Posts

4 Rumus Menegur

Menegur seseorang bukan perkara mudah, apalagi kalau kita orangnya “gak enakan.” Menegur jadi tindakan yang berisiko karena kita takut melukai perasaan orang lain. Tapi, “gak enakan” bukan berarti “tutup mata”.

Simak selengkapnya di: 4 Rumus untuk Menyampaikan Teguran.

Kamu diberkati oleh konten ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tempat Kerja yang “Katanya” Menyeramkan, Justru Membuatku Mengingat Allah

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Siang hari itu aku tertunduk dan menangis. Baru saja aku melakukan kesalahan di kantorku. Saat itu aku sedang mengerjakan sebuah proyek dengan deadline 2 hari lagi. Proyek ini urgent, harus segera diselesaikan. Aku merasa sudah merencanakannya dengan matang dan merasa bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana.

Namun, semuanya berubah. Aku melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang dikatakan oleh atasanku. Saat aku menyadari kesalahanku, aku merasa sangat malu. Aku menghantam diriku sendiri dengan kata-kata yang terus menyalahkan. Aku merasa bodoh. Aku tidak suka berbuat salah, apalagi kesalahan karena kebodohanku.

Namun dalam keterpurukanku itu, aku mengingat kembali tentang Allah.

1. Dalam keterpurukan, Allah hadir dan memperhatikan

Saat aku sedang tertunduk dan menangis, aku merasakan sebuah tangan yang menyentuh bahuku. “Are you okay?” bisiknya. Aku mengenali suaranya. Ia adalah seorang rekan kerjaku, kak Putri namanya. Pertanyaan itu sederhana. Tidak memaksa untuk dijawab. Namun, coba bayangkan, dalam kondisi menyalahkan diri sendiri, merasa tidak ada yang berpihak pada kita, tiba-tiba ada seseorang yang ternyata memperhatikan dan ikut hadir.

Jika manusia yang hanya ciptaan saja, bisa berperilaku demikian, bagaimana dengan Sang Pencipta? Perhatian dan kehadiran yang serupa, bahkan lebih indah, juga diberikan oleh Allah pada kita. Seperti pada kisah Elia, yang dalam keterpurukannya, Allah hadir. Allah menghadapi Elia dengan sikap penuh pengertian dan perhatian. Allah menyapa Elia dalam kelelahannya dan kelemahannya. Allah memberi waktu Elia untuk beristirahat. Allah memberi makan Elia.

Allah, yang berkuasa itu, sungguh mengasihi kita. Dan dalam keterpurukan kita, Ia hadir, memerhatikan, dan memelihara.

2. Dalam rasa bersalah yang mendalam, Allah memberikan pengampunan

Aku kemudian menceritakan kesalahan itu kepada kak Sasa, atasan langsungku. Aku mengakui bahwa aku tidak mengikuti arahannya. Aku juga bercerita kepadanya tentang rasa bersalahku dan kebodohanku. Aku meminta maaf kepadanya karena kesalahanku. Aku sudah siap jika ia akan menanggapi dengan “kan sudah dibilangin”. Namun, bukan itu yang ia katakan.

“It’s okay kok kalau kali ini kamu salah, namanya kerja ‘kan gak selalu 100% lancar; biar jadi motivasi kedepannya lebih baik yaa.” Kalimat itu sama sekali tidak menyalahkan, apalagi menghakimi. Kalimatnya terasa seperti angin sejuk pengampunan, di tengah kekecewaan pada diri yang begitu membara.

Lagi-lagi, jika manusia yang hanya ciptaan saja bisa mengampuni padahal dia berhak untuk menghukum, bagaimana dengan Allah yang maha pengampun? Allah bisa saja membiarkan kita untuk mati karena pilihan kita berbuat dosa. Allah bisa saja tidak mengampuni kita. Allah bisa saja tidak mempedulikan kita. Namun, Ia memilih hal sebaliknya. Saat tahu bahwa pengampunan dosa kita hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang tak bercela, Ia mengorbankan Anak-Nya untuk mati di kayu salib, menggantikan tempat kita.

Allah yang adil itu, sungguh mengasihi dan mau membangun relasi dengan kita. Ia rela mengorbankan Anak-Nya untuk menebus dosa kita, agar kita bisa diampuni dan berelasi dengan-Nya.

3. Dalam kelemahan kita, kuasa Tuhan menjadi sempurna

Kekecewaan, rasa bersalah, serta air mata yang kukeluarkan menunjukkan kelemahanku. Aku sempat merasa tidak layak bekerja di tempat ini karena hal bodoh yang aku lakukan.

Namun, adakah tokoh Alkitab yang tidak berbuat salah? Kita tahu bersama, kesalahan Daud yang berzina dengan Bersheba, padahal ia dielu-elukan sebagai a man after God’s own heart. Yakub, yang adalah Israel, dengan liciknya mengambil hak kesulungan Esau. Bahkan Petrus, sang rasul, yang menyangkal Yesus tiga kali saat Yesus disalibkan.

Semua tokoh terkenal itu memiliki kelemahan. Namun, kelemahan tidak berhubungan dengan ketidaklayakan. Kita memiliki kelemahan karena kita manusia. Manusia adalah ciptaan yang perlu terus bergantung pada Allah yang berkuasa.

Pengalaman melakukan kesalahan dan menikmati pengampunan di kantorku, mengingatkanku kembali pada Allah yang dalam kelemahan dan kegagalanku terus hadir dan mengampuniku. Kiranya dalam berbagai kegagalan di hidup, dalam berbagai kekecewaan karena kelemahan diri, kita juga boleh terus menikmati kehadiran, pengampunan, dan kuasa Tuhan yang dengan sempurna bekerja dalam setiap cerita hidup kita.

Soli Deo Gloria.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu