Ternyata Aku Gak Cuma FOMO, Tapi Sombong Juga…
Oleh Edwin Petrus, Medan
Beberapa waktu yang lalu, sambil scroll video-video di Instagram dari para content-creator yang menceritakan perjalanan liburan mereka, aku pun mengajak istriku untuk merencanakan mengambil cuti tahun ini dan pergi liburan. Hatiku bergejolak dan langsung semangat mencari destinasi. Tiba-tiba, muncul nama suatu kota karena aku teringat dengan seorang teman yang tinggal di sana. Aku dan istriku memang belum pernah berkunjung ke sana, tetapi tampaknya dia kurang tertarik dengan kota itu.
Aku pun berusaha meyakinkan istriku dengan mencari-cari informasi di YouTube tentang destinasi-destinasi wisata di kota itu. Dengan raut wajah yang kecewa, dia bertanya: “Yakin mau ke situ?” Semangatku pun patah setelah tahu kalau daya tarik wisata di kota itu ternyata kurang menarik bagi istriku. Namun, yang lebih membuatku gigit jari adalah pertanyaan berikutnya yang dia lontarkan: “Sayang, kok kamu bisa kepikiran mau ke kota itu sih? Cuma gitu aja tempat-tempat yang bisa kita kunjungi! Sayang duitnya aja. Tiketnya sudah berapa, belum hotelnya lagi…”
Aku terdiam sejenak dengan pertanyaan itu. Ketika aku mencoba merenungkannya lagi sambil melanjutkan scroll video-video di Instagram, aku disadarkan kalau sebenarnya aku mengajak istriku pergi liburan lebih karena FOMO (Fear Of Missing Out). Aku takut kalau tidak pergi liburan, aku tidak punya cerita yang bisa aku bualkan ketika kami ngumpul bareng. Apalagi, sebagian temanku sudah merencanakan jadwal liburan mereka sejak awal tahun. Bahkan, ada dari mereka sudah mengalokasikan semua cuti tahunan untuk pergi ke destinasi A, B, C, D dan seterusnya di tahun ini.
FOMO adalah satu hal. Namun, ketika aku berdiskusi dengan istriku tentang perenunganku ini, aku juga menemukan bahwa aku tidak hanya sekadar FOMO, tetapi aku sebenarnya juga ingin menyombongkan diri ketika mengajak istriku liburan. Ketika memilih kota itu, di dalam hatiku, ternyata aku ingin pamer kehebatanku di dalam menemukan hidden gem destinasi wisata baru yang belum populer dikunjungi orang banyak, bahkan teman-teman di komunitasku. “Wow, pasti keren ini! Nanti orang-orang akan banyak bertanya tentang destinasi ini dan aku punya narasi yang belum pernah diceritakan orang lain,” itulah suara hatiku yang sebenarnya.
Aku bersyukur ketika Tuhan kembali menyadarkanku lewat peristiwa ini, kalau aku masih bergumul dengan dosa kesombongan. Aku melihat adanya celah yang bisa dipakai oleh si jahat untuk menjatuhkan diriku lagi ke dalam dosa ini lewat ke-FOMO-anku. Ternyata aku tidak sekadar FOMO, tetapi di baliknya, aku sebenarnya sombong dan ingin menyombongkan diriku.
Dosa Kesombongan
Kawan, bibit kesombongan ada dalam setiap diri kita. Aku dan kamu sangat rentan jadi pribadi yang sombong. Kamu bisa saja tidak setuju denganku, tapi mari kita samakan persepsi dulu ya. Apa itu kesombongan? Kamus Besar Bahasa Indonesia menuliskan bahwa kesombongan adalah sifat yang menghargai diri secara berlebihan. Kesombongan itu juga bisa diartikan sebagai keyakinan yang berlebihan mengenai kemampuan diri sendiri sampai-sampai tidak lagi menyadari bahwa ada pribadi yang lebih hebat darinya, termasuk Tuhan.
Menariknya kawan, kesombongan adalah dosa yang paling tua. Para bapak gereja, yaitu pemimpin gereja di awal Masehi mengategorikan dosa kesombongan ini sebagai dosa dari segala dosa. Sebab, dosa kesombongan ini melahirkan dosa-dosa yang lain. Masih ingat dengan kisah kejatuhan Adam dan Hawa di Kejadian 3? Mengapa Adam dan Hawa memilih untuk memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat, yang jelas-jelas dilarang oleh Tuhan? Ya, mereka tergoda oleh tawaran Iblis bahwa mereka bisa jadi sama seperti Tuhan kalau mereka memakan buah itu. Adam dan Hawa ingin memiliki kemampuan yang setara dengan Sang Pencipta. Dengan kata lain, mereka tidak mau tunduk pada otoritas yang lebih tinggi, tetapi mereka ingin sederajat atau bahkan lebih tinggi dari Tuhan karena mereka menganggap diri mampu mencapai kedudukan itu. Kawan, inilah kesombongan dari Adam dan Hawa.
Ketika kita melanjutkan pembacaan dari kisah manusia setelah kejatuhan ke dalam dosa akibat kesombongan, kita dapat melihat bagaimana akhirnya muncul dosa-dosa yang lain. Adam menyalahkan Hawa yang memberi buah terlarang tersebut. Kain tega membunuh adiknya, Habel karena iri hati. Bukan itu saja, dosa-dosa lain pun muncul: kebohongan, amarah, keegoisan, perseteruan, hawa nafsu, kecemaran, percabulan, dan seterusnya.
Kesombongan memang adalah awal dari kejatuhan manusia. Demi mempertahankan kesombongan diri, manusia berani saja melakukan dosa-dosa yang lain. Bahkan di daftar dosa yang dibenci Tuhan di Amsal 6:16-19, kita bisa menemukan bahwa “mata yang sombong” berada di urutan yang pertama. Walaupun demikian, dosa kesombongan bukan berarti lebih berat dan paling jijik di mata Tuhan. Yang namanya dosa, semuanya adalah kekejian di mata Tuhan dan hukumannya adalah sama, yaitu kematian (Rm. 6:23).
Akar dari kesombongan itu selalu berpusat pada diri sendiri. Kesombongan itu selalu berbicara tentang “aku,” “diriku,” “maunya aku,” dan “kepunyaanku.” Tidak ada ruang bagi “kamu,” “dia,” apalagi “mereka.” Kesombongan membawa kita pada pandangan bahwa “akulah” yang terpenting. Fokus pada “aku” membuat “si aku” tidak akan segan-segan memperjuangkan segala sesuatu demi diri sendiri. “Aku” tidak peduli akan kegagalan orang lain. Diriku yang sombong akan memandang rendah orang lain, yang penting agendaku berjalan dan targetku tercapai. Orang yang sombong juga tidak lagi kagum akan kasih anugerah Tuhan, bahkan mungkin saja dia mencuri kemuliaan Tuhan.
Kawan, dosa kesombongan sungguh mengerikan. Aku tidak punya pilihan lain untuk melawan kuasa dosa selain menyandarkan diriku pada kasih anugerah Allah. Diriku sendiri tidak akan pernah berhasil melawan “si aku” yang selalu ingin menjadi sombong. Kita hanya hanya menang atas dosa kesombongan dengan mengakui bahwa Kristus adalah satu-satunya yang dapat mengubahkan kita.
Karya Kristus di atas kayu salib adalah bukti bahwa Sang Anak Allah merendahkan diri dan menanggalkan segala kemuliaan yang dimiliki-Nya. Sang Raja memilih untuk menjadi hamba yang menderita, mati di atas kayu salib untuk menyelamatkan kita dari hukuman maut yang seharusnya menjadi ganjaran dari kesombongan kita. Oleh karena darah-Nya yang tercurah di atas salib, kita dikuduskan dan diampuni di hadapan Allah Bapa. “Si aku” tidak bisa menyombongkan dirinya sama sekali, karena “si aku” hanya perlu menerima anugerah Tuhan yang gratis ini, tanpa perlu usaha atau pencapaian apa pun untuk dapat dibebaskan dari hukuman kekal ini.
FOMO tapi Tidak Sombong, Bolehkah?
Kawan, FOMO memang sudah menjadi tren di semua kalangan usia, bukan hanya di generasi muda. Anak-anak, remaja, pemuda, dewasa, bahkan lansia pun bisa FOMO ketika membandingkan diri dengan orang lain. Akhirnya, kita selalu memiliki rasa khawatir dan takut yang berlebihan kalau-kalau kita tertinggal tren yang sedang berjalan. Jadi, kita akan selalu meng-update diri dengan segala hal yang terjadi di dunia sekitar kita.
Di satu sisi, aku bukan kaum yang setuju dengan pandangan bahwa kekristenan harus anti teknologi dan perkembangan zaman. Aku justru mendorong orang-orang Kristen untuk terus bergerak progresif dan tidak ketinggalan zaman. Roma 12:2 menjadi peganganku di dalam merespons pergerakan dari dunia ini, untuk tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi terus berubah oleh pembaruan budi (pemikiran), supaya aku bisa membedakan apa yang baik dan jahat serta apa yang menjadi kehendak Allah dan hal-hal yang ditentang oleh Allah.
FOMO sendiri muncul sebagai dampak dari penggunaan media sosial (Instagram, Tik Tok, Telegram, X/Twitter, Facebook, Whatsapp, dan sejenisnya). Konten-konten di media sosial tersebut menciptakan tren-tren yang secara implisit mengirimkan pesan bahwa kita pun harus mengikuti tren-tren tersebut agar kita tidak ketinggalan zaman. Kemudian, kita menjadi cemas dan takut ketika kita belum berhasil menjadi seperti mereka di media sosial. Akhirnya, kita pun terpengaruh untuk menjadi seperti mereka dan mungkin saja kita menjadi sombong ketika kita berhasil menjadi seperti mereka atau lebih hebat dari mereka.
Aku senang dengan pandangan dari Tony Reinke dalam bukunya “12 Ways Your Phone is Changing You” (12 Cara Ponselmu Sedang Mengubahmu). Dia berkata bahwa setiap inovasi teknologi adalah undangan teologis baru bagi umat Tuhan untuk mengalami pembaharuan kontemplasi yang alkitabiah. Artinya, Tuhan tidak menutup kesempatan bagi kita untuk memanfaatkan teknologi untuk dapat terus membangun relasi yang baik dengan Tuhan dan sesama. Media sosial maupun ponsel kita adalah sarana yang baik yang disediakan oleh Tuhan bagi kita untuk memuliakan-Nya.
Kawan, pilihannya ada di tangan kita. Kita bisa memilih untuk merespons konten-konten di media sosial dengan FOMO maupun dengan rencana untuk menjadi menyombongkan diri dengan membuat konten baru yang lebih spektakuler. Kita pun bisa memilih untuk hanya menanggapi konten-konten itu sebatas hiburan, informasi baru bagi kita, ataupun sebagai sarana anugerah Allah untuk memperlengkapi kita. Kita bisa memafaatkan media sosial dan tren terbaru sebagai jalan masuk untuk memberitakan tentang Injil Kristus.
Namun, pada akhirnya, seperti ponsel yang ada di genggaman tanganmu, kamu pun punya kebebasan untuk menerima maupun menolak. Yuk, mari kita terus bersandar pada anugerah dan hikmat dari Tuhan di dalam meresponi konten-konten di media sosial biar kamu gak outdate atau pun FOMO.
Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥