Posts

Ketika Berbakti Terasa Membebani, Cobalah Ganti Perspektifmu

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Kamu mungkin pernah mendengar lagu berjudul “Keluarga Cemara” yang liriknya berbunyi, “Harta yang paling berharga adalah keluarga…”. Lirik selanjutnya merupakan ungkapan terima kasih anak-anak kepada kedua orang tuanya, demikian, “Terima kasih Emak, terima kasih Abah, untuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti.”

Sinetron Keluarga Cemara sangat familiar bagi generasi 90-an dan belum lama ini juga sempat diputar versi reborn-nya di bioskop. Keluarga Cemara diminati karena menggambarkan kondisi ideal sebuah keluarga—seorang ayah dan ibu yang berjuang demi anak-anaknya, sementara anak-anaknya siap berbakti kepada orang tuanya. Indah, bukan?

Sayangnya, realita tidak selalu berkata demikian.

Bagi orang tua, tentu sangat wajar untuk membanting tulang, bahkan berkorban demi memperoleh kehidupan yang layak bagi keluarga dan anak-anaknya. Orang tua ingin anak-anaknya hidup aman dan nyaman. Mereka mempersiapkan asuransi yang cukup untuk menanggung biaya pendidikan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi, bahkan rumah untuk tempat tinggal masa depan! Mereka mencari segala cara justru agar anak-anaknya tidak perlu “menderita” seperti mereka.

Sementara itu, bagi anak-anak, bagian kita adalah berbakti kepada orang tua. Ulangan 5:16 jelas memerintahkan, ”Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu…” Dalam KBBI, kata “hormat” sama dengan “berbakti” yang juga berarti “mengabdi, berdedikasi, dan tunduk”. Inilah bagian yang seharusnya dilakukan anak kepada orang tuanya. Namun, adakah di antara kita yang terkesan bahwa berbakti itu tak ubahnya sebuah kewajiban atau tuntunan dari orang tua kepada anak-anaknya? Bila mengingat besarnya jerih lelah mereka, tidak aneh bukan jika orang tua berharap di masa tuanya nanti ada anak-anak yang akan membalas budi dengan memelihara hidup mereka?

Namun nyatanya, berbakti pada orang tua tidak semudah diucapkan. Ketika kita semakin dewasa, semakin tua dan renta pula orang tua kita. Di satu sisi, kita harus berjuang untuk hidup mapan mempersiapkan masa depan kita sendiri, tapi di sisi lain kita merasa masih harus “dibebani” untuk mengurus orang tua kita. Tak heran, muncul istilah generasi sandwich. Generasi yang harus tangguh karena berada di antara dua lapis generasi—beban untuk menyejahterakan orang tua, sekaligus tugas untuk membesarkan anak-anak mereka yang masih kecil (bila sudah berkeluarga).

Jonathan Edwards, seorang teolog besar asal Amerika, pernah menyatakan betapa pentingnya keluarga yang mewakilkan gereja di muka bumi ini. Setiap keluarga Kristen seharusnya menjadi seperti sebuah gereja kecil yang dikuduskan bagi Kristus dan sepenuhnya dipengaruhi serta dikendalikan oleh ketetapan-ketetapan Allah. Selain itu, di dalam keluargalah kita seharusnya mengalami kasih karunia Allah yang nyata. Pernyataan ini sebenarnya sangat mencerahkan, mengapa? Karena keluarga yang ideal ternyata bukan ditentukan dari apa yang terlihat di luarnya saja, tetapi bagaimana karakter-karakter Kristus dan kasih karunia Allah itu nyata di dalamnya.

Oleh karena itu, keluarga Kristen seharusnya dibangun bukan hanya untuk mengusahakan kenyamanan hidup, tetapi lebih daripada itu, melatihkan karakter-karakter Kristen bagi setiap anggotanya. Karakter-karakter Kristus yang dapat dilatih sejak kecil itu termasuk menghormati orang tua, memberi perhatian penuh, menaati otoritas, setia, tekun, dst., serta mendemontrasikan pengampunan dan memberikan kasih karunia kepada anggota keluarga yang berbuat salah. Tidak ada keluarga yang sempurna, bukan? Sebab, dari keluarga-keluarga Kristenlah, ada pemulihan di tengah dunia yang berdosa ini.

Mari kembali ke Ulangan 5:16. Ternyata, ayat ini tidak berhenti pada perintah, ”Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu…”. Hanya hukum ke-5 dalam Kesepulah Perintah Allah yang mengandung janji Allah, yaitu “supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” Jadi, perintah Allah untuk menghormati orang tua juga menjadi cara Allah untuk menggenapi janji kehidupan yang kekal bagi setiap anak-Nya. Perintah untuk menghormati orang tua merupakan perintah yang serius dan perlu diperhatikan karena Allah akan memberkati setiap kita yang menaati perintah-Nya ini. Walaupun demikian, menghormati orang tua mungkin menjadi hal yang lebih sulit terutama bagi kita yang justru mengalami kepahitan di dalam keluarga kita sendiri. Kita terluka karena ayah kita tidak hadir dalam kehidupan kita; kita terluka karena perselingkuhan orang tua kita sendiri; kita terluka karena harus mengalami pelecehan yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga kita sendiri. Jangankan dilatih untuk memiliki karakter Kristen, tidak jarang di antara kita bahkan tidak mengalami kasih karunia atau unconditonal love itu walaupun ada di tengah-tengah keluarga Kristen.

Saudaraku, kita mungkin memiliki seribu alasan untuk menjadikan bakti kita kepada orang tua sebagai sebuah beban. Namun, percayalah, sekecil apa pun upaya kita untuk berbakti kepada orang tua kita, itulah wujud kasih nyata yang juga akan kita teladankan kepada generasi penerus kita.

Kelak, anak-anak kita pun akan berbakti kepada kedua orang tuanya, bukan sebagai beban, tetapi sebagai pengabdian yang tulus, karena, pertama-tama kasih mereka kepada Allah, dan kemudian kepada sesama manusia (Matius 22:37-40).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Hormat dan Bakti Kepada Orang Tua: Sampai Kapan?

Oleh Triska Zagoto, Jakarta

Setelah menamatkan sekolah menengah, lanjut ke pendidikan tinggi, pilihan jurusannya pun harus memiliki prospek kerja yang bergaji besar. Istilah lainnya, pekerjaan yang mencari kita, bukan sebaliknya. Lulus kuliah, bekerja, menabung sebanyak-banyaknya, bisa beli ini-itu. Pokoknya, usia 30-an sudah financial freedom.

Kira-kira mungkin begitulah yang kita impikan beberapa tahun yang lalu ketika masih di bangku sekolah menengah—usia di mana kita belum bertemu realita kehidupan dan pekerjaan; usia di mana kita merasa masa depan seluruhnya ada dalam kendali kita. Aku yakin, sebagian besar di antara kita yang saat ini sudah bekerja pasti berhadapan dengan kenyataan yang meleset jauh dari apa yang kita impikan itu. Sebab, kita lupa memasukkan dalam sistem perencanaan kita di masa lalu, bahwa di balik usia kita yang semakin menanjak, ada orang tua yang memasuki usia yang tidak dapat lagi bekerja atau berusia lanjut. Mungkin juga bagi sebagian orang, di kesempatan yang sama, sudah menikah dan memiliki anak yang membutuhkan pengasuhan dan perhatian lebih. 

Realita ini memperhadapkan kita pada tuntutan yang tidak sedikit, cukup mengikat, sehingga kita tidak bisa lari dari tanggung jawab tersebut. Generasi sandwich, begitulah generasi tersebut dinamai. Generasi yang menghidupi orang tuanya, dirinya sendiri, dan anaknya. Namun, tak jarang di tengah situasi dilematis ini, kita perlahan-lahan mengabaikan panggilan kita sebagai anak karena kita berpikir bahwa orang tua kita pasti memahami kondisi kita, dan dapat menerima serta memakluminya. Apakah benar demikian? Di sisi lain, mungkin ada yang lebih memilih untuk berfokus merawat orang tuanya, sehingga panggilannya sebagai orang tua untuk anak-anaknya menjadi terbengkalai. 

Apa yang seharusnya kita lakukan di dalam kondisi “terjepit” ini?

Tanggung jawab kepada orang tua adalah sebuah panggilan, bukan beban

Tentu tak asing bagi kita, perintah untuk berbakti kepada orang tua mendapat tempat di dalam 10 Hukum Taurat. Perintah kelima berkata, Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu.” (Keluaran 20:12).

Tuhan Yesus pernah menegaskan bahwa kedatangan-Nya bukan untuk meniadakan hukum Taurat melainkan untuk menggenapinya (Matius 7:17-18). Artinya, Tuhan Yesus pun menaati perintah ini. Tuhan Yesus adalah teladan kita untuk memelihara kewajiban kepada orang tua. Dalam sebuah kesempatan lain, Tuhan Yesus juga pernah memberi kecaman ketika berhadapan dengan orang Farisi dan ahli Taurat, Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korbanyaitu persembahan kepada Allahmaka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatu pun untuk bapanya atau ibunya.(Markus 7:11-12).

Kita disadarkan bahwa tanggung jawab kepada orang tua adalah kewajiban, baik dalam hal dukungan secara finansial, dukungan dalam aspek kesehatan fisik dan emosi, pun dalam hal kehadiran kita saat mereka membutuhkan terlebih ketika mereka sudah berusia lanjut. Tentu saja, dukungan di atas tidak selalu dapat sekaligus kita kerjakan. Kita perlu peka dukungan seperti apa yang dibutuhkan oleh orang tua kita. Kewajiban itu… bukan pilihan ya atau tidak, bukan pilihan mau atau tidak mau, juga bukan pilihan sanggup atau tidak sanggup; tidak pula tergantung pada situasi dan kondisi, melainkan sebuah panggilan bahkan ketika sudah menikah. Kita juga perlu memahami panggilan akan kewajiban kita kepada orang tua kita tidak untuk memberhalakan mereka sampai tanggung jawab kita dengan pasangan dan anak terabaikan. Karena bagaimana pun ketika sudah menikah, keluarga inti kita adalah pasangan dan anak-anak kita. Dalam hal ini kita perlu meminta kebijaksanaan dari Tuhan untuk memampukan kita memenuhi panggilan tersebut.

Masa Lalu Bukanlah sebuah Tolok Ukur

Adalah sesuatu yang fatal dan gagalnya kita menjadi orang Kristen jika kita mendasarkan kadar kewajiban kita kepada orang tua saat ini pada apa dan bagaimana kita diasuh di masa lalu. Pada apa yang sudah dan tidak kita terima di masa lalu. Tentu saja tak ada orang tua yang sempurna. Orang tua kita pun adalah orang berdosa yang kepadanya kita tidak dapat menuntut banyak. Orang tua kita di masa lalu pasti memiliki keresahan tersendiri yang tak dapat kita pahami kala itu, atau mungkin pula tidak memiliki ruang atau komunitas yang sehat untuk saling berbagi dan mendoakan.  Namun, di balik semua masa lalu yang mungkin tidak baik itu, kita perlu melihat karunia Allah di tengah itu semua. Allah memilih mereka untuk menjadi orang tua kita dalam mengasuh, mendidik, dan menempa kita untuk membentuk kita menjadi manusia dewasa yang bertumbuh dalam iman.

Anugerah di balik Kehadiran Keluarga

Orang tua kita dan anak-anak yang sudah/akan diberikan Tuhan adalah orang-orang yang Tuhan hadirkan di hidup kita sebagai keluarga. Kita tidak bisa memilih lahir di keluarga seperti apa. Allah menghadirkan mereka untuk tujuan tertentu yang mungkin saat ini belum terlihat jelas dan masih samar-samar. Namun, kita perlu percaya di dalam tangan kedaulatan-Nya, selalu ada berkat terselubung yang bisa kita saksikan atau kita terima. Kita bisa melihat satu contoh dalam Alkitab, yaitu tentang Timotius yang Paulus tulis dalam suratnya, Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” (2 Timotius 1: 5). Tentang hal ini juga bisa dibaca di artikel yang tayang beberapa waktu yang lalu (Nenek Lois di Belakang Layar). Paulus menyebut nenek dan ibu Timotius serta menyoroti pengaruh keduanya dalam pertumbuhan iman seorang Timotius. Seandainya, Eunike dan keluarganya hidup terpisah dengan nenek Lois, hal ini akan merampas dimensi yang sangat penting bagi pembentukan kerohanian Timotius. Tentu saja ini tidak selalu terjadi di setiap keluarga. Kita bisa memilih hidup terpisah dengan orang tua kita jika kehadiran mereka tidak memberikan pengaruh yang baik bagi anak-anak kita ke depan, atau ketika orang tua memilih untuk hidup terpisah dengan kita, dan berbagai faktor lainnya. Artinya, jika dalam kondisi yang tepat, ada berkat yang bisa kita saksikan yang membentuk kehidupan spiritualitas kita ketika kita menjalin kehidupan orang tua kita dan anak-anak kita ke depan.

Kita perlu menilik ulang pemahaman kita tentang panggilan kita sebagai orang Kristen. Ya, kita memiliki panggilan sebagai orang Kristen—pengikut Kristus, yang jika diuraikan berarti: panggilan sebagai anak, sebagai saudara, sebagai orang tua, sebagai teman sekerja, sebagai anggota gereja, sebagai masyarakat, dan lain-lain. Barangkali, Tuhan memang memanggil dan memakai kita untuk “memberi perhatian” sepanjang hidup kita. Di tengah semua tantangannya, kita perlu belajar percaya bahwa ada karunia Allah yang selalu dan siap mengejutkan kita. Allah bekerja di tengah keluarga. Kiranya Tuhan menolong kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Lika-liku Mencintai Orang Tua yang Semakin Tua

Oleh Jessie, Jakarta

Close-minded… Judgmental Kuno… Kepo…

Ini adalah komentar-komentar yang sering kudengar kalau sedang bercerita tentang orang tua kami dengan teman-teman sepantaranku, para generasi milenial dan gen-z. Nah, pernah ga sih kalian adu opini karena merasa orang tua kita udah mulai ga update dengan keterbukaan zaman now? Atau mungkin kehilangan kesabaran karena mereka terkesan bawel banget, sering suruh-suruh, lola, dsb…

Relasiku dengan orang tuaku boleh dikatakan cukup dekat. Malah saking dekatnya, kami juga sering berantem. Ya… biasalah, perbedaan pendapat. Karena aku anak yang cukup bawel dan ekstrover, maka cerita atau permasalah apa pun di hidupku umumnya langsung kuceritakan tanpa ada yang harus ditutup-tutupi. Tapi… kedekatan dan keterbukaan tidak membuatku selalu bersikap berbakti dan taat. Hanya saja, kalau dalam kasusku, aku tidak main belakang. Aku berterus terang dengan opini dan keputusan hidup yang banyak kalanya tidak sejalan dengan ekspektasi orang tuaku. Karena aku sudah tergolong orang dewasa secara umur, orang tuaku juga sudah tidak bisa terlalu memaksa lagi. Lalu apakah aku selalu benar? Oh sudah pasti tidak jawabannya! Dan apakah orang tuaku selalu benar juga?! Delapan puluh persen sih… Perkembangan zaman yang sangat cepat ini membuat beberapa opini mereka sudah tidak lagi relevan . Jujur berkata, aku sering tidak sabar dan cepat terpancing, sehingga diskusi yang aku intensikan di awal berakhir dengan tantangan dan kemarahan.

Hormat

Memang Alkitab tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana anak dan orang tua seharusnya berelasi di tengah perkembangan zaman yang semakin terbuka dengan berbagai opini yang berbeda, serta tantangan untuk melihat dengan jelas garis pemisah antara apa yang benar dan yang salah. Namun, sebagai orang Kristen, aku percaya bahwa Alkitab merupakan satu-satunya buku yang memberikan pengajaran-pengajaran mendasar yang relevan sepanjang masa.

Ada dua pengajaran penting yang Alkitab selalu tekankan mengenai etika anak kepada orang tua, yaitu hormat (Kel. 20:12 ; Ef. 20:12) dan taat (Ams. 1:8-9 ; Kol. 3:20). Menghormati dan taat adalah dua hal yang berbeda. “Hormatilah ayah dan ibumu” (Kel 20:12). Perintah ini diberikan dalam konteks tidak peduli apa pun situasinya, memberikan hormat kepada orang tua kita itu sudah selayaknya kita berikan karena sudah menjadi hak orang tua untuk mendapatkan hormat.

Apa sih bentuk etika menghormati kita kepada orang tua kita? Menghormati tidak sekadar apa yang kelihatan di luar, seperti saat kita menyapa mereka, mendahulukan mereka, dan sebagainya. Meskipun semua ini benar, namun konsep menghormati yang dimaksudkan di Alkitab mencakup penghormatan secara sikap dan juga mental. Contoh sikap menghormati secara mental adalah saat bagaimana kita memikirkan nasihat-nasihat orang tua kita. Jika kita menghormati dengan kesungguhan hati, maka kita pasti akan menghargai dan mempertimbangkan masukan dari orang tua kita. Bagaimanapun juga mereka sudah hidup jauh lebih panjang, pengalaman asam garamnya pun lebih banyak, maka sesungguhnya opini mereka mungkin ada benarnya. Seberapa sering kita akhirnya menyadari akan posisi kita yang salah, lalu teringat akan nasihat orang tua kita di awal? Kalau aku sih lumayan sering, tapi ya diem-diem aja (entar terkesan kalah dong gue hahaha).

Bentuk penghormatan anak kepada orang tua banyak diperjelas secara spesifik di ayat-ayat lainnya, seperti di kitab Amsal 1:8 TSI, yang bunyinya, “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu.” Si penulis tidak mengatakan agar kita langsung melakukan apa yang ayah-ibumu sudah katakan, tapi kata yang digunakan adalah “dengar” dan “jangan menyia-nyiakan.” Adanya sebuah ajakan untuk si anak agar mempertimbangkan perkataan orang tuanya. Penulis Alkitab mungkin sudah tahu kalau anak di generasi manapun itu sering banget mengangguk-angguk, tapi sebenarnya masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.

Taat

Lain dengan menghormati yang kasusnya unconditionally atau tanpa syarat, ketaatan bersifat conditional. Bukan berarti ini memberikan kita alasan untuk menjadi anak yang membangkang ya, melainkan mengingatkan kita akan keterbatasan manusia yang berdosa.

Orang tua kita juga manusia yang berdosa dan bisa salah, sehingga ketaatan tertinggi kita berikan hanya kepada Tuhan (Kis. 5:29b: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia”). Ada penjelasan bahwa seiring bertambahnya dewasa anak serta bertumbuhnya cara pikir si anak, maka mereka juga memiliki pertimbangan dan opsi yang lebih matang, yang mungkin membuat mereka lebih memahami apa yang terbaik untuk dirinya. Lalu, ada perihal khusus di mana orang tuanya melarang anak ke gereja, atau kasus di mana orang tuanya jelas memberikan solusi yang salah, dan sebagainya. Sehingga, ketaatan ini sebenarnya bersifat conditional atau dalam bahasa sederhananya: ya kita lihat dahulu ya konteksnya bagaimana.

Patut diingat, bahwa karena ketaatan tertinggi hanya kita berikan kepada Tuhan, maka keputusan yang kita ambil harus dalam lingkup apa yang Tuhan katakan boleh dan tidak, bukannya kita malah mengambil keputusan atas dasar suka-suka kita.

Lalu, dikarenakan peraturan nomor #1 (menghormati) bersifat harus, maka peraturan nomor #2 ini bisa disanggah dengan mengingat adanya aturan nomor #1. Seperti contoh kasus yang sering aku hadapi—perselisihan pendapat. Ada kalanya kita tidak setuju dengan cara pikir dan solusi orang tua kita; maka tanpa harus bertengkar, kita bisa belajar untuk mengontrol cara bicara kita dan mengutarakan opini dengan sikap menghormati. Kita menghormati mereka meskipun tidak “menaati” masukan mereka. Memang sih, butuh kesabaran yang banget nget, karena seringkali emosi kita mudah terpancing. Setuju, setuju??

Keluarga bisa dibilang sebagai komunitas terdini yang Tuhan percayakan untuk si anak belajar bagaimana mengikuti kehendak yang lebih berotoritas dengan tujuan seiring bertambah besarnya mereka, si anak pun menjadi terbiasa untuk taat kepada Tuhan.

Jadi, keluarga seperti sekolah pelatihan cara menghormati dan menaati yang berotoritas. Cukup masuk akal sih menurutku, karena kalau kita saja tidak bisa menghormati dan menaati orang tua yang kelihatan, bagaimana kita bisa menghormati dan menaati Tuhan yang tidak kelihatan.

Ingat, bahwa orang tua kita sudah dipercayakan oleh Tuhan otoritas, maka sebagai anak kita sudah sepatutnya menghormati dan menaati mereka.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Menjadikan Relasi Lebih Berkualitas: Sikap Hormat

Yohanes 15:12: Inilah perintah-Ku yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Ayat ini adalah ayat umum yang dipakai untuk bicara soal relasi, tapi di saat yang sama paling mudah disalahmengerti. Mungkin karena saking biasanya ayat ini, kata “kasih” lebih cepat menarik mata kita dibandingkan kata perintah”. Jujur saja bagiku sebagai anak muda kata perintah memang punya konotasi ‘negatif’ karena kesannya yang “bossy”. Tapi kenyataannya kata ini keluar dari mulut Tuhan Yesus dan menjadi dasar dari hukum kasih.

Perintah dan hukum, adalah dua kata yang membawa kita melihat ada otoritas di dalam hidup kita. Jika kita percaya dan mengakui bahwa tidak ada hukum yang dapat mengatasi hukum kasih, secara tidak langsung kita akan lebih baik menjadi pelaku kasih dengan belajar menghormati. Dengan menghormati, kita tidak pernah kehilangan kehendak bebas, melainkan menjadi bijak dengan meletakkan kehendak bebas itu berdiri di atas batu penjuru yang kokoh dan tidak tergoyahkan, yaitu otoritas Firman Tuhan di dalam Yesus Kristus.

  • Dengan memilih, relasi itu dimulai; dengan tunduk dan hormat, relasi itu tumbuh menjadi cinta

Di masa-masa jombloku, pernah pada masanya aku senang main dating apps. Ternyata melalui dating apps aku bisa menentukan pilihan dan kriteria penampilan, pekerjaan, agama, ras, hobi, tinggi, umur sesuka aku. Pernah beberapa kali aku bertemu seorang yang cantik sekali, fun, enak untuk diajak ngobrol. Namun, tidak lama setelah itu aku di-ghosting. Pernah juga aku memilih seorang perempuan yang cantik di foto, namun kenyataannya tidak semenarik itu. Terkena cat fishing dalam dating apps, aku pun sebagai laki-laki yang adalah makhluk visual harus jujur bahwa aku kecewa. Kenyataannya ternyata punya pilihan itu tidak selalu menjamin bahwa kitalah yang memegang kendali.

Ironisnya, sering kali kita berpikir bahwa mendapatkan jodoh intinya adalah “aku memilih yang benar” dan “karena pilihanku benar, maka aku mencintai kamu”, tetapi perenunganku tentang arti perintah di dalam Alkitab mengungkap bahwa di samping memilih, aku juga pun perlu belajar menghormati pilihan Tuhan. Hari ini, kata “tunduk” dan “hormat” kalah populer dibandingkan “hak memilih”. Hal ini bisa terjadi karena kenyataannya lebih mudah menentukan kriteria orang yang berhak dicintai kita, dibandingkan menjadi orang yang patut dicintai.

Di dalam memulai sebuah relasi, kita boleh saja memilih. Tetapi untuk memiliki kasih dalam relasi, kita perlu belajar tunduk dan hormat. Tunduk dan hormat adalah sikap yang fokusnya di dalam diri setiap kita, sedangkan memilih fokus kepada apa yang ada di dalam diri orang lain. Memilih pasangan hingga presiden, kita bebas berkriteria. Tapi, untuk menghormati mereka belum tentu mudah bagi kita. Bagaimana kita harus menghormati pilihan doi yang menolak kita? Bagaimana kita menghormati batasan di dalam berpacaran? Bagaimana kita menghormati perbedaan kepribadian di dalam pacaran? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab jika kita mau mengikuti proses mengenal Tuhan, diri, dan sesama kita tanpa memaksakan “pilihan manusiawi kita” yang berdosa.

  • Memperhatikan hidup adalah jalan yang harus ditempuh bagi kita yang mau tinggal di dalam kehendak Tuhan

Saat ini aku berstatus sebagai orang berpacaran. Izinkan kuceritakan sedikit bagaimana aku bisa menjalin relasi ini. Aku sedang menempuh studi di sekolah Teologi dan di tahun kedua aku memilih masuk asrama. Ketika kasus Covid sedang naik, aku pun dikarantina dengan seorang mahasiswa berkebutuhan khusus. Baru tiga hari bersama, aku takut dan cemas karena perilaku teman sekamarku ini membuatku tidak nyaman. Terpikir olehku untuk mencari pertolongan dengan menghubungi seorang mahasiswi konseling yang kukenal di BEM. Singkat cerita, dari sesi konsultasiku, aku jadi tertarik dengan mahasiswi ini. Pembicaraan kami makin dalam dan kami memutuskan menjadi relasi hingga saat ini.

Sepanjang perjalananku berelasi, aku belajar dan menyadari bahwa tunduk dan hormat adalah sikap yang mahal! Hari ini, kita hidup di dalam zaman yang terbalik, yaitu ketika kita lebih mudah memilih kriteria pasangan sesuai kriteria sendiri tetapi sulit menghormati kriteria Allah. Allah memberikan kita kriteria berupa iman kepada Kristus, ketaatan, dan memiliki kasih kepada Allah dan sesama.

Lebih mudah memilih untuk segera menjalin hubungan tanpa bertanya kepada Tuhan apakah dia memang pasangan yang Tuhan berkenan. Lebih mudah memilih menjadikan jalan pacaran sebagai “jalan pertobatan”, dibandingkan tunduk dan menghormati anugerah Allah melalui Firman-Nya. Lebih mudah untuk menyerahkan tubuh kita kepada manusia dibandingkan menyerahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah. Lebih mudah memilih menutup mata ketika cinta kita menggebu-gebu, daripada menghormati proses persiapan yang serius menuju pernikahan. Lebih mudah memilih cerai, daripada menghormati Allah yang membentuk institusi pernikahan.

Poin terakhir, kita dipanggil untuk tunduk dan hormat pada pasangan kita semata-mata kita mau tunduk dan hormat kepada Allah. Tanpa tunduk dan hormat akan Allah, kita yang laki-laki akan perlahan kehilangan alasan untuk berkorban bagi pasangan kita ketika dia tidak lagi menarik di mata kita. Tanpa tunduk dan hormat akan Allah, perempuan mungkin akan terlihat kuat dan baik-baik saja, namun rapuh dari dalam. Kristus yang mencintai kita hingga saat ini adalah alasan kita laki-laki mau belajar apa arti pengorbanan. Kristus yang adalah Allah sekaligus manusia yang paling layak untuk dicintai adalah alasan bagi perempuan untuk terus belajar apa itu artinya tunduk kepada pasangan.

Belajar menghormati itu mengajarkan kita memelihara relasi kita. Mungkin ada di saat ini kita masih bergumul tentang pilihan kita, tapi akan ada waktunya pilihan itu harus ditutup misalnya ketika kita memutuskan menikah. Ketika pilihan itu tertutup, hanya sikap menghormati dan kasih yang akan terus dipakai di dalam hubungan pernikahan (Lihat Efesus 5:21-33).

Aku yakin semua keinginan kita untuk punya pasangan adalah juga keinginan untuk hidup menjadi seorang suami dan istri yang baik. Oleh karena itu, yuk kita belajar 1% lebih baik dengan mulai belajar menghormati Allah kita dahulu, sebelum lalu kita menghormati orang tua, saudara kita, bos kita, karyawan kita, teman kita, guru kita, dan orang-orang di sekeliling kita. Terkadang sulit menghormati mereka yang mengecewakan kita dengan hidup mereka yang jelas-jelas salah, namun di saat seperti itu aku berdoa agar kita juga punya waktu untuk berhenti dan kembali melihat Tuhan yang telah menebus hidup kita dengan darah-Nya di atas kayu salib.

Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk takut dan menghormati Allah, karena di dalam Dia saja ada relasi yang terus tumbuh dan indah pada waktunya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥