Posts

Dari Hiburan Jadi Kecanduan, Ini Tipu Daya Budaya FoMO!

Oleh Claudia Tanubrata, Bandung

Jual ginjal demi bisa dapetin tiket konser!

Pernyataan itu agaknya terkesan ngeri memang, tapi itu candaan yang lumrah di kalangan orang-orang muda. November tahun lalu, ketika grup band terkenal dari Inggris menggelar konser di Jakarta, orang-orang begitu heboh tak ingin ketinggalan momen. Alhasil, harga tiket membeludak, dan mereka yang gagal war ticket memilih opsi lain dengan menonton konsernya di negara tetangga. Biaya mahal? Ini tak jadi soal. Oleh karena itu, guyonan “jual ginjal” pun muncul.

Namun, bila ditelaah, tak sedikit pula orang yang sebenarnya tidak terlalu nge-fans dengan grup band itu. Mereka terbakar semangatnya untuk ikut nonton justru karena ikut-ikutan temannya yang lain yang heboh membahas konser di media sosial juga di tongkrongan.

Nah teman-teman, di tulisan ini aku mau mengajakmu berselancar lebih dalam. Candaan memang candaan, tetapi bila dianalisis, itu menyiratkan suatu fenomena yang tersembunyi di permukaan. Keinginan orang untuk mengejar sesuatu turut dipengaruhi oleh budaya yang terbangun. Dan, tanpa kita sadari, budaya itu bernama Fear of Missing Out (FOMO), suatu keinginan kuat untuk terus terkoneksi dengan sesuatu yang sedang orang lain lakukan.

Di satu sisi, sikap FoMO bisa mendorong kita up to date dengan tren, tapi sadar atau tidak, FoMO juga bisa membawa dampak negatif. Sedikitnya ada tiga dampak yang muncul dari pengamatanku:

Pertama, seseorang jadi menggantungkan penghargaan dirinya dari lingkungan luar, terutama dari medsos. Apa yang viral di medsos dan di lingkungan sekitar itulah yang akan ditiru. Padahal, apa yang disajikan medsos tidak seratus persen kenyataan. Bisa saja telah diedit sedemikian rupa untuk menciptakan kesan yang berbeda. Kondisi terburuk dari penganut FoMO adalah ketika mereka sendiri tidak menyadari bahwa mereka sudah terjebak.

Kedua, terjadinya penurunan kualitas tidur. Obsesi untuk selalu mengikuti tren berjalan selaras dengan bertambahnya screen-time, atau durasi penggunaan HP. Sebelum tidur scroll HP dulu meskipun badannya sudah di kasur dan kamar sudah diredupkan. Akibatnya, hormon melatonin yang mengatur kantuk dan siklus sirkadian tubuh jadi terganggu. Ditambah lagi nanti saat bangun tidur, yang langsung dicek adalah notifikasi HP.

Ketiga, media sosial yang awalnya jadi hiburan malah berubah jadi area kecanduan. Yang awalnya merasa senang karena melihat update dari teman-teman satu circle-nya, malah menjadi burnout karena tak ada jeda dari membenamkan diri di media sosial.

Seni mengendalikan diri untuk tiba pada rasa cukup

Secara implisit, Alkitab menceritakan tentang fenomena ketika manusia tidak berpendirian dan akhirnya jatuh pada godaan. Pada Taman Eden, Hawa tergoda untuk memakan buah pengetahuan baik dan buruk karena bujukan Iblis.

Hari ini, Iblis juga sedang membujuk kita. Namun, dia tak lagi menggunakan rupa berupa ular seperti yang dulu dilakukannya pada Hawa. Dia menggunakan tipu daya dunia (Efesus 6:11) di sekitar kita untuk menggoncangkan iman orang-orang percaya dan menjauhkan mereka dari Allah. Salah satunya melalui budaya FoMO ini.

“Ah jangan terlalu ribet jadi orang! Gapapa ngutang sekali demi bisa nonton konser ini!”

Dalam contoh kasus konser seperti yang kutulis di awal artikel, mungkin ini jadi alibi yang masuk akal. Tak ada yang salah untuk menikmati hiburan dan kesenangan. Namun, apabila dalam pengejaran itu justru membawa kita pada lebih banyak mudarat, kita perlu berhenti sejenak. Firman Tuhan meminta orang percaya untuk mempersembahkan hidup sepenuhnya bagi Tuhan sebagai ibadah yang sejati supaya tidak menjadi serupa atau mengikuti dunia dengan segala keinginan dagingnya—the behavior and customs of this world (Romans 12:2 NLT). Oleh sebab itu, kita sebagai orang percaya harus berhikmat dan mengusahakan sikap tegas terhadap segala hal yang akan membawa kita jauh dari Tuhan. Seberapa penting membeli barang yang sedang hits? Benarkah segala sesuatu harus ditampilkan di media sosial?

Paulus mengingatkan kepada Jemaat Korintus melalui Korintus 10:23, “segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun”. Hal ini dimaksudkan supaya orang percaya fokus dengan apa yang diperbolehkan, yang berguna, dan yang membangun saja. Tentu apa pun yang dilakukan harus didasari pada apakah tindakan kita memuliakan Tuhan atau tidak (Kolose 3:23).

Marilah belajar untuk menyerahkan pikiran dan tindakan agar diselaraskan dengan kehendak Allah, bukan mengikuti apa yang sedang populer. Do not just follow the flow. Hati-hati, sebagai orang percaya dapat terbawa arus yang terlihat tenang namun menghanyutkan. Marilah berusaha untuk merenungkan Firman Tuhan dan menyerahkan pikiran serta perbuatan hari demi hari selaras dengan kehendak dan firman-Nya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Dilingkupi Anugerah untuk Berjalan di Persimpangan Bersamamu

Sebuah cerpen oleh Tabita Davinia Utomo

Tahukah kamu kalau ternyata yang namanya FOMO juga bisa dialami oleh orang yang “sedikit” lebih settle dalam hidupnya?

Itulah yang aku alami ketika bertemu beberapa temanku di fellowship malam ini di rumah baru William dan Leah. Di sekitar meja yang penuh dengan salad, donat, pisang goreng, dan minuman soda, aku sedang bermain kartu dengan Deanna, Bianca, Alex, Leah, Matthew, Raymond, William, dan Edwin. Setiap pemain perlu mengambil satu kartu, lalu menjawab pertanyaan di dalamnya. Berhubung pertanyaan di kartu-kartu itu berkaitan dengan pengalaman tiap orang, maka pembicaraan yang awalnya penuh lawak akhirnya jadi lebih mendalam.

“Ceritakan salah satu pengalaman yang berkesan bagimu bersama orang yang ada di samping kananmu,” baca Bianca, kemudian dia menoleh ke arah Alex yang memang sedang duduk di sampingnya.

“Cieee, yang on the way nikahh…” goda Matthew.

“Hahaha…” Alex tertawa sumbang lalu berkata, “Nanti kamu bakal ngerasain sama Avery, loh, Matt.”

“Kamu aja, gih, yang cerita,” kata Bianca sambil menyikut kekasihnya itu.

Alex pura-pura terperanjat, lalu berujar, “Kalau gitu, nanti bagianku di-skip aja, ya.”

“Yeee ya kalii.” Bianca tertawa kecil. “Oke, baru-baru ini kami berantem karena masalah mau nikah di mana, karena kalau nikah, kan, butuh duit, yak. Keluargaku ada di Surabaya, sedangkan keluarga Alex ada di Jakarta. Jadi, bingung banget mau nikah di mana dan caranya gimana, karena dua pihak ini punya keinginan masing-masing. Apalagi aku termasuk salah satu cucu tertua yang udah punya pasangan, jadi pasti keluarga besar berharap mereka pun diundang…”

“Ehmm… Wajar, dong, Bi, kalau mereka mau diundang?” tanyaku dengan bingung.

“Hehe…” Bianca nyengir. “Kalau yang diundang saudara sepupu mamaku dari pihak nenek buyutku, itu termasuk jauh banget, enggak, Ave?”

Edwin melongo. “Gile, itu lumayan jauh, sih, Bi,” katanya.

“Dan yang kayak gitu bukan cuma keluarga Bianca, Ed. Keluargaku pun gitu,” kata Alex.

“Makanya beneran drama banget lah untuk nentuin tempat pernikahan kami nanti, meskipun yaaaa masih lama, tapi, kan, tetep perlu dipikirin dari sekarang.”

Sambil membuka salah satu minuman soda di meja, William berkata, “Aku dan Leah juga pernah ada di posisi itu saat memutuskan untuk menikah. Intervensi keluarga besar lumayan besar dalam persiapan pernikahan kami. Yang awalnya mau intimate wedding, eh, ujung-ujungnya ngundang orang sekampung–saking banyaknya. Tapi itu udah termasuk undangan kami dan keluarga masing-masing.”

Leah mengangguk. “Pokoknya drama banget, deh, pas persiapan itu. Tapi memang kembali ke kesepakatan kalian berdua gimana, sih, Lex, Bi. Kalau kalian udah sepakat dan pertimbangannya jelas, mungkin itu akan ngebantu keluarga buat bisa terima, sih…”

“Iya, nih,” balas Alex. “Makasih, ya, Le.”

“Kalau boleh tahu, kalian rencana nikahnya kapan, sih?” tanyaku sambil mengambil toples nastar yang ada di sisi kanan meja.

Bianca memandang ke arah Alex (duh, main telepati, dong. Gemas!). Setelah cowok itu mengangguk, Bianca menjawab, “Kira-kira dua tahun lagi… Tapi aku harus dilamar dulu sama Alex. Hahahahaha…”

Mendengar jawaban Bianca, aku dan teman-temanku tertawa–sementara Alex tersenyum salah tingkah. “Doain aja, ya, guys. Hehe…”

“Oke, lanjut. Abis Bianca, siapa, nih?” kata Deanna.

“Aku, aku,” kataku sambil mengambil kartu di meja, lalu nyengir. “Waduh. Ini bisa cerita panjang, nih. Hahaha…”

“Apa, apa?” Matthew melongok ke sisi kiriku.

“Apakah ada orang di dalam permainan ini yang kamu ingin membangun hidup bersama? Jelaskan!” Aku membacakan isi dari kartu itu.

Semua temanku tergelak karena mengingat Matthew yang menggodai Alex di giliran sebelumnya. “Nah, lho, Matt.. Kena, dehhh. Hahahaha…,” kata Alex di sela-sela tawanya.

Matthew hanya bisa garuk-garuk kepala, lalu berujar padaku, “Aku masih nabung dulu, ya, untuk nikahan kita…”

“Cieeeee…” William dan Edwin bersiul senang.

“Ehemm…” Aku berdeham, kemudian melanjutkan, “Aku belum jawab, loh.”

“Udah pastilah sama Matthew. Ya, kan, Ave? Ya, kan?” tanya Leah.

Aku melirik ke arah cowok yang mukanya sudah seperti tomat rebus itu, kemudian memandang kartu di tanganku sekali lagi. “Hmmm… Semoga gitu, ya, Le. Hehe… Udah pada tahu juga, kan, kenapa aku pilih Matthew?” kataku.

“Lho, kan, disuruh cerita,” ujar Deanna. “Gimana relasi kalian sejauh ini, guys? Masih aman atau udah mulai galau?”

Tiba-tiba Matthew mengangkat tangannya. “Aku yang galau, sih, karena mau LDR bulan depan sama Avery.” Cowok itu menjelaskan.

Bianca mengerutkan dahi. “Lagi?” tanyanya.

“Bukannya waktu itu kalian udah sempet LDR karena Matthew ke Papua?” Alex menambahkan sambil memegang gelas sodanya.

Aku mengangguk. “Kali ini LDR-nya enggak sampai sejauh itu, sih… Dia diminta untuk pelayanan selama satu tahun di Semarang karena gerejanya punya pos pelayanan di sana.”

“Wah…” Tiba-tiba Raymond bersuara, “Jangan-jangan kita bakal sering ketemu, dong, Matt?”

Matthew menatap Raymond dengan mata terbelalak. “Hah? Serius kamu juga ke Semarang, Ray?”

Raymond tertawa. “Iya, Brooo… Aku ada dinas kantor enam bulan di sana. Bisa nongki-nongki lah kitaaa. Hahahaha…”

Melihat mereka yang bersemangat, aku jadi lega. Well, seenggaknya selama aku dan Matthew menjalani masa LDR, ada Raymond yang bisa menemani cowok itu di Semarang.

“Matthew, nih, belum pernah ke Semarang abisnya,” ceritaku. “Jadi dia bakal butuh adaptasi banget di sana… sekaligus ancang-ancang untuk nikah–yang enggak tahu kapan hari-H-nya. Hahahahaa…”

Deanna nyengir. “Wah, apa berikutnya kita main aja ke Semarang, ya, sekalian kunjungin mereka?” usulnya.

Edwin mengangguk dan membalas, “Nice idea, tuh, Dee!”

“Tapi Avery…” Tiba-tiba William menyela. “Kamu sama Matthew yakin enggak untuk beneran serius mempersiapkan pernikahan?”

DEG.

Pertanyaan itu cukup menusuk, tetapi mewakili hatiku selama berelasi dengan Matthew sejak dua tahun yang lalu. Jujur saja, dengan program volunteering dan pelayanan gereja yang Matthew jalani, adakalanya aku mempertanyakan apakah dia sungguh-sungguh bersedia memasuki pernikahan seumur hidupnya. Bukan berarti aku tidak mendukung Matthew, tetapi yang namanya volunteering tidak menjamin akan ada kecukupan secara finansial, kan? Oke, mungkin aku terkesan materialistis, tetapi umur kami sudah mendekati 30 tahun, lho! Membayar jasa vendor dan pernak-pernik pernikahan, kan, enggak pakai daun. Plus, kalau mendengar cerita beberapa temanku yang sudah berkeluarga, menikah dengan hamba Tuhan berarti harus siap dilihat jemaat seperti ikan di akuarium. Membayangkannya saja aku sudah mual.

“Kadang-kadang aku enggak yakin apakah aku cukup mampu untuk menikahi Avery, Will.”

Aku langsung menoleh ke arah Matthew dengan terkejut. Semua temanku juga langsung menatap cowok itu—sampai ruangan jadi hening seketika. Dia ini baca pikiranku atau gimana, sih!? batinku tidak habis pikir atas perkataannya.

Matthew menelan ludah, lalu berkata padaku dengan pelan, “Maafkan aku, ya, Ve…”

Karena aku masih kehilangan kata-kata, Raymond mengusulkan dengan ragu-ragu, “Ehmm… Kalian mau ngobrolin ini berdua dulukah?”

Walaupun William dan Leah—sebagai tuan rumah—mengangguk dan segera mendiskusikan tempat yang bisa kami pakai, Matthew menggeleng. “Jujur,” katanya lagi, “aku belum bisa sampai ada di tahap kayak Alex yang secara penghasilannya udah lebih pasti untuk menikahi Bianca, apalagi kayak William yang udah nikah sama Leah tahun lalu. Kadang-kadang kalau mikirin itu, aku merasa… apa akunya yang terlalu egois, ya, untuk mengiyakan pelayanan dan kegiatan sukarela tanpa berdiskusi dengan Avery?”

Mukaku memerah karena malu mendengar pengakuan Matthew. Aku tidak yakin apakah teman-teman memahami kondisi kami saat ini. Mungkinkah setelah ini, sikap mereka kepada kami jadi berubah—karena kami belum bisa jadi seperti mereka yang lebih “berhasil” dan berkecukupan? Atau ada yang berpendapat agar aku putus dari Matthew karena dia terlihat bukan seperti pria yang siap menikah?

“Matt,” Alex memanggil Matthew yang sedang menundukkan kepala. Matthew pun menoleh ke arah Alex dengan lemas, mungkin karena tidak menyangka respons teman-teman bisa beragam seperti ini.

Alex menghela napas, lalu menggenggam tangan Bianca. “Aku juga sedang mengalami ketakutan yang sama, kok, meskipun kalau ditanya kami bilang bakal nikah dua tahun lagi. Banyak kebutuhan yang harus dibayar termasuk… yaaa, tahulah yang lagi hot topic apa…”

“Aku juga mengalami ketakutan itu bareng Leah,” tambah William. Istrinya mengangguk pelan.

“Kalau kami jangan ditanya, deh,” seloroh Edwin meninju bahu Raymond perlahan untuk sedikit mencairkan suasana. Well, setidaknya Matthew bisa tersenyum kecil karena teringat keduanya masih single.

“Aku pikir,” Deanna—yang sedari tadi menyimak—berkata, “keputusan untuk menikahi seseorang atau enggak itu beneran butuh kesiapan yang diiringi usaha dan doa, ya. Enggak bisa karena didasari emosi sesaat. Jadi enggak apa-apa kalau ada keraguan itu, Matt, karena kita jadi sadar kalau kita enggak bisa apa-apa tanpa Tuhan.”

Aku mengangguk, lalu mengelus bahu Matthew dengan lembut. “Aku minta maaf juga karena enggak memikirkan perasaanmu, ya, Matt. Aku…” Tiba-tiba suaraku tercekat. “Aku takut kalau enggak bisa punya anak sebelum usia 30 tahun karena anjuran orang-orang. Padahal, menikah, kan, bukan cuma perkara untuk punya anak. Aku juga egois, kok, kalau mikirin itu melulu…”

Tanpa pikir panjang, Matthew merangkulku di depan teman-temanku. Buatku yang canggung dengan physical display affection ini, aku khawatir dengan penilaian mereka terhadap Matthew yang seekspresif itu. Syukurlah, kekhawatiranku tidak terjadi karena mostly mereka menguatkan kami.

“Iya, ya,” kata William. “Dari pengalaman kami, aku belajar kalau Tuhan itu penuh anugerah, sih. Selalu ada aja cara-Nya buat mencukupkan apa yang kami butuhkan…”

“Dan melembutkan hati orang-orang yang sempat bersitegang dengan kami karena drama undangan pernikahan waktu itu,” tambah Leah.

Sambil menggaruk-garuk kepalanya, Edwin bertanya dengan nada serius, “Guys, kalian sadar enggak kalau sebenernya kita lagi sama-sama ada di persimpangan jalan?”

“Ah, iya juga, ya.” Bianca segera tersadar lalu melanjutkan, “Aku, Alex, Avery, dan Matthew lagi galau soal pernikahan, William dan Leah baru aja pindah rumah, Raymond sebentar lagi dinas ke Semarang…”

“Deanna sama Edwin sendiri gimana?” selaku. “Dari tadi kita belum denger cerita mereka, kan?”

Mendengar nama mereka disebut, Deanna dan Edwin jadi gelagapan seketika. Deanna duluan yang berespons, “Aku? Uhmm… Masih hidup, masih waras, masih bisa mengajar dengan baik, sih. Enggak nyangka juga udah hampir dua tahun kerja di sekolah baru itu. Hahahaha…”

Edwin nyengir. “Aku baru aja jadi dosen di tempat papaku kerja dulu. Masih perlu banyak penyesuaian karena urusan administrasinya bikin pusing. Bulan lalu aku abis opname karena tipes. Hehe…”

“Wah, itu mah definisi kerja, kerja, kerja, tipes, sih, Ed,” kataku–yang sontak membuat semuanya tertawa, termasuk Matthew. Cowok itu melirik sekilas ke arahku, lalu mengedarkan pandangannya pada teman-teman kami.

“Guys,” panggil Matthew. “Thank you, ya, udah menguatkan aku sama Avery hari ini. Mohon doakan kami terus, ya.”

Aku mengiyakan perkataan Matthew. “Buat Alex dan Bianca, nanti kalau ada ide-ide pernikahan yang didapet, boleh tolong di-share ke kami, ya, biar kami bisa ancang-ancang juga dari sekarang. Hahaha…,” ujarku.

“Siap!” Alex dan Bianca menjawab dengan kompak.

Tuhan itu penuh anugerah, demikian kata William.

Ah, ya. Keberadaan mereka juga jadi cara Tuhan untuk menyatakan kehadiran-Nya yang beranugerah pada relasi kami. Terlepas akan jadi seperti apa kehidupan kami nanti, anugerah Tuhan itu cukup. Kiranya iman yang sama juga tetap dimiliki oleh ketujuh teman kami dengan musim kehidupan mereka masing-masing. Begitu pula denganmu, Kawan. Jadi… yuk, jalan bersama kami dalam anugerah-Nya untuk melalui persimpangan penuh misteri ilahi itu.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tiada Kepuasan di Tempat yang Salah

Oleh Triska Zagoto, Jakarta

Beberapa waktu yang lalu ketika sedang mengerjakan sesuatu di laptop, aku iseng membuka banyak folder di tahun 2019. Kutemukan hasil tangkapan layar, sebuah kutipan dari Pdt. Stephen Tong, begini bunyinya: Kita perlu menyeleksi segala sesuatu yang kita kerjakan, yang tidak bermakna kita tolak. Sebenarnya banyak hal yang tidak perlu dibaca, banyak film yang tidak perlu ditonton, banyak musik yang tidak perlu didengarkan, dan sebagainya. Dengan demikian kita telah menghemat banyak uang dan waktu. Sebab, waktu kita tidak banyak.”

Kutipan itu menohokku. Kulihat lagi perjalanan di belakangku, waktu-waktu yang sudah dilewati dan kesempatan-kesempatan yang tidak akan terulang lagi. Aku jadi bertanya buat diriku sendiri: Apa yang sudah kukerjakan? Apakah waktu yang kurang lebih lima bulan di awal tahun ini sudah kugunakan dengan baik? Apakah setiap rupiah yang Tuhan anugerahkan memang dipakai untuk hal-hal yang tepat? Apakah ternyata waktu dan uang yang ada malah terpakai untuk mengejar sesuatu yang tidak bermakna? Tak dapat dipungkiri, hasrat atau keinginan kita untuk mengejar setiap peluang dan pengalaman baru serta barang-barang baru memang nyata.

Di zaman yang semakin maju di mana teknologi semakin canggih, setiap hari kita terpapar berbagai informasi terbaru. Masing-masing kita memiliki akun dari setiap jenis media sosial dan setiap hari pula kita mengerahkan waktu, daya, dan dana untuk menyelami mereka semua. Ada sesuatu yang kita rasa hilang dalam diri jika kita tidak ikut serta dalam sebuah ke-baru-an. Lebih tepatnya: kita takut ketinggalan! Kita mengalami FOMO! Sungguh ironi jika kita yang mengaku diri sebagai orang Kristen juga ikut disetir dan hanyut dalam fenomena tersebut.

Mari sejenak kita merenungkan hal ini: mengapa sikap tidak ingin ketinggalan itu bisa timbul? Mengapa keinginan untuk mengetahui segala sesuatu itu mendesak kita? Mengapa kita begitu mudah terpengaruh mengikuti sesuatu yang katanya “booming” dan “viral”? Karena, setiap kita memiliki hasrat ingin diterima di mana kita berada, keinginan supaya tidak dianggap “membosankan”, keinginan untuk memperoleh pengakuan bahwa kita tahu cara untuk bersenang-senang, dan desakan untuk merespons YOLO: you only live once…”. Atau, bisa jadi adanya ketidakpuasan yang sulit kita akui.

Lalu, sebagai orang Kristen, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini?

1. Menyadari kembali akibat dari dunia yang sudah jatuh dalam dosa

Rasul Paulus, dalam sebuah suratnya kepada jemaat di Roma, menyampaikan nasihat, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2).

Kita tidak boleh lupa bahwa sesungguhnya dunia di mana kita tinggal, setiap sisi dari aspek kehidupan kita sudah tersentuh oleh kejatuhan dalam dosa, termasuk gaya hidup, cara berpikir, bahkan pandangan kita tentang sesuatu yang benar dan baik sudah tercemar oleh dosa. Kita mudah terjebak dengan kesenangan yang bersifat sementara. “…setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (Hakim-hakim 21:25).

Seperti nasihat Paulus di atas, panggilan untuk “tidak serupa dengan dunia dan berubah oleh pembaharuan budi” sungguh masih relevan sampai saat ini—di sini, di dunia di mana kita ditawarkan kebenaran-kebenaran semu yang anehnya kita adopsi dan sama sekali tidak terusik. Jerry Bridges, dalam bukunya Discipline of Grace mengatakan bahwa Paulus menegaskan hanya ada dua pilihan: pendirian dan nilai yang kita pegang akan timbul dari masyarakat di sekitar kita (dunia) atau timbul ketika pikiran kita dibarui oleh Firman Allah. Tidak ada pilihan ketiga. Harus diakui, bahwa dunia dengan segala pengaruh yang ia tawarkan: penekanan pada materialisme, hidup bagi diri sendiri, dan kepuasan instan benar-benar terlalu kuat dan meresap bagi kita. Akibatnya, desakan untuk mengikuti setiap trend  yang ada membuat kita merasa serba kekurangan dan sulit untuk bersyukur, hal ini merampas momen-momen di mana kita seharusnya menghitung berkat Tuhan satu per satu.

2. Mengingat secara terus-menerus bahwa hanya Kristus yang dapat memuaskan kita

Aku yakin setiap kita tidak asing dengan istilah-istilah bahwa hanya Yesus yang dapat memuaskan kita, hanya Yesus jawaban, dan sebagainya yang menyematkan “hanya Yesus…”

Namun, benarkah hal itu menyentuh setiap ranah kehidupan kita? Atau kalimat itu hanya sebatas slogan yang kita serap dari lingkungan Kristen kita? Sampai tingkat mana cara hidup kita benar-benar menunjukkan sikap hidup yang puas di dalam Kristus? Memiliki keyakinan penuh bahwa kita sudah ditebus oleh darah Kristus bukan hal yang sulit. Percaya bahwa hidup kita akan terus dipelihara dan dipimpin oleh Roh Kudus, kita imani. Namun, di waktu-waktu sepi di mana kita sendiri sibuk berselancar di media sosial ataupun ketika melihat secara langsung orang-orang di sekitar kita memiliki apa yang tidak kita miliki, memiliki apa yang kita inginkan, dan melakukan apa yang kita gemari, dan mendambakannya dengan amat sangat hingga menimbulkan sikap iri hati, kita perlu mempertanyakan kepuasan kita dalam Kristus. Kita tidak akan memperoleh kepuasan selama kita mencarinya di tempat-tempat yang tidak tepat. Adakah hal yang lebih memuaskan ketika Allah sendiri yang berfirman, “….maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.” (Yeremia 31:33).

Ketakutan akan ketertinggalan kebenaran

Di tengah desakan takut akan ketertinggalan yang ditawarkan oleh dunia, kita dipanggil untuk berbeda. Aku ingin mengajak kita melihat kembali sebuah peristiwa yang hanya dicatat dalam kitab Injil Matius, yaitu tentang orang Majus dari Timur.

Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem, di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem dan bertanya-tanya: “Di manakah Dia, raja orang Yahudi  yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya  di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.” (Matius 2:1-3).

“Setelah mendengar kata-kata raja itu, berangkatlah mereka. Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada. Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.” (Matius 2:9-11).

Orang-orang Majus, juga disebut sebagai orang-orang bijak atau beberapa penafsir mengatakan mereka tergolong dalam kelompok filsuf, astronom, dan golongan sejenisnya. Ini memberi kita sedikit informasi bahwa mereka tidak mengabaikan pengetahuan yang diberikan kepada mereka. Mereka mencari tahu lebih dulu hingga datang kepada Herodes. Ada teladan yang bisa kita lihat dari orang-orang Majus ini, ketakutan akan ketertinggalan pada sesuatu yang dapat membawa sukacita, ketakutan akan ketertinggalan pada sesuatu yang dapat membawa mereka mengenal Mesias dan menyembah-Nya. Ketakutan akan ketertinggalan pada “kebenaran”. Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki ketakutan akan ketertinggalan dalam hal beribadah, berdoa, membaca firman Tuhan, dan kelompok tumbuh bersama?

Bukan berarti kita menolak semua hal-hal terbaru. Menjadi orang Kristen bukan berarti kita tidak boleh bersenang-senang, yang salah jika seluruh waktu, daya, dan uang kita terkuras hanya karena kita ingin mengikuti tren, yang akhirnya kita tidak memiliki waktu untuk menikmati Tuhan dan bersekutu dengan sesama untuk membahas hal-hal yang fundamental dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Di zaman ini, sebagai orang Kristen kita perlu memiliki kebijaksanaan untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan kita. Kita tidak perlu mempertahankan relasi yang tujuannya cuma untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan karena kita terlihat asyik dan tidak membosankan.

Tuhan Yesus adalah Teladan Agung yang jika kita lihat kehidupan dan pelayanan-Nya di Alkitab selalu mengambil waktu untuk “menyingkir” seorang diri maupun bersama murid-murid-Nya. Bahkan kitab Markus mencatat, “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.” (Markus 1:35).

Kiranya ketakutan kita akan ketertinggalan terletak pada semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji (Filipi 4:8), yang membawa kita pada pengenalan dan kasih yang semakin dalam akan Dia, Tuhan kita, Yesus Kristus dan kepada sesama. 

“Every day is a battle—for truth versus deception. For relational intimacy versus isolation. For growth and godliness versus sin and self-destruction. Ultimately, for love toward God and others versus idolatry of self.” —Jennifer Slattery.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Saat Menolak Kompromi Membuatku Dijauhi

Oleh Aline

Mengikut Tuhan bukanlah jalan yang mudah, seringkali kita harus berkorban dan membayar harga untuk menaati-Nya. Entah itu mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan yang dulu tidak kuduga: kehilangan sahabat. Saat hal yang perlu kita lakukan untuk bisa diterima di lingkungan pertemanan tidak sesuai dengan keinginan Tuhan, manakah yang akan kita pilih?

Aku yakin dilema ini bukanlah hal yang asing. Dari masa sekolah pun, kita pasti sering diperhadapkan pada pilihan yang sulit itu. Ketika teman kita mengajak untuk menyontek atau minta tolong titip absen, bisa jadi mereka tidak mau menjadi teman kita lagi jika kita menolak. Tapi, rupanya pola ini tidak berhenti sebatas di dunia akademik saja, bahkan setelah sekarang bekerja, dilema ini terus ada dan justru semakin sulit karena kadang batasan antara pilihan yang baik dan tidak semakin abu-abu. Saat keinginan teman kita jelas-jelas adalah dosa, kita punya dorongan yang lebih kuat untuk menolak, tapi jika keinginan teman kita hanya “sekadar” pilihan yang kurang bijaksana, semakin lemah penghalang kita untuk berkompromi.

Beberapa tahun lalu aku punya sekelompok sahabat, yang sayangnya sekarang hubungan kami sudah merenggang. Salah satu alasannya adalah karena aku tidak pernah ikut mereka untuk traveling bersama karena itu mengharuskan aku untuk bolos persekutuan pemuda. Belum lagi aku tahu bujet mereka biasanya lebih tinggi dariku. Sejujurnya aku sedih dan merasa left out saat aku “bolos” dari kegiatan mereka, dan melihat mereka sedang bergembira tanpaku melalui Instagram story atau media sosial lainnya. Apalagi saat menyadari mereka sekarang bahkan tidak lagi repot-repot mengajakku.

Merasa kesepian dan sendirian sudah menjadi makananku sehari-hari. Tapi setelah bergumul dengan mereka bertahun-tahun, aku ingin membagikan beberapa poin yang menjadi penghiburanku.

1. Rasa sepi adalah sahabat sejatiku

Saat aku sedih, dulu aku menghibur diri dengan berkata aku tidak perlu merasa kesepian karena rasa sepi akan menjadi sahabatku yang paling sejati, dan suatu saat nanti aku akan pulang ke rumah Bapa sehingga aku tidak akan kesepian lagi. Namun, sekarang aku sadar bahwa aku salah, karena sebenarnya aku tidak pernah benar-benar sendiri. Tuhanlah sahabat sejatiku.

Janji penyertaan dan hadirat Tuhan bukan hanya di surga setelah kita meninggal, tapi bahkan saat kita sekarang menghadapi berbagai masalah dan kekecewaan di dunia (Yohanes 14:16; 16:33). Adalah suatu penghiburan yang luar biasa saat aku menyadari bahwa Tuhan tidak sekadar menyertai, tapi juga sungguh mengerti perasaanku. Justru di saat-saat tersulit sebelum menghadapi kematian-Nya di kayu salib, Yesus mengalami sakitnya ditinggal dan tidak diakui oleh murid-murid-Nya walau mereka sebelumnya selalu hidup bersama dan mengikuti Yesus siang dan malam.

2. Tidak semua orang bisa jadi sahabat kita

Dulu aku selalu berusaha untuk bersahabat dengan semua orang. Tapi, sebuah kenyataan pahit yang harus kita terima adalah bahwa hal tersebut tidak mungkin dicapai. Bahkan menurut Robert Dunbar (sumber), manusia biasanya hanya memiliki 15 teman dekat, dengan 5 orang di antaranya termasuk inner circle yang paling kita kasihi. Lebih daripada itu, kelompok sosial tersebut menjadi kurang stabil dan memiliki risiko perpecahan yang lebih tinggi.

Memang kita harus mengusahakan berdamai dengan semua orang dan tidak bermusuhan dengan orang lain (Roma 12:18), tapi tidak dapat dipungkiri ada orang yang bisa lebih akrab dengan kita dan ada yang tidak. Dari keduabelas murid Yesus pun, ada tiga orang yang disebut sebagai inner circle-Nya: Petrus, Yohanes, dan  Yakobus. Hanya mereka bertiga yang hadir di saat transfigurasi Yesus di gunung (Matius 17:1-7) dan mendengar curahan hati Yesus di taman Getsemani (Markus 14:32-34). Yah, jadi tidak perlu terlalu sedih kalau lingkaran pertemanan kita menyusut melalui seleksi alam seiring berjalannya waktu.

Ada masanya aku menyesal tidak memilih untuk berkompromi dan sesekali ikut agar tidak ditinggal dan diabaikan—toh tidak ada salahnya juga berlibur bersama teman. Tapi sekarang kalau dipikir-pikir lagi, kemungkinan besar tetap ada hal lain yang akan membuat pertemanan kami merenggang karena nyatanya kami memiliki prioritas dan gaya hidup yang berbeda. Sebenarnya, tidak ada yang salah dari pilihan kami masing-masing, hanya saja situasi kehidupan kami tidaklah sama. 

3. Tuhan menyediakan orang yang berpotensi menjadi sahabat kita

Seperti yang dikatakan Kak Erika Sinaga di podcast WarungSaTeKaMu, Tuhan menempatkan orang-orang di sekitar kita yg berpotensi menjadi sahabat kita, dan tugas kita adalah untuk mengenali siapa mereka. Kalaupun kita belum menemukan orang yang bisa menjadi sahabat kita, kita tetap bisa bersandar pada Tuhan sambil terus mendoakannya.

Aku ingat 4 tahun yang lalu aku pernah berdoa agar memiliki sahabat untuk bisa bertumbuh bersama di dalam Tuhan, dan aku bersyukur Tuhan menjawab doaku melalui kelompok pemuridan yang diadakan di gereja. Hanya karena campur tangan Tuhan aku bisa menemukan orang-orang ini, karena awalnya aku tidak mempertimbangkan mereka sebagai kandidat sahabatku sebab perbedaan usia yang cukup jauh.

Walau kami tidak langsung bisa menjalin hubungan yang akrab, tapi lambat laun kami menjadi lebih terbuka dan bisa saling mendukung dalam berbagai pergumulan kehidupan. Mereka jugalah yang akhirnya memberi ide dan mendorongku untuk melayani Tuhan melalui tulisan. Rasa sepi masih sering menemaniku, tapi setidaknya aku sadar bahwa Tuhan menganugerahkan orang-orang yang peduli dan mengasihiku.

Akhir kata…

Apa pun dilema yang kalian hadapi untuk diterima dalam lingkungan pertemanan—entah itu tentang waktu, prioritas, penampilan, gaya hidup, atau tingkat pengeluaran—jangan merasa terpaksa untuk berkompromi agar kalian bisa diterima. Tetaplah lakukan yang berkenan kepada Allah (Roma 12:2). Tuhan akan menyediakan orang-orang dengan prioritas dan value yang lebih selaras untuk menemani kita mengarungi kehidupan. Kalaupun kita belum menemukan orang-orang tersebut, percayalah bahwa Tuhan cukup untuk kita dan Ia mampu memuaskan segala hal yang kita rindukan dari persahabatan, termasuk untuk dikenal, dimengerti, diterima, dan dikasihi.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

FOMO, Perahu Menuju Pusaran Dunia

Oleh Jenni, Cimahi

Takut ketinggalan momen dan takut berbeda dari yang lain. Dua perasaan ini sering kualami dalam hidupku sehari-hari. Sebenarnya ini perasaan yang wajar dan dialami oleh semua orang, tapi bagaimana setiap orang meresponsnya itulah yang jadi pembeda.

Dunia modern menamai perasaan takut tertinggal sebagai FOMO, singkatan dari fear of missiong out. Isitlah ini dipopulerkan oleh penulis bernama Patrick McGinnis pada tahun 2023. Beliau berpendapat bahwa FOMO turut disuburkan dengan hadirnya media sosial di mana setiap orang bebas berekspresi mencurahkan ide sampai prestasi-prestasinya. Orang jadi ingin selalu mengejar apa yang jadi tren, berita, atau apa pun yang hits saat itu. Namun, realitas FOMO tidak hanya terjadi karena dipengaruhi media sosial saja. Lingkungan tempat kita tinggal pun bisa saja memancing kita untuk mulai merasa tertinggal.

Jadi, bagaimana kita bisa bertahan dalam menghadapi lingkungan yang seolah menuntut kita untuk berlari secepat orang-orang lain? Dari hasil perenunganku, inilah tiga jawaban sederhananya:

1. Sebelum silau oleh hidup orang lain, belajarlah mengenali dirimu sendiri

Saat aku bersekolah, ada sebuah tren seragam di antara para murid. Murid yang seragamnya tidak dimasukkan itu dianggap anak gaul. Apalagi kalau yang dimasukkan sebelah saja, wah dianggap lebih keren lagi! Sekarang, saat aku sudah dewasa, aku sadar kalau itu semua tidaklah berfaedah. Saat bersekolah dan menjadi murid, kita sedang belajar hidup bermasyarakat. Seragam yang dimasukkan dimaksudkan agar penampilan kita rapi dan kita belajar hidup dengan aturan.

Pada Matius 4:1-11, tertulis bahwa Tuhan Yesus sedang berpuasa, dan pada hari yang ke-40 Iblis datang untuk mencobai-Nya. Pada ayat 3 dan 6, Iblis mencobai Yesus dengan berkata, “Jika Engkau Anak Allah…”. Iblis ingin Yesus membuktikan diri-Nya dengan melakukan perintahnya. Namun, Tuhan Yesus tahu siapa diri-Nya. Dia tidak tertipu dan mengikuti perintah Iblis.

Di kehidupan sehari-hari, seringkali aku dipertemukan dengan berbagai perbedaan cara hidup.  Saat itu terjadi aku mengingat terus siapa aku menurut Alkitab. Dalam 1 Korintus 3:23 tertulis: “Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah.” Yesus telah mati dan bangkit kembali untuk menebus jiwa manusia. Kita telah dimenangkan dari dosa, dan itu artinya kita adalah milik Kristus. Kepada Yesuslah kita harus mengusahakan mengikuti kehendak-Nya.

2. Pegang dan lakukanlah kebenaran

Pada suatu sore, aku sedang melihat-lihat e-commerce dan perhatianku berhenti pada sebuah lipstik yang belum pernah aku miliki. Lipstik itu punya dua sisi: yang satu untuk warnanya dan yang satunya untuk efek glossy. Diskon pula! Ingin sekali jempolku segera check-out! Untungnya sebelum check-out aku memperlihatkannya pada senior kerjaku, dan beliau berkata, apa aku memerlukannya?

Pada pencobaan di padang gurun, Tuhan Yesus menjawab Iblis dengan firman Tuhan yang adalah kebenaran. Pada ayat 4, Tuhan Yesus berkata bahwa kita tidak hanya hidup dari roti saja, tapi dari setiap firman Tuhan. Kita memerlukan kebenaran untuk melawan kebohongan-kebohongan Iblis. Tanpa firman Tuhan, kita bisa kehilangan arah, mudah terbawa dan ikut-ikutan.

Dalam Ibrani 13:5 tertulis cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu, karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

Dalam kasusku, menolak godaan dan mencukupkan diri bukan berarti aku menjadi pelit. Namun, setiap kali aku tergoda untuk melakukan atau membeli sesuatu yang bersifat impulsif, pertanyaan seniorku sederhana tapi tepat sasaran. Apakah aku memerlukannya? Aku tidak perlu punya setiap model lipstik karena yang kuperlukan sudah ada. Saat berpegang pada firman Tuhan pun aku merasa tenang dan lebih bisa mengendalikan diri.

3. Selalu mendekat pada Tuhan

Dari pengalamanku, aku merasa FOMO bisa mengubah gaya hidup dan cara berpikir. Misalnya, jadi boros karena terbiasa beli makanan atau barang yang sedang ada diskon. Kita memang butuh jajan atau hiburan sesekali, dan menikmatinya saat ada diskon itu adalah cara yang baik. Namun, kalau tidak membiasakan untuk mencukupkan diri, maka kebiasaan itu bisa merugikan kita.

FOMO tidak hanya tentang keuangan, tetapi bisa juga tentang nilai kehidupan yang berbeda dengan firman Tuhan. Saat dunia berkata, “Jadilah diri sendiri”, firman Tuhan berkata “hiduplah sebagai anak-anak terang.” (Efesus 5:8). Saat dunia berkata, “Bersenang-senanglah, hidup ini hanya sekali”, firman Tuhan berkata “… Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya karena ini adalah kewajiban setiap orang.” (Pengkhotbah 12:13). Dan masih banyak lagi hal yang lain.

Banyaknya slogan dan cara hidup yang berbeda dari firman Tuhan terkadang membuatku kebingungan. Seringkali aku tidak menyadari bahwa cara hidup yang bagaikan arus ini ada begitu dekat dengan lingkunganku. Karena itu aku merasa bahwa aku memerlukan Tuhan. Pada Mazmur 119:9 yang tertulis: “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakukannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.” Akal dan kekuatanku sangat terbatas. Aku perlu Tuhan dan firman-Nya senantiasa untuk memagari dan menjaga pikiranku.

Zaman yang kita hidupi kini ada dalam berbagai pengaruh. Kita bisa dengan mudah terombang-ambing. Mari kita jangkarkan identitas kita sebagai milik Kristus, memegang firman-Nya dan terus mendekat pada-Nya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ternyata Aku Gak Cuma FOMO, Tapi Sombong Juga…

Oleh Edwin Petrus, Medan

Beberapa waktu yang lalu, sambil scroll video-video di Instagram dari para content-creator yang menceritakan perjalanan liburan mereka, aku pun mengajak istriku untuk merencanakan mengambil cuti tahun ini dan pergi liburan. Hatiku bergejolak dan langsung semangat mencari destinasi. Tiba-tiba, muncul nama suatu kota karena aku teringat dengan seorang teman yang tinggal di sana. Aku dan istriku memang belum pernah berkunjung ke sana, tetapi tampaknya dia kurang tertarik dengan kota itu.

Aku pun berusaha meyakinkan istriku dengan mencari-cari informasi di YouTube tentang destinasi-destinasi wisata di kota itu. Dengan raut wajah yang kecewa, dia bertanya: “Yakin mau ke situ?” Semangatku pun patah setelah tahu kalau daya tarik wisata di kota itu ternyata kurang menarik bagi istriku. Namun, yang lebih membuatku gigit jari adalah pertanyaan berikutnya yang dia lontarkan: “Sayang, kok kamu bisa kepikiran mau ke kota itu sih? Cuma gitu aja tempat-tempat yang bisa kita kunjungi! Sayang duitnya aja. Tiketnya sudah berapa, belum hotelnya lagi…”

Aku terdiam sejenak dengan pertanyaan itu. Ketika aku mencoba merenungkannya lagi sambil melanjutkan scroll video-video di Instagram, aku disadarkan kalau sebenarnya aku mengajak istriku pergi liburan lebih karena FOMO (Fear Of Missing Out). Aku takut kalau tidak pergi liburan, aku tidak punya cerita yang bisa aku bualkan ketika kami ngumpul bareng. Apalagi, sebagian temanku sudah merencanakan jadwal liburan mereka sejak awal tahun. Bahkan, ada dari mereka sudah mengalokasikan semua cuti tahunan untuk pergi ke destinasi A, B, C, D dan seterusnya di tahun ini.

FOMO adalah satu hal. Namun, ketika aku berdiskusi dengan istriku tentang perenunganku ini, aku juga menemukan bahwa aku tidak hanya sekadar FOMO, tetapi aku sebenarnya juga ingin menyombongkan diri ketika mengajak istriku liburan. Ketika memilih kota itu, di dalam hatiku, ternyata aku ingin pamer kehebatanku di dalam menemukan hidden gem destinasi wisata baru yang belum populer dikunjungi orang banyak, bahkan teman-teman di komunitasku. “Wow, pasti keren ini! Nanti orang-orang akan banyak bertanya tentang destinasi ini dan aku punya narasi yang belum pernah diceritakan orang lain,” itulah suara hatiku yang sebenarnya. 

Aku bersyukur ketika Tuhan kembali menyadarkanku lewat peristiwa ini, kalau aku masih bergumul dengan dosa kesombongan. Aku melihat adanya celah yang bisa dipakai oleh si jahat untuk menjatuhkan diriku lagi ke dalam dosa ini lewat ke-FOMO-anku. Ternyata aku tidak sekadar FOMO, tetapi di baliknya, aku sebenarnya sombong dan ingin menyombongkan diriku.

Dosa Kesombongan

Kawan, bibit kesombongan ada dalam setiap diri kita. Aku dan kamu sangat rentan jadi pribadi yang sombong. Kamu bisa saja tidak setuju denganku, tapi mari kita samakan persepsi dulu ya. Apa itu kesombongan? Kamus Besar Bahasa Indonesia menuliskan bahwa kesombongan adalah sifat yang menghargai diri secara berlebihan. Kesombongan itu juga bisa diartikan sebagai keyakinan yang berlebihan mengenai kemampuan diri sendiri sampai-sampai tidak lagi menyadari bahwa ada pribadi yang lebih hebat darinya, termasuk Tuhan.

Menariknya kawan, kesombongan adalah dosa yang paling tua. Para bapak gereja, yaitu pemimpin gereja di awal Masehi mengategorikan dosa kesombongan ini sebagai dosa dari segala dosa. Sebab, dosa kesombongan ini melahirkan dosa-dosa yang lain. Masih ingat dengan kisah kejatuhan Adam dan Hawa di Kejadian 3? Mengapa Adam dan Hawa memilih untuk memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat, yang jelas-jelas dilarang oleh Tuhan? Ya, mereka tergoda oleh tawaran Iblis bahwa mereka bisa jadi sama seperti Tuhan kalau mereka memakan buah itu. Adam dan Hawa ingin memiliki kemampuan yang setara dengan Sang Pencipta. Dengan kata lain, mereka tidak mau tunduk pada otoritas yang lebih tinggi, tetapi mereka ingin sederajat atau bahkan lebih tinggi dari Tuhan karena mereka menganggap diri mampu mencapai kedudukan itu. Kawan, inilah kesombongan dari Adam dan Hawa.

Ketika kita melanjutkan pembacaan dari kisah manusia setelah kejatuhan ke dalam dosa akibat kesombongan, kita dapat melihat bagaimana akhirnya muncul dosa-dosa yang lain. Adam menyalahkan Hawa yang memberi buah terlarang tersebut. Kain tega membunuh adiknya, Habel karena iri hati. Bukan itu saja, dosa-dosa lain pun muncul: kebohongan, amarah, keegoisan, perseteruan, hawa nafsu, kecemaran, percabulan, dan seterusnya.

Kesombongan memang adalah awal dari kejatuhan manusia. Demi mempertahankan kesombongan diri, manusia berani saja melakukan dosa-dosa yang lain. Bahkan di daftar dosa yang dibenci Tuhan di Amsal 6:16-19, kita bisa menemukan bahwa “mata yang sombong” berada di urutan yang pertama. Walaupun demikian, dosa kesombongan bukan berarti lebih berat dan paling jijik di mata Tuhan. Yang namanya dosa, semuanya adalah kekejian di mata Tuhan dan hukumannya adalah sama, yaitu kematian (Rm. 6:23).

Akar dari kesombongan itu selalu berpusat pada diri sendiri. Kesombongan itu selalu berbicara tentang “aku,” “diriku,” “maunya aku,” dan “kepunyaanku.” Tidak ada ruang bagi “kamu,” “dia,” apalagi “mereka.” Kesombongan membawa kita pada pandangan bahwa “akulah” yang terpenting. Fokus pada “aku” membuat “si aku” tidak akan segan-segan memperjuangkan segala sesuatu demi diri sendiri. “Aku” tidak peduli akan kegagalan orang lain. Diriku yang sombong akan memandang rendah orang lain, yang penting agendaku berjalan dan targetku tercapai. Orang yang sombong juga tidak lagi kagum akan kasih anugerah Tuhan, bahkan mungkin saja dia mencuri kemuliaan Tuhan.

Kawan, dosa kesombongan sungguh mengerikan. Aku tidak punya pilihan lain untuk melawan kuasa dosa selain menyandarkan diriku pada kasih anugerah Allah. Diriku sendiri tidak akan pernah berhasil melawan “si aku” yang selalu ingin menjadi sombong. Kita hanya hanya menang atas dosa kesombongan dengan mengakui bahwa Kristus adalah satu-satunya yang dapat mengubahkan kita.

Karya Kristus di atas kayu salib adalah bukti bahwa Sang Anak Allah merendahkan diri dan menanggalkan segala kemuliaan yang dimiliki-Nya. Sang Raja memilih untuk menjadi hamba yang menderita, mati di atas kayu salib untuk menyelamatkan kita dari hukuman maut yang seharusnya menjadi ganjaran dari kesombongan kita. Oleh karena darah-Nya yang tercurah di atas salib, kita dikuduskan dan diampuni di hadapan Allah Bapa. “Si aku” tidak bisa menyombongkan dirinya sama sekali, karena “si aku” hanya perlu menerima anugerah Tuhan yang gratis ini, tanpa perlu usaha atau pencapaian apa pun untuk dapat dibebaskan dari hukuman kekal ini.

FOMO tapi Tidak Sombong, Bolehkah?

Kawan, FOMO memang sudah menjadi tren di semua kalangan usia, bukan hanya di generasi muda. Anak-anak, remaja, pemuda, dewasa, bahkan lansia pun bisa FOMO ketika membandingkan diri dengan orang lain. Akhirnya, kita selalu memiliki rasa khawatir dan takut yang berlebihan kalau-kalau kita tertinggal tren yang sedang berjalan. Jadi, kita akan selalu meng-update diri dengan segala hal yang terjadi di dunia sekitar kita.

Di satu sisi, aku bukan kaum yang setuju dengan pandangan bahwa kekristenan harus anti teknologi dan perkembangan zaman. Aku justru mendorong orang-orang Kristen untuk terus bergerak progresif dan tidak ketinggalan zaman. Roma 12:2 menjadi peganganku di dalam merespons pergerakan dari dunia ini, untuk tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi terus berubah oleh pembaruan budi (pemikiran), supaya aku bisa membedakan apa yang baik dan jahat serta apa yang menjadi kehendak Allah dan hal-hal yang ditentang oleh Allah.

FOMO sendiri muncul sebagai dampak dari penggunaan media sosial (Instagram, Tik Tok, Telegram, X/Twitter, Facebook, Whatsapp, dan sejenisnya). Konten-konten di media sosial tersebut menciptakan tren-tren yang secara implisit mengirimkan pesan bahwa kita pun harus mengikuti tren-tren tersebut agar kita tidak ketinggalan zaman. Kemudian, kita menjadi cemas dan takut ketika kita belum berhasil menjadi seperti mereka di media sosial. Akhirnya, kita pun terpengaruh untuk menjadi seperti mereka dan mungkin saja kita menjadi sombong ketika kita berhasil menjadi seperti mereka atau lebih hebat dari mereka.

Aku senang dengan pandangan dari Tony Reinke dalam bukunya “12 Ways Your Phone is Changing You” (12 Cara Ponselmu Sedang Mengubahmu). Dia berkata bahwa setiap inovasi teknologi adalah undangan teologis baru bagi umat Tuhan untuk mengalami pembaharuan kontemplasi yang alkitabiah. Artinya, Tuhan tidak menutup kesempatan bagi kita untuk memanfaatkan teknologi untuk dapat terus membangun relasi yang baik dengan Tuhan dan sesama. Media sosial maupun ponsel kita adalah sarana yang baik yang disediakan oleh Tuhan bagi kita untuk memuliakan-Nya.

Kawan, pilihannya ada di tangan kita. Kita bisa memilih untuk merespons konten-konten di media sosial dengan FOMO maupun dengan rencana untuk menjadi menyombongkan diri dengan membuat konten baru yang lebih spektakuler. Kita pun bisa memilih untuk hanya menanggapi konten-konten itu sebatas hiburan, informasi baru bagi kita, ataupun sebagai sarana anugerah Allah untuk memperlengkapi kita. Kita bisa memafaatkan media sosial dan tren terbaru sebagai jalan masuk untuk memberitakan tentang Injil Kristus.

Namun, pada akhirnya, seperti ponsel yang ada di genggaman tanganmu, kamu pun punya kebebasan untuk menerima maupun menolak. Yuk, mari kita terus bersandar pada anugerah dan hikmat dari Tuhan di dalam meresponi konten-konten di media sosial biar kamu gak outdate atau pun FOMO.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥