Posts

Apakah kamu meremehkan Tuhan?

Pengadilan sedang berlangsung.

Jaksa penuntut umum dan terdakwanya adalah dirimu sendiri.

Dan kasusnya: apakah kamu bersalah karena meremehkan Tuhan?

Art space ini diterjemahkan dari @ymi_today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tolong! Aku Selalu Saja Merasa Bersalah kepada Tuhan!

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris: Have I Taken God for Granted?

Aku kembali duduk di ruang persidangan.

Tapi, ini bukanlah ruang sidang di mana sang hakim duduk muka. Ini adalah gambaran kondisi batinku ketika pikiran dan perasaanku saling bertentangan, juga antara iman dan tindakanku. Di sinilah aku menghadapi berbagai tuduhan dan kadang kucoba membela diriku sendiri. Inilah pengadilan yang sering kudatangi.

Aku tiba kembali di sini karena baru saja kubaca artikel-artikel yang meperingatkanku untuk tidak meremehkan Tuhan. Salah satu dari artikel itu dipenuhi dengan peringatan keras:

“Jangan anggap remeh Tuhan.”

“Jangan berpikir kalau kamu bisa berdosa sesuka hati hanya karena keselamatanmu terjamin.”

“Jangan menguji kesabaran Allah.”

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Aku tahu peringatan itu ditujukan untukku. Aku tidak menyukainya karena peringatan itu pasti membuatku merasa bersalah dan yang kulakukan selanjutnya adalah membela diri:

“Hmm… keselamatan itu kan anugerah, bukan didapat dari upayaku buat hidup kudus?”

“Bukankah Allah penuh belas kasih jika aku bertobat dengan tulus?”

“Bukankah aku harus mempertahankan keselamatan? Jika tidak, lalu apa artinya kasih karunia?”

Dan di situlah proses pengadilan dimulai.

Bersalah! Aku menganggap remeh Tuhan…

Pertama, tuduhannya:

Kamu meremehkan Tuhan. Kamu terus berbuat dosa, dosa, dan dosa. Pikirmu, terus-menerus berbuat dosa tidak mengapa karena kamu dapat diampuni ketika meminta pengampunan. Kamu berpikir bahwa keselamatan adalah milikmu, jadi kamu pun  tidak berusaha lebih keras untuk menjalani kehidupan yang kudus. Kamu berpikir dapat dengan mudah bersandar pada belas kasih dan anugerah Allah, dan bebas dari dosa. Bagaimana dengan tanggung jawabmu untuk melawan godaan dan dosa? Bukankah kamu sedang menguji kesabaran Allah? Bukankah kamu sedang merendahkan kasih karunia?

Aku mengangguk, penuh penyesalan. “Bersalah! Aku tahu aku bersalah!”

Aku akan jujur dan mengakui: Kadang-kadang (bahkan lebih sering), aku berpikir bahwa aku bisa lolos dari dosa karena Tuhan akan mengampuniku. Aku menerima belas kasihan-Nya begitu saja. Aku mengutip perintah Yesus kepada murid-murid-Nya untuk mengampuni sebanyak 490 kali, dan mengutip deskripsi Alkitab tentang belas kasih Allah yang tak berkesudahan. Maka, di dalam benakku, aku memaafkan perilakuku dan melanjutkan dosa dengan berpikir, “Aku akan bertobat dengan tulus nanti, dan semuanya akan baik-baik saja.”

Aku juga bersalah karena tidak berusaha keras untuk menjadi kudus, dan menjalani hidup baru yang telah Yesus berikan kepadaku melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Itu karena aku berpegang pada pemikiran bahwa aku tidak boleh mengubah diriku dengan kekuatanku sendiri. Toh, bukankah Tuhan sendiri yang akan mengubahku? Jadi, kulanjutkan  apa yang biasanya kulakukan. Tentu saja, aku mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari dosa-dosa yang kuanggap “lebih buruk”. Tapi, di lubuk hati terdalam, kuakui kalau kuserahkan saja dosa-dosa yang kuanggap kecil untuk Tuhan bereskan sendiri. Ini juga membuatku merasa bersalah. Aku lupa kalau perjalananku dengan Tuhan bukan cuma bicara soal iman, tapi juga tentang disiplin.

Alhasil, aku cenderung lupa bahwa hal-hal lain di hidupku, seperti relasiku dengan Tuhan, kebebasan untuk selalu dapat menghampiri-Nya, dan keselamatanku adalah hak istimewa. Oh ya, aku sangat sadar bahwa aku tidak pantas mendapatkannya.Tuhan telah memberikannya kepadaku karena kasih karunia-Nya. Namun, seperti yang aku lakukan dengan karunia lainnya, aku menganggap semua itu sudah mutlak jadi milikku, jadi aku bisa bebas memperlakukan pemberian-Nya itu sesuka hati. Aku lupa, semua yang kuterima adalah keistimewaan yang harganya tidak murah—dibayar dengan nyawa Yesus, Anak Allah! Aku gagal menghargai karunia itu dan memanfaatkannya sebaik mungkin.

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 7:21).

Tidak Bersalah! Sungguh, aku melakukan hal yang benar.

Itu seruanku membela diri. Namun, pengacara kecil di dalam diriku berdiri dan merespons:

Kasih karunia dan kemurahan Tuhan tidak terbatas. Imanmu tidak cuma sekadar soal boleh dan tidak. Ya, kamu harus berusaha untuk menjalani kehidupan yang kudus. Tetapi kamu tidak perlu meragukan keselamatanmu setiap kali kamu gagal (karena kamu pasti akan gagal). Jika kamu terus berpikir seperti ini, kamu tidak akan pernah bisa melangkah maju dalam iman. Kamu akan menghambat pertumbuhan rohanimu. Kamu harus menerima pengampunan Tuhan, dan ampunilah dirimu sendiri. Kamu harus terus maju.

Aku mengangkat kepalaku, berharap dia benar. “Benarkah? Apakah aku tidak bersalah setelah semua ini?”

Apakah itu benar? Jika aku meragukan pengampunan Tuhan bahkan setelah mengaku dosa dan bertobat, berarti aku meragukan karakter-Nya sebagai Tuhan yang penuh belas kasihan dan pengampunan, janji-Nya untuk mengampuni, dan arti pengorbanan Anak-Nya di kayu salib. Tentu saja, aku harus memastikan bahwa aku tulus dalam pengakuan dan pertobatanku. Tetapi jika aku terus berpegang pada rasa malu dan bersalah, bukankah aku meremehkan pengorbanan Yesus dan kuasa salib? Bukankah aku harus terus maju, dengan mengandalkan fakta kasih dan belas kasih Allah yang tak bersyarat?

Selain itu, jika aku terlalu fokus untuk menjadi kudus dan menjadi orang Kristen yang “baik”, aku bisa jatuh ke dalam perangkap legalisme. Nah, itu berarti meremehkan kasih karunia. Aku mungkin lupa bahwa aku diselamatkan oleh kasih karunia, bukan karena perbuatan yang kulakukan. Oh ya, aku dipanggil untuk mengesampingkan diriku yang lama dan kebiasaan burukku. Tetapi aku tidak boleh mengacaukannya dengan mencoba memenangkan hati Allah dengan menjadi baik. Hanya Dia yang dapat membuatku kudus dan benar di hadapan-Nya. Yang perlu aku lakukan adalah tunduk pada-Nya dan mengizinkan Roh Kuduslah yang membaharuiku.

Dan akhirnya, pertahanan favoritku ialah: Tidak diragukan lagi bahwa aku memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Aku masih bergumul dengan dosa dan kekudusan. Tetapi, fakta bahwa aku masih bergumul dengan rasa bersalah dan perasaan tidak mampu, menunjukkan bahwa aku tidak meremehkan Tuhan; berarti hati nuraniku masih sangat hidup—dihidupi oleh Roh Kudus dalam diriku. Jika aku benar-benar bersalah karena meremehkan Tuhan, maka aku  tidak akan berpikir dua kali untuk terus melakukan dosa, atau apakah aku perlu hidup dengan cara yang lebih kudus, bukan? Bahkan, aku tidak akan bertanya-tanya apakah aku meremehkan-Nya. Jadi, fakta bahwa aku khawatir tentang meremehkan Tuhan… menunjukkan bahwa sebenarnya aku tidak sedang meremehkan-Nya. Kamu tahu apa yang kumaksud.

“Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus. Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut.” (Roma 8:1-2).

Dan, keputusannya adalah…

Aku tidak suka membiarkannya menggantung, tetapi jawabannya adalah… Aku tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Hanya hakim yang dapat memutuskan, dan dalam pengadilan ini, Tuhan adalah Hakimnya. Hanya Dia yang dapat menentukan apakah aku bersalah atau tidak karena telah meremehkan-Nya.

Sejujurnya, aku belum mendengar suara jelas yang memberitahu keputusan akhir. Tetapi aku percaya bahwa itu adalah… KEDUANYA. Bersalah—karena aku telah menganggap remeh Tuhan. Dan tidak bersalah—karena Dia selalu siap untuk mengampuniku, dan kematian Kristus telah membayar dosaku. Seolah-olah Tuhan berkata:

Ya, terkadang kamu memang bersalah karena telah menganggap remeh Aku. Itulah sebabnya Aku mengirimkan pengingat dan peringatan kepadamu, dan Roh-Ku memenuhi hatimu dengan penyesalan. Tetapi Aku tidak ingin kamu hanya merasa bersalah; Aku ingin kamu melakukan sesuatu. Dan Aku ingin kamu bertobat dan melanjutkan hidupmu, sehingga kamu menjadi TIDAK bersalah. Dan itulah mengapa Aku mengirimkan penghiburan dan jaminan kepadamu. Aku ingin kamu tahu bahwa ketika kamu benar-benar mengaku dan bertobat, itu akan menempatkanmu di jalur yang benar.

Jadi, apa artinya bagiku, si tertuduh? Itu berarti aku akan terus bergumul dengan rasa bersalah. Dan, aku akan kembali ke pengadilan ini, lagi dan lagi, untuk mendengar tuduhan dan pembelaan yang sama.

Tapi, mungkin itulah intinya. Seorang teman pernah berkata kepadaku tentang sesuatu yang selalu melekat di benakku, yaitu: Kekristenan adalah sebuah perjuangan.

Jika kita berhenti berjuang, maka ada sesuatu yang salah. Ya, kita tidak boleh membiarkan keraguan menggerogoti iman kita hingga tidak ada lagi yang tersisa. Tetapi kita juga harus terus memeriksa diri kita sendiri untuk memastikan bahwa kita tidak berpuas diri dalam perjalanan kita bersama Tuhan. Terus-menerus mempertanyakan, meninjau, dan bergumul dengan isu-isu rohani—semua ini menunjukkan bahwa iman kita masih hidup.

Mungkin itu sebabnya Paulus mendorong orang-orang percaya untuk mempersembahkan diri mereka kepada Allah sebagai “persembahan yang hidup” (Roma 12:1)—hal yang menarik dari persembahan yang hidup adalah bahwa persembahan itu bisa saja memilih kabur, tak mau dipersembahkan. Setiap hari dan setiap saat, kita menghadapi godaan untuk merangkak menjauh dari mezbah, mencari keinginan dan jalan kita sendiri; dibutuhkan usaha dengan kesadaran untuk tetap berada di sana. Namun, ini adalah perjuangan yang aku percaya dihargai oleh Tuhan.

Jadi, sekarang aku sudah keluar dari pengadilan. Aku bersalah, tetapi karena Yesus, aku tidak bersalah. Mungkin nanti aku akan segera kembali lagi di pengadilan ini.

“Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu! Apakah kamu tidak yakin akan dirimu, bahwa Kristus Yesus ada di dalam diri kamu? Sebab jika tidak demikian, kamu tidak tahan uji.” (2 Korintus 13:5).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tuhan Tidak Sedang Naif, Ketika Memberimu Kesempatan Kedua

Dihakimi, dinilai buruk, dan dimusuhi adalah bentuk cancel culture yang dialami seseorang dianggap berperilaku tidak menyenangkan.

Apakah kamu pernah mengalaminya? Atau justru menjadi salah satu orang yang tanpa kamu sadari “mengenyahkan” hidup orang lain?

Yuk, simak art space berikut.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Alasan Di Balik Sebuah Keterlambatan

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun, Jakarta

“Memiliki sikap berserah dikehendaki oleh Tuhan kita, meskipun hal itu bukan hal yang mudah. Apa respon kita saat hidup tidak berjalan seperti yang kita inginkan? Bagaimana kita dapat memuji Tuhan di tengah penderitaan yang kita alami? …”

Ucapan pak Pendeta Fardi terpotong ketika bunyi sepatu terdengar dan beberapa orang melangkah masuk dengan santai. Celinguk-celinguk sebentar lalu duduk di barisan ke-2 terdepan.

Mereka lagi. Nyebelin banget. Ini sudah hampir di akhir khotbah. Tapi baru datang. Apa yang sih yang mereka mau? Masa datang ke gereja selalu terlambat.

“… Mari kita berdoa,” kata penutup Pak Pendeta Fardi memotong lamunanku.

Selesai beribadah, aku langsung turun ke lantai paling bawah. Biasanya disediakan makanan kecil dan minuman. Pasti mereka sudah ada di bawah. Menjadi orang pertama yang antri.

Tuh, benar kan? Mereka bahkan sudah terlihat asyik menikmati makanan. Wah, apa itu yang di tangan? Berapa kotak? Masing-masing mengambil 3 kotak. Apakah jemaat lain masih kebagian? 

Aku melangkah menghampiri meja panjang di tengah ruangan. Tanganku meraih sebuah kotak makanan ketika aku mendengar suara yang kecewa. “Yah… Sudah habis. Kita terlambat.” Aku menoleh dan melihat dua orang anak yang berumur sekitar 10 tahun. Aku menatap kotak makanan di tanganku dan menyerahkannya kepada mereka.

“Terima kasih, Kak,” kata mereka. 

Dengan menahan rasa lapar, aku menghampiri Mili, sahabatku. Melihat tampang kecewaku, dia segera tertawa dan menyodorkan kotak makanannya yang terbuka. Masih ada sepotong kue. Aku mengambil dan memakannya. “Thanks.”

“Sudahlah, jangan marah. Bukankah kita sudah terbiasa?” Mili menyenggol tanganku. Dia menyeringai sebentar.

“Tapi ini keterlaluan. Masa sampai 3 kotak?” Mataku tertuju pada pasangan suami istri yang sedang asyik menikmati makanannya. 

“Yaah… Mungkin mereka kelaparan, lupa makan kemarin. Atau sedang puasa, atau apalah gitu,” sahut Mili memberikan alasan.

“Kalau sekali-kali masih OK, tapi ini kan sudah kesekian kalinya.” Nada suaraku bertambah tinggi tanpa kusadari.

“Sst, jangan keras-keras. Nanti kedengaran ama mereka. Kan jadi nggak enak,” tegur Mili dengan lembut.

“Ah…biar saja. Kan kenyataannya gitu, selalu datang terlambat ke gereja tapi paling awal kalau ada makanan,” kataku sebel.

Masih dengan perasaan kesal, aku melangkah mengambil minuman yang ada di meja. Ternyata sudah habis. Tanpa kusadari, aku menoleh ke arah pasangan suami istri itu, dan memperhatikan ada beberapa gelas kosong di bangku dekat mereka. Huh, bukan hanya makanan, minuman pun harus beberapa gelas. Apalagi yang nanti habis?

“Hei, Amel. Kamu nggak kebagian? Sama. Aku juga.”

Aku menoleh dan melihat Vili berdiri di sampingku. Aku mengangguk. “Iya, habis.”

“Pasti mereka yang ambil ya?” Vili seakan membaca pikiranku.

“Kalau nggak, siapa lagi?” jawabku kesal.

“Aku benar-benar nggak ngerti. Kalau ke gereja hanya mau makan, datang saja waktu makan, kenapa harus menggangu ibadah. Ya nggak, sih?” komentar sinis Vili.

“Iya, itulah. Aku juga nggak ngerti. Kayaknya mereka bukan orang yang kekurangan, tapi kok selalu makan seperti orang yang tidak pernah makan? Yang  lebih mengesalkan, terlambatnya itu lho. Aduh, apa sih maunya?”

“Tadinya aku pikir cuma aku yang berpikiran seperti itu. Ternyata kamu juga. Dan aku yakin bukan hanya kita yang berpikir seperti ini. Banyak orang yang juga berpikir sama seperti kita. Kita tegur saja, yuk,” usul Vili, kemudian menggandeng tanganku.

“Kamu yakin?” tanyaku.

Vili menatapku. “Masa mau kita diemin? Kamu mau kelaparan terus tiap Minggu? Atau mau lihat orang lain menderita gara-gara mereka?”

“Iya, sih. Ayolah.” Aku melangkah bersama Vili, menuju pasangan suami istri itu.

Tiba-tiba Mili sudah di sampingku. “Aku rasa sebaiknya kita pergi, Amel. Bukankah kita ada janji?”

“Eh, tunggu dulu, Mili. Amel kan mau bicara ama mereka dulu. Masalah ini perlu diselesaikan,” cegah Vili yang melihatku ditarik pergi oleh Mili.

“Benar, masalah ini perlu diselesaikan. Tetapi ada caranya. Dan caranya tidak seperti ini. Sebaiknya kita tidak lagi membicarakan hal ini dengan orang lain,” jawab Mili tegas. “Yuk, kita pergi. Jangan sampai terlambat.”

Vili terlihat kesal. Aku melambaikan tangan ke arah Vili. “Pergi dulu, ya.”

Di dalam mobil, aku duduk dengan wajah kesal. “Kenapa kamu ngak membiarkan aku menegur pasangan itu?”

“Karena bukan kamu yang perlu melakukannya. Dan tempatnya juga bukan di ruang publik,” jawab Mili pelan.

“Lalu siapa yang melakukannya? Kamu?”

“Bukan. Bukan aku, bukan kamu, bukan juga Vili. Tetapi orang yang punya wewenang dan kapasitas yang melakukannya.” Mili mengarahkan pandangannya kepadaku sebentar lalu fokus kembali pada kemudinya.

“Pak pendeta, maksudmu? Dia kan banyak tugas. Lagian kalau tunggu dia, sampai kapan baru selesai? Sampai kita semua kelaparan?” balasku jengkel.

“Hahaha… Nggak segitunya kali. Aku yakin kita semua nggak akan sampai kelaparan. Aku hanya pikir masalah ini bukan tidak semudah yang kita pikirkan. Kelihatannya seperti itu, tetapi ternyata tidak sesederhana itu.”

“Aku nggak ngerti. Masalahnya adalah mereka selalu datang terlambat untuk beribadah, tetapi selalu tepat waktu untuk makan. Kalau kita kasih tahu apa yang mereka lakukan itu salah, masalah akan selesai.”

Mili tersenyum mendengar penjelasanku. “Kamu selalu bisa merumuskan masalah dengan tepat, hanya saja penyelesaiannya tidak semudah itu. Apa yang terlihat itu hanya fenomena, belum tentu itu yang sebenarnya terjadi.”

Meski aku masih tidak dapat menerima penjelasan Mili, aku tidak lagi memperpanjang masalah ini. Mungkin Mili benar, mungkin tidak sesederhana yang terlihat.

Dua hari kemudian, aku ditelepon oleh sie pembesukan gereja. Mereka memintaku mengambil bagian dalam pelayanan pembesukan jemaat. Kami pun sepakat untuk mengunjungi beberapa jemaat baru yang datang ke gereja kami.

Tidak disangka, rumah pertama yang kami datangi adalah rumah pasangan suami istri yang suka terlambat ke gereja itu. Bertempat dalam kompleks perumahan yang agak kumuh, rumah itu terlihat sangat sederhana. Pintunya terbuat dari kayu, cat rumah terkelupas di sana sini, tetapi halamannya terlihat indah. Kami dipersilakan duduk di ruang tamu yang jauh dari kesan mewah. Disuguhi dengan segelas teh hangat, kami memulai percakapan.

Pak dan Bu Budiman, begitu pasangan suami istri itu biasa disapa. Mereka terlihat senang dengan kunjungan kami. Pak Pendeta Fardi memulai dengan menanyakan kabar dan menyambut baik kedatangan mereka ke gereja kami.

Apakah Pak Pendeta Fardi akan berbicara mengenai keterlambatan mereka? 

Keingintahuanku bertambah seiring waktu terus berjalan. Aku berharap masalah itu dapat segera selesai. Dan aku pikir seharusnya mereka tidak punya alasan untuk keterlambatan mereka.

“Kami memperhatikan sepertinya ada kesulitan bagi Bapak dan Ibu untuk hadir tepat waktu dalam ibadah gereja kami. Apakah ada yang dapat kami bantu?” tanya Pak Pendeta Fardi dengan ramah dan tersenyum hangat. Nah, coba dengar apa alasan mereka. Aku menunggu jawaban mereka dengan tidak sabar.

Dengan wajah yang sedikit memerah, pak Budiman menjawab pelan. “Yah… Sebenarnya memang ada, kalau mau dikatakan hal itu sebagai kesulitan. Tetapi, bagaimana mengatakannya?”

Pak Pendeta Fardi mengangguk, memberikan dorongan untuk meneruskan ucapan pak Budiman.

“Begini, Pak Pendeta. Kami berdua memang dibesarkan dalam budaya yang kurang mengenal disiplin waktu. Bagi kami sekeluarga, datang terlambat adalah hal biasa. Bahkan boleh dikatakan kami tidak pernah datang tepat waktu untuk acara apa saja. Karena memang sudah menjadi kebiasaan kami. Apalagi kami tidak punya anak, sehingga kami pun tidak terikat dengan kewajiban sekolah yang mengharuskan kami untuk belajar tepat waktu. Dan pekerjaan sebagai ojek online pun dapat dilakukan tanpa terikat waktu. Jadi kelihatannya tidak ada alasan kuat mengapa kami tidak boleh terlambat. Bukan kami tidak pernah coba tepat waktu, tetapi ternyata sulit sekali. Dan orang lain biasanya tidak pernah mau mengerti. Kami langsung dihakimi begitu saja.” Pak Budiman mengambil napas sebentar, menunggu reaksi kami. 

“Ya, tentu tidak mudah mengubah sebuah kebiasaan, ya.” Pak Pendeta Fardi kembali tersenyum ramah.

Pak Budiman mengangguk. “Sebenarnya kami sudah pergi ke banyak gereja, dan setelah beberapa kali kami berkunjung, ada gosip tentang kami. Karena merasa tidak enak, maka kami pergi dari gereja itu.” Tanpa kusadari, wajahku memerah mendengar kata gosip. 

Aku pun sudah bergosip hari Minggu lalu. Aku pun menghakimi mereka.

Beberapa kata pak Budiman tidak terdengar karena lamunanku. “Kami mengerti apa yang kami lakukan tidak baik, dan sepertinya menganggu orang lain. Tetapi kami pun baru mengenal TuhanYesus sehingga kami tidak terlalu mengerti Alkitab dan ajaran Kristen, kami berpikir yang penting kami sudah datang ke gereja. Tidak apa terlambat daripada tidak datang. Kami sudah melunasi kewajiban kami untuk beribadah.”

Aku mulai memahami apa alasan di balik keterlambatan pasangan suami istri ini. Oh, ternyata itu alasannya.

“Terima kasih sudah berkata jujur kepada kami. Mendengar apa yang tadi bapak sampaikan, kami dengan senang hati ingin menolong. Ada sesi konseling dan kelas pemahaman Alkitab dalam gereja, yang kemungkinan besar dapat menolong mengatasi kesulitan kalian berdua,” saran Pak Pendeta Fardi.

Wajah bapak dan ibu Budiman terlihat sedikit cerah, dan mereka tersenyum bahwa masih ada harapan untuk mereka mengubah kebiasaan buruknya.

Kami berpamitan untuk pergi ke rumah jemaat lain setelah pak Pendeta Fardi mendoakan pasangan suami istri ini. Dalam perjalanan pulang, aku bersyukur Tuhan membuka pikiranku.

Aku harus belajar untuk tidak lagi mudah menghakimi seseorang. Perkataan Mili benar bahwa apa yang terlihat hanyalah fenomena. Selalu ada alasan di balik segala sesuatu. Jika Tuhan saja selalu beri kesempatan bagi manusia untuk bertobat, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama? Lalu bagaimana kebiasaan makan mereka? Ah… Mungkin ada alasan lain yang juga belum dibukakan sekarang. Pelan-pelan. Siapa tahu nanti mereka juga bisa berubah.