa. Ada dorongan untuk mengakhiri hidup juga, tetapi aku takut gagal dan nanti malah menyusahkan orang lain. Hari demi hari kulewati dengan rasa cemas. Aku bisa histeris menangis sendiri dan terus dihantui rasa ingin mengakhiri hidupku.

Jika ditanya akar dari permasalahannya apa, aku sendiri sudah bingung menjelaskannya. Aku berusaha untuk mengatasi apa yang kualami dengan konseling di gereja, ikut kelompok tumbuh bersama (KTB) dengan mentor, beribadah, berdoa, dan menghadiri persekutuan rohani, tetapi itu semua rasanya seperti anastesi sesaat. Aku bisa tenang sementara waktu, tetapi kemudian panik dan bingung dengan semua masalah yang ada, lalu rasa ingin mati muncul lagi. Hal-hal tersebut intens terjadi sejak Juni 2023 sampai saat ini. Memang dorongan untuk mati atau mengakhiri hidup bukanlah sesuatu yang dibenarkan firman Tuhan, tetapi rasa itu selalu muncul seperti pergulatan panjang dengan diri sendiri.

Sampai akhir-akhir ini, aku menarik sebuah kesimpulan terkait hidup yang sering diucapkan di kala KTB atau dalam ibadah. “Hidup adalah pilihan. Pilihlah hidup yang memuliakan Tuhan”. Aku mengamini kutipan ini, tetapi aku ingin menambah satu bagian lagi, yaitu kadang pilihan kita salah dan dampaknya di luar kendali kita. Tetapi, kita senantiasa ada dalam kendali Tuhan. 

Seperti apa manifestasi “Tuhan pegang kendali” dalam hidupku, aku sendiri tidak dapat menyelaminya. Rasa ragu sering muncul tetapi tidak bisa menyangkali juga hal baik yang Tuhan kerjakan. Masalah yang kuhadapi bagiku belum ada yang teratasi menurut standarku. Akan tetapi masih ada orang yang kukasihi yang menguatkanku, ada mentor yang membagi firman yang membangun dan teman persekutuan yang membantu memberi insight soal pekerjaan. Bagiku itu semua bentuk pernyataan Tuhan bekerja dan memegang kendali sekalipun aku belum mengalami breakthrough atas peliknya masalah yang kuhadapi dalam hidup. Jadi, memilih hidup yang memuliakan Tuhan bagiku berarti bertarung melawan semua kecemasan yang mendorongku untuk mengakhiri hidup, dan percaya Tuhan sekalipun ragu, sekalipun belum terjadi mukjizat. Aku tidak mau mengatakan hal yang menggebu-gebu seolah yakin penuh, karena apa yang kuhadapi benar-benar sulit dan mungkin orang lain juga mengalami kesulitan yang demikian juga. Di posisi seperti ini yakin penuh itu sulit, tetapi tidak yakin sama sekali akan menambah kacau. Oleh karena itu tetaplah memilih untuk yakin walaupun ada keraguan. Tatkala aku memilih percaya pada Tuhan sekalipun ada keraguan, bagiku adalah langkah iman menuju keyakinan yang penuh.

Hanya Tuhan yang tahu akhir hidup seseorang. Aku sendiri tidak tahu kapan kematianku dan keadaan yang kualami berlalu. Tetapi, pilihan untuk hidup memuliakan Tuhan membuatku memiliki pandangan baru yang menghidupkan hidupku yang selama ini seperti zombie. Aku berusaha mengungkapkan apa yang kualami agar orang bisa menangkap sebuah pesan yang berarti mengenai hidup.

Hidup adalah pilihan untuk memuliakan Tuhan dan itulah satu-satunya cara menghidupkan hidup. Memuliakan Tuhan juga bukan selalu terkait mengalami manifestasi mukjizat atau dengan hal-hal memukau yang mendatangkan pujian, tetapi yakin Tuhan pegang kendali dalam sebuah keraguan itu juga memuliakan Tuhan. Aku teringat firman Tuhan yang biasa disematkan sebagai kutipan ketika kedukaan, yaitu 2 Timotius 4:7 “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”

Aku ingin menyatakan firman itu dengan menghidupkan kembali hidupku, bukan lagi seperti zombie, tetapi memiliki pilihan untuk memuliakan Tuhan yang diaplikasikan dalam tindakan, yakin dalam keraguan, dan bergulat dengan diri sendiri melawan dorongan-dorongan negatif untuk mengakhiri hidup. Aku akan terus mengupayakan segala yang kubisa untuk mengatasi pergumulan yang kuhadapi. 

Kendati aku lemah, aku tahu Tuhan sungguhlah kuat dan Dia telah mengutus Roh Kudus untuk senantiasa hadir bersamaku.

Apabila hari ini ada di antara kamu yang telah kehilangan gairah dalam hidup, aku mengundangmu untuk bergandengan tangan, untuk kembali percaya pada-Nya karena hanya dalam Allah sajalah ada kehidupan yang sejati.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Cara Memuliakan Tuhan dengan Emosimu

Oleh Charmain Sim.

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Ways to Glorify God with Your Emotions.

Masa-masa menjadi ibu menunjukkanku bahwa sebenarnya aku bukanlah orang yang kalem seperti yang kukira dulu. Semenit pertama aku kesal karena anakku tidak membereskan mainannya. Menit kedua, aku tertawa melihat tingkahnya menepuk-nepuk krayon supaya krayon-krayon itu tidur. Sukacita, frustrasi, senang, lelah, empati, tergesa-gesa, antusias, dan kesedihan—semuanya adalah emosi yang hadir setiap hari seperti roller-coaster.

Hasilnya, saat ini aku mengerti lebih baik tentang volatilitas emosi. Artinya, emosi itu bisa berubah dengan sangat cepat, mendorong dan menarikku ke berbagai arah jika aku bertindak berdasarkan apa yang kurasakan pada suatu saat. Mengalami berbagai macam emosi setiap hari membuatku merenung: apakah ada cara yang lebih baik untuk menanggapi setiap perasaanku?

Tidaklah salah untuk merasakan sesuatu. Perasaan diciptakan oleh Allah. Perasaan bisa dan harus memuliakan Allah (1 Korintus 10:31). Alkitab selalu bicara tentang seseorang secara utuh, seperti yang Yesus sampaikan di Matius 22:37, Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.”

Pertanyaannya adalah: Bagaimana? Apa artinya memuliakan Allah dengan sesuatu yang tidak berwujud seperti perasaan?

Salah satu ayat favoritku mengatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23).

Gambaran yang muncul ketika kita berpikir tentang “menjaga hati” adalah memasang pagar pengaman untuk menjaga hati kita dari segala sesuatu yang tidak kita inginkan. Tapi, supaya memastikan hati kita memancarkan kehidupan, kita harus melihat ke dalam pagar pengaman itu, untuk menyelidiki apa yang ada di dalamnya, yakni emosi kita. Apakah emosi kita berada di bawah naungan terang kebenaran ilahi supaya kita bisa menanggapi segala sesuatu dengan cara yang sesuai Alkitab?

Ini sama sekali bukan daftar lengkap tentang cara-cara menangani emosi kita, tetapi ada tiga kebenaran yang saat ini sedang kupelajari untuk kuterapkan pada emosiku, dalam upayaku untuk menjaga hatiku lebih baik.

1. Akui dan serahkan emosimu pada Allah

Akan lebih mudah untuk memuliakan Allah ketika kita sedang mengalami emosi yang positif. Dulu aku percaya bahwa merasa negatif itu tidak baik. Ketika aku sedih atau marah, aku memilih mengubur perasaan ini daripada mengutarakannya. Kecenderungan ini muncul karena watak alamiku, tetapi pengalamanku di masa lalu juga turut mempengaruhi bagaimana aku merespons. Namun, Alkitab menunjukkan sebaliknya, terkhusus di kitab Mazmur. Tidaklah salah untuk mengakui perasaan-perasaan kita. Faktanya, raja Daud datang kepada Allah membawa serta seluruh emosi negatifnya: ketakutan, kesedihan, kesepian, kemarahan, rasa sakit.

Tahun lalu aku bergumul dengan amarah. Dipicu hal kecil, awalnya aku berpikir untuk mengabaikan saja masalahnya. Tapi, semakin kuabaikan, semakin rasa marah itu tumbuh. Ketika aku jujur pada Tuhan, Dia membuka pandanganku untuk melihat bahwa kemarahanku lahir dari persepsiku bahwa aku gagal untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Hanya ketika aku mengakui dan jujur, di situlah Tuhan menyentuh dan membebaskanku dari belenggu kemarahan.

Aku belajar apa yang selama ini Daud ketahui: mengakui perasaan kita kepada Tuhan bukanlah suatu kelemahan. Sebaliknya, ketika kita melakukannya, kita mengaku bahwa kita membutuhkan Dia dan kita siap mendengar apa yang Allah ingin katakan buat kita. Dengan mengakui, kita turut menyatakan bahwa Allah jauh lebih besar daripada emosi yang dapat mengendalikan kita. Saat kita menjadikan Allah sebagai kekuatan dalam kelemahan kita, kita memuliakan Dia. Inilah mengapa, apa pun yang terjadi Daud tetap dapat memuji Allah (Mazmur 43:5).

2. Bicarakan firman Allah kepada emosi yang kamu rasakan

Ada saat-saat ketika aku dicengkeram rasa takut. Aku takut orang yang kukasihi meninggal. Takut akan keamanan. Takut melukai bayiku. Takut kehilangan kewarasanku. Ketakutan itu datang dalam berbagai bentuk dan ukuran dan selalu mencengkeramku. 

Tapi, tiap kali merasa takut, kubuka Alkitabku. Ayat-ayat seperti Roma 8:15 atau 2 Timotius 1:7 yang menyatakan bahwa Allah memberikan kita bukan roh ketakutan, tetapi roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan penguasaan diri, telah menolongku berjuang melawan rasa takut. Aku dikuatkan dan dibebaskan ketika menjadikan ayat tersebut doa buatku sendiri. Ketika firman itu kukatakan pada perasaanku, ketakutanku tidak langsung hilang. Namun, ketika aku terus melakukannya, pelan tapi pasti, rasa takut itu kehilangan daya cengkeramnya pada diriku.

Bukan berarti aku tidak lagi merasa takut, tapi sekarang aku bisa melihat dengan lebih baik bagaimana perasaanku sendiri mengarahkanku. Ketika perasaanku mengalihkanku menjauh dari Tuhan, aku bisa melawannya dengan senjata yang Tuhan telah berikan. Ketika aku melakukan ini, aku sedang memuliakan Dia.

3. Ubah emosimu menjadi tindakan

Meskipun perasaan kita bisa jadi indikator akan kondisi batin kita, perasaan juga bisa jadi cara Tuhan menyatakan kerinduan-Nya bagi kita agar kita bisa berjalan menuju tujuan-Nya bagi kita.

Membaca berita tentang anak-anak yang diperjualbelikan membuat kita marah. Mendengar tentang kehilangan seorang teman membuat kita sedih. Menyaksikan masalah sosial di kota kita membuat kita putus asa. Daripada berkubang dalam perasaan-perasaan itu, membanya ke hadapan Tuhan akan menolong kita memahami apa yang Tuhan ingin kita lakukan.

Yesus ingin pergi menyendiri, tetapi Dia tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak yang lapar sehingga Dia pun memilih melayani mereka (Markus 6:30-44). Setelah mendengar tentang reruntuhan Yerusalem, Nehemia mengubah kesedihannya menjadi tindakan nyata dengan memulai kembali pembangunan tembok kota (Nehemia 1).

Berjuang demi keadilan sosial, menghibur seorang teman, atau berlutut dalam doa syafaat—ada kalanya Roh Kudus mendorong kita untuk melakukan tindakan yang diarahkan Allah melalui emosi kita. Untuk memastikannya, kita perlu berhenti sejenak. Jika itu memang dari Roh Kudus, maka respons kita adalah taat. Itulah momen ketika letupan emosi kita bisa berubah menjadi tindakan yang memuliakan Allah.

***

Sejak aku berdamai dengan emosi-emosi dalam diriku, aku telah menemukan bahwa emosi adalah alat yang berguna untuk mengukur bagaimana kondisi batinku–dan aku ingin mengajakmu untuk melakukan yang sama. Saat kita memahami hati kita lebih baik, kita bisa mengambil langkah yang tepat untuk memuliakan Tuhan. Dari berserah kita jadi berdaya untuk taat. Perasaan kita bisa jadi sarana yang mendorong kita untuk memelihara “mata air” kehidupan dalam diri kita yang mengalirkan kasih, kebaikan, dan anugerah Tuhan.

Kiranya apa yang dituangkan keluar dari hati kita memuliakan Allah dalam segala hal.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥