Posts

Bukan Tentang Adu Bakat

Oleh Rio Hosana, Jakarta

Usia 20-an awal adalah masa transisi yang menarik… dan sedikit banyak membuat takut.

Gimana nggak, di masa ini kita lulus kuliah. Teman-teman yang awalnya selalu bersama, mulai berpisah jalan karena pilihan karier yang berbeda. Uang yang dulu bisa dengan mudah kita terima dari orang tua, kini harus kita upayakan sendiri. Dan… segala pelajaran yang kita terima di jenjang studi tak jadi faktor utama yang membuat kita bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan.

Ketika mencari kerja begitu sulit, kita dengan mudah berpikir kalau hidup ini sejatinya adalah kompetisi, tentang adu bakat, siapa yang lebih pintar, lebih kaya, lebih cakap, dan lebih lebih lainnya. Konsep ini tidak muncul ujug-ujug. Kuamat-amati bahwa sudah jadi kecenderungan kita untuk melihat nilai diri seseorang berdasarkan atribut yang melekat padanya. Kita menilai seseorang sukses kalau uangnya banyak, pekerjaannya bagus, hidupnya selalu bahagia. Tapi, apakah dalam perspektif Kristen kesuksesan selalu berkaitan erat dengan atribut?

Pertanyaan ini membawaku masuk dalam perenungan. Tuhan Yesus pernah memberikan perumpamaan tentang talenta dalam Injil Matius 25;14-30. Alkisah terdapat seorang hamba yang terlalu malas untuk mengembangkan talentanya karena merasa si tuan yang memberinya talenta itu tidak adil. Dia hanya mendapatkan 1 talenta, sedangkan kedua rekannya yang lain mendapatkan 2 dan 5 talenta. Dibandingkan bekerja mengupayakan talenta itu supaya berbuah hasil, dia memilih untuk mengubur talenta itu dan menunggu tuannya pulang untuk dikembalikan. Talenta pada masa itu merupakan satuan uang sebesar 6000 dinar. Seorang pekerja mendapatkan upah sedinar sehari. Artinya, untuk mendapatkan 1 talenta, seseorang perlu bekerja selama 6000 hari! Anggaplah kalau sehari bekerja di Indonesia menghasilkan 150 ribu, berarti dia memiliki uang 900 miliar di sakunya! Sungguh jumlah yang sangat banyak untuk memulai sebuah usaha dan mengembangkan talenta tersebut.

Tapi.. kita semua tahu akhir kisahnya. Si hamba ketiga dengan satu talenta ini buta akan nilai dari talenta itu. Yang dilihatnya hanyalah persepsinya sendiri bahwa sang tuan adalah jahat.

Mudah buatku berpikir kalau teman-teman yang mudah mendapatkan kerja dan sukses adalah orang-orang seperti hamba kesatu dan kedua, yang diberikan talenta lebih banyak. Akan tetapi, nyatanya talenta yang diberikan kepada kita bukan hanya tentang bakat. O’Donnel dalam tulisannya di The Gospel Coalition memaparkan pengertian talenta sebagai berkat dari Tuhan yang mewujud melalui berbagai hal, seperti bakat, waktu, kesehatan, keluarga, alam dan sebagainya. Dengan kata lain, bakat hanyalah salah satu bagian dari talenta, sementara keluarga, waktu, teman, komunitas, alam, fisik juga merupakan bagian dari talenta yang Tuhan berikan.

Dosa yang mewujud dalam sikap egois yang besar menyelubungi mata kita untuk melihat hal lain di luar bakat sebagai wujud dari talenta yang Tuhan berikan. Alhasil, seringkali kita merasa orang lain lebih bertalenta daripada kita dengan berkata: “kok idenya keren banget, dia sukses banget, cakep banget ya”, atau alasan lainnya. Padahal, bisa jadi kitalah yang sesungguhnya terikat oleh dosa kemalasan.

Sebagai contoh yang lebih nyata, kita bisa melihat bahwa penulis Harry Potter, J. K. Rowling pernah ditolak oleh kurang-lebih 12 penerbit sebelum buah penanya mendunia. Steve Jobs pernah dikeluarkan dari Apple—perusahaan yang didirikannya dengan jerih lelah, sebelum akhirnya kembali lagi. Leonardo Da Vinci belajar dan berusaha puluhan tahun sebelum akhirnya tercipta sebuah mahakarya The Last Supper dan Mona Lisa. Lebih jauh, bahkan Paulus pun menempuh perjalanan panjang untuk akhirnya bisa menemukan titik pengembangan terbaik dari talentanya, yakni berpikir, menulis, mengajar dan menggembalakan gereja bagi Allah. Orang-orang yang seringkali kita banding-bandingkan di hadapan Tuhan karena lebih hebat, lebih berbakat atau lebih bertalenta menjadi sukses semata-mata bukan karena mereka “menerima lebih banyak”, tetapi bisa jadi karena mereka mau setia di dalam mengembangkan talenta yang sudah Tuhan berikan. Tuhan berkata bahwa talenta diberikan menurut kesanggupan (ability) masing-masing hamba (ayat 15). Oleh karena itu, melalui kerja keras di dalam Kristus yang dibarengi kesetiaan, setiap talenta pasti akan bertumbuh dan memuliakan nama Tuhan.

Kita juga tahu bahwa Tuhan tak cuma adil dalam memberikan talenta menurut kesanggupan anak-anak-Nya, tetapi juga penuh kasih dalam menerimanya kembali. Jika kita melihat kepada perikopnya, sebenarnya “juara pertama” dari perolehan terbanyak adalah hamba yang menerima lima talenta. Namun, nyatanya yang menerima dua talenta pun mendapatkan imbalan yang sama seperti hamba pertama yang mengembangkannya menjadi 10 talenta. Allah melihat iman dan kesetiaan kita di dalam mengerjakan talenta yang telah diberikan-Nya, bukan tentang hasil semata. Sesungguhnya memang Allah tidak memerlukan apa-apa dari kita yang berdosa ini. Oleh karena itu, kita tidak disebut sebagai “great and brilliant servant”, tetapi “good and faithful servant.”

Iman, kesetiaan dan pelayanan kepada Kristuslah yang akan menyingkapkan kita akan kecukupan talenta yang Tuhan berikan bagi kita untuk memuliakan nama-Nya di muka bumi ini.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Semuak-muaknya, Tetap Lakukan Tanggung Jawabmu dengan Maksimal

Oleh Edilia Vinita, Jakarta

Matius 25:14-30.

Perikop apakah ini? Kalau kamu menjawab tentang “talenta”, kamu dapat nilai 100!

Membaca perikop ini membuatku bertanya-tanya akan apa yang ada di benak Tuhan Yesus saat Dia memberikan perumpamaan ini. Pernahkah kamu berpikir mengapa Yesus membuat si penerima 1 talenta memiliki akhir cerita yang buruk? Alangkah lebih mudah dimengerti jika Yesus berkata bahwa si penerima 1 talenta membuahkan 2 talenta, dan si penerima 5 talenta tidak membuahkan talenta apa pun. Kalau contohnya seperti ini kan, secara moralitas, kita dapat simpulkan, bahwa tidak peduli seberapa besar talenta yang kita punya asalkan kita setia mengelolanya sepadan dengan talenta yang kita terima, maka Tuhan akan memperhitungkan hal itu sebagai kebenaran dan perbuatan yang terpuji. Akan tetapi, Tuhan Yesus malah menjadikan si penerima 1 talenta yang sudah cuma punya 1, malas pula! Perumpamaan yang cukup kontroversial karena membuat sebagian orang diyakinkan dengan konsep “yang kaya makin kaya, dan yang miskin semakin miskin.” Apakah betul begitu?

Pertama-tama, talenta adalah satuan uang di zaman itu, dan ada beberapa penafsiran yang mengatakan bahwa satu talenta setara dengan upah bekerja belasan tahun! Jika benar seperti ini, 1 talenta bukanlah uang yang kecil, meskipun dalam kisah ini ada beberapa hamba lainnya yang menerima lebih banyak talenta. Aku yakin banyak dari kita sudah tahu bahwa perumpamaan talenta ini ingin mengingatkan kita sebagaimana seharusnya kita bertanggung jawab dan setia mengelola apa yang sudah Tuhan berikan kepada kita, termasuk yang terkecil sekalipun. Akan tetapi, aku ingin mengajak kita semua untuk merenungkan perikop ini lebih dalam lagi, khususnya mengenai makna dari perbedaan pendistribusian talenta ini serta kisah tentang hamba ketiga, si penerima 1 talenta ini.

Tuhan yang adil & kesanggupan setiap orang yang berbeda-beda

Tuan dan hamba dalam perumpamaan ini digunakan Tuhan Yesus untuk menggambarkan relasi Allah dengan manusia. Selayaknya satu tubuh manusia yang memiliki fungsi dan beban pekerjaan yang berbeda-beda, pendistribusian talenta yang berbeda-beda ini menggambarkan perbedaan peranan umat-Nya untuk memenuhi pekerjaan Tuhan. Mungkin banyak di antara kita mempertanyakan fondasi atau dasar dari perbedaan pendistribusian talenta ini.

Berdasarkan perikop Matius 25:14-30, pendistribusian talenta yang berbeda ini Tuhan berikan “menurut kesanggupannya.” Perbedaan angka pendistribusian dari sang tuan bersifat sangat adil dikarenakan kesanggupan hambanya yang berbeda-beda. Adil tidak berartikan sama rata; perlakuan yang adil adalah saat di mana setiap orang menerima bagiannya sesuai dengan porsi atau kemampuannya. Oleh sebab itu, perbedaan angka bukanlah standar kaya atau miskinnya si hamba, melainkan standar kemampuan setiap hamba yang berbeda-beda.

Matthew Henry dalam penafsirannya menjelaskan bahwa memang betul “kesanggupan” atau kemampuan di awal ini juga merupakan pemberian dari Tuhan, akan tetapi, Tuhan adalah agen yang bebas yang dapat membagikan kesanggupan setiap orang sesuai dengan kehendak-Nya (God is a free agent, dividing to every man severally as he will). Tuhan atau tuan yang digambarkan dalam perumpamaan ini adalah seorang yang perbuatan dan kehendaknya merupakan kebenaran absolut, sehingga tidak ada manusia yang layak menyatakan bahwa keputusan yang dipilih-Nya salah. Meskipun kesanggupan dan talenta setiap orang berbeda-beda, yang pastinya tuntutan pertanggungjawabannya tidak melampaui apa yang diberikan-Nya di awal. Hamba yang menerima 5 talenta lalu menghasilkan 5 talenta lagi dikatakan hamba yang baik dan setia; begitu juga hamba yang menerima 2 talenta lalu menghasilkan 2 talenta lagi juga dikatakan sebagai hamba yang baik dan setia. Boleh dibilang, adanya kebijakan Tuhan yang adil dan bijaksana dengan adanya pemberian dan tuntutan yang setimpal. Aku percaya bahwa Tuhan juga akan mengatakan hamba ketiga hamba yang baik dan setia jika dia menghasilkan 1 talenta lagi. Matthew Henry dalam penafsirannya juga mengangkat poin yang menarik, bahwa se-sedikitnya seorang menerima talenta, dia minimal mendapatkan satu talenta. Nyawa kita ini adalah satu talenta tersebut yang Tuhan sudah percayakan bagi kita semua yang lahir ke dunia ini, agar kita dapat berbagian dalam pekerjaan Tuhan.

Hamba ketiga: sentimen musuh

Mari kita melihat secara detail perkataan si hamba ketiga ini. “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam.” (Matius 25:24). Hamba ketiga dengan percaya diri mengatakan “tahu” tentang tuannya, lalu mengecam tuannya sebagai manusia kejam. Jika diperhatikan secara seksama, kalimat yang dilontarkan hamba ketiga sesungguhnya bertentangan dengan perbuatannya. Kalau dia sudah tahu tuannya adalah manusia yang kejam serta menuai tempat di mana dia tidak menabur, bukankah seharusnya dia bekerja dengan rajin dan teliti lagi supaya dia tidak dihukum? Maka, kalimat yang si hamba lontarkan merupakan sebuah tudingan terhadap sang tuan. Si hamba seolah menyalahkan ketidak-berbuahan talentanya alhasil dari ketidakadilan talenta yang diberikan tuannya. Hal ini tentu bukan yang pertama kalinya terjadi di antara banyaknya tokoh di Alkitab. Jangankan hamba yang ketiga ini, Adam saja saat kejatuhannya menyalahkan Tuhan karena telah menghadirkan Hawa baginya. Kedagingan serta hati berdosa manusia cenderung memiliki opini yang salah dan jahat terhadap kehendak Tuhan. Bagaikan sentimen sang musuh, penuduhan terhadap Tuhan hanya datang dari mereka yang tidak mengasihi dan tidak percaya pada kehendak-Nya.

“Karena itu aku takut,” kata hamba ketiga. Karena kesalahpahaman opininya terhadap sang tuan, dia mengambil respon yang salah, yang akhirnya menghalanginya melakukan kewajibannya. Ketakutan si hamba membuatnya menyembunyikan talentanya. Pikiran yang baik terhadap Tuhan seharusnya membuahkan kasih, dan kasih itu akan mendorong kita untuk bekerja lebih keras dan lebih setia untuk Tuhan; pikiran yang jahat terhadap Tuhan akan membuahkan ketakutan yang membuat kita tidak berbuah, atau yang si tuan katakan sebagai “hamba yang malas.” Seperti saat kita berasumsi bahwa kita tidak mungkin dapat menyenangkan hati Tuhan, atau kita tidak layak sehingga kita tidak ingin terlibat dalam pelayanan. Tudingan yang salah terhadap Tuhan akan menghalau kita berbagian dalam pekerjaan Tuhan.

Walaupun hamba ketiga ini tidak menghabiskan satu talenta yang diterimanya, ternyata tidak melakukan apa pun sebuah pelanggaran di mata sang tuan. Dia pikir, dengan tidak menghabiskan satu talentanya, walaupun tidak mendapatkan pujian, setidaknya dia aman. Ternyata tidak, Tuhan juga akan menuntut pertanggungjawaban dari apa yang telah Dia berikan, termasuk yang terkecil sekalipun. Untuk perbuatan yang tidak menyia-nyiakan namun tidak juga berbuah, hamba ketiga tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.

Stewardship, Responsibility, and Faithfulness (Pengelolaan, Tanggung Jawab, dan Kesetiaan)

Mungkin banyak dari kita beranggapan bahwa si penerima 5 talenta adalah hamba yang beruntung karena mendapatkan modal awal yang lebih banyak. Akan tetapi, pernahkah terlintas di pikiran kita semua akan pertanggungjawaban dan penderitaan yang setimpal dengan apa yang diterimanya? Setiap dari kita akan dituntut sesuai dengan “talenta” yang telah Tuhan berikan di awal. Terus terang, karena aku juga seorang pedagang, aku cukup paham bahwa semakin besar modalnya, maka semakin rumit mengelolanya dan semakin besar risikonya. Sama halnya dengan apa pun yang dititipkan Tuhan dalam diri kita, lebih besar “talenta”nya maka lebih besar juga beban dan tanggung jawabnya.

Perikop ini bukan dilihat dari jumlah talenta yang diberikan, akan tetapi dari perspektif tanggung jawab. Jika dilihat dari sudut pandang level tanggung jawab, hal ini bukanlah perkara “yang miskin jadi semakin miskin,” akan tetapi “sudah diberikan tugas yang paling gampang, tapi paling malas.” Perumpamaan ini bertujuan untuk mengingatkan kita bahwa seringkali manusia cenderung meremehkan dan melalaikan perkara kecil. Padahal, sekecil apapun pemberian Tuhan, itu tetap memiliki peran yang penting dan juga perlu dikelola. Walaupun pengelolaanya mudah seakan tiada dampaknya, tidak berarti kita luput dari pertanggungjawaban Tuhan.

Terbersit sebuah pemikiran, apakah mungkin perikop ini ditujukan buat kita yang selalu berperasaan seperti hamba ketiga ini, baik itu prasangka kita terhadap Tuhan maupun pemberian Tuhan kepada diri kita. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi bahwa satu talenta setara gaji bertahun-tahun, maka sekecil-kecilnya yang Tuhan berikan masih sangat amat cukup.

Mungkin perumpamaan ini Tuhan ingin sampaikan kepada kita yang selalu merasa Tuhan tidak adil dengan keadaan kita yang kurang modal, kurang kepandaiaan, kurang ahli, kurang ini itu. Mindset selalu merasa kurang malah menjadi faktor hambatan terbesar kita. Hamba yang memiliki dua talenta juga memiliki kemungkinan untuk berasumsi buruk dengan apa yang dimilikinya karena berbanding pada hamba yang menerima 5 talenta, akan tetapi, tidak pada kasusnya. Hamba yang menerima dua talenta tetap setia mengerjakan apa yang diberikan dan alhasil memiliki empat talenta. Sesungguhnya, hal ini menunjukan bahwa adanya ruang untuk pertumbuhan jika kita fokus dan setia mengerjakan apa yang kita miliki.

“Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.” (Matius 25:29). Kalimat ini terus terang cukup kontroversial mengingat pemberian talenta di awal itu berasal dari Tuhan, sehingga memberikan celah bagi banyak orang untuk menyalahkan Tuhan. Akan tetapi, mempunyai atau tidak mempunyai di penghujung kisah tidak mengacu pada jumlah talenta. Matthew Henry menjelaskan bahwa konsep mempunyai di sini dapat diartikan sebagai mempunyai karakter dan tanggung jawab seperti hamba yang menerima 2 dan 5 talenta; dan tidak mempunyai dalam perikop ini merujuk pada hamba ketiga yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola.

Kesetiaan adalah karakter utama orang Kristen dalam berbagian dalam pekerjaan Tuhan. Kesetiaan membuat kita fokus pada apa yang kita miliki, serta mendorong kita mengerjakan dari apa yang sudah kita dapatkan. Mungkin pada konteks hari ini, kesetiaan pada perkara kecil itu melibatkan perkara keseharian kita, seperti saat kita bekerja, berinteraksi, beraktivitas, dsb. Dan ada kalanya rutinitas kita sudah bikin kita enek-blenek sampai mau muntah, tapi ya itulah tantangan kita sebagai orang Kristen, semuak-muaknya harus tetap dilakukan semaksimal mungkin mengingat bahwa semua ini telah Tuhan percayakan untuk kita kerjakan.

Semangat terus man-teman!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Melihat “Talenta” Kita Lebih Dekat

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Acara pencarian bakat American’s Got Talent pasti sudah tidak asing lagi di telinga kita, bukan? Acara ini kemudian diadopsi di banyak negara, termasuk Indonesia. Kita lalu menyaksikan banyak orang dengan talenta-talenta hebat dan unik di seluruh dunia, mulai dari menyanyi, menari, melukis, menirukan suara-suara khas, dan lain sebagainya.

Nah, jika bicara soal bakat, kita umumnya mengidentikkannya dengan suatu perumpaan di Alkitab, yakni perumpamaan tentang talenta. Lantas, apakah talenta yang dimaksud di dalam Alkitab itu sama dengan konsep talenta yang populer di dunia kita saat ini? Bagaimana kita sebagai orang percaya menyikapi talenta-talenta tersebut? Mari kita mengenal dan melihat “talenta” kita dengan lebih dekat.

FYI, di zaman Perjanjian Baru, “talenta” sebenarnya merupakan satuan mata uang. Satu talenta bernilai sama dengan 6000 dinar. Satu dinar sama dengan upah pekerja harian dalam satu hari. Dengan kata lain, ketika seseorang menerima satu talenta, itu berarti ia mendapat upah atas pekerjaannya selama lebih dari 16 tahun! Sementara itu, di zaman Perjanjian Lama, talenta merupakan satuan berat logam emas atau perak seberat 34 kilogram. Jika kita kalikan berat itu dengan harga emas per satu gram di masa ini, tidak perlu diragukan lagi bahwa nilai satu talenta itu sungguh besar! Jadi, bagaimana kita bisa menerapkan perumpamaan tentang talenta ini dalam kehidupan kita sehari-hari?

1. Talenta adalah sesuatu yang sangat berharga di hidup kita

Perumpaan tentang talenta dapat kita temukan di kitab Matius 25:14-30. Perumpamaan ini diawali dengan kalimat, “Sebab hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka.” (Matius 25:14). Konteks pada waktu itu belum ada rekening tabungan atau pun uang elektronik. Bagi sang tuan, mempercayakan “harta paling berharga”-nya kepada para hambanya adalah pilihan yang terbaik. Sebab, jika ia harus pergi jauh dan dalam waktu yang lama, ia membutuhkan orang-orang yang dapat ia percaya untuk mengelola hartanya.

Sang tuan yang meninggalkan para hambanya mengingatkan kita akan sosok Yesus Kristus yang harus meninggalkan dunia ini, kemudian kembali ke surga. Ia akan kembali di waktu yang tidak kita ketahui. Namun, Ia bukannya pergi begitu saja. Ia juga meninggalkan “harta paling berharga”, yaitu Roh Kudus-Nya, bagi para murid-Nya. Ia berkata, “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.” (Yohanes 14:26). Sekalipun Yesus secara fisik tidak ada lagi bersama-sama dengan kita, tetapi ada “harta paling berharga” yang telah Ia tinggalkan bagi kita, yaitu Roh Kudus-Nya. Roh Kuduslah harta paling berharga yang kini kita miliki dalam hidup kita. Karena itu, sejauh mana kita mau mendengar suara-Nya yang berharga itu untuk membimbing, menopang, dan menolong kita menjadi pengelola yang baik dari anugerah Allah? (1 Petrus 4:10)

2. Talenta tidak selalu bicara soal skill atau keahlian

Jika kita mendengar seseorang berkata, “Wah anak itu sungguh bertalenta!”, “Ayo terus kembangkan talentamu!”, dst…, pasti yang terpikir di benak kita adalah bahwa talenta selalu berkaitan dengan skill atau keahlian seseorang. Akan tetapi, dari perumpamaan ini kita belajar bahwa talenta itu sendiri adalah sesuatu yang berharga dan Ia percayakan tanpa harus kita upayakan. Apa saja hal berharga yang sudah Ia anugerahkan kepada kita? Alam, waktu, uang, energi, tubuh, kemampuan, kesehatan, bahkan bagian terkecil dari sel-sel tubuh kita. Itulah talenta-talenta kita.

Sungguh, perumpamaan tentang talenta ini mengingatkan kita bahwa segala aspek dalam kehidupan kita ini memiliki nilai “kekal” dan semua itu sungguh berharga. Dengan demikian, beberapa pertanyaan refleksi berikut ini mungkin dapat menolong kita untuk makin giat mengerjakan talenta kita: Maukah kita berkontribusi untuk menjaga alam ini? Apakah kita menggunakan waktu dan uang kita dengan bertanggung jawab? Sudahkah kita menjaga tubuh kita dengan asupan yang sesuai dengan kebutuhannya? Bagaimana kita menjalankan sekolah, kuliah, atau pekerjaan kita akhir-akhir ini? Kamu mungkin bisa lanjutkan sendiri daftar pertanyaannya.

3. Talenta itu dipercayakan menurut kemampuan kita masing-masing

“Sebab hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka. Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat.” (Matius 25:14-15 TB).

Kata “mempercayakan” berasal dari kata “paradidomi” dalam bahasa Yunani yang berarti to deliver to one something to keep, use, take care of, and manage.” Jadi, ketika sang tuan “mempercayakan” sesuatu kepada para hambanya, itu bukan sekadar memberi atau memindahtangankan talenta tersebut, tetapi ada tanggung jawab untuk menjaganya, menggunakannya dengan benar, merawatnya, dan mengelolanya.

Dari sini, kita dapat memahami bahwa hamba yang mengubur talenta tuannya itu adalah hamba yang tidak bertanggung jawab. Ia sudah diberi kepercayaan, tetapi ia malah menyembunyikannya (Matius 25:18) untuk menghindar dari tanggung jawab itu.

Hal lain yang menarik adalah talenta diberikan “masing-masing menurut kesanggupannya”. Bagian ini memang terkesan bahwa sang tuan berlaku tidak adil terhadap ketiga hambanya. Kita pun terkadang merasa jealous kepada orang lain yang menurut kita lebih bertalenta dibanding diri kita. Namun, jika kita ada di posisi sang tuan yang mengenal betul kemampuan hamba- hambanya, kita yakin bahwa sang tuan tidak akan salah dengan jumlah yang dipercayakan. Lagipula, nilai satu talenta saja sudah fantastis! Karena itu, sekecil apa pun jumlah talenta yang Ia berikan kepada kita, pemberian itu sudah bernilai sangat besar bagi kita dan sesuai dengan kemampuan kita. Bagian kita adalah untuk mengerjakan dan bertanggung jawab atasnya.

Sebagai orang percaya, sudahkah kita menjadi penatalayan yang setia atas talenta-talenta yang telah Ia percayakan itu? Yang terpenting bukanlah sebanyak apa talenta kita, tetapi apakah kita sudah mengerjakannya dengan bertanggung jawab atau malah menyembunyikannya dalam-dalam?

Perumpamaan tentang talenta memberikan kita perspektif yang lebih luas dan mendalam tentang cara kita menjalani kehidupan dengan segala macam talenta di dalamnya. Selamat mengerjakan bagian kita dan kiranya kelak Yesus akan tersenyum, serta berkata kepada kita, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia…” (Matius 25:21a, TB).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥