Posts

Hari Ini Tobat, Besok Kumat? 6 Tips Lepas dari Dosa Pornografi

Diterjemahkan dari Reclaim Today

Kamu sudah menutup browser-mu, mengucek mata, dan bertanya: apakah aku bisa berhenti menonton film porno? Kami mengerti pergumulanmu. Bahkan, kamu akan mendengar cerita yang sangat pribadi tentang hal ini di bagian akhir.

Entah ini adalah kali pertama atau kesekian kali kamu ingin tahu cara berhenti menonton film porno, kamu bisa merasakan kebebasan. Kalau kamu telah berusaha tapi gagal, mungkin itu karena kamu melakukan apa juga kebanyakan kita lakukan—”berusaha lebih keras supaya jadi lebih baik”. Tapi, kamu tidak bisa cuma mengandalkan kemauan saja. Sebaliknya, kamu perlu memahami peran yang dimainkan oleh pornografi dalam hidupmu, dan bagaimana seksualitasmu adalah bagian yang baik yang dirancangkan Tuhan, tidak peduli seperti apa kehidupanmu sekarang.

Tidak ada rumus jitu dan instan untuk berhenti dari pornografi. Langkah-langkah ini bukanlah “jalan pintas”, tetapi cara-cara yang sangat praktis untuk mengundang Tuhan ke bagian terdalam dari hati, pikiran, dan tubuhmu, sehingga Dia dapat bekerja dengan lembut bersamamu, menebus apa yang telah rusak, dan membentukmu menjadi seseorang yang sepenuhnya berserah kepada-Nya. Tiga langkah pertama akan membantumu menyelami gulma dalam hubunganmu dengan pornografi, yang mungkin akan menolongmu melihat akar masalahnya. Tiga langkah terakhir akan membantumu mengizinkan Tuhan untuk menebus dan mendapatkan kembali seksualitasmu, mengubah gaya hidupmu sehingga kamu tidak cuma dapat menghindari dosa, tetapi juga hidup merdeka di dalam Kristus.

Kamu harus berani untuk melakukan perjalanan ini. Doa kami menyertaimu saat kamu menyelam di bawah permukaan dan membiarkan Tuhan masuk ke dalam pergumulanmu.

1. Jelajahi alasanmu

“Jadi, aku dapati hukum ini: Jika aku ingin melakukan apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab, di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.” (Roma 7:21-23).

Ketika berbicara tentang mengapa kamu menonton film porno, ada dua faktor penting yang perlu ditelusuri: motivasi dan fungsi. Kamu mungkin berpikir motivasimu sudah jelas—kamu bergairah dan rasanya menyenangkan. Namun, supaya perjuanganmu membuahkan hasil, kamu perlu menggali lebih dalam dari itu.

Bagaimana kondisi emosionalmu ketika kamu menemukan dirimu mencari film porno?

Faktor spasial (tempat) apa yang berperan? Apakah biasanya ketika kamu putus asa setelah lelah seharian kuliah atau kerja? Apakah biasanya ketika kamu hendak tidur? Ketika kamu sendirian setelah melakukan banyak aktivitas? Ketika kamu merasa gagal? Ditolak? Hidup tanpa arah? (Kalau kamu seorang laki-laki, penelitian menunjukkan bahwa sejauh mana kamu merasa tidak punya arah dalam hidup berkorelasi kuat dengan seberapa banyak atau sedikit kamu terjerat pornografi).

Memperhatikan hal-hal ini membantu melukiskan gambaran peran yang dimainkan pornografi dalam hidupmu, yang akan membawa kita ke bagian kedua dari “mengapa”: fungsi.

Ajukan pertanyaan, “Saat aku menonton film porno, aku merasa ……..”

Mungkin kamu merasa dilihat, diinginkan, berkuasa, memegang kendali, atau diperhatikan. Sekarang, inilah rahasianya: ini semua adalah perasaan yang baik! Kamu harus mengalaminya—tetapi pornografi tidak akan pernah membiarkan kamu mengalaminya dengan cara yang nyata dan sehat.

Setelah kamu mengidentifikasi motivasi dan fungsimu, kamu mulai mengungkap sebuah cerita. “Ketika aku merasa gagal, pornografi membuatku merasa mampu”; “Ketika aku merasa bosan dan tanpa arah, pornografi membuatku merasa ada yang harus dilakukan.”

Ini adalah langkah pertama yang penting dalam menulis ulang ceritamu karena sekarang kamu telah memisahkan keinginan baik yang kamu miliki dari cara yang merusak dan tidak membuahkan hasil untuk mengejarnya.

2. Analisa apa yang kamu lakukan

“Selidikilah aku, ya Allah, dan selamilah hatiku, ujilah aku dan ketahuilah pikiran-pikiranku.” (Mazmur 139:23).

Kamu telah menemukan apa yang membuatmu menonton film porno. Sekarang saatnya untuk menganalisa apa yang secara khusus cenderung kamu lihat. Mungkin kamu merasa jijik atau enggan untuk mengingat hal ini—tapi, tujuannya bukan untuk memikirkan adegan atau gambar tertentu. Sebaliknya, kamu menjadi sadar akan apa yang kamu ketik di HP-mu.

  • Apakah kamu mendapati dirimu bernafsu pada orang dengan penampilan tertentu? Jika ya, apakah hal itu terkait dengan seseorang dalam kehidupanmu yang sebenarnya, dari masa lalu atau masa kini?
  • Apakah kamu mencari suasana atau jenis hubungan tertentu? Mengapa hal itu mungkin penting?
  • Apakah ada gejolak emosional atau hubungan tertentu yang membuatmu tertarik? Seperti keinginan bersama, kekuasaan dan kendali, atau kepolosan?
  • Apakah kamu mencoba menghidupkan kembali sebuah pengalaman, positif atau negatif, yang pernah kamu alami?
  • Apakah kamu berfantasi tentang pengalaman, perasaan, atau kekuatan yang kamu khawatirkan tidak akan pernah kamu miliki? Mengapa hal itu penting buatmu?

Setelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, kamu mungkin menemukan elemen-elemen yang lebih dalam dari ceritamu: mungkin kamu mencoba untuk kembali ke masa-masa yang lebih baik, merasa memegang kendali, atau mengatasi sesuatu di masa lalumu.

Sekali lagi, semua ini pada dasarnya adalah hal-hal yang baik—tetapi, pornografi tidak akan pernah mengizinkanmu melakukannya.

3. Lepaskanlah rasa malumu

“Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Roma 8:38-39).

Setelah menyelami secara spesifik hubunganmu dengan pornografi, kamu mungkin merasa malu. Meskipun mungkin tampak wajar atau bahkan “benar” untuk merasa malu, rasa malu sebenarnya dapat membuatmu tetap berada dalam siklus pornografi. Dalam bukunya yang berjudul Unwanted, psikolog dan penulis, Jay Stinger mengutip penelitian yang mengungkapkan bahwa pria “hampir 300 kali lebih mungkin untuk mengejar pornografi untuk setiap rasa malu yang mereka rasakan tentang perilaku mereka, dan wanita 546 kali lebih mungkin.” Dia menyimpulkan: “Rasa malu, bukan kesenangan, yang mendorong penggunaan pornografi… rasa malu meyakinkan kita bahwa kita tidak diinginkan, dan kita mengejar perilaku yang menegaskan itu.”

Kalau kamu dibesarkan dalam lingkungan yang sangat menghargai kemurnian seksual, kemungkinan besar hal ini sangat relevan buatmu. Dalam bukunya, With, pendeta Skye Jethani menulis, “[Mahasiswa] sering kali mengukur kualitas iman mereka dengan satu ukuran saja, yaitu seberapa baik mereka mengendalikan hasrat seksual mereka.” Dengan semua beban yang diberikan pada perilaku seksual ini, sangat wajar jika kita berasumsi bahwa pergumulan kita “menghalangi kita” untuk memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan atau kehidupan doa yang konsisten. Namun, inilah yang sebenarnya diinginkan oleh musuh untuk kamu percayai.

Saran kami: jangan biarkan pergumulan ini mempengaruhi ritme normalmu dengan Tuhan. Bahkan, beberapa saat setelah kamu menyerah pada godaan dan merasa jauh dari Tuhan, bangunlah dan habiskan waktu bersama-Nya dalam firman dan doa. Tuhan masih berkenan kepadamu, mengasihimu, mengampunimu, dan Dia merindukanmu untuk pulang.

Langkah awal yang baik untuk melepaskan rasa malumu adalah dengan mencermati kembali kisah perumpamaan Anak yang Hilang (Lukas 15:11-32), Surat Roma pasal 8, dan Surat Galatia 5:13-26. Bacaan ayat-ayat ini akan menolongmu menginternalisasikan keluasan kasih dan kesukaan Tuhan dalam dirimu, dan memberimu visi yang penuh pengharapan akan kehidupan Roh Kudus yang Allah hadirkan kepadamu.

Dan ingatlah, melepaskan rasa malu bukanlah bertindak seolah-olah tidak ada yang terjadi dan melanjutkan hidup seperti biasa. Melepaskan rasa malu berarti hidup dalam kenyataan bahwa “tidak ada penghukuman bagi kita yang ada di dalam Kristus Yesus.” Melepaskan rasa malu berarti membiarkan kebenaran tentang siapa dirimu di dalam Kristus berakar di dalam hati dan jiwamu, meskipun musuh, atau terkadang bahkan perilaku kita sendiri, mencoba meyakinkan kita yang sebaliknya.

4. Bangun komunitasmu

“Supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. JIka satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita.” (1 Korintus 12:25-27).

Membangun komunitas adalah langkah penting dalam melepaskan rasa malu, karena hal ini akan membebaskanmu dari memikul bebanmu sendirian. Seringkali, untuk sepenuhnya menginternalisasi kasih Tuhan kepada kita, kita perlu merasakannya diwujudkan oleh orang-orang di sekitar kita.Jadi, carilah orang yang dapat kamu ajak untuk 100% jujur, di mana kejujuranmu tidak akan mengancam hubungan kalian. Jika ada bagian besar dari dirimu yang kamu tolak untuk dibawa ke dalam terang karena takut ditolak, kamu tidak akan pernah sepenuhnya mengalami kesembuhan. Jadi, seorang konselor atau pembimbing rohani terlatih dalam bidang trauma dan kecanduan adalah tempat yang tepat untuk memulai.

Kalau kamu bisa, terbukalah tentang perjuanganmu dengan kelompok kecil yang terpercaya atau teman yang sudah terbiasa berbagi kehidupan sehari-hari denganmu. Pastikan mereka ada dalam hidupmu untuk jangka panjang, dan cukup dewasa untuk memberimu ruang untuk menjadi rentan dalam lingkungan yang aman dan terjamin. Dengan cara yang indah, kamu mungkin akan menyadari bahwa hubungan ini akan mulai memenuhimu dengan cara yang kamu harapkan dari pornografi.

5. Ubah rutinitasmu

“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut ajakan orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk di komplotan pencemooh, tetapi yang kesukannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, tidak pernah layu daunnya; apa saja yang dilakukannya berhasil.” (Mazmur 1:1-3).

Pikirkan secara spesifik tentang pemicu (waktu, tempat fisik, kondisi emosional) yang dapat mendorongmu ke arah pornografi. Kamu mungkin ingin kembali ke poin pertama (jelajahi alasanmu) dan buat rencana untuk apa yang dapat kamu lakukan secara berbeda dalam menanggapi tiap pemicu dan motivasi ini. Jika kamu biasanya melihat film porno sebelum tidur, ubah rutinitas sebelum tidurmu untuk memasukkan sesuatu yang kamu sukai (entah itu baca buku atau menonton acara favoritmu) sebagai penggantinya. Kalau kamu biasanya melihat postingan cabul di media sosial dan kemudian membuka situs porno dari sana, hapus aplikasi itu dari HP-mu. Kalau kamu mendapati dirimu menonton film porno sebagai reaksi terhadap perasaan seperti penolakan atau tanpa arah, buatlah rencana untuk menelepon seorang teman setiap kali kamu merasakan emosi itu.

Selain itu, kamu mungkin bisa mempertimbangkan beberapa batasan yang sangat praktis ini:

  • Gunakan filter konten yang ada di HP-mu dan biarkan temanmu yang mengatur passwordnya.
  • Gunakan pengaturan waktu layar atau kesehatan digitalmu HP-mu untuk memblokir aplikasi tertentu pada waktu tertentu dalam sehari.
  • Lakukan puasa media sosial secara teratur, atau pilihlah untuk hanya mengakses media sosial dari komputermu.

Dalam sebuah kuliah, penulis J.R. Briggs pernah bertanya, “Apa yang kamu lakukan ketika kamu bosan, kesepian, cemas/marah/takut, stres, lelah, iri hati, atau tertekan? Itulah spiritualitasmu.”

Bagi banyak dari kita yang bergumul dengan pornografi, kita harus menyadari bahwa karena kita menggunakan pornografi untuk “menyelesaikan” rasa sakit emosional ini, pornografi telah menjadi kerohanian kita: sosok mesianis yang kita cari untuk keselamatan. Jika itu kamu, kami ada di sini bukan untuk mempermalukanmu. Sebenarnya, kami ingin meminta maaf.

Kami meminta maaf karena kamu telah melakukan sesuatu untuk menyembuhkan luka, tapi ternyata itu justru semakin menyakitimu.

Kabar baiknya adalah Tuhan memperluas undangan-Nya kepadamu di tengah-tengah kebosanan, kesepian, kemarahan, depresi, dan segala perasaan lainnya. Hanya Dia yang dapat menjadi apa yang sangat kamu butuhkan, dan Dia dapat melakukannya jika kamu belajar untuk berpaling kepada-Nya dan umat-Nya ketika kamu merasakan emosi ini muncul.

6. Bayangkan kembali kisah seksualmu

“Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Allahku karena peran sertamu dalam pengabaran Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini. Mengenai hal ini aku yakin bahwa Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai akhirnya selesai pada hari Kristus Yesus.” (Filipi 1:3-6).

Kamu bisa bebas membayangkan dan mengejar kisah seksual yang baru—yang benar-benar memberdayakanmu untuk hidup dengan sukacita, harapan, dan kepuasan. Pertama, akan sangat menolong kalau kamu memahami kisah seksualmu saat ini, di luar penggunaan pornografi. Kenalilah bagaimana kamu terpapar, diajari, atau bagaimana kamu mengalami seksualitas di sepanjang hidupmu. Kamu bisa melakukan hal ini bersama dengan seorang konselor, terutama jika kisahmu termasuk pelecehan atau kamu diabaikan. Mengutip Jay Stinger lagi, “Pengalaman formatif masa kecil kita (kesepian, rasa sakit, gairah seksual, kerahasiaan, dan ambivalensi relasional) semuanya terulang kembali dalam perilaku seksual yang tidak diinginkan saat dewasa.” Mengetahui pengalaman apa yang mungkin kamu ulangi dapat membantumu memutus siklus tersebut dan menuju ke arah yang baru.

Selanjutnya, kamu harus menginternalisasikan kebenaran ini: apakah kamu masih lajang, berpacaran, atau sudah menikah, kamu bisa menjadi pribadi yang memiliki gairah seksual dan menghormati Tuhan dengan seksualitasmu. Tubuh dan dorongan seksualmu bukanlah ancaman bagi kerajaan Allah atau keserupaan dengan Kristus. Kamu dapat belajar untuk melihat dirimu sebagai bagian dari dunia Allah yang lebih baik. Ini mungkin terdengar melegakan atau mungkin juga terdengar gila, tetapi dengarkanlah kami.

Dalam bukunya yang berjudul The Holy Longing, penulis Ronald Rolheiser membedakan antara “seksualitas” dan “genitalitas”. Seksualitas adalah bagian dari dirimu yang mewujudkan gairah, menciptakan koneksi, dan bergerak dengan energi dan cinta. Genitalitas adalah apa yang kamu lakukan dengan alat kelaminmu. Tuhan memberimu karunia seksualitas ini, di tahap kehidupan mana pun kamu berada. Yesus tidak menundukkan bagian dari kemanusiaan-Nya ini meskipun Dia tidak berhubungan intim secara seksual dengan siapa pun. Budaya kita telah mengatakan kebohongan kepada kita bahwa tidak ada yang lebih penting dari seksualitas selain genitalitas, dan oleh karena itu kamu tidak dapat menjadi orang seksual tanpa menonton film porno, berhubungan seks, atau tidur dengan pasanganmu. Tapi, kami pikir itu sangat menyepelekan desain luar biasa dari Tuhan untuk seksualitas kita.

Lalu, apa jawabannya? Inilah awalnya: ini bukan melindungi dirimu dari kesenangan dan ketertarikan, tetapi mewujudkan realitas yang lebih besar dan lebih indah dengan tubuhmu. Perhatikanlah undangan Tuhan untuk kehidupan yang sensual—aroma harum bawang putih dan rempah-rempah saat kamu memasak, kelezatan coklat dari sepotong brownies, rasa puas yang kamu rasakan setelah berolahraga, dentuman bass di dadamu ketika ikut konser musik, tenggorokanmu yang terasa gatal setelah bernyanyi terlalu keras dengan teman-temanmu, kesejukan air di kulitmu, pelukanmu pada orang yang kamu cintai, air mata di pipimu saat kamu mencoba berhenti tertawa. Semua hal ini adalah karunia-karunia sensual, hal-hal yang dinikmati oleh Yesus sendiri (kecuali mungkin brownies dan nonton konser)—dan semua itu adalah bagian dari seksualitas yang hidup dan terintegrasi. 

***

Apakah ini pertama kalinya atau kesekian kalinya kamu mencoba bertobat dari kecanduan pornografi, kami berharap dan berdoa hari ini jadi awal dari perjalananmu menuju kemerdekaan. Jika kamu ingin gambaran seperti apa, izinkan salah satu rekan kami untuk meringkas secara singkat perjalanan pribadinya dengan pornografi, dan apa yang terjadi ketika dia menjalani langkah-langkah ini.

“Aku menonton film porno ketika aku kecewa dengan diriku sendiri, biasanya di penghujung hari yang panjang. Aku cuma ingin melihat adegan yang mirip dengan pengalaman yang kualami dalam hubungan nyata, dan melakukan ini membuatku merasa (sangat sementara) seperti aku mampu dan diinginkan. Begitu aku menyadari bahwa jauh di lubuk hatiku, aku hanya ingin merasa bangga dengan diriku sendiri dan terhubung dengan orang lain, aku dapat mencari Tuhan untuk mendapatkan peneguhan dan keintiman, dan membangun persahabatan yang lebih baik yang saling memberi kehidupan. Yang membantuku meninggalkan pornografi adalah mengubah rutinitas malamku, menemukan teman dan konselor yang dapat kupercayai 100% tanpa mempertaruhkan hubungan, dan membiarkan Tuhan menuntunku ke dalam pemahaman yang baru dan lebih indah tentang bagaimana seksualitasku memiliki peran dan karya penebusan-Nya yang lebih besar. Menemukan kebebasan bukanlah tentang berjuang melawan kejahatan yang mustahil, tetapi lebih kepada membiarkan Tuham mengubah kisahku menjadi sebuah petualangan. Undangan-Nya kepadaku bukan cuma untuk menghindari dosa, tetapi untuk hidup sebagai rekan Kristus dan menjadi seperti Dia, dan itu jauh lebih menarik.”

***

Kalau kamu bergumul dengan pornografi dan ingin lepas dari jeratan dosa ini, kami menyarankanmu juga untuk mendengarkan Podcast KaMu “Lepas dari Jerat Dosa Seksual” yang disampaikan oleh Septiana Iskandar, konselor dari Lifepsring Counseling and Care Center berikut.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Candu Cari Cuan!

Oleh Jessie 

🎵 Apa yang dicintai orang? Uang! Uang! 🎵

Cinta uang. Ini bukanlah hal yang aneh. Dunia ini tidak kekurangan tokoh yang menunjukkan betapa uang begitu dicintai, salah satunya jika kita suka menonton film kartun, adalah sosok Tuan Krab yang menjadikan uang adalah segalanya buat dia. Dan…sejak sekolah minggu juga sudah sering dikumandangkan, eh diingatkan maksudnya hehe, kalau kita harus mengelola uang dengan bijak, sesederhana kita mengembalikan apa yang Tuhan beri dalam bentuk uang sebagai persembahan. 

Siapa pula yang bisa menolak uang? Dikasih ya diambil toh? Ga dikasih, ya harus dicari, karena kita tahu uang itu tidak jatuh dari langit. Hehehe… Ga salah lagi kalau memang uang itu sangat diperlukan, bahkan diidam-idamkan… Untuk beli gadget baru, tas branded, makan enak, dan seterusnya… 

Semua itu tentu boleh-boleh saja sih. Tapi, apakah mengidamkan uang untuk tujuan seperti itu sudah masuk ke dalam kategori kecanduan? 

Uang memiliki peran yang substansial, di mana tanpa uang, mungkin kita tidak bisa hidup. Memang betul, uang menjadi media pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Kita menukar uang dengan makanan, tempat tinggal, pakaian, edukasi, dll. Namun, seringkali konsep pentingnya uang ini dibawa ekstrem sehingga menjadi tolak ukur kepuasan dan kebahagiaan manusia jika mereka dapat memiliki sepenuhnya. Pertanyaannya, seberapa banyak yang kita harus miliki? Dan apakah kita pasti akan bahagia setelah semuanya itu kita dapatkan?

Ada seorang pendeta pernah mengatakan, “greater wealth does not equal to greater satisfaction,” yang artinya kekayaan yang lebih besar tidak berbanding lurus dengan kepuasan yang lebih besar. Kalimat ini beliau katakan saat mempelajari kitab Pengkhotbah 5:8-17 yang temanya mengejar kekayaan. Salomo, si penulis kitab Pengkhotbah dan juga seorang raja yang dinyatakan paling bijaksana di seluruh dunia serta paling kaya di zamannya, mengatakan bahwa, Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Ini pun sia-sia.” (Pengkhotbah 5:10). Memiliki lebih banyak uang tidak akan mendatangkan kita kepuasan yang lebih lagi, sebaliknya hanya akan menimbulkan hasrat untuk menginginkannya lebih lagi.

Sebagai seorang pengusaha yang penghasilannya tidak tetap bagai roller-coaster, aku bisa relate dengan apa yang Salomo ingatkan ini. Dikarenakan pendapatanku bergantung pada omset bulanan, maka aku harus bekerja keras agar penjualan meningkat terus, maksudnya supaya uangku juga bertambah terus hehehe. Aku dan tim berputar otak melakukan berbagai strategi marketing agar dapat menggaet lebih banyak lagi pelanggan. Lalu apakah aku tergolong dalam grup para candu cari cuan? Bisa jadi sih, cuan-nya sih enggak, cuma kecanduannya mungkin, karena aku bisa lanjut kerja lagi pada malam hari, dan cukup stress kalau omset bulanan turun banyak; dan kalau omset lagi mendaki, kami juga push sampai puncak tertinggi. Setelah goal omset tercapai pun, aku menciptakan goal baru yang lebih tinggi lagi hahaha! Memang sudah benar kata Raja Salomo, bicara soal uang tidak pernah puas. Batas antara semangat bekerja dan kecanduan cari cuan memang agak rancu. Karena aku dikelilingi oleh pengusaha-pengusaha yang sukses dan penuh antusias, aku pun mudah tergoda untuk ikutan kiasu atau ga mau kalah.

“Keinginan alamiah (natural desires) akan berhenti ketika apa yang diinginkannya diperoleh, tetapi keinginan yang rusak (corrupt desires) tidak akan pernah terpuaskan (Matthew Henry, Bible Commentary on Ecclesiastes).” Tuhan menciptakan segala sesuatunya penuh keseimbangan, di mana kebutuhan dan keinginan alamiah manusia dapat dipuaskan dan dipenuhi. Contohnya saat kita lapar, ada yang namanya makanan yang dapat memuaskan rasa lapar kita; kebutuhan seks dapat dipuaskan dengan adanya konsep pasangan dan pernikahan. 

Jika hal yang kita inginkan lalu dapatkan tidak dapat terpuaskan, maka itu sudah menyangkut hati kita yang korup atau rusak. Keinginan/kebutuhan itu sendiri sudah terpuaskan, tapi tidak memuaskan hati kita yang sudah rusak. Seperti dalam kasus para pecandu cari cuan, apakah mereka kekurangan uang? Aku rasa tidak. Mereka cukup secara finansial; problem-nya adalah mereka kecanduan, sehingga menginginkannya lebih-lebih lagi. Candu itu bagaikan kebahagian momentum yang sifatnya fana tapi bikin ketagihan—tidak pernah ada rasa cukup. Dengan hati kita yang sudah korup, kita ditipu untuk terus mengejarnya, atau bahasa Alkitabiahnya, “memberhalakan” materi tersebut.

Sebagai raja terkaya semasanya dan terbijaksana sepanjang masa, Salomo mengatakan, “Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya—juga itupun karunia Allah.” (Pengkhotbah 5:19). Frasa “menerima bahagiannya” mengindikasi adanya porsi yang sesuai untuk dirinya. Namanya juga porsi, ya artinya tidak boleh berlebihan, karena sudah dijatah. Lah terus sisa harta saya dikemanain dong? Ya dibagikan untuk porsi-porsi lainnya. Karena kita hanya berhak menerima porsi kita yang secukupnya, maka kita juga harus mempertanggungjawabkan porsi yang memang sudah dipercayakan Tuhan kembali untuk Tuhan, keluarga, orang susah, pemerintah, dan seterusnya. 

Jika mereka dapat “menikmati” dan “bersukacita dalam jerih payahnya” itupun juga merupakan berkat dari Tuhan. Sesungguhnya, tidak semua orang dapat menjalani siklus kehidupan yang fana ini dengan sukacita, mulai dari proses mencari uang itu sampai kepada kepuasan saat menggunakan uang hasil kerjanya sendiri. Aku rasa aku tidak perlu panjang lebar menjelaskan arti dari “menikmati” hasilnya, karena kita semua sudah tau lah yang namanya belanja untuk hal yang kita sukai itu ya seneng-seneng aja. Tapi ternyata rasa kepuasan atau kepenuhan itu tidak ada pada semua orang. Rasa “kenikmatan” itu tidak pernah mereka rasakan oleh karena candunya yang membuatnya menginginkan terus-menerus tanpa batas. Akhirnya bukannya menikmati hasilnya, fokus mereka malah teralihkan pada keinginannya yang tamak. Adanya sebuah hukum ketetapan Allah di mana konsep menikmati harus ditakari sesuai porsi atau “bahagiannya,” barulah ada rasa kepuasan tersebut tercapai. Hanya mereka yang memiliki kekuatan/kuasa (power) atas barang kepunyaannya, dan tidak diperbudak oleh benda tersebut, yang dapat menikmati siklus kehidupan ini dengan kepuasan hati. 

Jadi boleh disimpulkan bahwa kenikmatan itu juga harus dibarengi dengan rasa tanggung jawab dan hormat pada Siapa yang memberi, secara rasional (tidak berlebihan/sesuai porsinya) dan bermurah hati (berbagi kepada dirimu dan sesama), karena mengerti semuanya merupakan pemberian Tuhan semata. 

Pada akhirnya semua hal yang manusia kejar dan dapatkan pun merupakan sebuah kefanaan. Setelah jerih payahnya mengumpulkan begitu banyak uang, para pecandu cari cuan ini juga akan diperhadapkan dengan kematian, dan faktanya tidak akan ada sepeserpun atau satu dari harta bendanya yang dapat dibawanya ke dunia akhirat. Namun dengan adanya hukum ketetapan Allah akan kenikmatan yang hakikatnya memiliki porsi, adanya kepuasan hati teruntuk mereka yang melaksanakannya. Sehingga, “tidak sering ia mengingat umurnya, karena Allah membiarkan dia sibuk dengan kesenangan hatinya.” (Pengkhotbah 5:20).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu