Posts

Umur Makin Bertambah, Doanya Ikut Nambah Juga Nggak?

Artikel ini diadaptasi dari ReclaimToday.org

Kehidupan doa orang Kristen bisa jadi melelahkan, terutama kalau kamu sedang tidak ingin berdoa. Kami harap doa-doa sederhana yang berpusat pada kehidupan sehari-hari akan memandu dan membantumu bertumbuh dalam kehidupan doamu.

Umurku sekarang berapa yaa?

Apakah ada uban di kepalamu? Atau apakah punggungmu yang sakit yang mendorongmu klik artikel ini? Atau, biar kutebak, kamu bisa tidur sepanjang malam, tapi kamu sering terbangun buat pergi ke kamar mandi?

Mungkin kamu tak bisa lagi minum kopi setelah jam 2 siang dan kamu menolak makan yang manis-manis di atas jam 7 malam supaya gula dan coklat tak membuatmu susah tidur. Dan, kamu marah ketika temanmu mengajakmu keluar larut malam? Oh, ada teman kerja yang lebih muda atau adik tingkat di kampus yang baru saja bilang kalau kamu itu seperti ayah atau ibu angkatnya?

Semua itu adalah tanda-tanda dari usia yang makin tua… 😜 yang kadang rasanya aneh karena kok berlangsung lebih cepat. Usiamu mungkin masih 20-an awal atau belasan akhir, tapi tak peduli seberapa muda usiamu sekarang, faktanya adalah kita semua menjadi semakin tua setiap harinya.

Namun, ada kabar baik dari menjadi semakin tua. Dan kalau usiamu belum tua, kamu harus share doa ini ke semua temanmu yang menurutmu sudah tua! 😜

Alkitab menunjukkan hubungan yang khas antara usia dan kebijaksanaan. Alkitab juga umumnya menghormati para penatua dalam suatu komunitas. Meskipun usia yang naik mungkin membuatmu sulit untuk melakukan peregangan badan selama satu jam sebelum olahraga, kamu akan memasuki masa kehidupan di mana kamu akan memiliki perspektif dan kebijaksanaan yang tidak bisa kamu lakukan ketika kamu muda.

Jadi, setelah kamu mengucek-ngucek mata karena lelah melihat tulisan-tulisan kecil ini di layar HP-mu, kembalilah dan nikmatilah ayat-ayat dari Kitab Suci dan doa ini untuk menghargai dirimu sendiri dan tahap-tahap kehidupan yang nanti akan kamu tempuh. 

“Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran.” (Amsal 16:31).

Doa untuk usia yang bertambah tua

Pemuda jompo! Begitu teman-teman dan keluarga menjulukiku.

Bapa, Engkau tak lekang oleh waktu. Awal dan Akhir ada di tangan-Mu.

Engkau hadir pada hari kelahiranku.

Engkau berjalan bersamaku di masa mudaku.

Dan sekarang, Engkau menopangku seiring usiaku yang bertambah.

Terima kasih atas helai-helai tipis uban yang muncul di kepalaku… yang semoga kemunculannya selaras dengan bertambahnya kebijaksanaan dalam diriku.

Terima kasih atas kendala-kendala fisik yang mulai muncul. Ini menolongku untuk mengenali dan merawat tubuhku lebih serius lagi.

Terima kasih untuk kesempatan berbagi pengalaman hidup dengan orang lain.

Tolonglah aku untuk tidak takut akan rasa sakit, nyeri, dan perubahan pada tubuh fisikku. Baharui hatiku dan kuatkan tekadku untuk disiplin membangun pola hidup yang sehat: mengendalikan apa yang kukonsumsi, tidur cukup, juga berolahraga rutin.

Dalam kasih karunia-Mu, aku percaya usia yang bertambah bukanlah mimpi buruk. Justru, di sanalah aku akan semakin jelas melihat kasih setia-Mu dinyatakan atasku. Mulai hari ini dan seterusnya, ajarlah aku agar semakin dekat dan bergantung pada-Mu.

Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Sehat Tanpa Aksi Pada Hakikatnya Adalah Mati!

Oleh Yawan Yafet Wirawan, Semarang

Sejak tahun 2016 sampai 2021, tren kesehatan anak muda semakin menurun. Maka, tak heran jika hari ini kita familiar dengan sebutan “pemuda jompo”. Usia baru 20-an awal tapi sudah terkena penyakit diabetes, hipertensi, kolestrol, bahkan sakit jantung. Padahal semua penyakit ini biasanya menyerang mereka yang telah berusia lanjut.

Aku sendiri pun sejak satu bulan belakangan ini tergabung dalam jajaran “pemuda jompo”. Aku didagnosa mengalami peradangan di ginjal sebelah kanan karena adanya batu ginjal. Banyak orang yang mengunjungiku berkata, “Masih muda kok udah sakit-sakitan? Makan yang sehat makanya.”

Kuyakin sebagian dari kita pasti pernah mendengar kata-kata tersebut.

Dalam perenunganku, sempat kuberpikir: kenapa makanan yang disalahkan? Aku teringat dengan kata-kata Paulus di dalam 1 Korintus 10:23 yang berkata, “Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna.” Penggalan ayat tersebut menceritakan nasihat dan teguran Paulus kepada jemaat di Korintus supaya mereka tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat oleh orang-orang Israel saat mereka keluar dari tanah perbudakan.

Pengaruh kuat budaya dan gaya hidup orang-orang Mesir sangat melekat pada diri orang-orang Israel, sehingga pada saat Musa memimpin mereka untuk keluar dari perbudakan mereka masih melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Mereka masih terikat pada percabulan, penyembahan berhala, dan makan-makanan yang haram. Ribuan tahun setelahnya, setelah orang-orang Kristen perdana terbentuk, timbul pula pertanyaan. Apakah makanan yang sudah dipersembahkan kepada berhala boleh dimakan? Paulus menjawabnya secara spesifik dalam 1 Korintus 10.

Paulus menekankan bahwa bumi dan segala isinya adalah milik Tuhan seutuhnya, maka termasuk makanan yang dibuat oleh manusia di dalam dunia ini adalah milik Tuhan. Semua makanan boleh kita makan! Tapi, pertanyaannya: apakah yang makan tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain? Atau apakah saat kita makan, kita menunjukkan bahwa Tuhan dimuliakan? Di balik kebebasan itu sejatinya ada standar yang lebih tinggi. “‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar tetapi bukan segala sesuatu berguna. ‘segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” Bahkan di ayat 27-33 Paulus berbicara secara spesifik tentang hal makan. Jika seseorang sudah memberitahumu bahwa makanan ini tidak baik atau bahkan kamu tahu sendiri bahwa makanan itu tidak baik, maka jangan makan itu. Jangan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Lakukan segala sesuatu, bahkan sesederhana makan dan minum untuk kemuliaan Allah.

Teguran Paulus itu mengingatkanku bahwa dalam hal kecil seperti makan saja Allah peduli. Tetapi pertanyaannya apakah dalam hal makan aku dan kamu sudah menjadi berkat bagi sesama dan memuliakan Tuhan?

John Piper seorang pendeta senior pernah menuliskan dalam artikelnya sebuah pertanyaan, “Apakah saya memakan makanan ini merupakan ungkapan betapa saya menghargai kemuliaan Tuhan?”

Di dalam surat yang sama Paulus juga pernah mengingatkan jemaat Korintus bahwa tubuh mereka adalah bait Roh Kudus (1 Kor. 6). Bukan milik kepunyaan mereka sendiri, melainkan milik kepunyaan Allah. Maka Paulus menyerukan kepada jemaat di Korintus untuk memuliakan Allah dengan tubuh mereka.

Dari nasihat dan teguran Paulus itu aku bercermin pada diriku sendiri. Seringkali aku masih suka bercanda dengan dalih yang kuambil dari teks Alkitab, “lemakku itu kepunyaannya Allah (Im. 3).” Aku ingin memperbesar bait Roh Kudus ku supaya Tuhan senang.” Aku hanya berpikir bahwa segala sesuatu boleh kok kata Paulus, aku tak mengindahkan kalimat selanjutnya bahwa tidak segala hal berguna dan membangun—apakah yang aku lakukan sebenarnya tidak membawa berkat bagi sesamaku dan tidak mencerminkan bahwa aku sedang memuliakan Allah melalui makanku.

Mungkin cerita sederhana ini relate dengan keseharian kita. Sering kali kita berdoa agar makanan kita membawa kesehatan, tetapi di sisi yang lain orang lain bahkan diri sendiri tahu bahwa makanan tersebut tidak baik untuk Kesehatan. Dalam tulisan ini ku mau katakana bahwa bukan hanya iman tanpa perbuatan yang hakekatnya mati, tetapi sehat tanpa aksi juga hakekatnya mati.

Aku tidak tahu masalah Kesehatan apa yang menjadi pergumulan masing-masing kita, tetapi saat ini aku mau mengajak kita semua untuk memperhatikan lagi pola hidup kita, secara khusus di dalam hal makan. Mari kita tunjukkan rasa syukur dan cara kita memuliakan Tuhan dengan cara makan kita!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Menerima Diri Sendiri Apa Adanya? Hmm..

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Pagiii..” suara cempreng Mila mengalihkan pandanganku dari layar ponsel. Aku hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan menikmati sarapan mie balap seafood kesukaanku dengan segelas teh manis hangat.

“Eh, tempat fitness di atas mulai buka minggu depan ya? Rame banget promonya di dekat lift tadi.” Mila mulai duduk dan menghidupkan layar komputernya. Aku hanya mengedikkan bahu, tidak tertarik.

“Asyik dong. Ntar kita bisa nge-gym bareng. Membershipku di tempat lama juga bakal selesai akhir bulan ini. Mau ikut kan, Feb?”  tanyanya padaku.

“Nggak tertarik ah, aku nggak suka olahraga,” jawabku singkat.

“Olahraga bukan suka-nggak-suka kali, Feb, tapi kita kan memang perlu, sama kayak kita perlu makan,” atanya santai.

“Iyaaa. Tapi kayaknya aku belum memerlukannya sekarang. Aku bersyukur kok dengan tubuhku yang sekarang.” Ucapku, ingin mengakhiri topik pembicaraan ini. Malas membahas lebih lanjut. Tapi Mila seperti tidak menangkap sinyal itu dan terus melanjutkan.

“Jadi kapan menurutmu kamu akan memerlukannya? Tunggu jadi sobat jompo dulu?”

“Udahlah Mil, aku lagi nggak mood bahas topik ini.”

Mila menghembuskan napas. “Kamu sampai rumah jam berapa semalam?” tanyanya kemudian.

“Hampir jam sebelas,” jawabku setelah berpikir beberapa detik.

“Lama juga, ibadahnya kan selesai jam 9.” 

“Iya, aku lapar banget. Boleh dong setelah pelayanan makan dulu,” sahutku, sebelum ia akan memberi petuah-petuah lagi tentang menjaga kesehatan dan pola makan.

Ia hanya mengangguk-angguk, menenggak jus buah yang ia bawa dari rumah. Menghabiskannya dalam waktu singkat. 

Aku meliriknya sekilas. Lalu beranjak membuang bungkus mie balapku.

Sambil mencuci gelas kotorku, aku tiba-tiba teringat dengan semua omongan Mila selama ini tentang memperhatikan pola hidup. 

“Kamu yakin pesan sebanyak itu?” katanya suatu waktu ketika kami makan siang di restoran cepat saji yang baru buka di dekat kantor.

Aku mengangguk mantap. “Kita kan masih muda, Mil, nikmatin ajalah. Ntar kalo udah tua, harus jaga kolesterol, asam urat, dll. Sekarang ya kita nikmatin apa yang masih bisa dinikmatin, kan!” jawabku enteng.

“Ya pola hidup kita di masa muda ini yang menentukan akan jadi seperti apa kita nanti di masa tua, kan?” sahutnya, cukup menohok sebenarnya tapi aku sengaja mengabaikannya.

Kali lain, saat kami pulang pelayanan di hari Minggu, aku mengajaknya nge-eskrim nggak jauh dari gereja. Cuacanya panas banget dan aku memesan beberapa varian es krim sekaligus.

“Feb, secukupnya ajalah, nanti malah jadi sakit,” katanya mengingatkan. Tapi aku kembali berdalih bahwa ini bentuk aku mencintai diriku sendiri. Alhasil tenggorokanku memang sakit malam harinya dan harus izin kerja esoknya.

Mila juga entah sudah berapa kali mengajakku olahraga, entah itu nge-gym atau jogging di Sabtu pagi. 

Dan aku akan selalu mengelak dengan alasan, “Masa aku nggak boleh bangun siang satu hari aja dalam seminggu sih, Mil. Aku begadang terus nih minggu ini. Lagian aku nggak ada masalah kok dengan tubuhku yang sekarang, aku nggak pengen diet, aku menerima diriku yang sekarang apa adanya.”

“Siapa bilang olahraga itu buat diet sih, Feb, olahraga itu buat sehat, kali!”

Kemudian kalau dia mengajak di hari Minggu pagi, aku akan menemukan jawaban lain. “Kita kan ada jadwal pelayanan jam 10, nanti malah kelelahan dan nggak fokus melayani.”

Tapi Mila memang sangat dipenuhi dengan kesabaran karena dia masih terus mengingatkan aku soal pola hidup yang lebih sehat dan bagaimana itu bisa sangat berpengaruh besar nantinya. Mila bukan orang yang anti makanan nggak sehat, sesekali ia juga makan makanan cepat saji. Dia juga tidak selalu rajin olahraga, sarapannya bukan salad atau susu low fat atau makanan-makanan sehat lainnya. Tapi dia memang peduli kesehatannya.  Dan ya memang, aku akui aku tidak se-fit dia. Dia selalu tampak segar dan bersemangat, sangat jarang sakit dan hampir tidak pernah terlihat kelelahan. Dia selalu tampak bersukacita.

Kenapa aku baru menyadari sekarang? Padahal pasti Tuhan sudah mengingatkanku sejak lama lewat sahabatku ini. Tampaknya aku selama ini bersembunyi di balik kalimat “menerima diri sendiri apa adanya.” Aku menghembuskan napas panjang.

Aku menyadari sudah terlalu lama aku berdiri di depan wastafel hanya untuk mencuci sebuah gelas. Aku kemudian kembali ke meja kerjaku dan tersenyum, mengacak rambut gadis di sebelahku asal. Dia hanya mengaduh kesal, merapikan kembali rambutnya. 

***

Sore ini kami harus pulang kantor dengan menuruni tangga karena sedang ada perbaikan lift, aku hampir tidak mampu melangkah lagi setelah tiba di lantai dasar. Padahal kami hanya berjalan dari lantai 4 dengan istirahat di setiap lantainya.

Mila memegangi pundakku, menungguku mendapatkan napas kembali. Sementara ia dengan cepat dapat mengatur kembali napasnya. Ia tersenyum. Kali ini dia yang mengacak rambutku.

“Jadi gimana, masih mau bilang menerima diri sendiri apa adanya dengan membiarkannya menjadi jompo sebelum waktunya seperti ini?” katanya sambil tertawa kecil. Aku pura-pura melotot ke arahnya. Dia semakin tertawa.

“Dengan punya tubuh sehat, kan kita bisa melayani lebih maksimal, bisa melayani lebih lama, sampai tua. Yaaah memang nggak ada jaminan sih bakal berumur panjang, karena umur memang di tangan Tuhan, tapi kita bisa melakukan apa yang kita bisa untuk menjaga tubuh kita yang sementara ini kan, Neng,” katanya lembut, penuh pengertian. 

“Kecuali kamu mau dipanggil Nenek di usiamu sekarang, karena harus ditolong menuju halte depan,” katanya lagi sambil tertawa puas. Aku menarik rambutnya pelan, kami tertawa bersama, berjalan menuju halte sebelum kami ketinggalan bus terakhir.

… tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, … dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1 Korintus 6:19).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥