Posts

Kesibukan yang Mengosongkan

Sebuah cerpen oleh Ernest Martono

Seperti singa lapar bangun dari tidur, tiba-tiba tenaga Fera seolah terisi penuh. Dia menghalauku keluar kosannya.

”Kau pulang saja. Aku sudah bisa sendiri. Semua baik-baik saja!”

Sudah pasti dia sedang tidak baik-baik saja. Padahal aku baru mengantarnya pulang. Dia lemas seusai acara penyambutan mahasiswa baru kelar.

Fera datang 15 menit setelah acara penyambutan itu dimulai. Rambutnya lepek, dahi dan pipinya mengkilap, dadanya kembang kempis seperti habis berlari. Aku bisa menebak ia kurang tidur dari warna kantung matanya. Pemandangan itu cukup untuk menahan amarahku karena keterlambatannya.

“Lo gak apa-apa, Fer? Lo kelihatan lemas soalnya,” tanyaku.

”Sorry, gua telat. Tadi rapatnya alot. Makanan sudah datang? Gua gak apa-apa, kok.”

Dia lenyap terhisap dalam kesibukan. Lagi.

Sebenarnya aku sudah berulang kali menyarankannya mundur dari persiapan ospek fakultas. Satu bulan lalu adalah terakhir kali aku memintanya mengurangi kegiatan.

”Gua bisa, kok, tenang aja.”

”Bisa tifus, Fer. Lo pengurus persekutuan kampus, kita lagi siapin ibadah penyambutan mahasiswa baru, lo AsDos, terus sekarang lo ambil ospek fakultas juga. Lo sibuk banget, Fer.”

”Memang kenapa kalau gua punya kapasitas lebih?”

”Manusia ada limit-nya, Fer. Sejak lo ambil ospek, lo jadi gak datang rapat beberapa kali. Padahal lo koordinator bidang acara.”

Next rapat gua bisa hadir.”

”Bukan itu, Fer. Gua mau lo fokus ke hal yang bernilai buat lo.”

”Semua bernilai dan akan gua usahakan. Kalau gak ada lagi gua pergi dulu. Mau ada ketemuan sama dosen setelah ini.”

”Tapi, tidak semua hal bernilai sama kan, Fer?” Kurasa Fera tidak dengar kalimatku, dia sudah bergegas kala itu.

Aku tidak tahu mengapa semua itu bernilai buat Fera. Semua mau dikerjakannya. Seolah-olah jadwal kosong adalah monster baginya.

Acara penyambutan berjalan khusyuk dan hangat. Para mahasiswa baru pulang penuh penghiburan. Wajah mereka penuh dengan sukacita merasa dikasihi. Semua jerih lelah kami selama empat bulan kontan terbayar puas. Semua karena kasih Yesus. Namun, tiba-tiba Fera panik mencari plastik dan mendekatkannya ke wajah. Dia muntah. Segera kami menopang tubuhnya yang mulai oleng. Matanya tidak fokus. Napasnya berat. Fera kelelahan.

Aku mengantarkannya pulang ke kosan. Hari sudah larut malam ketika kami pulang dari klinik kesehatan kampus. Sesampainya di kamar, Fera hendak tidur. Dia mengganti setelan bajunya yang sudah lepek. Di saat itulah aku baru mengetahui apa yang selama ini disembunyikannya.

”Fer, itu luka apa di paha lo? Kok, kelihatan masih baru?” Bukan hanya luka itu saja, bekas luka-luka serupa juga nampak di paha lainnya. Tanpa penjelasan dia mengusirku sampai depan pagar kosan. Aku pulang dengan keterkejutan di hati.

”Ada yang melihat Fera atau bisa mengontak dia?” Sejak hari itu, hanya kalimat itulah yang aku tanyakan ke setiap orang yang mungkin bertemu Fera. Fera hilang kontak. Hilang dari peredaran. Hilang dari kesibukan. Aku khawatir pada luka-luka itu. Aku sudah menanyakan panitia ospek fakultas. Ternyata di sana pun Fera sudah lama tidak hadir.

Ini sudah keempat kali aku datang ke kosannya. Aku hanya menemukan pintu kamarnya yang tertutup. Kali ini penantianku dari pagi tidak sia-sia. Aku bertemu dengan Fera malam hari dalam situasi yang tidak kuharapkan.

”Buka, buka pintu kamarnya!” seru seorang pria yang membopong Fera. Dua orang wanita sibuk mencari kunci dan membuka pintu. Fera pingsan di depan gang kosannya. Baru kuketahui kedua wanita yang bersamanya adalah teman gereja Fera. Mereka memang sengaja mengantar Fera yang kelihatan lemas. Mereka baru saja pulang dari bakti sosial gereja. Sedangkan pria itu hanya seorang yang kebetulan lewat.

”Gak apa, Kak. Kakak-kakak pulang saja. Aku akan menginap temanin Fera,” tawarku dan mereka setuju.

Aku berbaring di samping Fera. Malam itu bau minyak kayu putih memenuhi ruangan. Tiba-tiba terdengar suara isak tangis. Fera mulai sadar.

”Ran…. gua gak kuat lagi, Ran,” lirih Fera. Aku segera memeluknya.

”Tidur aja, Fer. Lo pasti capek, kan. Itu kebutuhan lo sekarang.”

”Pikiran gua penuh. Gua mikir mulu, Ran.”

”Malam ini hadiah untuk lo, Fer. Lo bisa istirahat tanpa memikirkan itu semua. Gua temenin lo, kok. Gua nginap.”  Tak lama Fera terlelap. Aku berdoa pada Tuhan agar memberikan Fera istirahat yang dia butuhkan.

”Gua kira dengan memenuhi jadwal kegiatan akan membuat diri gua lebih penuh.” Pagi hari sembari sarapan kami berbincang.

”Pikiran gua selalu menuduh ada yang kurang. Kalau ada jadwal kosong pasti mikirnya ’sia-sia, nih, waktu gua.’ Gua selalu mikir kayak gak boleh kosong. Kalau kosong pasti ada yang miss. Padahal gua tau Ran, gua capek. Gua gak sanggup. Tapi, rasa kosong membuat gua takut. Gua udah pernah coba diam di kosan. Baca buku atau sekedar baring-baring. Tapi, gua selalu mikir ada yang kurang. Sampai akhirnya… ya, lo tau. Luka-luka di paha ini… luka ini mengalihkan pikiran gua.”

Aku melihat lagi bekas luka-luka di paha Fera. Ternyata luka itu representasi dari luka di hatinya.

”Gua gak tau tujuan gua apa dengan semua kesibukan itu. Gua pikir itu semua ada nilainya. Tapi, ternyata semua kesibukan itu mengosongkan. Selama ini gua hanya melihat nilai manfaat kesibukan itu hanya supaya gua tidak membaret paha gua. Gua ga tahu harus apa lagi, Ran.” 

Mendengar kejujuran Fera, hatiku hanya bisa berdoa agar Tuhan menunjukkan apa peranku.

”Fer, gua keinget.” Aku langsung mengambil smartphone. ”Lo ingat gak, ini kapan? Waktu itu lo jadi WL di ibadah ini.” Lewat foto-foto yang aku tunjukkan, kami bernostalgia. Kami saling sambar menyambar cerita yang terkenang dari foto-foto itu. Bersama kami tertawa dan sejenak mengalihkan rasa sakit Fera.

”Parah emang Dion. Waktu itu masa bisa ketuker gitar sama bass. Untung lo bawain dia gitar, Ran.” 

”Fer…” aku menyela. ”Gua cuma mau bilang, dari semua kesibukan lo, yang paling bernilai itu adalah diri lo, Fer. Foto-foto ini menunjukkannya. Kami menikmati kehadiran lo, Fer. Yesus mati buat diri lo. Lo tidak perlu lagi merasa kurang karena Yesus sudah cukupkan diri lo.”

Fera terdiam. Wajahnya tertunduk. Aku tahu hatinya sedang bergejolak.

”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Itu kata Yesus. Kalau nanti pikiran lo menuduh lagi, kalau nanti kekosongan datang lagi. Mau, ya, datang ke Yesus. Dia pasti kasih kelegaan.”

”Gua takut gua baret kaki lagi, Ran.”

Aku menarik napas.

”Kalau lo ada keinginan itu, kontak gua aja, Fer. Gua mau temenin lo, kok. Kita lihat foto-foto lagi nanti.”

”Thanks, ya, Ran. Emang gua ga salah pilih sahabat. Nanti ingetin gua juga, ya, kalau sembarangan ambil kesibukan lagi.”

Kami berpelukan dalam senyum.

Beberapa minggu ke depan, atas saranku Fera setuju untuk pergi ke konselor Kristen profesional. Sejak saat itu aku melihat banyak perubahan dalam diri Fera. Pertemanan kami pun juga semakin dekat.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Melihat dan Mengalami Tuhan dari Luka yang Masih Membekas

Oleh Jefferson

Beberapa bulan yang lalu, aku menonton habis dua season pertama dari serial televisi yang sekarang menjadi salah satu favoritku, The Bear. Serial TV asal Amerika ini bercerita tentang koki muda bernama Carmy yang meneruskan restoran keluarganya. Terdengar sederhana bukan? Tapi, The Bear tidak cuma bercerita tentang sosok seorang koki, ada kisah yang menyentuh hati di baliknya. Izinkan kuceritakan sedikit.

Pada season pertama serial ini, Carmy pulang ke Chicago setelah kakaknya, Michael, meninggal. Kepulangannya cukup rumit karena hubungan Carmy dengan Michael tidak akur. Michael sering mengucilkannya dan melarangnya bekerja di restoran keluarga. Begitu lulus SMA, Carmy pun merantau dan belajar dari berbagai koki ternama untuk membuktikan dirinya kepada Michael. Apa daya Michael meninggal sebelum kesempatan itu datang. Namun, di akhir season pertama, Carmy mendapati bahwa kakak laki-lakinya itu sebenarnya ingin berdamai dan bekerja dengannya di restoran milik keluarga mereka.

Maka pada season kedua, The Bear menceritakan proses Carmy dan tim karyawannya merenovasi restorannya sesuai dengan visi yang pernah ia bagikan dengan Michael. Pada waktu bersamaan, Carmy bertemu dan mulai berpacaran dengan teman masa kecilnya, Claire. Bersama Claire, untuk pertama kalinya Carmy bisa bersantai di luar lingkungan dapur yang penuh tuntutan. Ia juga menemukan dukungan, hiburan, dan apresiasi dalam diri Claire. Tetapi, seiring berjalannya waktu, Carmy menghabiskan terlalu banyak waktu bersama Claire dan melalaikan tugas-tugasnya untuk renovasi restoran, termasuk lupa memperbaiki pintu kulkas dapur. Keteledoran Carmy mencapai klimaksnya pada episode penutup, di mana ia terkurung di dalam kulkas dapur pada malam pembukaan kembali restorannya.

Selama terperangkap di dalam kulkas, Carmy mulai panik dan memandang dengan negatif setiap keputusan yang diambilnya selama masa renovasi, termasuk hubungannya dengan Claire. Perenungan penuh penyesalan Carmy pun berakhir pada satu kesimpulan suram:

Aku adalah seorang psikopat! Itulah mengapa aku ahli dalam apa yang aku lakukan. Itulah cara aku bekerja. Aku adalah koki terbaik karena aku tidak memiliki hubungan dan semua omong kosong ini! Aku bisa fokus, aku bisa konsentrasi, aku memiliki rutinitas… […] Aku tidak perlu memberikan hiburan atau kenikmatan, aku tak perlu menerima hiburan atau kenikmatan, dan aku baik-baik saja tanpa semuanya itu, karena tidak ada hal baik apapun yang sepadan dengan betapa buruknya perasaanku sekarang. Itu semua hanya buang-buang waktu saja.

Belajar dari tokoh Carmy, tapi dalam terang Firman

Sehabis menonton episode di atas, aku menemukan diriku tak bisa tidak berempati dengan Carmy. Kali ini aku berempati dengan Carmy dari segi hubungan kami dengan orang lain. Sebenarnya aku bukanlah orang yang bisa berteman dengan mudah. Luka-luka masa kecil dan remajaku (yang pernah aku bagikan dalam beberapa tulisan) membuatku tak biasa diperhatikan dan dikasihi orang lain. Alhasil, ketika merenungkan kesimpulan Carmy di dalam kulkas dapur, aku berhipotesis bahwa aku pun adalah seorang “psikopat”; aku menjauhkan diri dari orang-orang terdekatku ketika aku perlu fokus mengerjakan panggilanku, yang ironisnya adalah masa-masa di mana aku justru paling membutuhkan mereka.

Hipotesa ini sempat membuatku stres, apalagi karena aku memasuki periode sibuk di paruh kedua tahun ini: penerbitan hasil proyek risetku, beberapa perjalanan ke luar kota dalam rangka pelayanan, dan pelaksanaan sejumlah tanggung jawab dalam pelayanan baruku di gereja. Di tengah segala kesibukan itu, aku jadi takut kalau aku akan mendorong jauh-jauh orang-orang terdekatku dan melukai mereka demi aku bisa fokus total. Merasa tak berdaya memproses kemungkinan ini sendirian, aku meminta bertemu dengan mentorku di rumahnya. Di sana, aku menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan dalam hidupku, termasuk perenunganku atas kesimpulan Carmy.

Setelah mendengarkan ceritaku, mentorku menegaskanku bahwa aku telah jadi orang yang berbeda sejak kali terakhir kami bertemu. Dia menjelaskan pengamatannya bahwa setelah mengalami sendiri luka-luka itu, aku mampu mengambil pelajaran darinya.

Sepulang dari bertemu mentorku, aku terhenyak dalam rasa syukur kepada Kristus yang tak membiarkanku larut dalam keputusasaan akibat masa laluku yang kurang baik. Sebaliknya, Tuhan Yesus menunjukkan dalam Firman-Nya bahwa orang-orang seperti Carmy dan aku bisa melenyapkan ketakutan kami di dalam kasih-Nya dan memberi ruang bagi orang-orang terdekat kami di tengah kesibukan kami. Pelan-pelan, aku mengingat ayat-ayat Alkitab yang mengingatkan aku tentang kebenaran-kebenaran Tuhan Yesus yang telah mati dan bangkit untuk menebus orang berdosa, seperti Roma 8, Ibrani 10:24–25, dan 1 Korintus 15:10. Yang paling berkesan di antara perikop Firman Tuhan yang aku ingat malam itu tercatat dalam 1 Yohanes 4, yang kemudian aku ingat dan renungkan kembali setiap kali aku merasa seperti terkurung di dalam kulkas dapur bersama Carmy:

“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan siapa yang takut, ia tidak sempurna di dalam kasih. Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.”

Ya, aku punya luka-luka yang mungkin masih membekas, tapi Yesus Kristus telah mengasihi aku lebih dulu, bahkan mati dan bangkit sebagai bukti kasih-Nya padaku dan semua orang yang percaya kepada-Nya. Ketakutanku pun lenyap. Aku dapat menjalankan panggilan-Nya dalam kasih dan dukungan orang-orang terdekatku sambil terus mengasihi mereka dengan kasih-Nya.

Penutup: sampai Anak Domba menggantikan matahari

Dalam terang kemuliaan Kristus, segala hal di dunia ini – termasuk serial TV, tokoh fiksi, dan pengalaman kehidupan kita – menunjuk kepada Dia yang telah menebus mereka demi kemuliaan-Nya dan sukacita kita. Jalan-jalan sinar dari hidup yang ditilik terang Firman ini tidak selalu jelas dan lurus, malahan mereka lebih sering tersembunyi dan berliku-liku. Walaupun begitu, tempat tujuan akhir dari jalan-jalan ini tidak asing bagi mereka yang hidup ditilik oleh Firman Kristus. Alkitab dengan konsisten melukiskan masa depan para pengikut Kristus dan seluruh ciptaan di langit dan bumi yang baru yang diterangi langsung oleh sang Anak Domba Allah sendiri:

Kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya. Bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya; dan pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup sepanjang hari, sebab malam tidak akan ada lagi di sana; dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya. (Wahyu: 21:23–26)

Dalam kasih anugerah Allah, aku berdoa supaya kita setia memberikan segenap hidup kita ditilik Firman sampai Anak Domba menjadi terang kita langsung dan kita melihat-Nya muka dengan muka (1 Kor. 13:12).

Kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, soli Deo gloria.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bandung Buatku, 15 Tahun Kemudian: Tempat Luka Lama Dipulihkan

Oleh: Jefferson

Kereta api sedang bergerak memasuki peron ketika temanku bertanya, “Jadi apa takeaway terbesar lu dari acara kita, bro?”

Lima hari sebelumnya, kami tiba di stasiun yang sama dari arah berlawanan untuk melayani di retret remaja. Buatku, pergi ke Bandung, apalagi untuk pelayanan, sebenarnya sudah jadi pelajaran paling berharga sepanjang tahun ini karena kota ini tidak pernah masuk dalam rencana perjalananku untuk tahun 2024.

Mengapa demikian? Ada memori di kota ini yang masih terpelihara di dalam relung hatiku 15 tahun kemudian.

Kunjungan awal yang meninggalkan luka

Aku pertama kali mengunjungi Bandung untuk karyawisata sekolah di tahun 2009. Saat itu aku duduk di kelas delapan. Tempat-tempat yang kuingat kami kunjungi dalam karyawisata dua hari satu malam itu termasuk perkebunan stroberi, Kawah Putih, Situ Patenggang, dan Taman Patung NuArt. Lokasi-lokasi wisata yang menyenangkan dan edukatif, bukan?

Tapi waktu itu aku tak merasa demikian. Kalau kamu tahu kisah pertobatanku, kelas delapan termasuk dalam masa awal aku mulai mencoba mengembangkan filsafat hidup pribadi yang berbasis humanisme sekuler, agnostisme, dan ateisme. Ditambah dengan faktor banyaknya teman di sekolah yang mengaku “Kristen” tetapi kelakuannya jauh berbeda dari Kristus, aku merasa asing dan tak nyaman selama karyawisata. Aku bahkan (dengan penuh penyesalan atas dosa masa remajaku ini) memandang rendah mereka yang menikmati perjalanan kami.

Walaupun pada akhirnya aku bisa sedikit menikmati berbagai aktivitas dari karyawisata itu, aku mengakhiri kunjungan pertamaku ke Bandung sebagai seorang remaja penyendiri yang idealis dan dalam keangkuhannya mengira ia telah melangkah lebih jauh dari teman-teman sebayanya. Begitu buruknya kondisi mentalku waktu itu sehingga aku mengasosiasikannya dengan Bandung secara tidak sadar: aku tidak suka kebanyakan teman-temanku, aku rindu rumah, maka aku tidak suka dengan kota tempat kami berkaryawisata.

Sambil bus sekolah memasuki tol Pasteur untuk kembali ke Jakarta, cerminanku di kaca bus merefleksikan luka yang menoreh dalam di benakku.

Kunjungan kejutan yang menyembuhkan luka

Bila aku adalah orang lain yang membaca tulisan ini, mungkin aku akan bertanya, “Kalau kamu secara tidak sadar menghindari pergi ke Bandung selama 15 tahun terakhir, kok kamu sekarang mau ikut pelayanan ke sana?”

Ketika menerima ajakan pelayanan ini di bulan Maret, sejujurnya aku hampir lupa dengan luka batinku. Kubilang “hampir” karena, walaupun bekas luka dan kenangan buruk itu masih ada, pertobatanku di kelas X dan perjalanan hidupku setelahnya, terutama merantau di Singapura selama satu dekade ke belakang, telah membantu memulihkan luka batinku sesehat yang bisa dibilang “sehat” sekarang dalam kasih anugerah Allah. Kembali ke pertanyaan  hipotetis di atas, aku merasa—dan percaya—Tuhan membantuku untuk tak mengorek luka batinku dan terjebak dalam pengalaman kesendirian dan dosa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu. Tak berhenti di sana, Roh Kudus menolongku untuk fokus terhadap dan berharap akan berkat-berkat yang bisa Ia bagikan kepada peserta retret, baik yang dilayani maupun yang melayani, lewat kehadiran dan pelayananku yang tidak layak ini (1 Kor. 15:9).

Yang terjadi selama enam hari lima malam—lima kali lipat dari durasi kunjungan pertamaku ke Bandung—sungguh tidak terduga dan melampaui segala pengharapanku. Kejutan dari Tuhan ini baru kusadari pada malam terakhirku di Bandung, sepulangnya dari makan malam bersama tim panitia inti. Ketika menyadarinya, dan sekarang setiap kali aku mengingatnya, aku perlu menahan diri untuk tidak meneteskan air mata haru.

Sambil berusaha mengontrol rasa haru dan menahan air mata, begini jawabanku terhadap pertanyaan temanku di atas peron stasiun:

“Ada banyak banget hal yang gua pelajari dan renungkan dari acara kita, bro, tapi gua rasa ada satu takeaway yang unik buat gua dan gak dimiliki peserta lain. Lu tahu ‘kan masa lalu gua, gimana dulu gua sempat ateis dan agnostik selama SMP dan awal SMA? Paham gua itu bikin gua jadi arogan, ansos, dan gak mau bergaul sama yang lain. Dan masa di mana kondisi gua saat itu paling menyakiti gua adalah ketika gua karyawisata SMP ke Bandung 15 tahun lalu. Gua berasa gak punya teman sama sekali dan gak bisa menikmati perjalanan kami.

Menariknya dan sangat bersyukurnya—dan ini gua baru sadari semalam—gua nyadar kalau luka masa lalu itu sekarang udah sepenuhnya pulih. Kalau dulu gua hampir gak punya teman selama karyawisata, gua lihat sendiri sekarang bahwa Tuhan udah memberikan gua teman-teman, bahkan saudara-saudari di dalam Dia, yang jauh lebih banyak dan lebih dekat daripada yang diri gua 15 tahun lalu pernah bayangkan. Kalau dulu gua memandang rendah teman-teman yang lain, sekarang gua gak memikirkan diri gua sendiri lagi dan justru fokus gimana gua bisa melayani dan memberkati teman-teman peserta dan anggota panitia yang lain. Dan, kalau dulu gua meninggalkan kota Bandung di dalam kesendirian di tengah keramaian, sekarang gua pulang dari Bandung dengan kesadaran penuh kalau gua gak sendiri lagi; gua punya lu dan teman-teman yang lain, gua adalah bagian dari keluarga besar kerajaan Allah. Sekarang gua memang kurang tidur, kelelahan, dan “malah” melayani ketika gua mestinya lagi cuti, tapi kalau gua dikasih pilihan untuk mengulang semua kejadian dari Sabtu lalu atau enggak, dengan senang hati gua bakal sekali lagi mengorbankan segala yang gua punya, bahkan diri gua sendiri, untuk pelayanan ini. (2 Kor. 12:15).

Jadi, Vin, takeaway terbesar gua dari acara kita ini adalah pemulihan total dari Tuhan buat luka masa remaja gua. Gak pernah seumur-umur gua sangka kalau kota yang dulu meninggalkan luka buat gua sekarang menjadi tempat di mana Tuhan menyembuhkan luka batin itu sepenuhnya, bahkan melimpahi gua dengan berbagai berkat dan kasih anugerah yang gak gua layak terima. Gua bersyukur banget bisa ketemu lu dan teman-teman yang lain dan melayani bersama. Kalau Tuhan berkehendak dan ada kesempatan lain, gua pasti bakal ke Bandung lagi.”

Pengharapan akan pemulihan seutuhnya

Salah satu elemen dari metanarasi Alkitab adalah pemulihan: kita dan dunia yang telah jatuh ke dalam dosa bersama-sama “mengeluh dalam kesakitan bersalin” (Rom. 8:22 AYT) sambil “menantikan dengan penuh harap pengangkatan kita sebagai anak, yaitu penebusan tubuh kita” (ay. 23).

Dalam kedaulatan dan kasih karunia Tuhan Yesus, ada luka-luka batin kita yang Ia pulihkan sekarang. Pengalamanku dan pengalaman-pengalaman serupa lainnya bisa dibilang adalah padanan masa sekarang dari berbagai peristiwa pemulihan ilahi yang dicatat dalam Alkitab: semangat Yakub ketika mengetahui Yusuf masih hidup (Kej. 45:25–28), sukacita Hana saat menyerahkan Samuel anaknya (1 Sam. 2), dan rasa syukur Petrus ketika diafirmasi Tuhan Yesus sebanyak ia menyangkal-Nya sebelumnya (Yoh. 21:15–19). Di saat yang sama, ada luka-luka batin yang baru akan Tuhan pulihkan secara penuh pada kedatangan kedua-Nya, seperti kemarahan Yunus kepada Tuhan dan penduduk Niniwe (Yun. 1–4) dan pertikaian di antara Paulus dan Barnabas (Kis. 15:36–40).

Baik yang sudah Ia pulihkan sekarang maupun yang belum, luka-luka batin kita sepatutnya menuntun kita untuk melihat bilur-bilur Tuhan Yesus yang menyembuhkan kita (Yes. 53:5). Kalaupun saat ini belum Ia pulihkan, kita dapat memegang janji-Nya untuk “menghapus setiap air mata dari mata [kita]” pada kedatangan kedua-Nya (Why. 21:4). Luka-luka itu pun menjadi saksi pekerjaan pemulihan Tuhan dalam hidup kita (bdk. Gal. 6:17).

Semoga pengalamanku memberkati kamu dan memberikan kamu pengharapan pemulihan seutuhnya dari Tuhan.

Kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, soli Deo gloria.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥