Ketika Berbakti Terasa Membebani, Cobalah Ganti Perspektifmu
Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta
Kamu mungkin pernah mendengar lagu berjudul “Keluarga Cemara” yang liriknya berbunyi, “Harta yang paling berharga adalah keluarga…”. Lirik selanjutnya merupakan ungkapan terima kasih anak-anak kepada kedua orang tuanya, demikian, “Terima kasih Emak, terima kasih Abah, untuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti.”
Sinetron Keluarga Cemara sangat familiar bagi generasi 90-an dan belum lama ini juga sempat diputar versi reborn-nya di bioskop. Keluarga Cemara diminati karena menggambarkan kondisi ideal sebuah keluarga—seorang ayah dan ibu yang berjuang demi anak-anaknya, sementara anak-anaknya siap berbakti kepada orang tuanya. Indah, bukan?
Sayangnya, realita tidak selalu berkata demikian.
Bagi orang tua, tentu sangat wajar untuk membanting tulang, bahkan berkorban demi memperoleh kehidupan yang layak bagi keluarga dan anak-anaknya. Orang tua ingin anak-anaknya hidup aman dan nyaman. Mereka mempersiapkan asuransi yang cukup untuk menanggung biaya pendidikan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi, bahkan rumah untuk tempat tinggal masa depan! Mereka mencari segala cara justru agar anak-anaknya tidak perlu “menderita” seperti mereka.
Sementara itu, bagi anak-anak, bagian kita adalah berbakti kepada orang tua. Ulangan 5:16 jelas memerintahkan, ”Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu…” Dalam KBBI, kata “hormat” sama dengan “berbakti” yang juga berarti “mengabdi, berdedikasi, dan tunduk”. Inilah bagian yang seharusnya dilakukan anak kepada orang tuanya. Namun, adakah di antara kita yang terkesan bahwa berbakti itu tak ubahnya sebuah kewajiban atau tuntunan dari orang tua kepada anak-anaknya? Bila mengingat besarnya jerih lelah mereka, tidak aneh bukan jika orang tua berharap di masa tuanya nanti ada anak-anak yang akan membalas budi dengan memelihara hidup mereka?
Namun nyatanya, berbakti pada orang tua tidak semudah diucapkan. Ketika kita semakin dewasa, semakin tua dan renta pula orang tua kita. Di satu sisi, kita harus berjuang untuk hidup mapan mempersiapkan masa depan kita sendiri, tapi di sisi lain kita merasa masih harus “dibebani” untuk mengurus orang tua kita. Tak heran, muncul istilah generasi sandwich. Generasi yang harus tangguh karena berada di antara dua lapis generasi—beban untuk menyejahterakan orang tua, sekaligus tugas untuk membesarkan anak-anak mereka yang masih kecil (bila sudah berkeluarga).
Jonathan Edwards, seorang teolog besar asal Amerika, pernah menyatakan betapa pentingnya keluarga yang mewakilkan gereja di muka bumi ini. Setiap keluarga Kristen seharusnya menjadi seperti sebuah gereja kecil yang dikuduskan bagi Kristus dan sepenuhnya dipengaruhi serta dikendalikan oleh ketetapan-ketetapan Allah. Selain itu, di dalam keluargalah kita seharusnya mengalami kasih karunia Allah yang nyata. Pernyataan ini sebenarnya sangat mencerahkan, mengapa? Karena keluarga yang ideal ternyata bukan ditentukan dari apa yang terlihat di luarnya saja, tetapi bagaimana karakter-karakter Kristus dan kasih karunia Allah itu nyata di dalamnya.
Oleh karena itu, keluarga Kristen seharusnya dibangun bukan hanya untuk mengusahakan kenyamanan hidup, tetapi lebih daripada itu, melatihkan karakter-karakter Kristen bagi setiap anggotanya. Karakter-karakter Kristus yang dapat dilatih sejak kecil itu termasuk menghormati orang tua, memberi perhatian penuh, menaati otoritas, setia, tekun, dst., serta mendemontrasikan pengampunan dan memberikan kasih karunia kepada anggota keluarga yang berbuat salah. Tidak ada keluarga yang sempurna, bukan? Sebab, dari keluarga-keluarga Kristenlah, ada pemulihan di tengah dunia yang berdosa ini.
Mari kembali ke Ulangan 5:16. Ternyata, ayat ini tidak berhenti pada perintah, ”Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu…”. Hanya hukum ke-5 dalam Kesepulah Perintah Allah yang mengandung janji Allah, yaitu “supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” Jadi, perintah Allah untuk menghormati orang tua juga menjadi cara Allah untuk menggenapi janji kehidupan yang kekal bagi setiap anak-Nya. Perintah untuk menghormati orang tua merupakan perintah yang serius dan perlu diperhatikan karena Allah akan memberkati setiap kita yang menaati perintah-Nya ini. Walaupun demikian, menghormati orang tua mungkin menjadi hal yang lebih sulit terutama bagi kita yang justru mengalami kepahitan di dalam keluarga kita sendiri. Kita terluka karena ayah kita tidak hadir dalam kehidupan kita; kita terluka karena perselingkuhan orang tua kita sendiri; kita terluka karena harus mengalami pelecehan yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga kita sendiri. Jangankan dilatih untuk memiliki karakter Kristen, tidak jarang di antara kita bahkan tidak mengalami kasih karunia atau unconditonal love itu walaupun ada di tengah-tengah keluarga Kristen.
Saudaraku, kita mungkin memiliki seribu alasan untuk menjadikan bakti kita kepada orang tua sebagai sebuah beban. Namun, percayalah, sekecil apa pun upaya kita untuk berbakti kepada orang tua kita, itulah wujud kasih nyata yang juga akan kita teladankan kepada generasi penerus kita.
Kelak, anak-anak kita pun akan berbakti kepada kedua orang tuanya, bukan sebagai beban, tetapi sebagai pengabdian yang tulus, karena, pertama-tama kasih mereka kepada Allah, dan kemudian kepada sesama manusia (Matius 22:37-40).
Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥