Posts

Kembali Ke Gym Mengajariku Apa Artinya Menjadi Tahan Uji

Oleh Gabriel Angelia, Malang

Sudah kurang lebih satu bulan ini aku rutin pergi ke gym. Bukan karena ikut-ikutan tren yang sedang marak di sosial media, tetapi aku sadar bahwa berat badanku sudah mengarah ke obesitas. Selain itu, olahraga juga sebenarnya bukan hal yang asing karena saat sekolah dulu aku memiliki segudang prestasi di bidang futsal. Namun sayangnya, tahun 2023 kemarin aku mangkir berolahraga.

Aku mulai kembali terpacu untuk berolahraga di awal tahun ini sehingga aku mencari informasi tentang beberapa gym di Malang. Salah satu gym yang aku datangi merupakan tempat di mana aku bertemu kembali dengan temanku yang juga merupakan Personal Trainer (selanjutnya disingkat PT). Pertemuanku dengan PT itu membuatku semakin sadar bahwa menjadikan olahraga sebagai rutinitas adalah hal yang sangat penting. Olahraga bukan hanya sebatas hal yang membuat tubuh kita sehat, tetapi olahraga adalah kegiatan yang menolong kita bisa belajar tentang kehidupan, salah satunya tentang ketahanan uji (endurance).

Selama beranggota di gym tersebut, aku kembali mendorong diriku sendiri agar dapat melakukan lebih dari apa yang aku bisa. Ketahanan uji seperti inilah yang sebenarnya diperlukan dalam dunia profesional para atlet karena PT yang melatihku juga fokus dalam melatih para atlet sekolah yang berada di kota Malang. Di sesi latihan yang terakhir bulan ini, aku ditantang untuk bisa melakukan latihan endurance. Salah satu praktik yang dilakukan adalah sesi kardio yang terdiri dari dua set wind-bike dan squad yang harus diselesaikan dalam waktu 20 menit. Bagi seorang atlet profesional, mungkin hal ini terdengar biasa saja. Namun, bagi seorang yang mangkir dari olahraga untuk waktu yang cukup panjang, latihan ini tidak bisa dibilang sepele.

Sekali lagi, ini soal ketahanan uji kata kuncinya. Bukan soal berat atau mustahil untuk dilakukan, tetapi bagaimana ketika melakukan hal yang berat atau mustahil ini, aku dapat bertahan sampai selesai. Tantangan dari PT untuk menyelesaikan dua set wind-bike dan squad dalam waktu 20 menit, ternyata bisa aku selesaikan dalam waktu 18 menit, bukan untuk dua set tetapi untuk tiga set! Hal yang tadinya mustahil untuk dilakukan, terbukti salah.

Teman-teman, kalau dipikir-pikir lagi, ketahanan uji sebenarnya bukan hanya bagi para atlet profesional, atau dalam dunia olahraga saja. Ketahanan uji pun kita perlukan sebagai orang Kristen. Hal ini ditulis secara detail oleh Rasul Paulus sebagai ilustrasi yang diberikannya kepada jemaat di Korintus (1 Kor. 9).

Dalam suratnya itu, Paulus sebenarnya ingin menekankan tentang prinsip pelayanan yang dilakukan olehnya. Paulus memposisikan dirinya sebagai rasul Yesus Kristus yang tugas utamanya adalah memberitakan tentang siapa Kristus yang sudah memanggilnya, bahkan memulihkan hidupnya yang begitu hancur, sampai pada akhirnya Paulus dapat mendirikan beberapa jemaat. Kehidupan seorang rasul tentu tidaklah mudah—Paulus begitu menekankan hal ini, tetapi setiap hal yang tidak mudah itu dihadapi Paulus sebagai tantangan sehingga ia tetap bisa mengabarkan Injil kepada orang banyak.

Paulus tahu bahwa apa yang dilakukannya sebagai rasul adalah hal yang tidak menyenangkan, tetapi ia juga tahu bahwa ada hal yang lebih berharga ketika ia selesai mengabarkan Injil di dunia ini yaitu, mahkota kekal kehidupan. Sebagai orang yang benar-benar percaya kepada Kristus dan hidup dipimpin oleh anugerah Kristus, Paulus sadar bahwa kesulitan atau penderitaan yang dialaminya di dunia ini tidak akan pernah sama dengan apa yang sudah Kristus nyatakan di atas kayu salib. Karena itulah, Paulus menggunakan ilustrasi tentang atlet yang harus melatih dirinya sedemikian rupa, bahkan menjauhkan dirinya dari aktivitas-aktivitas duniawi agar yang diperolehnya adalah kemenangan dalam sebuah pertandingan. Itulah yang dinamakan dengan ketahanan uji.

Bukankah ketahanan uji yang seperti ini perlu kita miliki sebagai orang Kristen?

Karena kita adalah orang Kristen, inilah tantangan yang sesungguhnya dalam iman kita. Paulus mengatakan bahwa dirinya seperti seorang atlet yang berlatih sedemikian rupa (1 Kor. 9:24-27), artinya Paulus tahu kekurangan dan kelebihannya, dan itu menjadikan dirinya sebagai orang yang tahan uji dengan status rasul Yesus Kristus. Kita pun perlu melatih diri kita sedemikian rupa agar kita juga mengenal siapa diri kita di hadapan Tuhan, mengenal diri kita lebih baik lagi luar dan dalam sehingga ketika ada pencobaan atas iman kita, kita bisa menjadi seorang yang tahan uji, tidak lagi rentan dan ingin menyerah dalam apa yang sedang kita hadapi.

Pada saat kita memiliki ketahanan uji atas iman kita, kita akan berani menyatakan siapa yang hidup di dalam kita, Yesus Kristus. Kuasa dari Tuhan yang akan memimpin kita ketika kita bersaksi tentang-Nya di tengah-tengah lingkungan yang menolak kita, supaya pada akhirnya hanya nama Tuhanlah yang dimuliakan melalui kehidupan kita yang tahan uji ini.

Jadi, maukah kita sebagai orang Kristen memancarkan iman kita serta memiliki ketahanan uji dalam lingkungan kerja, kuliah, sekolah, bahkan di rumah sekalipun?

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Sehat Tanpa Aksi Pada Hakikatnya Adalah Mati!

Oleh Yawan Yafet Wirawan, Semarang

Sejak tahun 2016 sampai 2021, tren kesehatan anak muda semakin menurun. Maka, tak heran jika hari ini kita familiar dengan sebutan “pemuda jompo”. Usia baru 20-an awal tapi sudah terkena penyakit diabetes, hipertensi, kolestrol, bahkan sakit jantung. Padahal semua penyakit ini biasanya menyerang mereka yang telah berusia lanjut.

Aku sendiri pun sejak satu bulan belakangan ini tergabung dalam jajaran “pemuda jompo”. Aku didagnosa mengalami peradangan di ginjal sebelah kanan karena adanya batu ginjal. Banyak orang yang mengunjungiku berkata, “Masih muda kok udah sakit-sakitan? Makan yang sehat makanya.”

Kuyakin sebagian dari kita pasti pernah mendengar kata-kata tersebut.

Dalam perenunganku, sempat kuberpikir: kenapa makanan yang disalahkan? Aku teringat dengan kata-kata Paulus di dalam 1 Korintus 10:23 yang berkata, “Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna.” Penggalan ayat tersebut menceritakan nasihat dan teguran Paulus kepada jemaat di Korintus supaya mereka tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat oleh orang-orang Israel saat mereka keluar dari tanah perbudakan.

Pengaruh kuat budaya dan gaya hidup orang-orang Mesir sangat melekat pada diri orang-orang Israel, sehingga pada saat Musa memimpin mereka untuk keluar dari perbudakan mereka masih melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Mereka masih terikat pada percabulan, penyembahan berhala, dan makan-makanan yang haram. Ribuan tahun setelahnya, setelah orang-orang Kristen perdana terbentuk, timbul pula pertanyaan. Apakah makanan yang sudah dipersembahkan kepada berhala boleh dimakan? Paulus menjawabnya secara spesifik dalam 1 Korintus 10.

Paulus menekankan bahwa bumi dan segala isinya adalah milik Tuhan seutuhnya, maka termasuk makanan yang dibuat oleh manusia di dalam dunia ini adalah milik Tuhan. Semua makanan boleh kita makan! Tapi, pertanyaannya: apakah yang makan tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain? Atau apakah saat kita makan, kita menunjukkan bahwa Tuhan dimuliakan? Di balik kebebasan itu sejatinya ada standar yang lebih tinggi. “‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar tetapi bukan segala sesuatu berguna. ‘segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” Bahkan di ayat 27-33 Paulus berbicara secara spesifik tentang hal makan. Jika seseorang sudah memberitahumu bahwa makanan ini tidak baik atau bahkan kamu tahu sendiri bahwa makanan itu tidak baik, maka jangan makan itu. Jangan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Lakukan segala sesuatu, bahkan sesederhana makan dan minum untuk kemuliaan Allah.

Teguran Paulus itu mengingatkanku bahwa dalam hal kecil seperti makan saja Allah peduli. Tetapi pertanyaannya apakah dalam hal makan aku dan kamu sudah menjadi berkat bagi sesama dan memuliakan Tuhan?

John Piper seorang pendeta senior pernah menuliskan dalam artikelnya sebuah pertanyaan, “Apakah saya memakan makanan ini merupakan ungkapan betapa saya menghargai kemuliaan Tuhan?”

Di dalam surat yang sama Paulus juga pernah mengingatkan jemaat Korintus bahwa tubuh mereka adalah bait Roh Kudus (1 Kor. 6). Bukan milik kepunyaan mereka sendiri, melainkan milik kepunyaan Allah. Maka Paulus menyerukan kepada jemaat di Korintus untuk memuliakan Allah dengan tubuh mereka.

Dari nasihat dan teguran Paulus itu aku bercermin pada diriku sendiri. Seringkali aku masih suka bercanda dengan dalih yang kuambil dari teks Alkitab, “lemakku itu kepunyaannya Allah (Im. 3).” Aku ingin memperbesar bait Roh Kudus ku supaya Tuhan senang.” Aku hanya berpikir bahwa segala sesuatu boleh kok kata Paulus, aku tak mengindahkan kalimat selanjutnya bahwa tidak segala hal berguna dan membangun—apakah yang aku lakukan sebenarnya tidak membawa berkat bagi sesamaku dan tidak mencerminkan bahwa aku sedang memuliakan Allah melalui makanku.

Mungkin cerita sederhana ini relate dengan keseharian kita. Sering kali kita berdoa agar makanan kita membawa kesehatan, tetapi di sisi yang lain orang lain bahkan diri sendiri tahu bahwa makanan tersebut tidak baik untuk Kesehatan. Dalam tulisan ini ku mau katakana bahwa bukan hanya iman tanpa perbuatan yang hakekatnya mati, tetapi sehat tanpa aksi juga hakekatnya mati.

Aku tidak tahu masalah Kesehatan apa yang menjadi pergumulan masing-masing kita, tetapi saat ini aku mau mengajak kita semua untuk memperhatikan lagi pola hidup kita, secara khusus di dalam hal makan. Mari kita tunjukkan rasa syukur dan cara kita memuliakan Tuhan dengan cara makan kita!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Podcast KaMu ep.30: Pentingnya JAGA BADAN Buat Maksimal Melayani Tuhan | Journey Tyas dari Overweight ke BB Ideal

Hidup sehat pasti jadi impian banyak orang. Tapi, gimana kita bisa sehat kalau gaya hidup kita aja masih ugal-ugalan?? Makan gak dikontrol, begadang tiap hari, hobinya mageran, dan gak bisa ngelola stres.

Mungkin sekarang kita ngerasa sehat-sehat aja. Tapi, bisa jadi sebenarnya kita lagi nimbun sesuatu yang dampaknya baru kita rasain di masa depan, lho.

Sobat Muda, melalui podcast ini kak Tyas Affandi berbagi cerita perjalanannya—dari yang overweight ke ideal; dari yang makan asal-asalan jadi yang mindful eating; dari yang masa bodo jadi peduli banget sama tubuhnya. Semua ini dia lakuin bukan cuma supaya bikin badannya lebih sehat, tapi karena dia mau bertanggung jawab atas tubuh dan mau maksimal melayani Tuhan.

Yuk, tonton dan dengerin Podcast KaMu: Pentingnya JAGA BADAN Buat Maksimal Melayani Tuhan | Journey Tyas dari Overweight ke BB Ideal bersama Pdt. Tyas Affandi.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Ketika Kakek Melarangku Makan Gorengan

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Sore hari itu, seorang kakek bersama cucunya yang sudah berusia remaja sedang jalan-jalan di sebuah mal menikmati waktu bersama.

“Kakek sekarang lapar, cari makan yuk,” ajak sang kakek. Cucunya pun mengiyakan.

Mereka kemudian berjalan ke area pujasera dan mencari tempat duduk lebih dulu. Setelah menemukan meja kosong, kakek meminta cucunya duduk menjaga meja, sementara dia antre membeli makanan. Tak lama setelahnya, kakek kembali dengan makanan yang dibawanya di atas nampan.

“Kok nggak beli gorengan, Kek?” tanya cucunya.

Kakek menggeleng. Diletakkannya nampan itu di meja, lalu dia menarik kursi dan duduk. “Enggak baik makan terlalu banyak gorengan,” sahutnya. “Tadi di rumah kan kita udah makan gorengan buatan mama kamu.”

Seperti langit cerah yang tiba-tiba mendung, begitu pula perubahan ekspresi sang cucu. Tak ada lagi senyum dan rasa senang. Makanan pun disantapnya dengan tidak bergairah. Kakek sudah bisa menebak alasan di balik perubahan sikap itu, tapi dia ingin memastikan lagi apakah sungguhan hanya karena gorengan waktu makan bersama ini jadi kaku.

“Kamu tiap makan harus selalu ada gorengan ya?”

“Kadang kalo enggak ada gorengan, aku pake kerupuk.”

Mereka pun makan dengan hening. Setelah selesai makan, sebelum beranjak dari kursi, kakek membuka suaranya lagi.

“Kamu enggak boleh makan gorengan terlalu banyak ya. Coba lebih banyak makan sayur dan buah, karena makan gorengan yang berlebihan tidak baik untuk tubuhmu.”

Sang cucu sudah menduga akan dinasihati oleh kakeknya, jadi dia membalasnya dengan argumen. “Aku sekarang sehat kok! Tenang saja, anak muda itu metabolisme tubuhnya baik. Jadi selama masih muda, makan yang tidak sehat seharusnya baik-baik saja.”

“Iya, kakek tahu kok. Kakek juga pernah muda. Tapi, kalo kamu terlalu banyak makan makanan yang enggak sehat itu berdampak di masa tuamu.”

Sebelum sang cucu sempat membalas lagi, kakek melanjutkan, “Buktinya ada teman kakek yang dulu masa mudanya juga sama kayak kamu makan yang enggak sehat terus akibatnya sekarang di masa tuanya dia harus menjaga makan karena kolesterolnya tinggi. Kakek bukan melarang kamu makan makanan yang tidak sehat, tetapi kakek minta kamu untuk membatasi makan makanan yang tidak sehat supaya di masa tuamu nanti kamu bisa sehat sama seperti kakek.”

Sang cucu pun hanya terdiam mendengar nasihat kakeknya, bukan karena marah tapi karena dia melihat berdebat dengan kakeknya adalah hal yang sia-sia. Sama seperti dia yang punya seribu cara untuk mempertahankan pendapatnya, kakeknya pun demikian. 

***

Setiap dari kita pasti tidak asing dengan omelan ataupun larangan tidak boleh makan makanan yang tidak sehat, entah dari kakek nenek kita atau pun dari orang tua kita. Sebenarnya kita tahu risiko dari gaya hidup kita yang tidak sehat, namun melihat kondisi tubuh kita yang sejauh ini masih sehat-sehat saja mungkin membuat kita cuek saja ketika harus mengikuti saran mereka untuk memiliki gaya hidup yang sehat. Pikir kita: Selama kita masih kuat bukankah sebaiknya kita menikmati masa muda kita dengan melakukan sesuatu yang kita suka? Termasuk juga dalam hal pelayanan.

Contohnya: Pernah enggak sih, kita rela kurang tidur asal dekorasi fellowship remaja selesai? Pernah enggak, waktu komsel ditawarin mau makan apa kita biasanya request makan ayam geprek dan sejenisnya yang level pedasnya selangit?

Sesekali berkorban dengan tidur larut malam itu sebenarnya sah-sah saja, tapi ingat kata kuncinya, “sesekali”. Bila ini jadi pola dan dianggap jadi kewajaran, nah mungkin kita perlu berhenti sejenak. Kita mungkin sadar kalau gaya hidup seperti ini tidak sehat, tapi satu sisi kita juga punya argumen. Misalnya, “Kalau enggak kurang tidur nanti dekornya enggak selesai lho,” “Kan kita masih belum punya banyak uang, jadi meskipun enggak sehat yang penting kan enak dan kenyang.”

Sebenarnya, bagaimana sih baiknya menghadapi hal ini? Apa iya kita harus ikut nasihat orang tua kita untuk hidup sehat? Atau sebenarnya enggak kenapa-kenapa kok kalau kita mau makan sebebas kita atau melakukan apa pun sesuka kita, selama kita masih muda, kuat, dan tahu batasan kita? Untuk menjawab kegalauan ini, mari kita lihat apa yang firman Tuhan sampaikan tentang memiliki gaya hidup yang sehat. 

1 Korintus 10:23, Paulus berkata: ““Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.”

Dalam bagian ini, Paulus memang tidak membahas tentang seperti apa gaya hidup yang benar secara spesifik. Paulus sedang menjadi penengah bagi jemaat Korintus yang sedang berkonflik karena adanya perbedaan pendapat di antara mereka. Nasihat Paulus ini juga berlaku bagi kita yang saat ini berbeda pendapat dengan orang tua kita dalam menerapkan gaya hidup yang sehat.

Paulus menasihatkan bahwa apa yang jemaat Korintus lakukan seharusnya berfokus kepada kemuliaan Tuhan dan bukan untuk kepentingan pribadi. Sama halnya dengan kita, ketika kita bingung memilih gaya hidup seperti apa yang sehat, yang benar, dan mungkin tidak jarang kita juga sampai harus adu argumen dengan orang tua kita tentang gaya hidup yang sehat, ada baiknya kita ingat nasihat Paulus ini. Apakah gaya hidup kita saat ini sudah memuliakan Tuhan?

Gaya hidup yang sehat tidak berarti kita harus menjadi berubah ekstrem, semisal jadi vegetarian atau tidak boleh begadang sama sekali. Gaya hidup yang sehat adalah gaya hidup yang memuliakan Tuhan. Jadi, mari kita lihat gaya hidup kita sejauh ini. Apakah ketika kita memilih untuk kurang tidur itu untuk memuliakan Tuhan? Misalnya kita kurang tidur karena harus menjaga orang sakit atau justru kita memilih kurang tidur karena untuk kepentingan kita sendiri seperti misalnya mau main game? Apakah ketika kita makan, kita sudah memuliakan Tuhan? Misalnya, bersyukur atas makanan yang ada dan menghabiskannya, atau kita memuliakan diri kita sendiri dengan misalnya, pesan makan sebanyak-banyaknya lalu kalau tidak habis kita membuangnya.

Teman-teman, marilah kita jadikan Tuhan sebagai standar kehidupan kita. Kita sudah diselamatkan dari hukuman dosa dan telah diangkat menjadi anak-anak Allah sehingga seluruh kehidupan kita seharusnya untuk memuliakan Allah. Sebelum kita sibuk berdebat menentukan pola hidup yang sehat, ada baiknya kita selidiki hati kita terlebih dahulu. Apakah gaya hidupku selama ini sudah memuliakan Tuhan?

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Menilik Relevansi “Ritual” Kristen dalam Realisasinya di Kehidupan Kita

Oleh Jefferson

Apa yang kamu bayangkan ketika membaca kata “ritual”? Apakah gambaran yang muncul di dalam benakmu adalah imam yang mempersembahkan korban bakaran di atas altar? Atau kamu justru teringat ibadah Minggu yang setiap elemen liturginya ditata sedemikian rupa? Atau barangkali kamu malah membayangkan rutinitasmu setiap pagi sebelum memulai hari?

Gambaran-gambaran di atas adalah ilustrasi dari tiga definisi “ritual” menurut kamus Oxford (silakan Google define ritual kalau ingin membaca ketiga artinya lebih lanjut). Mengapa aku membuka dengan membicarakan definisi? Karena aku mengamati adanya perluasan makna “ritual” di masa kini, di mana rutinitas kita sehari-hari yang tak ada hubungannya sama sekali dengan praktik-praktik keagamaan pun dapat dianggap sebagai suatu “ritual”. Praktik “ritual” seolah-olah sudah kehilangan kekhususan dan kesakralannya di zaman kita.

Tapi, apa implikasi dari pandangan ini? Ketika membicarakan praktik-praktik “ritual”, terutama dalam konteks Kekristenan, tanpa kita sadari kita mungkin saja telah menganggap itu sebagai norma kehidupan bergereja yang tidak perlu dimengerti lebih dari pelaksanaannya. Kita bahkan mungkin merasa praktik-praktik “ritual” Kristen tidak lagi relevan sehingga kita tidak perlu lagi mempraktikkannya. Praktik-praktik “ritual” seperti aksesoris yang elok dipakai tapi pada hakikatnya tak punya nilai tambah yang tinggi.

Setelah menelusuri paham ini lebih jauh, apakah kamu juga melihat bahaya yang mengintai di baliknya? Ada suatu reduksionisme yang mendasari pandangan ini yang tidak berusaha untuk memahami makna di balik unsur-unsur dalam “ritual” Kristen terlebih dulu dan malah langsung loncat kepada kesimpulan. Menurutku, praduga ini akhirnya tidak dapat menjawab dengan memuaskan apakah praktik “ritual” Kristen saat ini masih relevan.

Dari relevansi menuju realisasi

Awalnya aku ingin membicarakan tentang relevansi dari dua praktik “ritual” Kristen, yang aku persempit cakupannya pada baptisan dan Perjamuan Kudus (alasannya dapat kamu baca di sini). Namun, setelah menulis beberapa lama, aku merasa jawaban yang sedang kusiapkan sama tidak memuaskannya dan malah beresiko jatuh juga ke dalam reduksionisme yang aku amati di atas. Syukurnya, lewat “kegagalan” ini Tuhan menuntunku untuk melihat bahwa perluasan pengertian “ritual” memiliki dasar yang tersembunyi di dalam Firman-Nya. 

Apa maksudnya? Memang saat ini kata dan praktik “ritual” dalam konotasi keagamaan jadi kehilangan—atau paling tidak berkurang—kesakralannya, namun perspektif bahwa rutinitas kita sehari-hari pun bisa dianggap sebagai “ritual” sebenarnya memberi ruang bagi kita untuk bersaksi kepada dunia. Bersaksi tentang apa? Bahwa pada kenyataannya tidak ada pemisahan antara yang kita sebut “kudus” dengan “duniawi”, bahwa setiap detik dan jengkal dari kehidupan kita dengan segala kesepelean dan keduniawiannya merupakan bagian dari “ritual” yang kita persembahkan kepada Allah.

Sampai di sini seharusnya kamu dapat menebak perikop Alkitab mana yang ingin kuangkat.

Bukan sembarang “persembahan”

Mengingat tempatnya dalam struktur kitab Roma, tidaklah heran kalau Roma 12:1–2 adalah salah satu perikop yang paling sering dikutip sebagai aplikasi khotbah. Setelah menjelaskan dasar-dasar Kekristenan sepanjang 11 pasal dari suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menggeser fokusnya kepada bagaimana pengikut Kristus bisa menerapkan dasar-dasar itu dalam kehidupan mereka secara pribadi dan komunal. Ayat 1–2 merumuskan prinsip utama dari aplikasi-aplikasi yang ia jabarkan di sepanjang sisa suratnya:

(1) Karena itu, Saudara-saudara, oleh kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: Itulah ibadahmu yang sejati. (2) Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna.”

Kedua ayat ini mengajarkan bahwa kita sepatutnya menyelaraskan kehidupan kita dengan kehendak Tuhan, karena lewat kasih karunia-Nya Ia telah menyelamatkan kita lewat iman kepada anak-Nya (pasal 4–7) dari maut dan kerusakan dosa (pasal 1–3), dan diadopsi ke dalam keluarga sang Raja (pasal 8–11). Tapi bagaimana caranya kita bisa hidup seperti itu? Ayat 1 menjawab, dengan mempersembahkan tubuh [kita] sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah: Itulah ibadah [kita] yang sejati.”

Dari pilihan kata-kata Paulus saja kita bisa melihat mengapa aku sengaja memilih perikop ini untuk membahas tentang “ritual” Kristen. Namun, alasanku lebih dalam dari sekadar pilihan kata yang dipakai dalam praktik “ritual”. Dr. Andrew Spurgeon dalam khotbahnya di gerejaku di awal September menunjukkan bahwa kata “persembahan” yang digunakan di ayat 1 pada dasarnya serupa dengan yang dipakai untuk korban sajian di Imamat 2.

Apa signifikansi dari diksi ini? Dalam Perjanjian Lama, korban sajian tidak dipersembahkan untuk memohon pengampunan dosa kepada Tuhan, seperti yang mungkin selama ini kita pahami tentang persembahan. Korban sajian justru dipersembahkan di altar setelah korban bakaran sebagai ucapan syukur atas anugerah dan kasih karunia-Nya yang terus memenuhi kebutuhan mereka, terutama dalam perjalanan memasuki tanah perjanjian.

Mendengar tentang “persembahan” di Roma 12:1–2 dalam konteks korban sajian di Imamat 2, aku jadi teringat diskusi dalam kelompok pemuridan yang kupimpin beberapa bulan lalu. Kami sedang mempelajari kitab Roma menggunakan pendekatan induktif dan baru saja selesai membahas pasal pertama di kitab Roma. Di antara poin-poin pembelajaran yang aku dapatkan selama mempelajari Roma 1 bersama kelompok, aku mengingat bahwa manusia dalam kerusakan total karena dosa tidak mau dan tak dapat memuliakan ataupun mengucap syukur kepada Tuhan (ay. 21). Maka poin penerapan yang paling berkesan hari itu buatku adalah untuk terus memuliakan Allah dan mengucap syukur kepada-Nya sebagai anak-Nya yang telah Ia tebus dari perbudakan dosa (bdk. 8:12–17).

Kehidupan kita sebagai ucapan syukur yang hidup

Pembelajaran-pembelajaran Firman yang dipisahkan waktu ini akhirnya menuntunku untuk melihat bahwa kehidupan kita yang telah ditebus oleh darah Kristus pada dasarnya adalah persembahan “ritual”, bukan sebagai usaha kita untuk menyogok Tuhan dan mengusahakan keselamatan dengan kekuatan kita sendiri tapi sebagai pengucapan syukur seumur hidup kita kepada Ia yang telah beranugerah untuk menyelamatkan kita. Perhatikan bahwa yang Allah tebus adalah segenap keberadaan kita, baik “tubuh” kita yang dulu mati karena dosa tetapi sekarang hidup karena Kristus (12:1), maupun “budi” kita yang dulunya mati-matian menolak-Nya tapi sekarang Ia perbarui sehingga dapat membedakan “apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya, dan sempurna” (12:2).

Mengingat korban sajian pada umumnya dipersembahkan setelah korban bakaran, dan bahwa Kristus sebagai Imam Besar telah melakukan segala ritual penebusan dosa yang seharusnya kita jalankan tetapi tak mampu kita penuhi oleh karena kerusakan total akibat dosa (Ibr. 9:11–28), bukankah masuk akal bagi kita yang telah ditebus-Nya untuk mempersembahkan segenap keberadaan kita sebagai “korban sajian” bagi-Nya? Maka setiap tindakan, pikiran, dan perkataan, termasuk rutinitas kita sehari-hari serta praktik baptisan dan Perjamuan Kudus, merupakan persembahan syukur kita yang memuliakan Kristus atas pengorbanan-Nya di atas kayu salib.

Ada banyak penerapan dan perenungan lebih jauh yang dapat kamu kembangkan sendiri dari apa yang telah kubagikan di sini. Dr Andrew Spurgeon sendiri mengakhiri khotbahnya di gerejaku dengan empat aplikasi: dengan tanpa pamrih menggunakan karunia Roh kita untuk melayani sesama (12:3–8), mengasihi sesama dengan tulus (12:9–21), dengan tanpa syarat menundukkan diri kepada otoritas yang telah Tuhan tunjuk (13:1–14), serta menerima satu sama lain apa adanya tanpa prasangka (14:1–15:13). Aku sendiri ingin menyoroti dengan singkat aplikasi yang signifikansinya kurasakan lagi sejak kembali ke dunia kerja: work-rest balance (keseimbangan bekerja dan beristirahat), yang sudah pernah kubahas di artikel lain

Walaupun pekerjaanku saat ini adalah kelanjutan dari apa yang aku pelajari selama kuliah S-2, ada banyak hal yang masih tidak aku mengerti di bidang baruku (aku berganti haluan dari konsultansi lingkungan hidup ke sustainable finance) sehingga aku jadi sering lembur di kantor untuk mengejar ketinggalanku dalam proyek. Kesibukan selama 1,5 bulan terakhir membuatku lebih mengapresiasi waktu-waktu istirahat yang Tuhan berikan, di mana aku bisa merenungkan pekerjaan-Nya yang sedang ia kerjakan lewatku di bidang baru ini dan memperhatikan kebutuhan orang-orang di sekelilingku. Ketika segenap kehidupan telah kita persembahkan sebagai ucapan syukur kita kepada Tuhan, niscaya ada sukacita dan damai sejahtera yang Ia sediakan untuk kita di tengah kesibukan dan penderitaan kita.

Akhir kata, apakah praktik-praktik “ritual” Kristen masih relevan di masa kini? Jawaban yang aku coba sampaikan secara tidak langsung dalam tulisan ini adalah “Ya”, dengan tegas dan penuh sukacita. “Karena itu, baik kamu makan atau minum, ataupun melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31).

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu yang mengasihi-Nya dengan kasih yang tidak binasa, soli Deo gloria.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tak Selamanya Muda, Tak Selamanya Sehat

Oleh Jenni, Bandung

Amsal 20:29 bertuliskan, “Hiasan orang muda adalah kekuatannya, dan keindahan orangtua ialah uban.” Ayat ini benar adanya dan mengingatkan akan diriku yang masih remaja hingga pemudi. Masa itu memang luar biasa. Di sela kesibukanku bersekolah dan bekerja, tubuhku sanggup begadang dan makan makanan pedas sesukaku. Hampir setiap malam, hampir setiap hari. Akan tetapi segalanya punya batas, termasuk tubuhku.

Aku pun jatuh sakit, dan akhirnya setelah memperbaiki gaya hidup, sekarang aku bisa kembali sehat dan berkegiatan. Namun, melihat ke belakang, aku sadar bahwa menjaga kesehatan itu bukan sekadar supaya tidak sakit. Kali ini, dengan tuntunan Tuhan serta pengalamanku, aku ingin berbagi mengenai mengapa kita perlu menjaga dan merawat kesehatan.

1. Kesehatan adalah sebuah anugerah yang perlu kita pertanggungjawabkan

Usia muda-mudi adalah usia gemilang. Tubuh yang kuat, daya serap tinggi, dan organ tubuh beserta metabolisme yang ajaib, semuanya berfungsi dengan maksimal. Aku adalah salah satu pemudi yang merasakan hal yang sama. Akan tetapi berdasarkan pengalamanku, ada satu karakter orang muda yang bisa menjadi kelemahan, yaitu pengendalian diri.

Pada Mazmur 127:4 tertulis, “Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda.” Kemampuan dan kapasitas orang muda yang begitu besar bisa melakukan banyak hal. Namun, tanpa bimbingan dan pengendalian diri, kaum muda bisa jadi tidak terarah. Itulah yang aku abaikan saat remaja. Aku mengabaikan teguran dan peringatan orang tuaku untuk tidak bergadang dan makan sehat. Dan sebelum usiaku mencapai 25, penyakit asam lambung yang tidak terkontrol adalah buah yang aku tuai dari perbuatanku.

Kesehatan adalah anugerah yang kita dapat dengan cuma-cuma. Tapi, tidak selamanya kita sehat. Akan ada saatnya kita menuai apa yang kita konsumsi dan lakukan di masa muda. Karena itulah menjaga kesehatan adalah salah satu tanggung jawab. Namun, sebagai orang muda, ada kalanya kita tidak mampu mencari arah. Dengan emosi yang menggebu-gebu, sulit untuk mengendalikan diri. Karena itulah, selagi bimbingan itu ada untuk kita, yuk lebih dengar-dengaran dan memegang didikan itu.

2. Kita tidak hidup untuk diri kita sendiri

Dulu aku tidak mengerti bahwa menjaga kesehatan diri sendiri memiliki hubungan dengan orang lain. Kukira aku sehat itu untuk diri sendiri. Ternyata aku salah. Setelah jatuh sakit karena asam lambung, barulah aku paham.

Ternyata kalau kita sakit, orang sekeliling kita pun akan terdampak. Perhatian, waktu, dan tenaga mereka akan tercurah pada kita. Saat sakit asam lambung membuatku tidak bisa bekerja, mamaku tanpa mengeluh merawatku hingga sembuh. Karena kecerobohan dan kurangnya pengendalian diri, aku sakit dan mamaku terkena dampaknya.

Sejak saat itu aku sadar arti menjaga kesehatan untuk orang sekitar. Aku pun jadi berpikir lebih jauh mengenai penyakit yang bisa timbul dari pola hidup dan bisa diturunkan risikonya. Menjaga kesehatan manfaatnya tidak hanya buat diri kita sendiri, tapi juga buat orang sekitar kita dan masa depan. Dan, mudah-mudahan dengan tubuh yang kuat kita bisa melakukan rencana Tuhan dalam hidup kita.

3. Bagaikan talenta, dengan kesehatan kita bisa melakukan banyak perbuatan baik

Di Alkitab, Musa tercatat telah melakukan banyak sekali hal. Dari memimpin orang Israel keluar Mesir ke Tanah Kanaan, hingga menulis kitab-kitab di Perjanjian Lama. Bahkan Pada Kitab Ulangan 34:7 tertulis, “Musa berumur seratus dua puluh tahun, ketika ia mati; matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang.” Betapa hebatnya perpaduan tubuh yang kuat dengan rencana Tuhan!

Baru-baru ini ada sebuah kejadian. Saat hendak pulang kerja ternyata ban motorku kempes. Aku jadi harus ke tukang tambal ban. Begitu ditambal, aku bisa pulang tanpa terhambat apa pun lagi. Begitu juga dengan sebuah perjalanan hidup. Saat sakit, kegiatan kita terbatas. Mungkin ruang lingkup perbuatan kita pun jadi tidak seluas saat masih sehat.

Untuk melakukan hal besar maupun yang terlihat kecil, kita memerlukan tubuh dan pikiran yang kuat dan sehat. Jasmani dan rohani yang sehat akan memperlengkapi kita dalam melakukan perbuatan baik, yang bisa Tuhan pakai untuk menyentuh hati seseorang dan berdampak berlipat ganda dalam kehidupannya.

***

Masa muda adalah pemberian Tuhan yang berharga. Di sana ada semangat yang menggebu-gebu, dan kekuatan fisik yang luar biasa. Bagian kita adalah mengelola dengan menjaga dan merawatnya. Dengan tubuh dan pikiran yang sehat, kita bisa melakukan dan menghasilkan hal baik dalam pimpinan Tuhan. Semoga sharing tadi bisa memberikan hal yang baik bagi teman-teman!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥