Posts

Dilingkupi Anugerah untuk Berjalan di Persimpangan Bersamamu

Sebuah cerpen oleh Tabita Davinia Utomo

Tahukah kamu kalau ternyata yang namanya FOMO juga bisa dialami oleh orang yang “sedikit” lebih settle dalam hidupnya?

Itulah yang aku alami ketika bertemu beberapa temanku di fellowship malam ini di rumah baru William dan Leah. Di sekitar meja yang penuh dengan salad, donat, pisang goreng, dan minuman soda, aku sedang bermain kartu dengan Deanna, Bianca, Alex, Leah, Matthew, Raymond, William, dan Edwin. Setiap pemain perlu mengambil satu kartu, lalu menjawab pertanyaan di dalamnya. Berhubung pertanyaan di kartu-kartu itu berkaitan dengan pengalaman tiap orang, maka pembicaraan yang awalnya penuh lawak akhirnya jadi lebih mendalam.

“Ceritakan salah satu pengalaman yang berkesan bagimu bersama orang yang ada di samping kananmu,” baca Bianca, kemudian dia menoleh ke arah Alex yang memang sedang duduk di sampingnya.

“Cieee, yang on the way nikahh…” goda Matthew.

“Hahaha…” Alex tertawa sumbang lalu berkata, “Nanti kamu bakal ngerasain sama Avery, loh, Matt.”

“Kamu aja, gih, yang cerita,” kata Bianca sambil menyikut kekasihnya itu.

Alex pura-pura terperanjat, lalu berujar, “Kalau gitu, nanti bagianku di-skip aja, ya.”

“Yeee ya kalii.” Bianca tertawa kecil. “Oke, baru-baru ini kami berantem karena masalah mau nikah di mana, karena kalau nikah, kan, butuh duit, yak. Keluargaku ada di Surabaya, sedangkan keluarga Alex ada di Jakarta. Jadi, bingung banget mau nikah di mana dan caranya gimana, karena dua pihak ini punya keinginan masing-masing. Apalagi aku termasuk salah satu cucu tertua yang udah punya pasangan, jadi pasti keluarga besar berharap mereka pun diundang…”

“Ehmm… Wajar, dong, Bi, kalau mereka mau diundang?” tanyaku dengan bingung.

“Hehe…” Bianca nyengir. “Kalau yang diundang saudara sepupu mamaku dari pihak nenek buyutku, itu termasuk jauh banget, enggak, Ave?”

Edwin melongo. “Gile, itu lumayan jauh, sih, Bi,” katanya.

“Dan yang kayak gitu bukan cuma keluarga Bianca, Ed. Keluargaku pun gitu,” kata Alex.

“Makanya beneran drama banget lah untuk nentuin tempat pernikahan kami nanti, meskipun yaaaa masih lama, tapi, kan, tetep perlu dipikirin dari sekarang.”

Sambil membuka salah satu minuman soda di meja, William berkata, “Aku dan Leah juga pernah ada di posisi itu saat memutuskan untuk menikah. Intervensi keluarga besar lumayan besar dalam persiapan pernikahan kami. Yang awalnya mau intimate wedding, eh, ujung-ujungnya ngundang orang sekampung–saking banyaknya. Tapi itu udah termasuk undangan kami dan keluarga masing-masing.”

Leah mengangguk. “Pokoknya drama banget, deh, pas persiapan itu. Tapi memang kembali ke kesepakatan kalian berdua gimana, sih, Lex, Bi. Kalau kalian udah sepakat dan pertimbangannya jelas, mungkin itu akan ngebantu keluarga buat bisa terima, sih…”

“Iya, nih,” balas Alex. “Makasih, ya, Le.”

“Kalau boleh tahu, kalian rencana nikahnya kapan, sih?” tanyaku sambil mengambil toples nastar yang ada di sisi kanan meja.

Bianca memandang ke arah Alex (duh, main telepati, dong. Gemas!). Setelah cowok itu mengangguk, Bianca menjawab, “Kira-kira dua tahun lagi… Tapi aku harus dilamar dulu sama Alex. Hahahahaha…”

Mendengar jawaban Bianca, aku dan teman-temanku tertawa–sementara Alex tersenyum salah tingkah. “Doain aja, ya, guys. Hehe…”

“Oke, lanjut. Abis Bianca, siapa, nih?” kata Deanna.

“Aku, aku,” kataku sambil mengambil kartu di meja, lalu nyengir. “Waduh. Ini bisa cerita panjang, nih. Hahaha…”

“Apa, apa?” Matthew melongok ke sisi kiriku.

“Apakah ada orang di dalam permainan ini yang kamu ingin membangun hidup bersama? Jelaskan!” Aku membacakan isi dari kartu itu.

Semua temanku tergelak karena mengingat Matthew yang menggodai Alex di giliran sebelumnya. “Nah, lho, Matt.. Kena, dehhh. Hahahaha…,” kata Alex di sela-sela tawanya.

Matthew hanya bisa garuk-garuk kepala, lalu berujar padaku, “Aku masih nabung dulu, ya, untuk nikahan kita…”

“Cieeeee…” William dan Edwin bersiul senang.

“Ehemm…” Aku berdeham, kemudian melanjutkan, “Aku belum jawab, loh.”

“Udah pastilah sama Matthew. Ya, kan, Ave? Ya, kan?” tanya Leah.

Aku melirik ke arah cowok yang mukanya sudah seperti tomat rebus itu, kemudian memandang kartu di tanganku sekali lagi. “Hmmm… Semoga gitu, ya, Le. Hehe… Udah pada tahu juga, kan, kenapa aku pilih Matthew?” kataku.

“Lho, kan, disuruh cerita,” ujar Deanna. “Gimana relasi kalian sejauh ini, guys? Masih aman atau udah mulai galau?”

Tiba-tiba Matthew mengangkat tangannya. “Aku yang galau, sih, karena mau LDR bulan depan sama Avery.” Cowok itu menjelaskan.

Bianca mengerutkan dahi. “Lagi?” tanyanya.

“Bukannya waktu itu kalian udah sempet LDR karena Matthew ke Papua?” Alex menambahkan sambil memegang gelas sodanya.

Aku mengangguk. “Kali ini LDR-nya enggak sampai sejauh itu, sih… Dia diminta untuk pelayanan selama satu tahun di Semarang karena gerejanya punya pos pelayanan di sana.”

“Wah…” Tiba-tiba Raymond bersuara, “Jangan-jangan kita bakal sering ketemu, dong, Matt?”

Matthew menatap Raymond dengan mata terbelalak. “Hah? Serius kamu juga ke Semarang, Ray?”

Raymond tertawa. “Iya, Brooo… Aku ada dinas kantor enam bulan di sana. Bisa nongki-nongki lah kitaaa. Hahahaha…”

Melihat mereka yang bersemangat, aku jadi lega. Well, seenggaknya selama aku dan Matthew menjalani masa LDR, ada Raymond yang bisa menemani cowok itu di Semarang.

“Matthew, nih, belum pernah ke Semarang abisnya,” ceritaku. “Jadi dia bakal butuh adaptasi banget di sana… sekaligus ancang-ancang untuk nikah–yang enggak tahu kapan hari-H-nya. Hahahahaa…”

Deanna nyengir. “Wah, apa berikutnya kita main aja ke Semarang, ya, sekalian kunjungin mereka?” usulnya.

Edwin mengangguk dan membalas, “Nice idea, tuh, Dee!”

“Tapi Avery…” Tiba-tiba William menyela. “Kamu sama Matthew yakin enggak untuk beneran serius mempersiapkan pernikahan?”

DEG.

Pertanyaan itu cukup menusuk, tetapi mewakili hatiku selama berelasi dengan Matthew sejak dua tahun yang lalu. Jujur saja, dengan program volunteering dan pelayanan gereja yang Matthew jalani, adakalanya aku mempertanyakan apakah dia sungguh-sungguh bersedia memasuki pernikahan seumur hidupnya. Bukan berarti aku tidak mendukung Matthew, tetapi yang namanya volunteering tidak menjamin akan ada kecukupan secara finansial, kan? Oke, mungkin aku terkesan materialistis, tetapi umur kami sudah mendekati 30 tahun, lho! Membayar jasa vendor dan pernak-pernik pernikahan, kan, enggak pakai daun. Plus, kalau mendengar cerita beberapa temanku yang sudah berkeluarga, menikah dengan hamba Tuhan berarti harus siap dilihat jemaat seperti ikan di akuarium. Membayangkannya saja aku sudah mual.

“Kadang-kadang aku enggak yakin apakah aku cukup mampu untuk menikahi Avery, Will.”

Aku langsung menoleh ke arah Matthew dengan terkejut. Semua temanku juga langsung menatap cowok itu—sampai ruangan jadi hening seketika. Dia ini baca pikiranku atau gimana, sih!? batinku tidak habis pikir atas perkataannya.

Matthew menelan ludah, lalu berkata padaku dengan pelan, “Maafkan aku, ya, Ve…”

Karena aku masih kehilangan kata-kata, Raymond mengusulkan dengan ragu-ragu, “Ehmm… Kalian mau ngobrolin ini berdua dulukah?”

Walaupun William dan Leah—sebagai tuan rumah—mengangguk dan segera mendiskusikan tempat yang bisa kami pakai, Matthew menggeleng. “Jujur,” katanya lagi, “aku belum bisa sampai ada di tahap kayak Alex yang secara penghasilannya udah lebih pasti untuk menikahi Bianca, apalagi kayak William yang udah nikah sama Leah tahun lalu. Kadang-kadang kalau mikirin itu, aku merasa… apa akunya yang terlalu egois, ya, untuk mengiyakan pelayanan dan kegiatan sukarela tanpa berdiskusi dengan Avery?”

Mukaku memerah karena malu mendengar pengakuan Matthew. Aku tidak yakin apakah teman-teman memahami kondisi kami saat ini. Mungkinkah setelah ini, sikap mereka kepada kami jadi berubah—karena kami belum bisa jadi seperti mereka yang lebih “berhasil” dan berkecukupan? Atau ada yang berpendapat agar aku putus dari Matthew karena dia terlihat bukan seperti pria yang siap menikah?

“Matt,” Alex memanggil Matthew yang sedang menundukkan kepala. Matthew pun menoleh ke arah Alex dengan lemas, mungkin karena tidak menyangka respons teman-teman bisa beragam seperti ini.

Alex menghela napas, lalu menggenggam tangan Bianca. “Aku juga sedang mengalami ketakutan yang sama, kok, meskipun kalau ditanya kami bilang bakal nikah dua tahun lagi. Banyak kebutuhan yang harus dibayar termasuk… yaaa, tahulah yang lagi hot topic apa…”

“Aku juga mengalami ketakutan itu bareng Leah,” tambah William. Istrinya mengangguk pelan.

“Kalau kami jangan ditanya, deh,” seloroh Edwin meninju bahu Raymond perlahan untuk sedikit mencairkan suasana. Well, setidaknya Matthew bisa tersenyum kecil karena teringat keduanya masih single.

“Aku pikir,” Deanna—yang sedari tadi menyimak—berkata, “keputusan untuk menikahi seseorang atau enggak itu beneran butuh kesiapan yang diiringi usaha dan doa, ya. Enggak bisa karena didasari emosi sesaat. Jadi enggak apa-apa kalau ada keraguan itu, Matt, karena kita jadi sadar kalau kita enggak bisa apa-apa tanpa Tuhan.”

Aku mengangguk, lalu mengelus bahu Matthew dengan lembut. “Aku minta maaf juga karena enggak memikirkan perasaanmu, ya, Matt. Aku…” Tiba-tiba suaraku tercekat. “Aku takut kalau enggak bisa punya anak sebelum usia 30 tahun karena anjuran orang-orang. Padahal, menikah, kan, bukan cuma perkara untuk punya anak. Aku juga egois, kok, kalau mikirin itu melulu…”

Tanpa pikir panjang, Matthew merangkulku di depan teman-temanku. Buatku yang canggung dengan physical display affection ini, aku khawatir dengan penilaian mereka terhadap Matthew yang seekspresif itu. Syukurlah, kekhawatiranku tidak terjadi karena mostly mereka menguatkan kami.

“Iya, ya,” kata William. “Dari pengalaman kami, aku belajar kalau Tuhan itu penuh anugerah, sih. Selalu ada aja cara-Nya buat mencukupkan apa yang kami butuhkan…”

“Dan melembutkan hati orang-orang yang sempat bersitegang dengan kami karena drama undangan pernikahan waktu itu,” tambah Leah.

Sambil menggaruk-garuk kepalanya, Edwin bertanya dengan nada serius, “Guys, kalian sadar enggak kalau sebenernya kita lagi sama-sama ada di persimpangan jalan?”

“Ah, iya juga, ya.” Bianca segera tersadar lalu melanjutkan, “Aku, Alex, Avery, dan Matthew lagi galau soal pernikahan, William dan Leah baru aja pindah rumah, Raymond sebentar lagi dinas ke Semarang…”

“Deanna sama Edwin sendiri gimana?” selaku. “Dari tadi kita belum denger cerita mereka, kan?”

Mendengar nama mereka disebut, Deanna dan Edwin jadi gelagapan seketika. Deanna duluan yang berespons, “Aku? Uhmm… Masih hidup, masih waras, masih bisa mengajar dengan baik, sih. Enggak nyangka juga udah hampir dua tahun kerja di sekolah baru itu. Hahahaha…”

Edwin nyengir. “Aku baru aja jadi dosen di tempat papaku kerja dulu. Masih perlu banyak penyesuaian karena urusan administrasinya bikin pusing. Bulan lalu aku abis opname karena tipes. Hehe…”

“Wah, itu mah definisi kerja, kerja, kerja, tipes, sih, Ed,” kataku–yang sontak membuat semuanya tertawa, termasuk Matthew. Cowok itu melirik sekilas ke arahku, lalu mengedarkan pandangannya pada teman-teman kami.

“Guys,” panggil Matthew. “Thank you, ya, udah menguatkan aku sama Avery hari ini. Mohon doakan kami terus, ya.”

Aku mengiyakan perkataan Matthew. “Buat Alex dan Bianca, nanti kalau ada ide-ide pernikahan yang didapet, boleh tolong di-share ke kami, ya, biar kami bisa ancang-ancang juga dari sekarang. Hahaha…,” ujarku.

“Siap!” Alex dan Bianca menjawab dengan kompak.

Tuhan itu penuh anugerah, demikian kata William.

Ah, ya. Keberadaan mereka juga jadi cara Tuhan untuk menyatakan kehadiran-Nya yang beranugerah pada relasi kami. Terlepas akan jadi seperti apa kehidupan kami nanti, anugerah Tuhan itu cukup. Kiranya iman yang sama juga tetap dimiliki oleh ketujuh teman kami dengan musim kehidupan mereka masing-masing. Begitu pula denganmu, Kawan. Jadi… yuk, jalan bersama kami dalam anugerah-Nya untuk melalui persimpangan penuh misteri ilahi itu.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Lebih Dari Sekadar Romantis (Realita Cinta di Balik Layar)

Siapa sih yang gak pengen punya hubungan romantis kayak di k-drama atau cerita novel? 😆

Kita semua pasti ingin punya hubungan yang romantis. Tapi kenyataannya, gak ada hubungan yang selalu romantis (sempurna) karena kita manusia yang gak sempurna, sehingga konflik pun tidak terhindarkan. Nah, gimana sih kita sebagai orang Kristen menyikapinya?

Simak yuk cerita di bawah dan share ke dia yang kamu sayang 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today (IG) dan dibuat oleh @ohdoodlez (IG).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu