Posts

Memahami Depresi, Mengerti Cara Mengatasinya

Oleh Toar Taufik Inref Luwuk, Minahasa

Pada Tahun 2023 lalu sekitar bulan Oktober-November, ada 4 kasus bunuh diri terjadi berturut turut di daerahku. Dari berita itulah aku terdorong untuk googling tentang angka bunuh diri di Indonesia. Aku sedikit terkejut, menurut INASP (Indonesian Association for Suicide Prevention) ternyata daerahku Sulawesi Utara termasuk 5 daerah teratas dengan tingkat percobaan bunuh diri di Indonesia.

Statistik ini membuatku merenung. Bunuh diri tidak terjadi secara instan, ada tahapan yang sebelumnya dilewati, tapi seringkali tidak diperhatikan serius, yaitu depresi. Stres atau tekanan hidup yang tidak dikelola dengan baik, menumpuk dan berkelindan seperti benang kusut inilah yang akan mengantar seseorang masuk ke dalam fase depresi, dan aku meyakini bahwa stres atau depresi itu adalah hal yang wajar dan dapat terjadi pada setiap orang. Dikutip dari laman website Kementrian Kesehatan, bahwa depresi lebih sering terjadi pada usia muda. Frekuensi tertinggi terjadi pada usia produktif sekitar 20-40 tahun. Entah mungkin depresi dikarenakan masalah ekonomi, konflik sosial,  keluarga, ekspektasi, dan lainnya. Tentunya, sikap dan apa saja langkah-langkah yang dapat diambil sewaktu merasakan depresi adalah penting demi mencegah kita mengambil keputusan yang salah.

Kadang aku juga merasa sangat rapuh ketika berbagai masalah datang begitu banyak dan sangat tiba-tiba. Saat ini di tengah-tengah penyelesaian studi S1 yang beberapa bulan lagi akan drop out, orangtuaku sakit dan harus rawat di rumah sakit. Seolah-olah jalan menjadi buntu sekejap tidak tahu lagi akan bagaimana. Mungkin kondisiku saat ini tidak dalam kategori depresi melainkan baru di tahapan stres yang tentunya kuharap bisa kuatasi dengan baik. Izinkan aku untuk menuliskan artikel ini, yang akan mengajakmu menjelajahi pandangan Kristen tentang depresi dan bagaimana kita dapat membangun kekuatan rohani untuk mengatasi tantangan ini.

Apa yang Alkitab bicarakan tentang depresi?

Alkitab memang tidak menuliskan secara spesifik penjelasan tentang depresi. Namun, terdapat beberapa bagian Alkitab yang membahas kesedihan, penderitaan, dan keputusasaan. Tiga hal ini adalah perasaan yang berkaitan erat dengan depresi (Ayub 5:7, 14:1; 1 Petrus 4:12; 1 Korintus 10:13). Stres yang tiada habisnya lama-lama membuat semangat menjadi lesu dan perasaan tertekan terus-menerus. Ketika depresi terjadi, seseorang dapat merasa terputus dari Tuhan dan meragukan nilai diri mereka dalam Kristus.

Depresi adalah masalah serius yang banyak dihadapi oleh banyak orang di seluruh dunia, termasuk mereka yang beriman. Dalam pandangan Kristen, depresi bukanlah tanda kelemahan iman, tetapi merupakan perjuangan seorang Kristen dalam pembentukan iman yang lebih kokoh. Ratapan-ratapan para tokoh seperti Yeremia yang merasa kewalahan karena panggilannya, Daud yang meratapi pemberontakan Absalom, Ayub yang kehilangan kesehatan, harta, dan keluarganya, adalah bukti bahwa beriman tidak menjadikan seseorang kebal dari depresi. Namun, iman itu bisa menolong mereka mengatasinya.

Menyadari bahwa kita sangat berharga

Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:26).

Bagiku Allah sebagai Pencipta dengan sengaja menciptakan manusia pada hari yang terakhir setelah segala sesuatu di bumi sudah ada dan semua itu dipersiapkan untuk dikelola oleh manusia untuk kemulian Allah. Bukan hanya itu, manusia adalah ciptaan yang istimewa yang diciptakan segambar dan serupa dengan-Nya.

Secara sederhana, iman Kristen merangkum empat tahap dalam karya Allah: penciptaan, kejatuhan, penebusan, dan pemulihan. Allah menciptakan segalanya dengan baik, tetapi kejatuhan manusia ke dalam dosa merusak semua keindahan yang Allah rancangkan, termasuk di dalamnya hubungan dengan Allah terputus dan manusia harus menerima akibat dari dosa, yaitu maut atau neraka. Tetapi, kasih Allah yang amat besar terhadap manusia sehingga Allah mewujudkan diri-Nya sebagai manusia, merasakan hidup sama seperti manusia, rela mati disalibkan dengan tujuan melakukan pengorbanan sebagai tanda penebusan dosa seluruh umat manusia. Mengimani dan merenungkan kasih Allah secara teratur dapat memberikan kekuatan dan penghiburan yang dibutuhkan dalam perjuangan menghadapi masa depresi.

Penebusan yang Kristus telah lakukan bagi kita adalah bukti nyata bahwa Allah menciptakan dan menganggap kita berharga. Oleh karena itu, kita dapat menanamkan dalam hati dan pikiran kita setiap kali perasaan rendah diri datang, bahwa nilai diri kita yang sejati tidak ditentukan oleh perasaan kita, tetapi berdasarkan apa yang Allah lakukan bagi kita (Yoh 3:16).

Ketika perasaan-perasaan tidak berharga yang mendorong kita pada gejala depresi datang, inilah 3 hal sederhana yang bisa kita lakukan.

1. Jadikan doa dan Firman sebagai fondasi yang kuat

Doa adalah alat kuat yang diberikan Tuhan kepada kita untuk berkomunikasi dengan-Nya. Dalam doa, kita dapat membawa semua kegelisahan dan penderitaan kita kepada Tuhan, tahu bahwa Dia mendengarkan dan peduli. Selain doa, kita juga perlu mendengarkan Dia lewat Firman, membaca serta merenungkannya untuk mengetahui kehendak-Nya atas hidup kita termasuk makna dari pergumulan yang sedang dihadapi.

2. Jangan sendirian, minta dukungan komunitas

Komunitas rohani merupakan wadah kita dapat menemukan dukungan, doa, dan kasih sayang dalam menghadapi depresi. Bisa komunitas pemuda gereja, kelompok tumbuh bersama, atau kelompok sel. Jangan pernah ragu untuk mencari bantuan dari sesama saudara seiman. Dukungan komunitas dapat memberikan kekuatan tambahan dalam menghadapi masa-masa ini.

3. Cari pertolongan profesional

Meskipun iman dan dukungan komunitas penting, kita juga harus menyadari bahwa depresi adalah masalah kesehatan, khususnya kesehatan mental. Pastinya bicara kesehatan mental bisa kita klasifisikan sebagai masalah yang serius karena bagaimanapun depresi itu bisa mempengaruhi pola hidup, seperti makan, waktu tidur, serta aktivitas lainnya. Oleh karena itu, tidaklah masalah bila kamu memerlukan bantuan dari profesional medis seperti psikolog. Jangan malu dan ragu dalam mencari bantuan professional, karena terbukti itu dapat mencegah perasaan-perasaan desktruktif berkembang menjadi keinginan bunuh diri serta merupakan langkah yang bijaksana dalam upaya penyembuhan.

Depresi adalah perjuangan yang nyata bagi banyak orang, tetapi sebagai orang Kristen, kita tidak sendirian dalam perjuangan ini. Dengan membangun kekuatan rohani melalui firman Tuhan, doa, dan dukungan komunitas rohani, kita dapat mengatasi depresi dengan harapan dan keyakinan bahwa Tuhan adalah sumber penghiburan dan penyembuhan.

Semoga kita semua dapat lebih mengenal Kristus serta kehendak-Nya saat kita berjalan melalui perjuangan ini.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Bagaimana Jika Aku Menyerobot Antrean Pulang ke Rumah Bapa?

Oleh Aris Budhiyanto

Bulan Oktober kemarin, bertepatan dengan hari peringatan kesehatan mental sedunia yang jatuh pada tanggal 10, aku banyak menemukan artikel yang membahas seputar kesehatan mental. Beberapa artikel yang kubaca membahas tentang kasus bunuh diri. Aku pun tergelitik karena tujuh tahun lalu aku pernah berpikir untuk meninggalkan dunia ini dengan sengaja.

Saat itu usiaku menginjak akhir 20-an, usia di mana seseorang mulai dianggap mapan secara finansial maupun dalam berkarier. Namun, hal itu tidak berlaku bagiku. Saat itu aku baru saja menyelesaikan pendidikan magister dan sudah beberapa bulan bergumul mencari kerja. Sedikit cerita tentang latar belakangku, sebelum memutuskan untuk melanjutkan studi, aku sudah beberapa tahun bekerja di sebuah kantor yang cukup baik di Jakarta, tapi aku meninggalkan pekerjaan lamaku dan melanjutkan studi magister untuk menjadi seorang pengajar. Keputusan ini sudah kudoakan sejak aku masih duduk di bangku kuliah. Tentu saja pilihanku ini kontroversial, terutama bagi orang tuaku karena mereka mengharapkanku bekerja di sektor industri. Namun, mereka tidak menghalangiku.

Berbulan-bulan menganggur dan mencari kerja, yang kudapat hanya penolakan. Orang tuaku yang turut mempertanyakan keputusanku dan mencoba mendorongku kembali ke pekerjaan lamaku membuatku merasa tertekan dan depresi. Bahkan aku mulai meragukan Tuhan dan keputusan yang kuambil. Malam demi malam aku berdoa. Salahkah aku memutuskan meninggalkan pekerjaan lamaku? Apakah hal yang aku doakan selama ini tidak berkenan kepada Tuhan? Jika demikian, mengapa Dia tetap menuntunku dan membawaku sampai di titik ini? Apakah Tuhan menghendaki aku untuk gagal? Apakah Tuhan tidak lagi mengasihiku? Lalu untuk apa aku hidup di dunia ini?

Saat itulah pikiran untuk meninggalkan dunia ini muncul. Aku ingin menghilang dan melepaskan diri dari semua ini. Tak jarang aku bercanda dengan teman-temanku, “bagaimana jika aku menyerobot antrean pulang ke rumah Bapa?”

Namun, puji Tuhan, Dia tidak membiarkanku mengambil keputusan yang salah. Aku masih takut akan Tuhan dan masih menyadari bahwa mengakhiri hidup bukanlah solusi akhir. Melalui teman-temanku, Tuhan menguatkan aku. Dia juga menuntunku untuk berkonsultasi ke psikolog yang melayani di gerejaku. Memang, kami tidak bisa menjawab mengapa Tuhan membiarkanku melewati semua ini, namun imanku semakin dikuatkan dan diteguhkan.

Aku menggunakan waktu menganggurku untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, berdoa, membaca firman dan mendengarkan lagu rohani, serta mengevaluasi diri hingga berserah. Aku sadar aku lebih ingin mengikuti egoku daripada mencari kehendak-Nya. Karena itulah aku marah ketika Tuhan tak kunjung menjawab doaku, hingga aku menolak semua hal baik yang Tuhan karuniakan, termasuk hidupku. Bisa dikatakan Tuhan menggunakan waktu menganggurku untuk membentuk karakterku agar aku tidak menyerah, tetapi berserah. Aku tidak lagi bersikeras untuk bisa menjadi pengajar dan mulai memikirkan pekerjaan lain jika Tuhan tidak menghendaki aku melayani di bidang pendidikan.

Saat itulah Tuhan justru menjawab doaku. Dia memberikan pekerjaan di kampus yang dulu aku menempuh studi S1. Masa-masa pergumulan itu kurasa memang Tuhan siapkan untuk menguji dan membentuk karakterku agar aku siap menjadi seorang pendidik. Setelahnya, barulah Tuhan mengutusku untuk melayani-Nya. Bukan lagi karena keinginanku, tapi atas kehendak dan kedaulatan-Nya.

Sekarang aku sudah hampir menyelesaikan studi doktoralku. Puji Tuhan, atas seizin-Nya aku diberi kesempatan untuk melanjutkan studi keluar negeri. Tentunya kehidupanku selanjutnya tidak mudah, bahkan aku juga mengalami banyak masalah yang membuatku tertekan dan depresi. Tapi, aku tidak lagi berpikiran untuk meninggalkan dunia ini karena aku punya Tuhan yang senantiasa menuntunku dan memegang erat tanganku, bahkan ketika aku melepaskan pegangan tanganku.

Melalui tulisan ini, aku berharap jika kalian sedang mengalami masalah yang sangat berat, hingga pernah berpikiran untuk meninggalkan dunia ini, kiranya ceritaku bisa menguatkan kalian dan menghilangkan pikiran itu. Meskipun aku tidak tahu apa masalah yang kalian hadapi, Tuhan tahu dan mengasihi kita semua, hingga Dia bersedia mati di kayu salib agar kita beroleh keselamatan. Jangan sia-siakan anugerah kehidupan yang tak ternilai ini.

Carilah pertolongan, melalui komunitas gereja yang dapat menjadi support system, atau ke psikolog.

Akhir kata, aku ingin membagikan ayat yang menjadi peganganku selama ini: 

“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” (Ulangan 31:6).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Hoaks, Asal Viral, dan Penghakiman: Bagaimana Film Budi Pekerti Menunjukkan Kondisi Masyarakat Kita

Oleh Sandyakala Senandika

Kalau kamu belum menonton film berjudul “Budi Pekerti”, mungkin kamu penasaran ini film apa karena kesan dan review mulai bermunculan di media sosial. Dan, kalau kamu sudah menontonnya, mungkin kamu merasa gereget dengan warganet yang mengakibatkan hidup Ibu Prani dan keluarganya porak poranda dalam sekejap, ibarat puting beliung yang menerbangkan atap rumah seisi kampung.

Mengambil setting kota Yogyakarta kala masa pandemi, film besutan sutradara Wregas Bhanuteja ini menyajikan fenomena buruk dari budaya kita bermedia sosial: bagaimana suatu peristiwa dibingkai, dilepas dari konteksnya, dan diviralkan begitu saja hingga melahirkan hoaks yang kemudian menghancurkan kehidupan korbannya.

Sedikit spoiler, Ibu Prani Siswoyo yang diperankan Sha Ine Febriyanti adalah guru Bimbingan Penyuluhan (BP) di suatu SMP. Dia guru yang gaul, melek teknologi, dan dicintai karena metodenya yang selalu memberikan “refleksi” alih-alih hukuman pada murid-muridnya yang bermasalah. Tapi, di balik pengabdiannya sebagai guru, Ibu Prani punya segudang beban. Suaminya, Didit Wibowo yang diperankan Dwi Sasono mengalami depresi yang mengarah bipolar lantaran usahanya hancur dihantam pandemi. Untuk pengobatan, tabungan mereka pun terkuras, sampai-sampai uang bayar kontrakan pun harus dipakai lebih dulu.

Konflik panas dimulai saat Ibu Prani sedang mengantre makanan kue putu Mbok Rahayu yang terkenal. Ibu Prani menegur seorang yang menyerobot antrean, tapi orang itu tak terima. Peristiwa cekcok itu direkam oleh orang-orang yang ada di pasar dan kemudian diunggah. Celakanya, bagian yang menjadi viral adalah momen ketika Ibu Prani mengucap “Ah suwi,” yang artinya “ah lama”. Tapi, karena diucap dengan cepat, frasa itu terdengar seperti “asu..i” yang dalam bahasa Jawa berarti “anjing”.

Pasca viralnya video itu, kehidupan Bu Prani berubah total. Hoaks bermunculan di mana-mana. Kedua anaknya, Tita (Prilly Latuconsina) dan Muklas (Angga Yunanda) pun terkena getahnya.

Belantara Maya yang Ganas

Artikel karya Dwi Bayu Radius yang dimuat di harian Kompas.id menuliskan bahwa secepat jemarinya bergerak, pengguna media sosial menomorsatukan pembenaran, bukan kebenaran.

Dalam teori komunikasi massa, ada teori yang disebut agenda setting. Teori ini berkata bahwa media tidak mengabarkan suatu peristiwa secara utuh, melainkan membingkainya (framing) agar memenuhi kepentingan mereka sendiri. Dalam konteks saat ini ketika setiap orang dapat berperan menjadi media lantaran panggung bernama medsos, kepentingan yang lahir adalah klik dan viralitas. Orang berlomba-lomba ingin jadi pahlawan yang seolah sedang memperjuangkan sesuatu tetapi abai terhadap konteks. Warganet yang cepat terbakar emosinya pun menjadi faktor yang menyuburkan konten menjadi viral.

Kita dapat dengan mudah menjumpai konten atau peristiwa viral setiap harinya. Meskipun ada konten-konten viral yang baik seperti Twitter do your magic yang mampu mengungkap orang hilang atau kasus penipuan, tapi tak sedikit pula yang berakhir pada bully atau perundungan. Pada Juni 2022 seorang perempuan muda dihujat habis-habisan oleh warganet lantaran ada seseorang yang merekam diam-diam peristiwa ketika seorang petugas kebersihan di mal menolongnya membersihkan sepatunya yang tak sengaja menginjak kotoran anjing. Konteks sebenarnya adalah petugas tersebut dengan rela hati menawarkan pertolongan. Tetapi, pada unggahan yang dipotong, dibingkai, dan diviralkan itu dibumbui caption bernada iba, seolah si perempuan itu merendahkan petugas kebersihan.

Vox Populi tak selalu Vox Dei

Ada ungkapan bahasa Latin yang berkata: Vox Populi Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Ungkapan ini kerap dipakai dalam dunia politik yang menegaskan bahwa suara mayoritas bisa jadi representasi dari kehendak Tuhan.

Namun, dalam konteks bermasyarakat kita di masa sekarang, sebagai orang Kristen kita perlu mengingat bahwa kebenaran dan kehendak Allah tidak berbicara soal jumlah suara mayoritas. Semisal, ketika seisi kelas sepakat membeli kunci jawaban ujian nasional, tidak berarti mencontek itu menjadi benar. Atau, ketika orang berbondong-bondong menerobos lampu merah di suatu perempatan yang sibuk, itu tidak berarti lampu merah tersebut menjadi salah.

Tidak mudah untuk berdiri teguh ketika hampir semua orang di sekeliling kita melakukan yang berbeda. Inilah yang disebut sindrom mob mentality, yaitu pola pikir atau kecenderungan ketika seseorang mengikuti atau meniru sekelompok orang tanpa mengerti hal tersebut salah atau benar. Dalam Alkitab, kita dapat melihat perilaku mob mentality ini dalam kasus Stefanus, martir Kristen pertama. Dalam Kisah Para Rasul 6:8-15, dikisahkan bahwa anggota rumah ibadah Yahudi tak sanggup melawan hikmat Stefanus dalam perdebatan. Alhasil mereka menebarkan berita palsu, menuduh Stefanus telah menghujat Musa dan Allah supaya Stefanus dihukum. Massa pun mengamuk karena merasa tersakiti oleh Stefanus. Pada pasal 7 ayat 54-60, dituturkan akhirnya Stefanus diserbu, dihalau ke luar kota, dan dirajam hingga meninggal.

Kisah Stefanus adalah contoh yang relevan hingga sekarang, tentang bagaimana berita bohong dapat dengan mudah disebarkan dan memantik emosi massa. Hari-hari ini, ketika zaman telah berkembang pesat, kecenderungan untuk menelan mentah-mentah berita bohong itu tetap ada. Dalam konteks media sosial, mungkin kita tidak merajam seseorang dengan batu, tetapi dengan kata-kata hujatan yang kita ketikkan dengan begitu luwesnya. Ganasnya tindakan ini dipengaruhi juga oleh pola pikir mob mentality yang turut diperparah dengan mudahnya seseorang menyembunyikan identitas atau jati dirinya menggunakan akun alter atau anonim. Tak cuma kritik atas karya, tapi juga menyerang pribadi seseorang. Jika kita mudah terpancing emosinya saat bermedsos, Pemazmur mengundang kita untuk “jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu” (Mazmur 34:14).

Ketika warganet dengan semangat merundung seseorang lalu menghukumnya dengan cancel-culture karena satu peristiwa yang kita tak ketahui konteks utuhnya, kita perlu berhenti sejenak: apakah kita perlu menanggapi peristiwa tersebut dan menuturkannya kepada orang lain? Atau, cukup melihat dan menyimpannya dalam hati? Untuk memutuskan ini kita membutuhkan hikmat ilahi (Amsal 2:6), yang menolong kita untuk bisa mengidentifikasi apa yang terbaik yang dapat dan perlu kita lakukan.

Hikmat ilahi jugalah yang akan memampukan kita untuk menyaring apa yang baik dari dunia maya, khususnya media sosial. Kejadian-kejadian dan budaya buruk yang hadir di sini tidak berarti bahwa dunia maya adalah dunia yang mutlak rusak, tetapi ini adalah dunia yang di dalamnya terbuka luas kesempatan untuk kita dapat memuridkan dan dimuridkan. Meski tidak segaduh konten-konten negatif, ada banyak tokoh dan konten yang digerakkan oleh visi mulia, yang tidak menjadikan klik dan viral sebagai tujuan.

Menutup tulisan ini, aku teringat akan kisah ketika para gembala cepat-cepat berangkat menjumpai Maria, Yusuf, dan bayi Yesus (Lukas 2:8-20). Saat tiba di sana, para gembala pun bercerita tentang kejadian luar biasa yang baru saja mereka alami: para malaikat tampak bersama bala tentara surga dan memuji Allah. Coba kita bayangkan. Jika kita adalah para gembala yang sedang duduk-duduk menjaga domba di padang rumput luas kala malam, mungkin kita akan kaget dan seolah tak percaya didatangi malaikat, lalu kita pun dengan segala macam ekspresi menceritakannya pada orang lain. Menariknya, pada ayat 19 dituliskan bahwa Maria memilih menanggapi cerita para gembala itu dengan tenang, dia “menyimpan semua hal itu di dalam hatinya dan merenungkannya”.

Pada dunia yang sangat berisik dan telah tersapu tsunami informasi, dengan hikmat dan tuntunan Roh Kudus barangkali kita dapat melakukan apa yang Maria telah lakukan, yakni menyimpan apa yang telah kita lihat, dengar, atau rasakan dalam hati kita dan merenungkannya terlebih dulu sebelum kita memutuskan apakah kita perlu meneruskannya pada orang lain, atau menyimpannya di dalam hati.

Ketika di depanku tersaji suatu peristiwa,

Kiranya terbitlah lebih dulu kesabaran untuk melihat, mencerna, memilah, serta memutuskan apakah itu patut kututurkan ulang, atau sekadar kusimpan dalam hati.

Agar dari dalamku, janganlah lahir penghakiman yang mendahului pengertian.

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Rasa Sakit Dihadirkan Tuhan untuk Diatasi, Bukan Diabaikan

Oleh Agustinus Ryanto

Jika ada penyesalan yang bisa diperbaiki ulang pada usia 20-an tahun, maka yang kuinginkan adalah mengubah kembali tabiat hidupku sejak awal-awal masa kuliah. Memang sampai hari ini usiaku masih muda, belum dekade tiga, tapi tubuhku sudah menunjukkan sinyal-sinyal yang perlu segera ditangani. 

Salah satu sinyal dari tubuhku yang kudeteksi adalah tahun lalu aku mengalami radang tenggorokan yang frekuensinya sering terjadi. Dalam satu bulan bisa dua hingga tiga kali. Diberi obat, sembuh, tapi kambuh lagi. Sampai akhirnya kuputuskan berobat ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Di sana, rongga hidung dan tenggorokanku diendoskopi. 

“Wah! Ini ada gigi busuk. Besar kemungkinan ini penyebabnya,” kata dokter itu sembari menunjukkan hasil endoskopi di layar. Pada tiga gigi graham yang rusak tersisa akar-akar gigi yang meruncing ke permukaan. 

“Aduh, dok. Tapi itu gigi sudah lama kok rusaknya,” dalihku yang seketika takut jika mendengar sesuatu yang berkaitan dengan dokter gigi.

“Justru itu masalahnya. Gigi yang rusak ini mungkin akarnya menekan saraf dan juga kumannya bikin infeksi,” tegas sang dokter. “Ini giginya harus dibenerin dulu. Operasi bedah mulut ya!” sambungnya lagi. 

Sesi singkat di ruang praktik itu menjadi awal dari ketakutan sekaligus gerbang dari pemulihan tubuhku dan bangkitnya kesadaranku akan pentingnya menanggapi sinyal-sinyal dari tubuh dengan cara yang tepat. 

Singkat cerita, operasi bedah mulut pun dilakukan satu minggu setelahnya. Dan hari ini, puji Tuhan, aku tidak pernah lagi mengalami radang tenggorokan.

Tangkap, tangani, jangan abaikan

Dalam sesi obrolanku dengan seorang konselor Kristen, aku pernah diberi tahu bahwa tubuh kita ini ibarat sistem komputer yang begitu detail. Ketika ada satu bagian atau sistem yang error, tubuh akan mengirimkan sinyal untuk ditangkap. Salah satu sinyal itu ialah rasa sakit. Seorang penulis Kristen dalam bukunya berjudul Where is God When it Hurts menulis begini: “Secara harfiah, sakit itu memang tidak enak. Rasa sakit itu mampu memaksa kita untuk menjauhkan tangan dari kompor yang panas. Namun, justru rasa sakit itulah yang sejatinya menghindarkan kita dari kehancuran. Hanya, kita cenderung untuk mengabaikan peringatan, kecuali jika peringatan itu amat memaksa.” 

Rasa “sakit” bisa beragam. Bisa jadi itu berupa radang tenggorokan sepertiku, atau mungkin nyeri pada bagian-bagian tertentu, atau…bisa juga sesederhana perasaan lelah letih yang tak kunjung segar. Bila ini terjadi, kita bisa mengevaluasi diri terlebih dulu. Apa yang sudah kulakukan? Bagaimana pola hidupku selama ini? Setelahnya, kita bisa mencari pertolongan yang tepat. Dalam hal ini tindakan medis bisa jadi cara yang logis dan bijak jika rasa sakit itu tidak pulih melalui obat atau perawatan biasa. 

Namun, peka dan bijak terhadap sinyal ‘sakit’ tak selalu mudah dilakukan. Kita kadang dihambat oleh rasa takut atau juga asumsi kita sendiri. “Ah, ini mah biasa.” Atau, sepertiku, ketika aku sudah tahu gigi yang rusak itu akan berefek pada kesehatan tubuhku, aku malah mengabaikannya dengan dalih takut menjumpai dokter gigi. Parahnya lagi, sejak SMA dulu aku memang menyikat gigi rutin, tapi malas kontrol ke dokter gigi. Akibatnya, lubang-lubang kecil yang seharusnya bisa ditangani tanpa rasa sakit, menjadi lubang besar yang membuat gigiku hancur. Pada akhirnya, aku harus membayar harga lebih mahal dan tindakan ekstra untuk menuju pemulihan (pasca operasi bedah gigi, aku sekarang menggunakan tiga buah gigi palsu untuk grahamku yang hilang).

Priscilla G, dalam artikelnya yang membahas tentang kematian Chester Bennington menuliskan demikian: mengabaikan rasa sakit terus-menerus adalah tindakan apatis yang tidak akan membawa kita kepada kesembuhan. Upaya ini ibarat menutupi botol air yang bocor dengan jari kita. Bocornya bisa saja berhenti, tapi lama-lama jari kita akan lelah dan bocor itu tidak akan pernah teratasi. 

Jika hari ini ada bagian-bagian dari tubuh kita yang terasa sakit tetapi terus kita abaikan, mungkin inilah saatnya untuk kita berhenti sejenak dan melakukan evaluasi. Setelahnya, dengan memohon tuntunan Roh Kudus kita dapat mencari pertolongan yang tepat dan berkomitmen untuk menghidupi hidup ini dengan bertanggung jawab. Kita tidak perlu menunggu momen harus terbaring lemah dulu di atas kasur untuk mengutarakan penyesalan atas pilihan kita yang kurang bijak. 

Jadi, hari ini adakah rasa sakit, entah fisik maupun mental yang kamu sedang alami?

Aku berdoa kiranya Tuhan menolongmu dan menuntunmu untuk mengambil pilihan yang bijaksana, yang akan mengantarmu pada pemulihan dan merawat tubuhmu dengan bertanggung jawab.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Aku Pendeta dan Aku Bergumul dengan Depresi

Ditulis oleh Hannah Go, berdasarkan cerita dari Jordan Stoyanoff
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Confessions Of A Pastor Who Wrestles With Anxiety

Aku memulai perjalanan karierku sebagai pendeta muda yang bersemangat, yang punya mimpi mengubah dunia. Aku mau melakukan apa pun yang bisa kulakukan buat Tuhan… tapi di tahun kedua pelayananku, aku bergumul dengan depresi dan kecemasan.

Setiap hari, aku merasa waktuku tidak cukup untuk memenuhi semua tuntutan. Kesibukan makin banyak dan setiap kritik terasa menyengat. Aku tidak bisa berpikir jernih, dan seringkali merasa frustrasi hanya karena hal-hal kecil.

Bebanku terasa makin berat, ditambah lagi beban dari harapan-harapan yang aku sendiri dan orang lain buat untukku. Aku berpikir bagaimana seharusnya aku memperhatikan orang-orang muda yang Tuhan hantarkan kepadaku. Suatu hari nanti aku harus mempertanggungjawabkan bagaimana aku telah membina dan menggembalakan mereka karena kita sedang berurusan dengan kehidupan kekal mereka kelak.


Semua ekspektasi itu membuatku tertekan. Aku mengalami burnout dan kelelahan. Semua harapanku lenyap. Aku tidak bisa membayangkan keadaanku akan membaik. Penderitaan mentalku terlalu besar, sampai-sampai aku merasa satu-satunya jalan keluar adalah mengakhiri hidupku dan segera bertemu Yesus.

Pemikiran itu membuatku kaget sendiri. Padahal selama ini aku menganggap diriku itu orang yang tabah dan kuat, sehingga gulatan perasaan seperti ini sungguh terasa aneh dan tidak nyaman.

Setelahnya, kupikir aku butuh liburan karena aku kelelahan. Mungkin pergi liburan akan menolongku lepas dari stres dan menjernihkan pikiran untuk menyusun rencana ke depan. Aku perlu mencari tahu bagaimana caranya bertahan melayani di pelayanan anak-anak muda, tidak sekadar jadi pendeta yang cuma hadir lalu gagal. Maka aku pun mengambil cuti seperti yang disarankan oleh salah satu mentorku, dan orang-orang di sekitarku yang mengerti pergumulanku.

Tapi, liburan selama satu minggu tidaklah cukup, dan aku tahu itu. Aku harus kembali lagi ke pekerjaanku, berjibaku kembali dengan rutinitas yang menantang. Meskipun ada sesi follow-up setelahnya, itu tidak menyelesaikan masalah utama. Tidak ada seorang pun yang hadir untuk mengajakku bicara terkait masalahku. Aku tetap tampil ‘baik-baik saja’, sementara dalam diriku bergumul hebat.

Semua hal ini membuatku bertanya-tanya. Aku meragukan imanku dan motivasi pelayananku. Di satu titik, semua beban itu bertumpuk dalam kepalaku.

Sebagai pendeta, aku memiliki kemampuan intelektual yang ‘baik’ tentang siapa Tuhan dan apa yang Dia katakan tentang aku. Namun, yang kutemukan setelahnya adalah justru aku tidak memahami diriku sendiri dengan baik, sehingga tidak dapat menerapkan kebenaran tentang siapa aku di hadapan Tuhan. Aku tahu keadaanku cukup sulit, tapi aku masih merasa cukup kuat untuk mengatasinya. Aku tidak menyadari bagaimana dunia di sekitarku mempengaruhiku dan turut berkontribusi menghadirkan pola-pola negatif di hidupku.

Bagaimana konseling menolongku mengatasi pergumulan

Suatu malam, aku berada di titik nadir. Harapan yang ditumpukan orang kepadaku terasa amat berat, dan aku merasa tidak sanggup lagi. Aku diliputi keputusasaan. Aku yakin aku tidak layak mengemban tanggung jawab di hadapanku. Aku lalu pergi ke sofa, dan tidur meringkuk seperti bola. Aku tak bisa berpikir jernih, tak bisa berbuat apa-apa. Kusadari kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Aku butuh bantuan.

Malam itu juga, atas arahan dari salah seorang pendeta, aku pergi menjumpai seorang dokter umum yang memberiku obat dan menyarankan agar aku berkonsultasi dengan psikolog.

Melihat ke belakang, aku merasa tindakan dokter yang segera memberiku obat bukanlah langkah yang tepat. Kadang obat-obatan memang bisa dipakai Tuhan untuk mengatasi masalah, tapi itu bukan solusi sesungguhnya. Kurasa ada banyak dokter di luar sana juga seperti itu, langsung memberi resep obat antidepresan kepada pasien yang belum pernah menjalani psikoterapi. Meski merasakan banyak progres positif, tetapi setelah sembilan bulan mengonsumsi obat, aku berhenti.

Aku memutuskan menemui konselor Kristen karena aku tahu pada intinya, masalah yang kuhadapi adalah masalah spiritual. Aku membutuhkan Yesus untuk mengubah hati dan pikiranku, sebab konselor sekuler hanya akan menolongku mengatasi gejala-gejala klinis dari masalah yang sebenarnya. Aku perlu memahami diriku seperti cara Tuhan melihatku. Aku perlu menemukan identitasku dalam Kristus, bukan dalam berhasil atau gagalnya pelayananku. Aku membutuhkan pertolongan dari sesama orang Kristen.

Hal lain yang juga menolongku (pada tahun-tahun menjelang pernikahanku), adalah bagaimana aku belajar mengasihi seseorang yang juga pernah mengalami depresi dan kecemasan—istriku sendiri.

Istriku pernah melalui tantangan-tantangan mental seperti yang kualami ini sebelumnya, maka aku pun paham bahwa menemui konselor adalah keputusan yang baik. Aku tahu bahwa aku tak perlu menjadi sempurna—karena pada dasarnya memang kita tak bisa sempurna, dan itu tidak masalah. Melihat sendiri bagaimana istriku melewati masa-masa tersebut, memberiku keberanian untuk mencari pertolongan, meskipun aku masih merasa kaget karena tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan mengalami masalah seperti ini juga. Selama proses konseling berlangsung, aku tetap melanjutkan peranku sebagai pendeta sampai beberapa tahun setelahnya.

Menjalani konseling merupakan hal yang paling penting, pertolongan terbesar yang kudapat dalam perjalananku mengatasi kesehatan mental. Konseling adalah tempat yang aman karena segala data dan informasi kita bersifat rahasia. Dari sana, aku mulai mengerti bahwamasalah yang kualami itu berkaitan dengan identitasku, dan kemudian aku melihat bagaimana identitasku itu menentukan apa yang kulakukan. Sebelumnya, aku punya konsep sendiri tentang siapakah aku, bagaimana dunia itu, dan siapakah Tuhan—beberapa konsepku itu tidaklah sejalan dengan perspektif Yesus. Cara pandangku akan realitas tidaklah benar, baik, dan sejalan dengan apa yang Yesus katakan padaku. Aku butuh Yesus untuk menunjukkan kebohongan yang telah kupercaya selama ini, baik secara sadar maupun tidak. Aku butuh percaya kebenaran dari Yesus melebihi apa yang kupikir dan kurasa.

Sesi-sesi konseling menolongku mengurai masalahku. Aku juga mendapat terapi perilaku kognitif Kristiani yang menolongku untuk mengerti apa yang terjadi dalam pikiranku, alasan mengapa aku melakukan sesuatunya, sehingga aku bisa merespons dengan efektif terhadap pikiran-pikiran, perasaan, tindakan, serta melepas konsep yang keliru.

Sebelumnya, aku tak menyadari bahwa iman berkaitan dengan kesehatan mental. Aku tidak sepenuhnya mengerti bahwa identitasku dalam Kristus juga berkaitan dengan masalahku. Sungguh penting mengetahui siapa kita sebenarnya di dalam Kristus.

Pemulihan dari burnout

Pulih dari burnout adalah proses yang panjang, namun aku tetap menjalankan tanggung jawabku sebagai pendeta sampai Tuhan bilang saatnya untuk pindah. Butuh dua tahun untukku beranjak dari posisiku sebagai pendeta ke tanggung jawabku yang sekarang. Semua karena anugerah-Nya saja.

Masih ada momen-momen ketika aku melihat kendala dalam diriku, entah itu kurangnya rasa belas kasihan, bertindak di luar karakterku, atau bergumul untuk lebih tenang. Semua itu memaksaku berhenti dan berpikir: apa keyakinan yang mendasari di sini? Bagaimana aku bisa menyelaraskan diriku dengan kebenaran Tuhan di situasi ini?

Satu hal yang kupelajari tentang menghadapi masalah kesehatan mental di dalam gereja adalah kurangnya kesadaran akan kesehatan mental dari sudut pandang Kristen. Beberapa orang terlalu serius menanggapi persoalan mental orang lain seolah-olah itu penyakit menular, yang akhirnya malah membuat seseorang semakin takut untuk membuka diri. Sikap ini menunjukkan sebuah tembok yang dibangunoleh orang-orang di gereja—tidak mampu untuk secara terbuka berbagi kisah tentangapa yang sedang dialami, dan tak ada orang yang bisa memvalidasi pengalaman mereka.

Di sisi lainnya, aku juga melihat bagaimana orang bisa begitu berempati dan berbelas kasih terhadap mereka yang bergumul, tetapi pada akhirnya malah terlalu banyak menceritakan pengalaman mereka sendiri, yang belum tentu tepat. Pada kasusku, penting untuk tidak merasa kita adalah juruselamat bagi orang lain dan kitalah yang paling bisa menolong. Aku harus melakukan apa yang bisa kulakukan, tapi aku pun harus percaya bahwa pada akhirnya, Tuhanlah yang memelihara mereka.

Pada akhirnya, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Kita tak bisa memaksa mereka yang bergumul dengan masalah kesehatan mental untuk menemui dokter atau konselor. Biarlah mereka sendiri yang memutuskan. Perjalanan menuju pemulihan adalah urusan orang itu sendiri dengan Yesus. Kita sebagai temannya bertanggung jawab menemani dia. Bukan sebagai juruselamat atau ahli kesehatan mental, tapi sebagai kawan.

Bunuh Diri Tak Pernah Jadi Solusi

Kita tak asing dengan istilah ‘bunuh diri’.

Ada figur publik, bahkan mungkin orang yang kita kenal, pernah terbersit atau nahasnya mengakhiri hidupnya dengan cara ini.

Bunuh diri adalah sebuah gunung es dari permasalahan kesehatan mental yang tak diatasi dengan benar. Tidak peduli seberapa baik penampilan seseorang di luarnya, mungkin saja ada sesuatu yang mereka gumulkan di dalam.

Izinkan mereka yang paling dekat dengan kita mengetahui betapa kita mengasihi mereka, dan betapa mereka berarti buat kita tak peduli apapun musim yang sedang mereka hadapi.

Ayo kita tunjukkan kasih dan empati kita.

Menemukan Pemeliharaan Tuhan lewat Tenaga Profesional Kesehatan Mental

Oleh Listiyani Chita Ellary

Isu kesehatan mental dan komplikasinya adalah isu yang dulunya asing bagiku. Beberapa tahun yang lalu, aku belum mengenal arti pentingnya memiliki kesadaran soal merawat kesehatan mental bagi setiap orang, dan bagaimana kita bisa saling menolong untuk menjaga kewarasan rohani. Yang aku pahami adalah bahwa kesehatan mental setiap orang diukur dengan tolak ukur yang sama dan tentu saja menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing untuk menjadi tetap kuat. Sebelumnya aku merasa bahwa cara terbaik merawat kondisi mental pribadi adalah dengan terlihat baik-baik saja dan memendam semua emosi. Tabu pula untuk mengakui perasaan sedih, marah, kecewa, sakit hati, serta ekspresi emosi “negatif” lainnya.

Caraku memperlakukan pergumulan mental selama ini, dengan berusaha menyimpan untuk digumuli sendiri dan mencoba terlihat baik-baik saja di mata orang lain, juga membuatku sedikit asing dengan profesi konselor, psikolog, juga psikiater. Lagi-lagi aku berasumsi bahwa ketiga profesi tersebut akan dibutuhkan hanya bagi seseorang dengan gangguan jiwa yang parah, yang mungkin juga dipengaruhi oleh kurangnya iman yang teguh. Namun semua asumsiku soal isu kesehatan mental dan profesi yang berkaitan dengannya luntur ketika aku sendiri harus menghadapi serangkaian peristiwa pahit yang cukup menggoyahkan hidup.

Tepatnya setahun lalu sejak kepindahanku ke Jakarta, ibu kota negara yang tekanan hidupnya amat berbeda dan unik, banyak adaptasi yang ternyata tidak selalu berjalan mulus. Awal-awal tinggal di Jakarta, hampir setiap harinya aku merasa stres harus menahan marah melihat kemacetan khas Jakarta dan desak-desakan antar penumpang di dalam bus dan kereta, transportasi yang aku gunakan setiap hari saat berangkat dan pulang dari tempat kerja.

Hal ini masih ditambah lagi dengan berbagai pergumulan personal, misalnya banyak pertikaian dalam relasi dengan pacar, juga peristiwa-peristiwa lain yang tidak jarang menguras banyak energi dan emosi. Pada momen-momen inilah aku merasa kewalahan untuk hidup sebagai seorang manusia. Aku merasa seperti mayat hidup, mengalami kekosongan dalam diri, seringkali merasa lelah dan hilang arah, hingga berakibat pada jatuhnya relasiku dengan Tuhan.

Dalam kondisi yang kacau saat itu, aku hanya menggunakan cara bertahan yang selama ini aku tahu; bahwa semua kekacauan tersebut menjadi tanggung jawabku pribadi, dan tidak baik membagikan kerapuhan kepada orang lain. Ketakutan terbesarku ketika mencoba membagikan kerapuhan kepada orang lain adalah respons negatif berupa penghakiman dari mereka ketika melihat bagian diriku yang kelam yang semakin membuatku terpuruk, padahal ketakutan tersebut belum tentu akan terjadi. Namun sikap yang kutunjukkan dalam keseharian tak bisa bohong. Orang terdekatku melihat banyak keanehan dalam diriku seperti banyak murung, mudah menangis tanpa alasan jelas, juga banyak ungkapan pesimis terlontar dari mulutku.

Akhirnya seseorang mendorongku untuk datang ke sebuah lembaga konseling Kristen di Jakarta. Tentu saja mulanya aku menolak habis-habisan. “Aku masih waras kok,” begitu pikirku. Namun dorongan beberapa orang terdekat dan kemurahan hati seorang kawan yang bersedia menemaniku ke tempat konseling membuatku bersedia menemui seorang konselor. Tentu saja, pertemuan pertama membuatku takut. Bagaimana mungkin aku harus membuka luka kepada orang asing yang sama sekali tidak mengenalku?

Tapi lagi-lagi, ketakutan serta asumsiku sama sekali tidak terbukti. Sepulang dari konseling, aku merasa amat dilegakan seperti sebagian beban hidupku terangkat. Aku bersyukur sekali ketika dipertemukan dengan seorang konselor yang amat hangat sehingga membuatku nyaman dan aman dalam membagikan banyak persoalanku tanpa sama sekali keluar penghakiman darinya, justru sambutan hangat dan positif yang tidak henti-henti kudapatkan. Di akhir sesi, beliau memberikan saran yang ternyata sederhana untuk menguraikan emosi dalam diriku: menulis. Akhirnya aku mulai mendisplinkan diri untuk mulai menuliskan berbagai emosi yang aku rasakan. Hasilnya cukup membantuku, yakni aku mulai belajar memetakan isi kepala terhadap semua respons emosi yang aku alami terhadap suatu peristiwa.

Benar, datang untuk konseling tidak menjamin permasalahan hidup akan selesai atau menemukan jalan keluar seketika. Namun menemukan seorang penolong profesional yang lebih mampu melihat secara jernih akar permasalahan dan memiliki sudut pandang obyektif ternyata mampu membuatku melihat banyak benang kusut dalam permasalahan hidup yang sedikit demi sedikit mampu diuraikan.

Hal ini mengingatkanku kepada nabi Elia, yang pernah mengalami kejatuhan mental dan depresi, juga bagaimana Tuhan menolongnya. Dalam kitab 1 Raja-raja 19 disebutkan bahwa Elia diancam dibunuh oleh Ratu Izebel yang geram akibat tindakan Elia yang membuktikan kekuasaan Allah dan kepalsuan nabi-nabi Baal. Di ayat 3 dan 4, dia, di luar dugaan kita akan nabi yang tangguh dalam Allah, justru meminta Tuhan untuk mengambil nyawanya karena begitu takutnya dia akan ancaman pembunuhan Izebel.

Lalu apa respons Tuhan? Dia ternyata mendengar ketakutan Elia dan menyatakan penyertaan-Nya, namun dengan cara yang tidak terlihat megah, malah remeh, yakni lewat roti bakar dan air (ayat 5-8) yang mendampingi istirahatnya, serta angin sepoi-sepoi yang menghampiri Elia (ayat 12).

Aku sering menganggap bahwa pertolongan Tuhan kepada para nabi pasti dengan cara dahsyat, namun kenyataannya Tuhan memperlengkapi dan menjaga semua anak-anak-Nya hari lepas hari dengan cara yang tidak terduga namun selalu mencukupkan.

Melalui nabi Elia yang berani mengutarakan ketakutannya kepada Tuhan, aku menyadari bahwa tidak apa-apa mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takut atau emosi yang selama ini dianggap negatif alih-alih dipendam baik-baik agar nampak kuat. Aku pun melihat bahwa semua respons emosi juga Tuhan izinkan, tujuannya tentu saja untuk mengingat bahwa kita manusia yang memerlukan Tuhan untuk menolong semua kerapuhan kita.

Aku pun dituntun untuk belajar melihat dengan rendah hati serta menerima bahwa diri ini penuh kerapuhan dan memerlukan pertolongan Tuhan untuk menguatkan. Juga untuk tidak menganggap remeh bentuk-bentuk pertolongan yang Tuhan sediakan, termasuk melalui profesional di bidangnya yang membagikan pemahaman yang objektif serta pertolongan yang nampak simpel tapi sejatinya amat menguatkan.

Aku tahu di masa-masa sukar ini kita semua sedang sama-sama berjuang melaluinya. Tidak jarang kita merasa sendirian, kecewa, sakit hati, atau bahkan kehilangan harapan. Namun semoga kita semua selalu ingat bahwa kita selalu diperlengkapi dengan banyak pertolongan-pertolongan yang sederhana namun mencukupkan. Tugas kita hanyalah untuk mau rendah hati mengakui kerapuhan dan memiliki kesediaan untuk mau ditolong. Aku berdoa agar apapun yang sedang kita alami saat ini, semoga tidak pernah kehilangan harapan hidup di dalam Allah yang senantiasa mengasihi kita dengan cara-Nya yang unik.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Jalan Sulit dan Memutar

Kita tidak ingin menjumpai masa-masa sulit, tetapi Tuhan seringkali mengizinkan masa-masa itu hadir untuk membentuk kita. Pembentukan seperti apakah yang Tuhan inginkan terjadi bagi kita?

Serba-serbi Kesehatan Mental: Tren, Fakta, dan Jalan untuk Mengasihi Diri

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Kesadaran akan kesehatan mental sedikit banyak meningkat, terlebih setelah film karya DC berjudul Joker (2019) sukses di berbagai layar bioskop. Namun, kesadaran tersebut disertai dengan dampak negatif. Karena melihat suatu film yang menunjukkan karakter pengidap mental illness, ada penonton yang merasa cocoklogi. Karena mengisi kuis dari Facebook, ada orang-orang yang merasa dirinya pasti mengidap penyakit mental tertentu. Dan lucunya, orang-orang yang cocoklogi, merasa dirinya mengalami gangguan psikologis, merasa keren, disebarkan di sosial media; seolah menjadi tren.Sebagai seorang yang rutin ke psikolog, aku merasa sedih melihat fenomena ini dan rasanya penting untuk berdialog mengenai fakta seputar kesehatan mental.

Menguji Kesehatan Mental Butuh Uji Ilmiah, Bukan Cocoklogi

Pada awal pandemi Covid-19 masuk di Indonesia, masyarakat menjadi waspada kesehatan. Ketika aku berada di suatu tempat, dan bersin, sontak seisi ruangan menoleh ke arahku. Apakah aku pasti terjangkit Covid-19? Menurut ilmu cocoklogi, mungkin wajar kalau aku diduga demikian. Namun, sebagai bangsa yang cerdas, kita pun bisa tahu seseorang mengalami Covid-19 melalui uji ilmiah, berupa Rapid Test, Swab Test atau PCR.

Hal yang sama terjadi pada kesehatan mental kita. Kuis yang ada di sosial media maupun Google, hanyalah kisi-kisi yang belum tentu akurat 100%. Kecocokan karakter pada film atau novel yang kita baca, tidak bisa membatasi karakter dan kondisi psikologis kita. Maka, untuk mengetahui kesehatan mental kita, datanglah ke ahli kesehatan mental, di mana sang psikolog, psikiater, terapis atau konselor akan berbincang-bincang bersama kita untuk mengetahui kondisi kita.

Penting banget ya untuk datang ke psikolog, psikiater, terapis, atau konselor? Secara logika, ketika sakit gigi, tentu kita datang ke dokter gigi, bagi ibu hamil tentu memeriksa kandungannya datang ke obgyn atau dokter kandungan. Lantas jika kita mengalami gangguan psikis, datanglah juga ke tenaga profesional, yang tentunya dapat membantu kita, bukan sekadar tebak-tebakan kuis.

Datang ke Konselor, Bukan Sekadar Curhat ke Teman

“Tapi aku sudah cerita ke temanku, si A, mahasiswa psikologi, atau si B, mahasiswa teologi, apa masih perlu ke konselor?”

Jawabannya? Tergantung kebutuhanmu. Jika butuh didengarkan, carilah orang yang benar-benar mampu mendengarkanmu. Namun, jika kamu butuh dibantu secara mendalam, bagaimana merespons kondisi psikis kamu dan mengelolanya, maka datanglah kepada tenaga ahli.

Tanpa bermaksud mengecilkan latar belakang mereka yang sedang atau menempuh studi psikologi, teologi maupun orang-orang berlatar pendidikan humaniora lainnya, datang ke konselor (terlebih yang sudah bersertifikat) memiliki poin kelebihannya tersendiri. Kelebihan pertama ialah sisi profesionalitasnya, di mana kita sudah membayar (secara langsung atau melalui BPJS di beberapa klinik) dan kita tentu bisa menaruh ekspektasi lebih daripada bantuan teman biasa. Kedua, mereka telah menaruh sumpah untuk menjaga rahasia dari kita, sebagai klien. Hal ini menjadi jaminan bahwa cerita kita akan terjaga dengan baik, dan kita bisa menuntut apabila hal itu tersampaikan kepada khalayak umum. Ketiga, karena tidak memiliki kedekatan personal, tenaga profesional mungkin dapat memberikan saran yang lebih obyektif dibandingkan dengan orang-orang yang mengenal dekat dengan kita dan pendapatnya condong mendukung kita.

Tentu aku tidak melarangmu untuk curhat ke teman, aku pun masih curhat ke teman. Namun dalam batasan tertentu, kita perlu melihat kedalaman privasi cerita yang disampaikan dan apa yang kita harapkan setelah cerita kita tersampaikan.

Konseling Tidak Sepenuhnya Langsung Menyelesaikan Masalah

Lantas buat apa ke psikolog kalau masalah tidak selesai? Buang-buang uang dong? Nyatanya, konseling memang tidak langsung menyelesaikan masalah kita. Kondisi keluarga kita tidak akan langsung harmonis. Orang yang kita cintai belum tentu akan kembali, masalah pendidikan atau pekerjaan mungkin masih tetap ada. Datang ke ahli, seperti, psikolog, psikiater bahkan pendeta, tidak sama seperti kita datang ke tukang sulap maupun tukang ketok magic; ada proses yang perlu kita lalui.

Kembali menggunakan perumpamaan di bidang kesehatan, kita perlu mengingat pengalaman kita ke dokter. Kala kita mengonsultasikan kesehatan kita, sang dokter memeriksa dan memberikan resep obat. Prosesnya tidak berhenti di situ. Harus ada aksi yang kita lakukan, yaitu menebus resep dan meminum obat tersebut secara berkala, sesuai petunjuk dokter. Dengan skala waktu tertentu, kita akan merasakan pemulihan secara perlahan dan jika kita masih merasa sakit, kita perlu kembali memeriksanya kembali ke dokter bukan?

Hal yang sama juga kita alami ketika kita melakukan konseling kesehatan mental kita, di mana memiliki tingkat kompleksitasnya tersendiri. Dalam pertemuan pertama, kita akan banyak menceritakan perasaan dan pikiran kita, di mana cerita tersebut masih seperti puzzle yang tercerai-berai. Bersama dengan tenaga profesional, kita diajak untuk mencari akar permasalahannya, baik dengan ragam metode kesadaran jasmani maupun di bawah kesadaran, sesuai permintaan kita dan kemampuan sang konselor tersebut. Dalam pertemuan kedua, ketiga dan selanjutnya kita akan mencoba mencari metode bersama-sama, cara yang tepat agar kita memiliki ketenangan dalam menentukan pilihan tindakan dan pikiran kita. Proses setiap orang tentunya tidak akan sama, aku harus sesi 4 kali, mungkin kamu bisa kurang dan bisa lebih, hingga dirasa memiliki kondisi mental yang baik.

Konseling Bagian dari Kita Menghargai Anugerah Tuhan

Seperti yang dijelaskan Vika, dalam artikel 4 Alasan untuk Tidak Perlu Takut Bertemu Ahli Kesehatan Mental, aku rasa mungkin setiap orang berpotensi memiliki gangguan kesehatan mental kok. Tentu gangguan kesehatan mental jangan dianggap negatif, karena spektrum dan tingkatannya sangat luas. Kita tidak bisa menyempitkan orang yang mengalami gangguan kesehatan mental hanyalah orang yang melakukan tindakan sadis saja. Ketika kita merasa sedih yang berlarut-larut, mengalami ketakutan yang berlebih, hal itu pun sudah termasuk gangguan kesehatan mental, dengan spektrum yang berbeda dengan pelaku tindakan sadis.

Teman-teman mungkin hafal dengan hukum kasih kedua, yang tertulis dalam Matius 22:39, “Dan Hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Melalui ayat tersebut, aku memahami bahwa mengasihi diri sendiri adalah hal yang tak kalah pentingnya dengan mengasihi sesama. Bentuk mengasihi diri tentunya bermacam-macam, salah satunya rutin melakukan cek kesehatan, USG, kontrol gula, kontrol gigi, yang kerap kita maupun orang tua kita lakukan secara berkala. Mental kita pun perlu diperiksa juga, tentu dengan kesadaran bahwa kita mengasihi diri kita, sebagaimana Allah juga telah mengasihi diri kita.

Dengan kondisi mental kita yang baik, didukung juga oleh kondisi fisik dan spiritual yang baik, aku yakin bahwa kita jauh lebih optimal memuliakan nama Tuhan lewat berbagai aspek hidup kita. Dan bagi kamu yang merasa sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, it’s okay to not be okay. Datanglah ke tenaga ahli, dan saya juga turut berdoa bagi kamu. God bless us!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


4 Alasan untuk Tidak Perlu Takut Bertemu Ahli Kesehatan Mental

Oleh Vika Vernanda, Depok

Di akhir tahun 2018, fakultas psikologi di kampusku menginisiasi program kesehatan mental untuk mahasiswa. Salah satu layanan dari program tersebut adalah memfasilitasi mahasiswa yang ingin berkonsultasi dengan psikolog. Ini membuka makin banyak peluang mahasiswa di kampusku untuk berkonsultasi terkait kesehatan mentalnya kepada professional dengan lebih mudah.

Namun, sayangnya, aku masih melihat beberapa orang yang merasa ragu dan malu berkonsultasi dengan profesional terkait kesehatan mentalnya. Demikian pula anak-anak Tuhan. Masih banyak orang dalam komunitas Kristen enggan berbicara atau konseling kepada konselor Kristen, padahal manfaat berbicara atau konseling dengan konselor Kristen sangat besar. Oleh karenanya, aku menuliskan beberapa hal berdasarkan pengalaman pribadi dan orang di sekitarku, alasan untuk kamu atau kerabatmu yang merasa perlu namun masih ragu untuk datang menemui konselor Kristen.

1. Menemui praktisi kesehatan mental bukanlah hal yang memalukan

Dari apa yang kudengar, salah satu alasan orang enggan menemui psikolog atau konselor adalah karena orang-orang di sekitar mereka menganggap menemui ahli psikis adalah memalukan. Disangka tidak punya keluarga atau teman yang bisa menjadi tempat bercerita. Disangka tidak percaya bahwa Tuhan yang bisa menyelesaikan permasalahan dalam hidup. Namun pemikiran seperti itu tidaklah tepat. Ada beberapa hal yang memang perlu diselesaikan, dan teman kita tidak berkapasitas untuk membantu menyelesaikannya; misalnya saja untuk seseorang yang merasa kehilangan harga diri setelah mengalami pelecehan seksual. Kehadiran konselor Kristen merupakan anugerah Allah untuk menolong kita untuk bisa semakin melihat bahwa identitas kita aman di dalam Allah dan tidak bergantung pada masalah atau kejadian buruk yang kita alami. Jadi, menemui praktisi konselor Kristen bukanlah hal yang memalukan, melainkan justru merupakan satu keputusan yang menunjukkan keberanian.

2. Menemui praktisi kesehatan mental bisa menolong kita mengenal diri kita lebih dalam

Satu tahun lalu aku rutin bertemu dengan Kak Sabeth yang adalah seorang konselor Kristen. Aku memutuskan untuk menemuinya karena aku bergumul dengan emosi yang saat itu mudah sekali untuk ‘meledak’.

Pertemuan-pertemuan awal dimulai dengan aku yang bercerita tentang berbagai ledakan emosi itu. Kak Sabeth kemudian mendiskusikan denganku beberapa hal yang menjadi pemicu terjadinya hal tersebut. Lewat pertemuan-pertemuan rutin itu, aku akhirnya mengetahui beberapa hal dalam diriku yang tidak aku ketahui sebelumnya. Misalnya, ternyata ada beberapa kejadian masa kecil yang membuatku cenderung menumpuk emosi, sehingga ketika emosi tersebut dikeluarkan akan menjadi ‘meledak’.

Ada beberapa kecenderungan diri yang tidak kita sadari ternyata bisa menyebabkan masalah dalam hidup. Kesadaran akan hal itu yang didapatkan dari diskusi dengan konselor akan sangat menolong kita menghadapi permasalahan hidup kedepannya.

3. Menemui ahli kesehatan mental bisa menjadi sebuah awal kita melayani Tuhan lebih efektif

Masalah yang kita hadapi seringkali membuat kita tidak berdaya. Tidak jarang masalah kehidupan sehari-hari mempengaruhi bagaimana kita melayani Tuhan. Misalnya saja karena masalah yang bertubi-tubi datang membuat kita tidak percaya akan kebaikan Tuhan, sehingga kita merasa percuma untuk tetap mengerjakan pelayanan.

Menemui seorang konselor akan menolong kita melihat dan menemukan penyelesaian permasalahan yang kita alami. Hal itu akan membuat kita kembali bisa memandang kehadiran Tuhan dengan cara yang benar.

Pertemuan rutinku dengan Kak Sabeth satu tahun lalu menyadarkanku bahwa aku tidak perlu memendam berbagai emosi yang kurasakan, hingga saat ini aku lebih bisa untuk mengekspresikannya. Pelayanan yang aku kerjakan saat ini berhubungan dengan banyak orang, sehingga ledakan emosiku yang sangat jauh menurun membuatku lebih efektif dalam melayani.

4. Kamu tidak menemui seorang konselor sendirian: Allah bersamamu

Masih ada orang-orang dalam lingkungan kita yang menganggap pergi menemui praktisi kesehatan mental hanya diperlukan untuk orang “gila”. Ditambah lagi mungkin ada teman-teman yang mengatakan bahwa pergi menemui praktisi kesehatan mental tidak diperlukan karena masih ada teman yang bisa mendengarkan, “kayak ga punya temen aja sih”. Hal-hal itu membuat kita merasa sendiri dan semakin ragu untuk memberanikan diri. Sehingga, memutuskan menemui praktisi kesehatan mental bukanlah hal yang mudah.

Markus 4:35-41 menceritakan tentang Yesus yang meredakan angin rebut. Ayat 37 menyatakan adanya taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Craig Groeschel dalam buku Divine Direction menuliskan bahwa keadaan saat itu terlalu besar untuk diatasi oleh perahu kecil dan para murid yang ketakutan di dalamnya. Tapi, meskipun keadaan tampak terlalu berat untuk dihadapi, para murid tidak sendirian. Markus mencatat “Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam”.

Bersama dengan Yesus di buritan perahu tidak berarti bahwa badai tidak akan menghantam perahu kita. Ini hanya berarti bahwa badai itu tidak akan menenggelamkan kita.

Allah bersama dengan kita, melewati berbagai ketakutan yang kita hadapi untuk akhirnya berani memutuskan untuk menemui praktisi kesehatan mental.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Sebuah Retret Keluarga di Rumah Sakit

Aku sekeluarga berada di ruang isolasi setelah positif terjangkit Covid-19. Momen yang awalnya menakutkan ini rupanya dipakai-Nya untuk mengingatkan kami betapa Tuhan sayang pada kami.