Posts

Sehat Tanpa Aksi Pada Hakikatnya Adalah Mati!

Oleh Yawan Yafet Wirawan, Semarang

Sejak tahun 2016 sampai 2021, tren kesehatan anak muda semakin menurun. Maka, tak heran jika hari ini kita familiar dengan sebutan “pemuda jompo”. Usia baru 20-an awal tapi sudah terkena penyakit diabetes, hipertensi, kolestrol, bahkan sakit jantung. Padahal semua penyakit ini biasanya menyerang mereka yang telah berusia lanjut.

Aku sendiri pun sejak satu bulan belakangan ini tergabung dalam jajaran “pemuda jompo”. Aku didagnosa mengalami peradangan di ginjal sebelah kanan karena adanya batu ginjal. Banyak orang yang mengunjungiku berkata, “Masih muda kok udah sakit-sakitan? Makan yang sehat makanya.”

Kuyakin sebagian dari kita pasti pernah mendengar kata-kata tersebut.

Dalam perenunganku, sempat kuberpikir: kenapa makanan yang disalahkan? Aku teringat dengan kata-kata Paulus di dalam 1 Korintus 10:23 yang berkata, “Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna.” Penggalan ayat tersebut menceritakan nasihat dan teguran Paulus kepada jemaat di Korintus supaya mereka tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat oleh orang-orang Israel saat mereka keluar dari tanah perbudakan.

Pengaruh kuat budaya dan gaya hidup orang-orang Mesir sangat melekat pada diri orang-orang Israel, sehingga pada saat Musa memimpin mereka untuk keluar dari perbudakan mereka masih melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Mereka masih terikat pada percabulan, penyembahan berhala, dan makan-makanan yang haram. Ribuan tahun setelahnya, setelah orang-orang Kristen perdana terbentuk, timbul pula pertanyaan. Apakah makanan yang sudah dipersembahkan kepada berhala boleh dimakan? Paulus menjawabnya secara spesifik dalam 1 Korintus 10.

Paulus menekankan bahwa bumi dan segala isinya adalah milik Tuhan seutuhnya, maka termasuk makanan yang dibuat oleh manusia di dalam dunia ini adalah milik Tuhan. Semua makanan boleh kita makan! Tapi, pertanyaannya: apakah yang makan tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain? Atau apakah saat kita makan, kita menunjukkan bahwa Tuhan dimuliakan? Di balik kebebasan itu sejatinya ada standar yang lebih tinggi. “‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar tetapi bukan segala sesuatu berguna. ‘segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” Bahkan di ayat 27-33 Paulus berbicara secara spesifik tentang hal makan. Jika seseorang sudah memberitahumu bahwa makanan ini tidak baik atau bahkan kamu tahu sendiri bahwa makanan itu tidak baik, maka jangan makan itu. Jangan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Lakukan segala sesuatu, bahkan sesederhana makan dan minum untuk kemuliaan Allah.

Teguran Paulus itu mengingatkanku bahwa dalam hal kecil seperti makan saja Allah peduli. Tetapi pertanyaannya apakah dalam hal makan aku dan kamu sudah menjadi berkat bagi sesama dan memuliakan Tuhan?

John Piper seorang pendeta senior pernah menuliskan dalam artikelnya sebuah pertanyaan, “Apakah saya memakan makanan ini merupakan ungkapan betapa saya menghargai kemuliaan Tuhan?”

Di dalam surat yang sama Paulus juga pernah mengingatkan jemaat Korintus bahwa tubuh mereka adalah bait Roh Kudus (1 Kor. 6). Bukan milik kepunyaan mereka sendiri, melainkan milik kepunyaan Allah. Maka Paulus menyerukan kepada jemaat di Korintus untuk memuliakan Allah dengan tubuh mereka.

Dari nasihat dan teguran Paulus itu aku bercermin pada diriku sendiri. Seringkali aku masih suka bercanda dengan dalih yang kuambil dari teks Alkitab, “lemakku itu kepunyaannya Allah (Im. 3).” Aku ingin memperbesar bait Roh Kudus ku supaya Tuhan senang.” Aku hanya berpikir bahwa segala sesuatu boleh kok kata Paulus, aku tak mengindahkan kalimat selanjutnya bahwa tidak segala hal berguna dan membangun—apakah yang aku lakukan sebenarnya tidak membawa berkat bagi sesamaku dan tidak mencerminkan bahwa aku sedang memuliakan Allah melalui makanku.

Mungkin cerita sederhana ini relate dengan keseharian kita. Sering kali kita berdoa agar makanan kita membawa kesehatan, tetapi di sisi yang lain orang lain bahkan diri sendiri tahu bahwa makanan tersebut tidak baik untuk Kesehatan. Dalam tulisan ini ku mau katakana bahwa bukan hanya iman tanpa perbuatan yang hakekatnya mati, tetapi sehat tanpa aksi juga hakekatnya mati.

Aku tidak tahu masalah Kesehatan apa yang menjadi pergumulan masing-masing kita, tetapi saat ini aku mau mengajak kita semua untuk memperhatikan lagi pola hidup kita, secara khusus di dalam hal makan. Mari kita tunjukkan rasa syukur dan cara kita memuliakan Tuhan dengan cara makan kita!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Podcast KaMu ep.30: Pentingnya JAGA BADAN Buat Maksimal Melayani Tuhan | Journey Tyas dari Overweight ke BB Ideal

Hidup sehat pasti jadi impian banyak orang. Tapi, gimana kita bisa sehat kalau gaya hidup kita aja masih ugal-ugalan?? Makan gak dikontrol, begadang tiap hari, hobinya mageran, dan gak bisa ngelola stres.

Mungkin sekarang kita ngerasa sehat-sehat aja. Tapi, bisa jadi sebenarnya kita lagi nimbun sesuatu yang dampaknya baru kita rasain di masa depan, lho.

Sobat Muda, melalui podcast ini kak Tyas Affandi berbagi cerita perjalanannya—dari yang overweight ke ideal; dari yang makan asal-asalan jadi yang mindful eating; dari yang masa bodo jadi peduli banget sama tubuhnya. Semua ini dia lakuin bukan cuma supaya bikin badannya lebih sehat, tapi karena dia mau bertanggung jawab atas tubuh dan mau maksimal melayani Tuhan.

Yuk, tonton dan dengerin Podcast KaMu: Pentingnya JAGA BADAN Buat Maksimal Melayani Tuhan | Journey Tyas dari Overweight ke BB Ideal bersama Pdt. Tyas Affandi.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Pilihan Ceroboh Hari Ini Mendatangkan Petaka di Masa Depan

Oleh Fandri Entiman Nae, Manado

Sepuluh tahun lalu aku bersama beberapa teman memulai pelayanan di salah satu rumah sakit di kota Manado. Setiap minggu pagi sebelum ke gereja atau minggu malam setelah ibadah, kami masuk ke ruangan-ruangan yang dipenuhi orang-orang sakit untuk berdoa dan memberitakan Injil di sana. Itu merupakan pengalaman yang menguras emosi tetapi sangat berharga. Kami telah bertemu berbagai macam orang dengan berbagai macam penyakit. Bahkan aku sering terkejut dengan penyakit-penyakit langka yang tidak pernah kudengar sebelumnya.

Bertahun-tahun berlalu dan aku memikirkan ada sesuatu yang sering kali hilang dari pesan banyak hamba Tuhan kepada orang-orang Kristen, yakni “jagalah tubuh yang Allah berikan”.

Mari kita berterus terang bahwa tidak semua manusia dilahirkan dengan kondisi yang prima. Harus diakui bahwa di dalam dunia ini ada hal-hal yang bisa kita pilih, tetapi juga ada hal-hal yang tidak bisa kita pilih. Dalam keluarga seperti apa seseorang dilahirkan, warna kulit apa yang ia miliki—termasuk kelainan fisik apa yang dipunyainya—tidak ditentukan oleh orang yang bersangkutan. Hal-hal semacam itu terjadi di luar kendali kita, tetapi tidak pernah lepas dari kedaulatan Allah. Namun, dengan semua kelebihan maupun keterbatasan kita, selalu ada pilihan-pilihan penting yang tersedia di depan kita. Beragam pilihan itu benar-benar sangat menentukan banyak hal yang akan terjadi di kemudian hari, salah satunya pilihan hidup menyangkut kesehatan.

Sedih sekali setiap mendengar beberapa orang berkata, “Hidup sehat atau tidak hidup sehat, toh kita mati juga.” Yang lain bahkan lebih spesifik, “Merokok atau tidak merokok, semua mati juga.”

Untuk teman-teman yang suka berkata begitu, aku ingin sekali bertanya, “Mengapa kamu tidak membanting handphone yang baru kamu beli?” atau “Apakah kamu akan memasukkan lumpur ke tangki bensin motor kesayanganmu?”

Aku yakin semua orang ingin agar HP, motor, kaos, dan benda-benda berharga miliknya, meskipun tidak kekal, setidaknya awet untuk waktu yang relatif lebih lama. Mengapa? Karena semakin awet, semakin lama dipakainya; semakin banyak manfaatnya.

Dalam bukunya Homo Deus: A brief History of Tomorrow, Yuval Noah Harari mengatakan bahwa jika masalah di beberapa tempat adalah kekurangan makanan, di tempat lain masalahnya malah disebabkan oleh kelebihan makanan. ¹Harari benar, bukan? Maaf, tetapi silakan selidiki sendiri berapa banyak kasus diabetes di negara ini setiap tahun. Seperti yang telah kusinggung sebelumnya, banyak sekali pilihan ceroboh yang kita ambil pada masa lampau telah menyebabkan kesulitan-kesulitan serius pada hari ini. Sedihnya, beberapa orang malah menuduh Allah sebagai biang keroknya. Bukankah aneh jika ada orang yang senang mabuk-mabukan, tidak pernah berolahraga, sering keluyuran malam, tidak beristirahat cukup, makan tidak teratur dengan menu sembarangan, lalu menderita sakit, tetapi menuduh Allah berbuat kejam?

Mengkonsumsi makanan yang baik, beristirahat dengan cukup, dan berolahraga adalah hal-hal positif yang dapat kita lakukan bagi kemuliaan Allah. Rasul Paulus menuliskan pada Timotius betapa pentingnya “ibadah” bagi orang percaya, tetapi ia juga mengatakan bahwa meskipun terbatas, latihan badani juga berguna (1 Tim. 4:8). Tubuh kita memang semakin hari semakin rapuh, tetapi itu bukan alasan bagi kita untuk sengaja merusaknya. Bahkan pada bagian lain dalam surat yang sama sang rasul mengingatkan anak rohaninya itu untuk mengatasi masalah kesehatan pencernaan yang sedang dihadapinya (2 Tim. 5:23). Artinya, Paulus juga memperhatikan kesehatan Timotius yang memegang tanggung jawab yang tidak main-main. Bayangkan saja apa yang akan terjadi jika masalah kesehatan Timotius malah membuat pelayanannya tidak berjalan maksimal?

Sederhana saja, jika kita yang sakit, maka kita yang lebih banyak dilayani. Sebaliknya jika kita yang sehat, maka kita akan lebih banyak melayani. Aku ingat ketika terbaring lemah di rumah karena suatu penyakit yang “kucari-cari sendiri” dan membuat orang-orang terdekatku menjadi sibuk dan kelelahan. Sesuatu yang aku sesali. Bukankah ada banyak hamba Tuhan yang tiba-tiba harus membatalkan jadwal pelayanannya karena terhambat masalah kesehatan?

Misalnya dalam pelayanan Paulus. Kita tahu bahwa ia menghadapi kesulitan-kesulitan yang mungkin tidak dialami oleh banyak dari kita yang hidup pada masa kini. Keterbatasan dalam banyak hal telah membuatnya kehilangan “pilihan-pilihan baik” yang sekarang tersedia tepat di depan mata kita. Dalam 1 Korintus 11:27, Paulus menceritakan tantangan-tantangan dalam pelayanannya demi memelihara jemaat-jemaat. Ada kondisi di mana ia tidak bisa makan makanan tinggi protein karena ia memang tidak punya makanan apapun. Ia juga pernah kekurangan waktu untuk beristirahat karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Sementara itu, beberapa dari kita malah lebih memilih kelaparan, yang penting punya lipstick yang sedang trend. Atau ada yang setiap harinya, tanpa absen, lebih memilih fastfood yang dipenuhi lemak jahat untuk dikonsumsi ketimbang buah-buahan yang penuh dengan serat dan vitamin.

Patut disayangkan jika ternyata ada yang bisa kita lakukan untuk mencoba mencegah satu penyakit tetapi malah berpasrah diri lalu tiba pada kondisi harus mengobati dengan susah payah.

Sebenarnya berdoa bagi orang sakit memang adalah kewajiban kita sebagai orang Kristen, secara khusus para hamba Tuhan. Tetapi, memberikan edukasi agar seseorang tidak “mencari-cari penyakit” merupakan keharusan yang lain.

Kuingatkan lagi, memang ada hal-hal yang dapat terjadi di luar kendali kita. Mungkin kita sudah berusaha, tetapi muncul hal-hal yang mengejutkan kita.

Misalnya ada orang-orang tertentu yang sudah rajin berolahraga dan mengkonsumsi makanan sehat lalu ternyata mendapati dirinya mengidap kanker. Hal itu memang amat memilukan hati. Namun, setidaknya ia telah melakukan apa yang dapat ia lakukan, memilih apa yang harusnya ia pilih, dengan mengambil keputusan untuk berupaya hidup sehat. Sisanya? Mari serahkan kepada Allah! Lakukan saja tugas kita dan biarkan Allah mengerjakan bagian-Nya.

Jika dengan segala doa dan perjuangan kita, tubuh kita tetap digerogoti oleh penyakit mematikan, kita tetap punya satu harapan yang kokoh. Kita punya Allah yang berjanji akan memberikan tubuh yang baru bagi kita. Kita punya Yesus Kristus yang telah bangkit dengan tubuh-Nya setelah menderita dan mati karena dosa-dosa kita.

¹Yuval Noah Harari, Homo Deus: A brief History of Tomorrow, pen. Yanto Musthova (Tangerang Selatan: Pustaka Alvabet, 2018), 5-6.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tak Selamanya Muda, Tak Selamanya Sehat

Oleh Jenni, Bandung

Amsal 20:29 bertuliskan, “Hiasan orang muda adalah kekuatannya, dan keindahan orangtua ialah uban.” Ayat ini benar adanya dan mengingatkan akan diriku yang masih remaja hingga pemudi. Masa itu memang luar biasa. Di sela kesibukanku bersekolah dan bekerja, tubuhku sanggup begadang dan makan makanan pedas sesukaku. Hampir setiap malam, hampir setiap hari. Akan tetapi segalanya punya batas, termasuk tubuhku.

Aku pun jatuh sakit, dan akhirnya setelah memperbaiki gaya hidup, sekarang aku bisa kembali sehat dan berkegiatan. Namun, melihat ke belakang, aku sadar bahwa menjaga kesehatan itu bukan sekadar supaya tidak sakit. Kali ini, dengan tuntunan Tuhan serta pengalamanku, aku ingin berbagi mengenai mengapa kita perlu menjaga dan merawat kesehatan.

1. Kesehatan adalah sebuah anugerah yang perlu kita pertanggungjawabkan

Usia muda-mudi adalah usia gemilang. Tubuh yang kuat, daya serap tinggi, dan organ tubuh beserta metabolisme yang ajaib, semuanya berfungsi dengan maksimal. Aku adalah salah satu pemudi yang merasakan hal yang sama. Akan tetapi berdasarkan pengalamanku, ada satu karakter orang muda yang bisa menjadi kelemahan, yaitu pengendalian diri.

Pada Mazmur 127:4 tertulis, “Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda.” Kemampuan dan kapasitas orang muda yang begitu besar bisa melakukan banyak hal. Namun, tanpa bimbingan dan pengendalian diri, kaum muda bisa jadi tidak terarah. Itulah yang aku abaikan saat remaja. Aku mengabaikan teguran dan peringatan orang tuaku untuk tidak bergadang dan makan sehat. Dan sebelum usiaku mencapai 25, penyakit asam lambung yang tidak terkontrol adalah buah yang aku tuai dari perbuatanku.

Kesehatan adalah anugerah yang kita dapat dengan cuma-cuma. Tapi, tidak selamanya kita sehat. Akan ada saatnya kita menuai apa yang kita konsumsi dan lakukan di masa muda. Karena itulah menjaga kesehatan adalah salah satu tanggung jawab. Namun, sebagai orang muda, ada kalanya kita tidak mampu mencari arah. Dengan emosi yang menggebu-gebu, sulit untuk mengendalikan diri. Karena itulah, selagi bimbingan itu ada untuk kita, yuk lebih dengar-dengaran dan memegang didikan itu.

2. Kita tidak hidup untuk diri kita sendiri

Dulu aku tidak mengerti bahwa menjaga kesehatan diri sendiri memiliki hubungan dengan orang lain. Kukira aku sehat itu untuk diri sendiri. Ternyata aku salah. Setelah jatuh sakit karena asam lambung, barulah aku paham.

Ternyata kalau kita sakit, orang sekeliling kita pun akan terdampak. Perhatian, waktu, dan tenaga mereka akan tercurah pada kita. Saat sakit asam lambung membuatku tidak bisa bekerja, mamaku tanpa mengeluh merawatku hingga sembuh. Karena kecerobohan dan kurangnya pengendalian diri, aku sakit dan mamaku terkena dampaknya.

Sejak saat itu aku sadar arti menjaga kesehatan untuk orang sekitar. Aku pun jadi berpikir lebih jauh mengenai penyakit yang bisa timbul dari pola hidup dan bisa diturunkan risikonya. Menjaga kesehatan manfaatnya tidak hanya buat diri kita sendiri, tapi juga buat orang sekitar kita dan masa depan. Dan, mudah-mudahan dengan tubuh yang kuat kita bisa melakukan rencana Tuhan dalam hidup kita.

3. Bagaikan talenta, dengan kesehatan kita bisa melakukan banyak perbuatan baik

Di Alkitab, Musa tercatat telah melakukan banyak sekali hal. Dari memimpin orang Israel keluar Mesir ke Tanah Kanaan, hingga menulis kitab-kitab di Perjanjian Lama. Bahkan Pada Kitab Ulangan 34:7 tertulis, “Musa berumur seratus dua puluh tahun, ketika ia mati; matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang.” Betapa hebatnya perpaduan tubuh yang kuat dengan rencana Tuhan!

Baru-baru ini ada sebuah kejadian. Saat hendak pulang kerja ternyata ban motorku kempes. Aku jadi harus ke tukang tambal ban. Begitu ditambal, aku bisa pulang tanpa terhambat apa pun lagi. Begitu juga dengan sebuah perjalanan hidup. Saat sakit, kegiatan kita terbatas. Mungkin ruang lingkup perbuatan kita pun jadi tidak seluas saat masih sehat.

Untuk melakukan hal besar maupun yang terlihat kecil, kita memerlukan tubuh dan pikiran yang kuat dan sehat. Jasmani dan rohani yang sehat akan memperlengkapi kita dalam melakukan perbuatan baik, yang bisa Tuhan pakai untuk menyentuh hati seseorang dan berdampak berlipat ganda dalam kehidupannya.

***

Masa muda adalah pemberian Tuhan yang berharga. Di sana ada semangat yang menggebu-gebu, dan kekuatan fisik yang luar biasa. Bagian kita adalah mengelola dengan menjaga dan merawatnya. Dengan tubuh dan pikiran yang sehat, kita bisa melakukan dan menghasilkan hal baik dalam pimpinan Tuhan. Semoga sharing tadi bisa memberikan hal yang baik bagi teman-teman!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Rasa Sakit Dihadirkan Tuhan untuk Diatasi, Bukan Diabaikan

Oleh Agustinus Ryanto

Jika ada penyesalan yang bisa diperbaiki ulang pada usia 20-an tahun, maka yang kuinginkan adalah mengubah kembali tabiat hidupku sejak awal-awal masa kuliah. Memang sampai hari ini usiaku masih muda, belum dekade tiga, tapi tubuhku sudah menunjukkan sinyal-sinyal yang perlu segera ditangani. 

Salah satu sinyal dari tubuhku yang kudeteksi adalah tahun lalu aku mengalami radang tenggorokan yang frekuensinya sering terjadi. Dalam satu bulan bisa dua hingga tiga kali. Diberi obat, sembuh, tapi kambuh lagi. Sampai akhirnya kuputuskan berobat ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Di sana, rongga hidung dan tenggorokanku diendoskopi. 

“Wah! Ini ada gigi busuk. Besar kemungkinan ini penyebabnya,” kata dokter itu sembari menunjukkan hasil endoskopi di layar. Pada tiga gigi graham yang rusak tersisa akar-akar gigi yang meruncing ke permukaan. 

“Aduh, dok. Tapi itu gigi sudah lama kok rusaknya,” dalihku yang seketika takut jika mendengar sesuatu yang berkaitan dengan dokter gigi.

“Justru itu masalahnya. Gigi yang rusak ini mungkin akarnya menekan saraf dan juga kumannya bikin infeksi,” tegas sang dokter. “Ini giginya harus dibenerin dulu. Operasi bedah mulut ya!” sambungnya lagi. 

Sesi singkat di ruang praktik itu menjadi awal dari ketakutan sekaligus gerbang dari pemulihan tubuhku dan bangkitnya kesadaranku akan pentingnya menanggapi sinyal-sinyal dari tubuh dengan cara yang tepat. 

Singkat cerita, operasi bedah mulut pun dilakukan satu minggu setelahnya. Dan hari ini, puji Tuhan, aku tidak pernah lagi mengalami radang tenggorokan.

Tangkap, tangani, jangan abaikan

Dalam sesi obrolanku dengan seorang konselor Kristen, aku pernah diberi tahu bahwa tubuh kita ini ibarat sistem komputer yang begitu detail. Ketika ada satu bagian atau sistem yang error, tubuh akan mengirimkan sinyal untuk ditangkap. Salah satu sinyal itu ialah rasa sakit. Seorang penulis Kristen dalam bukunya berjudul Where is God When it Hurts menulis begini: “Secara harfiah, sakit itu memang tidak enak. Rasa sakit itu mampu memaksa kita untuk menjauhkan tangan dari kompor yang panas. Namun, justru rasa sakit itulah yang sejatinya menghindarkan kita dari kehancuran. Hanya, kita cenderung untuk mengabaikan peringatan, kecuali jika peringatan itu amat memaksa.” 

Rasa “sakit” bisa beragam. Bisa jadi itu berupa radang tenggorokan sepertiku, atau mungkin nyeri pada bagian-bagian tertentu, atau…bisa juga sesederhana perasaan lelah letih yang tak kunjung segar. Bila ini terjadi, kita bisa mengevaluasi diri terlebih dulu. Apa yang sudah kulakukan? Bagaimana pola hidupku selama ini? Setelahnya, kita bisa mencari pertolongan yang tepat. Dalam hal ini tindakan medis bisa jadi cara yang logis dan bijak jika rasa sakit itu tidak pulih melalui obat atau perawatan biasa. 

Namun, peka dan bijak terhadap sinyal ‘sakit’ tak selalu mudah dilakukan. Kita kadang dihambat oleh rasa takut atau juga asumsi kita sendiri. “Ah, ini mah biasa.” Atau, sepertiku, ketika aku sudah tahu gigi yang rusak itu akan berefek pada kesehatan tubuhku, aku malah mengabaikannya dengan dalih takut menjumpai dokter gigi. Parahnya lagi, sejak SMA dulu aku memang menyikat gigi rutin, tapi malas kontrol ke dokter gigi. Akibatnya, lubang-lubang kecil yang seharusnya bisa ditangani tanpa rasa sakit, menjadi lubang besar yang membuat gigiku hancur. Pada akhirnya, aku harus membayar harga lebih mahal dan tindakan ekstra untuk menuju pemulihan (pasca operasi bedah gigi, aku sekarang menggunakan tiga buah gigi palsu untuk grahamku yang hilang).

Priscilla G, dalam artikelnya yang membahas tentang kematian Chester Bennington menuliskan demikian: mengabaikan rasa sakit terus-menerus adalah tindakan apatis yang tidak akan membawa kita kepada kesembuhan. Upaya ini ibarat menutupi botol air yang bocor dengan jari kita. Bocornya bisa saja berhenti, tapi lama-lama jari kita akan lelah dan bocor itu tidak akan pernah teratasi. 

Jika hari ini ada bagian-bagian dari tubuh kita yang terasa sakit tetapi terus kita abaikan, mungkin inilah saatnya untuk kita berhenti sejenak dan melakukan evaluasi. Setelahnya, dengan memohon tuntunan Roh Kudus kita dapat mencari pertolongan yang tepat dan berkomitmen untuk menghidupi hidup ini dengan bertanggung jawab. Kita tidak perlu menunggu momen harus terbaring lemah dulu di atas kasur untuk mengutarakan penyesalan atas pilihan kita yang kurang bijak. 

Jadi, hari ini adakah rasa sakit, entah fisik maupun mental yang kamu sedang alami?

Aku berdoa kiranya Tuhan menolongmu dan menuntunmu untuk mengambil pilihan yang bijaksana, yang akan mengantarmu pada pemulihan dan merawat tubuhmu dengan bertanggung jawab.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥