Posts

Melepas Pergi Sosok yang Kuanggap Hadiah Terindah

Oleh Claudia Nobritania, Makassar

Aku sedang bercengkrama dengan kakekku di kamar rumah sakit karena sudah beberapa hari dia dirawat di sini. Hari demi hari kami lalui dengan penuh pengharapan, bahwa kakek akan sembuh. Awalnya, kakekku tidak ingin berobat, tapi ayahku selalu meyakinkannya bahwa penyakitnya bisa disembuhkan. Jadi, kakek pun akhirnya menurut.

Siang ini tidak seperti hari-hari kemarin. Hari ini dia terlihat sangat sehat, mau makan buah-buahan, bahkan tertawa lepas sambil menonton film kolosal di TV. Kulihat wajahnya begitu berseri. Pemandangan ini membuatku bersyukur. Sudah lama senyuman manis tidak pernah terpancar dari wajahnya yang biasa ceria itu. Kusuapi kakek makan sambil ikut tertawa bersamanya.

Sekitar jam delapan malam, kulihat kakek sepertinya sudah tidur nyenyak. Sekarang giliranku istirahat, bergantian jaga dengan ayahku. Kukira aku akan tidur nyenyak, tapi ternyata tidak. Jam sebelas malam, dengan penglihatan yang masih samar, kulihat beberapa orang berbaju putih bersih mengelilingi tempat tidur kakekku. Di samping ranjangnya, ada tabung yang begitu besar. Aku terkejut dan buru-buru bangun untuk mengecek keadaan.

Sungguh, pemandangan ini tidak pernah kuinginkan untuk kulihat! Bukankah siang tadi keadaan kakek sangat sehat? Bukankah dia tertawa begitu lepas? Bukankah seharusnya dia sembuh dan besoknya kami boleh pulang ke rumah? Tetapi, mengapa sekarang tabung oksigen itu harus dipasang? Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, aku coba mengerti keadaan ini. Aku tidak ingin menangis dulu, aku tidak ingin sedih dulu karena aku tahu di setiap musim kehidupan kita, Tuhan selalu ada di sana, bukan? Dan, aku sungguh percaya akan ini.

Setelah beberapa waktu, dokter dan perawat membawa kakek ke dalam ruangan ICU. Tentu ini bukan yang kuinginkan, tapi aku tidak ingin menyalahkan keadaan, mengapa begini dan begitu. Ayahku memintaku untuk lanjut beristirahat. Katanya, biarkan dia saja yang berjaga di ICU. Aku kemudian kembali ke kamar perawatan kakek sebelumnya dan berusaha tidur, tapi tidak bisa. Aku khawatir dan gelisah. Aku mulai memikir-mikirkan hal yang bahkan belum terjadi. Tetapi, kemudian aku berusaha untuk tetap berpikir positif dan berdoa semoga besok pagi keadaan akan jadi lebih baik.

Paginya aku bangun lebih cepat dari biasanya dan langsung menuju ICU, bergantian dengan ayah yang sudah semalaman menjaga kakek. Aku sudah berada tepat di depan pintu ruangan yang tak pernah kukunjungi sebelumnya, menunggu ayahku keluar.

Ketika kubuka pintu itu, suasananya asing buatku. Kudengar bunyi “..tit…tit….tit..”, yang saling bergantian dari bilik pasien satu ke pasien lainnya. Beginikah kenyataan ruangan ini? Begitu sepi. Isinya hanya orang-orang yang terbaring dan tampak seperti tidak bernyawa. Sejenak aku berpikir, apakah mereka akan tetap hidup atau tidak? Tapi, kemudian aku terdiam sambil memandang sekitar. Kira-kira apa, ya, yang mereka pikirkan sekarang?

Sudah, sudah! Aku menepis pikiranku sambil terus berjalan mencari kakek terbaring di mana. Kudapati kakekku terbaring sangat lemah. Berbeda jauh dengan kemarin siang ketika kusuapi dia sambil menonton TV.

Aku mengambil kursi, duduk di sampingnya. Kugenggam tangannya yang telah dipasang infus. Aku masih berharap dan berdoa semoga kakek bisa keluar dengan keadaan hidup, bahkan sehat. Seharian aku menjaganya, rasanya aku tidak ingin meninggalkannya walau untuk sebentar saja. Namun, sorenya ayah memintaku untuk kembali bergantian.

Jam lima sore, aku bersama sepupuku kembali ke ICU. Pintu belum terbuka, aku duduk di lantai bermain HP. Lalu, kudengar suara tangisan dari ruangan itu, suara yang tidak asing… suara tanteku yang baru tiba tadi pagi.

Hatiku berdebar.

Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sana sampai akhirnya perawat membuka pintu dan meminta keluarga untuk masuk. Kulihat semua orang menangis, kulihat kakekku bernapas setengah mati. Aku tidak ingin menangis. Aku percaya mukjizat dapat terjadi dalam keadaan apa pun. Aku berdoa semoga Tuhan memulihkan keadaan kakek. Kuberdiri di sampingnya dengan perasaan yang tidak karuan. Namun, belum lama aku berada di sana, kakek pun pamit pergi untuk selama-lamanya.

Air mata mengalir di pipiku tanpa pernah kuminta untuk turun. Baru saja aku menungguinya dengan harapan dia akan tetap hidup, tapi ternyata Tuhan lebih mengasihi kakek. Hari itu aku kehilangan satu sosok yang sangat kukasihi. Namun, dukacita ini tidak memahitkan hatiku. Aku merasa Tuhan selalu ada dalam tiap musim kehidupanku dan memberiku kekuatan untuk dapat melewati semuanya. Satu hal yang membuatku bersyukur dengan kehadiran kakekku di dunia ini adalah: dia sosok yang baik dan tulus mengasihiku. Tuhan membuatku merasa dicintai lewat kehadiran kakek. Teladan kakek mengajarkanku untuk hidup sederhana, memanfaatkan waktu yang ada untuk orang yang kita kasihi.

Sekarang kakek tak ada lagi bersamaku, tetapi kenangan bersamanya semasa hidupnya adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan. Dan hatiku dengan ikhlas merelakan hadiah terindah itu kembali pada Sosok yang Mahaindah, Pencipta dari segala sesuatu, yang dengan firman-Nya menjadikan dunia dan akan memulihkan segala sesuatu menjadi baru.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ruang Operasi: Terlihat Menegangkan, Namun Penuh Penyertaan Tuhan

Oleh Febe Valencia

Tahun baru seharusnya dirayakan, makan enak bersama keluarga sepulang ibadah akhir tahun. Seharusnya bersukacita, menuliskan semua hal yang ingin dicapai. Seharusnya aku fokus mendaftar magang. Namun, berakhir di sinilah aku, di ruang inap rumah sakit untuk merawat kakek yang biasa aku panggil Opung Doli. Aku satu-satunya cucu yang tinggal bersama opung di rumah. Sedari kecil aku dirawat dan dibesarkan olehnya dan Opung Boru (nenek). Saat aku sudah dewasa, otomatis akulah yang diandalkan di rumah karena usia mereka yang tak lagi muda.

Sabtu pagi, Opung Doli terpeleset karena lantai licin sehabis hujan. Aku pun bimbang. Sehari sebelum insiden ini, hubunganku dengannya tidak baik. Beliau gelisah, aku dimarahi dan jadi sedikit kecewa. Kuberikan pertolongan pertama lalu berjuang membawanya ke rumah sakit karena opung tidak bisa berjalan, sementara opung boru di rumah saja karena dia memiliki riwayat penyakit jantung.

Di rumah sakit, kupikir pemeriksaan dan hasilnya tidak akan rumit. Tapi, foto rontgen berkata lain. Bonggol paha kirinya retak dan harus dioperasi. Rumah sakit pertama yang kami kunjungi ini tidak bisa melanjutkan tindakan karena keterbatasan alat, ditambah lagi kami pun menggunakan jalur BPJS. Ada dua rumah sakit lain yang direkomendasikan. Saat itu aku takut karena semuanya kuusahakan sendiri. Rumah sakit rekomendasi pertama tidak bisa memberi jadwal operasi yang pasti karena harus menunggu antrean. Aku pun makinlah takut.

Namun, Tuhan begitu setia. Pertolongan-Nya mewujud lewat orang-orang yang tidak kami sangka. Setelah opsi-opsi yang kami coba, opung akhirnya bisa dirawat dengan baik di rumah sakit yang pelayanannya baik pula. Kurasa ini sudah cukup, namun penyertaan Tuhan terus kurasakan tiap hari. Tanpa disangka, jadwal operasi bisa lebih cepat dengan harapan pemulihannya juga bisa lebih cepat dan beliau bisa beraktivitas seperti semula.

Kurasakan Tuhan baik saat aku menemani opung. Mungkin tidak tepat waktunya sakit ketika akhir tahun, tapi justru ini waktu ketika aku liburan semester yang cukup panjang. Sembari menunggu opung, aku juga menjadi pendengar yang baik buat seorang ibu yang sedang menunggu anaknya dioperasi. Ada tumor pada mata dan bibir dalam tubuh sang anak yang baru berusia enam tahun. Ayahnya sudah meninggal. Tangisan anak itu terdengar di ruang bedah sentral. Mendengar itu, ibunya pun meneteskan air mata. Dia sudah menjanjikan anaknya liburan, namun ternyata operasi.

Setelah operasi opung, Tuhan menggunakan momen sakit ini untuk menghancurkan namun membentuk kembali hati kami. Opung dipindahkan ke ICU selama satu malam untuk observasi lebih lanjut. Pasca operasi semuanya normal. Beliau sempat sadar, bisa bicara, terjadi pendarahan. Semua ini wajar. Opung tidak rela ditinggal di ICU sendirian, sehingga malam itu aku pun susah tidur. Jantungku berdebar kencang. Memang sulit rasanya perlahan melepaskan kendali yang selalu kupegang. Tapi, lagi dan lagi, Tuhan baik. Siang harinya opung bisa kembali ke kamar perawatan biasa karena hasil observasinya baik.

Hubunganku dengan opung yang awalnya sempat tegang mulai membaik. Kami saling mengampuni, semua kesalahpahaman diluruskan. Kami juga meminta ampun pada Tuhan, Sang Juruselamat yang sering kami ragukan kesetiaan-Nya karena banyaknya tuntutan yang kami pinta. Aku yakin dan percaya, lewat kejadian ini Tuhan ingin berbicara kepadaku, kepada opung, keluargaku, bahkan buat kamu yang sedang membaca kesaksian ini. Berkat itu bisa sesederhana kita dapat berjalan kaki setiap hari, namun sering lupa kita syukuri, bukan?

Mengurus segala sesuatunya sendiri, aku belajar menjadi pribadi yang mandiri. Aku belajar banyak sabar. Kulihat di kiri-kananku, bagaimana orang-orang sedemikian sabarnya mengurus anaknya, suami atau istrinya, atau orang tuanya.

Menutup tulisan ini ada dua kutipan yang kurasa baik untuk kita renungkan bersama:

“Jika kamu mencoba menyelamatkan hidupmu, kamu akan kehilangannya. Tetapi jika kamu menyerahkan hidupmu karena Aku, kamu akan diselamatkan.” (Lukas 9:24 AMD).

“Dihancurkan supaya jadi utuh, kerajaan Allah berawal di dalam diri Anda. Ketika Anda sampai di akhir ke-aku-an Anda, di mana Anda menyadari bahwa Anda tidak punya apa pun yang bisa Anda berikan.” – Buku The End of Me, Kyle Idleman.

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu