Posts

Yang Seharusnya Terlupakan, Tapi Teringat Sepanjang Masa

Oleh Astrid Winda Sondakh, Sulawesi Utara

Ada satu riset yang mengatakan bahwa hanya tokoh-tokoh terkenal dan berpengaruh yang cerita hidupnya akan selalu terkenang lebih dari satu abad. Jika kamu cuma orang biasa, umumnya setelah tiga generasi berlalu kisah hidupmu akan lenyap dan tak lagi diketahui orang.

Tapi, ada kisah seorang miskin yang tidak punya pengaruh apa pun pada masyarakat di zamannya. Bahkan jika dia masuk ke rumah ibadah pun, orang-orang tak menghiraukannya. Tapi, kisahnya lestari, terkenang dan terus dituturkan sebagai teladan iman akan pemberian yang berkenan pada Allah sampai kepada hari ini.

Kisah orang miskin ini tercatat karena pada suatu kali Yesus sedang duduk menghadap peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Setelah orang-orang kaya memasukkan kepingan uang dalam jumlah besar, datanglah seorang janda miskin yang hanya memasukkan dua uang tembaga, uang receh terkecil. Si janda miskin ini sungguh menarik perhatian Yesus, sampai-sampai Dia memanggil para murid untuk mengapresiasi pemberian receh itu. “… Janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab, mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya semua yang milikinya, yaitu seluruh nafkahnya.” (Markus 12:41-44).

***

Hatiku tergugah membaca kembali cerita janda miskin ini, dan mengingatkanku jika cerita ini dibandingkan dengan masa sekarang, siapakah yang mau memberi di tengah kondisi kekurangan? Dalam konteks kehidupan kita sehari-hari, umumnya memberi dilakukan pada saat kita berkelebihan atau cukup. Semisal, saat kita punya makanan lebih, maka kita membagikannya pada tetangga. Jika kita sendiri kurang, bukankah sulit untuk memberi?

Aku pernah mengalami momen seperti itu. Secara materi, waktu itu uangku tinggal sedikit sehingga untuk memberi rasanya begitu berat karena sesungguhnya uangku itu harus kugunakan untuk keperluan besok hari. Alhasil aku pun tidak jadi memberi karena khawatir.

Kembali pada kisah tentang janda miskin yang memberi dua keping uang tembaga, pada masa itu hidup seorang janda sangatlah susah karena faktor budaya. Ketika seorang perempuan menikah, maka dia akan menjadi milik suaminya, termasuk juga seluruh hartanya. Jika suaminya meninggal, maka posisi perempuan menjadi rentan karena sosok yang seharusnya melindunginya telah tiada. Tidak banyak lapangan kerja tersedia bagi seorang janda di masa itu, sehingga mendapatkan penghasilan layak sangatlah sulit. Dua peser yang dimiliki janda itu sama dengan 1/128 dinar, sedangkan upah buruh satu hari adalah 1 dinar. Artinya, apa yang dimiliki sang janda jauh lebih kecil daripada penghasilan seorang buruh. Dalam kondisi yang sangat miskin, justru janda itu memberikan segala yang dia miliki buat Tuhan.

Alkitab tidak mencatat apa yang Yesus lakukan setelah melihat janda miskin itu. Tetapi, kita dapat dengan iman meyakini bahwa Tuhan memberkati janda itu. Salah satunya adalah dengan kisah teladannya yang tercatat dalam Injil dan memberkati orang-orang Kristen turun temurun.

Memberi dalam masa kekurangan memang tidak mudah. Setelah aku sempat gagal memberi, ada suatu masa ketika aku kembali belajar untuk memberi di tengah kekurangan. Waktu itu uangku benar-benar telah menipis, tapi saat itu aku tetap tergerak untuk mengembalikan persepuluhan. Aku yakin pemberianku bukanlah untuk meminta berkat, tapi karena syukur atas berkat-berkat yang telah kunikmati, bukan hanya sekadar berkat materi namun aku bisa bangun di pagi hari, bernafas, punya tubuh yang sehat dan kuat juga berkat yang Tuhan anugerahkan bagiku. Seharusnya aku bisa saja untuk tidak memberi dengan alasan uangku telah menipis. Lagipula tidak akan ada orang yang tahu kalau bulan itu aku memberikan persepuluhan atau tidak. Saat aku memutuskan memberi, tidak ada rasa terpaksa di hati. Yang ada hanyalah sukacita dan damai sejahtera. Satu minggu setelahnya, aku tidak kekurangan! Padahal saat itu aku tahu uangku telah menipis. Hari demi hari aku diberi-Nya berkat kecukupan dan kelimpahan. Aku begitu terharu melihat kebaikan Tuhan kala itu. Dia memberikanku lebih daripada apa yang bisa kuberikan buat-Nya.

Teladan janda miskin adalah cerita yang mengajarku untuk tidak perlu takut dalam memberi kepada sesama yang membutuhkan, terlebih lagi buat Tuhan. Mungkin dalam situasi seperti saat ini, sangat sulit untuk memberi dalam hal keuangan, namun ada hal lain yang bisa kita beri, yaitu tenaga, kasih sayang, dan waktu.

Teman-teman, memberi di tengah kekurangan tidak akan membuat kita menjadi kurang, namun justru semakin berkelimpahan di dalam kasih setia Tuhan. Meski mungkin ketika kita memberi, situasi dan keadaan kita masih tetap sama, namun ingatlah bahwa berkat sesungguhnya bukan hanya tentang materi, bisa juga tentang kesehatan, pergaulan yang baik, dan lain sebagainya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

4 Makna di Balik Persembahan

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Apa yang membuat seseorang tergerak hatinya untuk memberi persembahan?

Jika pertanyaan ini dilontarkan padaku, mungkin jawabanku adalah jika orang tersebut memiliki uang, entah banyak atau sedikit. Tapi, sekadar memiliki uang saja sebenarnya tidaklah cukup. Alkitab memberikan kita contoh yang jelas. Ketika Yesus mengamat-amati orang-orang yang memberikan persembahan di bait Allah, perhatiannya malah tertuju pada seorang janda miskin (Markus 12:41-44; Lukas 21:1-4). Yesus bahkan menyanjung si janda tersebut karena nominal yang diberikan adalah yang terkecil dari semua persembahan yang dimasukkan ke kotak, tetapi diberikan dengan sikap hati yang besar.

Kondisi finansial mungkin akan mempengaruhi nominal persembahan yang kita berikan, namun nominal bukanlah yang pertama dan terutama. Ada empat hal yang kupelajari mengapa persembahan kita, yang kita berikan dengan berbesar hati—seberapa pun nominalnya, berkenan buat Tuhan.

1. Memberi persembahan adalah ekspresi iman kita

Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur dalam segala hal, sebab Tuhan itu baik. Cara bersyukur pun beragam, tidak hanya  dengan ucapan tetapi juga dengan tindakan, seperti memberi persembahan. Dalam Yesus Kristus, kita mengimani bahwa berkat Tuhanlah yang menjadikan kita memiliki segalanya, bahkan hidup kekal dari anugerah-Nya.

Tuhanlah yang empunya segalanya. Persembahan yang kita berikan bukanlah untuk memperkaya-Nya, tetapi ekspresi iman kita, bahwa kita mengasihi Tuhan lebih daripada berkat-berkat-Nya, dan kita selalu dipelihara-Nya (Mazmur 96:8; Matius 6:26). Tuhan pasti selalu mencukupkan segala yang dibutuhkan terlepas penghasilan kita banyak atau sedikit.

2. Memberi persembahan berarti memberikan yang terbaik bagi Tuhan

Dalam perikop Markus 12:41-44, kisah janda miskin memberikan persembahannya mendapat sanjungan dari Yesus yang kala itu berada dalam Bait Allah sambil memperhatikan orang-orang yang datang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Dengan dua peser senilai uang satu duit, janda miskin tersebut telah memberi yang terbaik bagi Tuhan dibanding pemberian orang-orang kaya dari kelebihannya.

Apa yang terbaik yang bisa diberikan seseorang yang secara kasat mata tak punya apa-apa? Tokoh janda miskin menggambarkan situasi kehidupan yang serba kekurangan. Secara strata sosial, janda miskin berada di lapisan terendah. Hidupnya hanya bergantung pada penghasilan sendiri atau bahkan pemberian orang lain. Tentu ini adalah kondisi yang kontras dengan kebanyakan pemberi persembahan saat itu.

Dengan segala kekurangannya, janda miskin itu sungguh-sungguh menyerahkan seluruhnya untuk Tuhan. Persembahan dua peser dari janda miskin adalah pemberian yang kuantitasnya sangat kecil, tetapi nilai kualitasnya sangat besar di hadapan Yesus. Bagi-Nya, persembahan yang terbaik adalah bukan soal nominalnya, kuantitasnya, melainkan sikap hati, yaitu ketulusan dan kesungguhan memberi dengan tujuan yang murni untuk Tuhan.

Memberi persembahan bukanlah sebuah paksaan, tetapi pemberian yang didasari kasih dan sukacita kita kepada Tuhan, sehingga kita seharusnya memberikan yang terbaik. Jangan menunggu kaya, untuk mau memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Apakah finansial kita lebih, cukup atau kurang, yang terbaik di hadapan Tuhan adalah ketulusan dan motivasi kita dalam memberi.

3. Memberi persembahan adalah sebuah pengorbanan

Dua peser yang diberikan janda miskin bisa kita sebut sebagai persembahan kehidupan, sebab dia memberikan segala yang dia miliki. 

Teladan persembahan janda miskin ini memang sulit untuk kita lakukan. Aku pernah jadi orang yang pikir-pikir dulu sebelum memberi persembahan. “Aku butuh ini dan itu Tuhan. Bagaimana mungkin uangku ini kupersembahkan bagi-Mu?” Aku mencari pembelaan atas keenggananku memberi.

Aku juga pernah berharap dalam hati untuk mendapatkan imbalan ketika aku mengorbankan waktu dan tenagaku untuk melayani. Namun, puji Tuhan, teladan janda miskin menyadarkanku bahwa memberi persembahan adalah pengorbanan yang seharusnya aku tidak mengharapkan balasan.

Berbicara tentang persembahan yang kumaknai sebagai sebuah  pengorbanan, aku teringat pada pengorbanan Yesus Kristus yang rela mengorbankan nyawa-Nya menebus dosa demi keselamatan hidup kita. Dia adalah Tuhan kita yang telah mempersembahkan diri-Nya untuk kebaikan kita, tidakkah kita juga harus  merespons kasih-Nya itu dengan memberi persembahan tanpa mengharapkan imbalan? (Matius 6:3-4; Kolose 3:23).

4. Mempersembahkan hidup adalah persembahan sejati

Ketika kita berbicara tentang persembahan kepada Tuhan, sejatinya bukan hanya soal uang atau harta lainnya. Lebih dari semuanya itu, sesungguhnya hidup dan seluruh kehidupan kita adalah persembahan sejati bagi Tuhan. Saat kita memberikan persembahan, apakah kita sudah mengasihi sesama?

Mengasihi Allah dengan memberikan persembahan bagi-Nya tidak bisa dipisahkan dari ekspresi ibadah kita yang horizontal, yakni mengasihi sesama kita. Persembahan kita akan berkenan dan berarti apabila itu selaras pula dengan perbuatan, tutur kata, dan tindakan kita yang taat pada firman Allah.

Dalam Perjanjian Lama, para imam menguduskan diri terlebih dahulu sebelum mempersembahkan korban bakaran dari umat Israel. Di zaman Perjanjian Baru, Imam Agung kita, yaitu Yesus Kristus juga telah mempersembahkan diri-Nya  sebagai korban penebus dosa.

***

Kisah janda miskin dan orang kaya dalam memberi persembahan menjadi pengingat bagi kita bahwa memberi persembahan bukanlah ajang untuk mempertontonkan kekayaan dan kekuasaan, melainkan dengan rendah hati kita memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama.

Mari merenungkan bahwa dua peser saja cukup dan dikenan Tuhan. Artinya dengan apa yang dimiliki untuk dipersembahkan dengan penuh iman dan ketulusan, Tuhan sanggup memakainya untuk menjadi berkat, terlebih menjadi hormat dan kemuliaan di hadapan Tuhan.

Kiranya Tuhan selalu berkenan untuk setiap persembahan yang kita beri, dan hidup kita  menjadi persembahan sejati bagi-Nya.

“Dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan  diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” (Efesus 5:2).

Terpujilah Kristus!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tidak Menuntut, tetapi Memberi yang Terbaik

Oleh Sofia Dorkas Pakpahan, Medan

Deru mesin sepeda motor tetiba berhenti di teras rumah. Aku hafal betul ini pertanda mama sudah pulang dari tempat kerjanya, dan seperti sore sebelumnya, dia masuk sambil membawa plastik besar berisi bakal kain untuk dijahit, tapi mulutnya pun ikut mengomel.

Apa yang diomelkannya berbeda dari biasanya. Bukan karena rumah yang belum selesai dibersihkan atau ember di kamar mandi yang belum terisi penuh, melainkan tentang pelanggan jahitnya. Sebenarnya aku sudah sering mendengar omelannya tentang para pelanggannya, namun yang satu ini adalah yang paling sering kudengar. Si pelanggan menuntut bajunya dipayet dengan sangat bagus sementara bayarannya jauh lebih sedikit dari bayaran semestinya. Fyi, payetan adalah bentuk hiasan yang diberikan pada baju agar hasil jahitan lebih berkilau dan cantik. Dengan kesabaran yang diusahakan mencapai 100%, mama menerbitkan senyuman kepada pelanggan tersebut dan mencoba menjelaskan bahwa untuk mendapatkan payetan yang bagus maka bayarannya juga harus sesuai. Yah sesuai istilah, “Ada barang ada harga”. Namun, pada akhirnya proses tawar menawar ini berakhir dengan mama yang setuju dengan harga yang ditawarkan si pelanggan. Pelanggannya pulang dengan hati bahagia, sementara mama pulang dengan penuh omelan. Tidak banyak yang bisa aku lakukan selain mencoba menyemangati mama.

Sekilas kejadian yang mama alami mengingatkanku pada cerita tentang janda miskin yang memberikan dua peser persembahannya (Markus 12: 41-44). Janda itu mampu memberikan semua kepunyaannya kepada Tuhan. Aku sedikit meringis ketika mengingat bahwa aku, atau juga banyak orang Kristen yang memperhitungkan berapa persembahan yang akan diberinya, kemudian meminta banyak hal dari Tuhan.

Kadang ketika memberi persembahan kepada Tuhan, kita seringkali bersikap seperti pelanggan jahit mamaku yang meminta yang terbaik untuk bajunya tetapi enggan membayar harga yang sepadan. Kerap kali kita menuntut yang terbaik dari Tuhan, tetapi kita sendiri tidak mengerjakan bagian kita dengan bertanggung jawab. Kita mampu meluangkan waktu setiap hari untuk bekerja atau bersekolah, tetapi masih mikir-mikir untuk pergi ke gereja di hari Minggu. Kita terlalu sibuk dengan segala urusan kita hingga lupa meluangkan waktu untuk berdoa kepada Tuhan. Namun, ketika kondisi kita berubah dan kita mengalami kesulitan, barulah kita datang kepada Tuhan.

Sesungguhnya, Tuhan tidak melihat seberapa banyak yang kita bisa berikan buat Dia, yang dilihat-Nya adalah kesungguhan hati kita. Sama seperti cerita janda miskin yang memberi dua peser—jumlah yang sangat sedikit bagi orang lain, namun begitu berharga di hadapan Tuhan karena itulah segalanya yang dia miliki. Dua peser menjadi bermakna besar bukan karena nominalnya, tetapi karena sikap hati yang mendasarinya.

Aku ingat ketika mama mengatakan, “Persembahan itu bukan dari besarnya jumlah yang kita berikan, melainkan dari hati yang bersukacita ketika memberi persembahan kepada Tuhan”. Persembahan juga tidak selalu tentang uang, tetapi kita juga bisa memberikan talenta kita sebagai persembahan yang terbaik bagi Tuhan. Apapun yang terbaik yang kita miliki, berilah itu kepada Tuhan. Karena ketika kita mampu memberi yang terbaik bagi Tuhan, maka Tuhan pun akan memberkati kita dengan berkat-berkat yang melimpah.

Omelan mama sore ini cukup menyadarkanku untuk tidak cuma tahu “menuntut”, tetapi belajar untuk “memberi yang terbaik”, terutama kepada Tuhan.

Arti Cukupmu = Cara Pandang Kepada Tuhan

Sebuah cerpen oleh Cristal Pagit Tarigan, NTT

“Del, kamu punya uang kecil gak, itu ojek onlineku sudah nunggu didepan, bapaknya gak punya uang kembalian…”

Terdengar suara dari luar kamar kosku yang bukan lain adalah suara Ningsi, sahabatku yang paling sosialita. Sambil membukakan pintu, aku menjawabnya, “Itu dompetku, di atas meja. Kamu cek aja, lihat yang tulisannya uang jajan,” lalu kembali fokus dengan laporan di laptopku.

Setelah membayarkan uang ojol-nya, dia masuk dengan mata dan wajahnya yang menatapku keheranan.

“Del, aku baru tau dompetmu sampai ada rincian penggunaan uangnya, udah kayak ibu-ibu yang mau mikirin kredit KPR aja deh. Heran, masih ada ya zaman sekarang orang sedetail itu. Sejak kapan?”

Aku hanya tersenyum kecil, menatap kembali laporan yang belum selesai. Tapi wajahnya yang masih menatapku dengan penuh keheranan itu, membuatku berhenti sejenak.

“Nit, memangnya hanya ibu-ibu saja yang mesti memikirkan pentingnya penggunaan uang? Kita juga kali. Aku masih baru memulai sih, tapi aku rasa itu work di aku. Pengeluaranku bulan lalu benar-benar terkendali, sampai aku bisa nabung lebih dari bulan biasanya,” jawabku.

Kulihat wajahnya mulai menyiratkan sesuatu, pasti kali ini dia mau curhat kalo sudah begitu.

“Aku kalau udah bahas soal keuangan, kamu tau lah, aku pasti akan berujung dengan penyesalan saja. Pengen banget sih aku berubah, tapi kok sulit banget ya rasanya…” Suaranya mulai mengecil.

Ningsi adalah sahabatku selama aku menjadi mahasiswa. Dia baik, loyal, enak diajak cerita,  setia dan juga stylish banget. Secara strata ekonomi dia berasal dari keluarga menengah. Selama kuliah, orang tuanya tidak pernah memberikan uang bulanannya lewat dari batas seharusnya. Tapi dulu dia sering mengeluh merasa itu kurang, dan rupanya setelah bekerja dan mendapat upah yang menurutku lumayan, dia masih juga mengeluhkan hal yang sama.

“Kan yang mahal sebenarnya bukan biaya hidup, bestie. Tapi gaya hidup” kataku sambil duduk di sebelahnya. “Belum ada yang terlambat kok, justru kalo kamu sadar dan masih merasa menyesal, artinya kamu masih aware sama kondisimu, apalagi dengan berbagi begini. Aku rasa kita bisa belajar sama-sama lagi menata keuangan kita, kan masih banyak mimpi yang belum kita raih, ya gak?” Sambil memperkatakan itu, aku sadar betul itu kuperkatakan kepada diriku sendiri juga.

Bercerita begini, memang sering kali membuat kami nangis bareng-bareng, rangkul-rangkulan. Benar saja, wajahnya mulai seperti ingin meneteskan air mata.

“Kenapa ya Del, aku susah banget buat belajar taat dan berkomitmen sama apa yang udah aku janjikan ke diriku sendiri? Setiap bulan, aku pengen banget menabung, tapi aku selalu kalap dengan discount di aplikasi orange itu, apalagi kalo udah ketemu sama temen-temenku di tongkrongan, aku sering lupa diri udah menghabiskan uangku untuk makan-makan, atau sekedar melihat mode baru apa yang mereka gunakan agar bisa aku ikuti.”

Sambil merangkulnya, kukatakan, “Kamu tau kan Ning, pergaulan buruk merusak kebiasaan baik. Kita gak salah kok nongkrong dan punya banyak teman, tapi perlu juga lho sesekali mengevaluasi diri kita sendiri, bagaimana kualitas pertumbuhan diri kita dalam circle itu. Atau mungkin begini, kita akan selalu merasa tidak puas, kalau kita sendiri belum menetapkan standar puas dan cukup untuk diri kita sendiri.”

Kali ini dia bertanya sangat serius. “Kamu sendiri, apa standar puasmu menghadapi dunia zaman sekarang ini?”

“Hmm, sebenarnya aku benar-benar masih belajar sih ya, aku juga bukan tidak pernah seperti kamu, tapi sekarang aku benar-benar mulai mem-push diriku untuk selalu mau mencukupkan diri dengan apa yang ada dan itu sangat erat kaitannya dengan bagaimana hubunganku sama Tuhan, caraku memandang Tuhanlah yang mempengaruhi cara berpikirku, termasuk soal uang dan rasa cukup,” jawabku.

Ya, dulu juga aku pernah di posisi Ningsi, tapi aku bersyukur aku cepat ditangkap Tuhan untuk sadar. Awalnya mulai untuk menaati firman yang aku dengar, itu susah sekali. Keinginan daging untuk selalu ingin tampil sama dengan dunia ini sangat menarik, sampai sampai perihal mengelola keuangan ketika masih muda itu kurang penting. Perasaan “YOLO”, You Only Live Once itu sangat mempengaruhiku. Tapi rupanya itu salah, dan kita hanya akan tahu itu salah ketika mulai belajar mendengar dan merenungkan firman Tuhan dengan taat. Karena saat mengetahui Firman, kita kembali ke landasan kebenaran. Arti cukup yang sesungguhnya itu bukan soal kepuasaan kita terpenuhi ketika memiliki materi atau fisik yang sesuai standar dunia. Identitas diri kita ditentukan hanya oleh Tuhan saja.

“Gimana kalau kita buat plan mengelola keuangan kita bareng-bareng aja?” balasku lagi kemudian.

Yap, sambil sharing- sharing kami mulai mau saling mengingatkan, dan beberapa yang kami mau kerjakan adalah:

1. Mulai buat rincian pengeluaran setiap bulan

2. Mengurangi belanja dan nongkrong yang berlebihan

3. Belajar konsisten menabung walau sedikit

4. Bergaya sesuai keadaan

5. SALING MENGINGATKAN SATU SAMA LAIN

“Del, kayaknya selain aku belajar taat, yang kelima tugas berat kamu deh,” katanya sambil tertawa, menunjukkan kelegaan yang juga aku rasakan setelah sharing kami hari ini.

“Aku sih yes, kamu juga ya ke aku, jangan pikir aku selalu bisa konsisten dan udah pasti gak jatuh di area ini…” Begitulah percakapan dua orang generasi Z yang sering jatuh ini.

Hari ini aku sendiri sadar, Tuhan tidak pernah kehilangan cara mengingatkan kita melalui siapa saja. Sadar juga punya teman yang bisa diajak mau belajar itu penting. Jadi penting banget mengevaluasi circle pertemanan kita, dan yang paling utama HUBUNGAN DENGAN TUHAN YANG MEMBUAT KITA MENGERTI ARTI CUKUP YANG SEBENARNYA.

IBRANI 13:5: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman : “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

Itung-itungan Soal Persembahan

Oleh Jessie

Sebagai seorang pedagang, topik keuangan merupakan topik yang sangat dekat di hati. Buatku, profesi ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk memberikan lebih. Sehingga, dengan terus terang, meskipun topik ini terasa dekat tapi juga agak menyebalkan untuk dibahas. Hehehe… Kenapa?

Apa yang kutahu dengan apa yang ingin dilakukan seringkali bentrok. Dalam kasusku, jiwa cinta Tuhan dan jiwa pelit sering beradu. Terasa berat untuk mengembalikan persembahan yang sesuai. Kasih sih kasih, tetapi sesuai atau tidaknya itulah yang selalu jadi pertanyaan besar. Saat memberi, kok rasanya sedikit banget, jadi ditambahkan. Tapi, setelah ditambahkan, kok kayaknya kebanyakan ya… jadinya dikurangi lagi. Agak kacau memang.

Ceritaku di atas hanyalah pengantar dari topik menarik yang akan kita gali bersama: tentang persembahan. Dalam kekristenan, memberi persembahan adalah bagian tak terpisahkan dari iman kita. Alkitab mencatat sejak zaman Perjanjian Lama, umat memberikan persembahan sebagai wujud syukur kepada Allah. Pada zaman modern, jenis persembahan yang kita kenal dalam peribadahan umumnya persembahan mingguan dan persepuluhan.

Konsep persepuluhan tertulis jelas dalam Perjanjian Lama bahwa 10% dari penghasilan kita sudah selayaknya dikembalikan untuk Tuhan. Nah, untuk jiwa pedagang sepertiku, 10% penghasilan ini nominalnya bisa dialokasikan untuk banyak hal. Jadi, mengembalikan 10% merupakan latihan rohani yang kugumulkan. Kesulitanku bukan dari sisi finansial, tetapi jiwa pedagang dalam diriku yang seringkali menuntutku untuk itungan. Untuk menyiasati ini, ada teman-temanku yang langsung mengatur settingan di banknya untuk langsung autodebet sepuluh persen ke kas persepuluhan gereja setiap bulannya. Katanya itu sangat membantu, “supaya gak mikir-mikir lagi atau berat hati sampai akhirnya tidak memberi.” Aku salut dengan mereka karena ini salah satu strategi mereka untuk memantapkan niatan hati.

Tapi, apakah 10% pada zaman sekarang adalah angka mutlak? Untuk menjawabnya, ada banyak teori dan penafsiran yang dapat dengan mudah kita jumpai di luar sana. Tapi secara sederhana, kurasa angka 10% yang jelas tertulis tidak bisa kita abaikan begitu saja. Namun, semuanya kembali kepada kondisi finansial kita. Aku percaya Tuhan tidak pernah melihat kuantitasnya, melainkan kualitas hati kita karena sesungguhnya, esensi dari persembahan yang kita berikan adalah sikap hati kita.

Ceritaku tentang jumlah persembahanku yang tidak sesuai karena urusan hati yang pelit memang sudah jadi pergumulan dosa dan pertanggungjawabanku di hadapan Tuhan. Seorang peneliti Alkitab bernama Angel Manuel Rodriguez menjabarkan beberapa poin dari apa yang disebut acceptable offering, atau artinya “persembahan yang layak”.

Persembahan yang layak bukan dilihat dari jumlah yang kita berikan, namun dari sikap hati saat memberi.

Yang pertama, persembahan yang layak harus disertai dengan self-offering, di mana si pemberi mau menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan (Lukas 21:3-4). Cerita dari janda yang memberikan dua peser mengilustrasikan hati seorang yang penuh kasih terhadap Tuhan dan ingin menyerahkan seluruh dirinya pada Kristus dengan seluruh uang (dua peser) yang dimilikinya. 

Yang kedua, persembahan yang layak itu dilakukan dengan iman akan penyertaan Tuhan yang selalu mencukupkan kita (2 Korintus 8:3).

Yang ketiga, persembahan diberikan atas bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Kalau kata pepatah, “Ngomong aja gak cukup, mana aksinya?” Nah, sama juga dalam konteks ini. Doa dan ucapan syukur kita juga harus ada aksinya. Salah satu contohnya adalah memberikan persembahan. Selain itu, poin ini juga mengingatkan kita bahwa persembahan yang kita berikan merupakan respons dari hati kita yang penuh dengan rasa syukur, bukan karena Tuhan yang butuh uang kita.

Yang keempat, persembahan itu disebut layak jika kita memberikan dengan penuh kerelaan hati, tidak dengan keberatan hati ataupun dengan paksaan (2 Korintus 9:7). Rasul Paulus mengajak orang Kristen untuk memberi dengan setia, tapi dengan catatan pemberian tersebut dilakukan dengan hati yang bersukacita.

Yang kelima, ini merupakan poin yang menurutku penting sekali dan sering dilupakan. Persembahan yang layak harus dilakukan dengan hati yang damai, damai dengan Tuhan dan sesama. Banyak dari kita datang setiap minggu ke gereja dengan pergumulan relasi, baik dengan Tuhan dan sesama kita. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” (Matius 5:23-24). Menjaga relasi yang baik dengan sesama kita juga merupakan kewajiban yang setara pentingnya dengan membawa persembahan kita kepada Tuhan.

Yang terakhir, Tuhan tidak ingin kita memberikan lebih dari kemampuan kita, sehingga jumlahnya tidak boleh didasari emosi sesaat, melainkan dengan konsistensi dan komitmen yang sudah kita perhitungkan di awal saat kita mulai memberi. Yang diberkati lebih diharapkan untuk memberi lebih, dan untuk yang lainnya, dianjurkan untuk memberi sesuai dengan kondisi finansial nya. Ingat bahwa Tuhan tidak pernah mewajibkan kita memberi melebihi kapasitas kita.

***

Untuk menutup artikel kali ini, aku ingin membagikan cerita lucu dari salah satu temanku yang juga seorang pengusaha. Boleh dikatakan, ia adalah seorang yang sangat giat pelayanan dan rajin sekali memberi. Ia bercerita bahwa ia pernah kelebihan satu nol saat menuliskan angka persepuluhannya. Karena ini sudah era digital, di mana semuanya tinggal dilaksanakan dengan satu klik saja, tahu-tahunya tulisan “m-Transfer BERHASIL” sudah muncul di layar. Ini bukan zaman kertas gir, yang kalau salah tulis, bisa disobek aja. Lebih satu nol ini tidak bisa dianggap remeh; karena akibatnya bisa fatal kalau lalai teliti. Karena kami teman-teman setianya yang baik hati, tentu kami menertawakan dia, apalagi mengingat bahwa kefatalan extra “0” ini merupakan uang persepuluhan, bukan persembahan mingguan. Saat kongkow, ia bercerita bahwa walau tidak sengaja, ia benar-benar merasakan berkat Tuhan yang senantiasa memeliharanya. Kami, teman-temannya pun melihat perkembangan usahanya yang terus meningkat drastis setiap bulannya dari bertambahnya karyawannya serta penjualannya. Tolong jangan disalah pahami cerita ini ya; persembahan bukan strategi kita agar mendapatkan uang lebih lagi dari Tuhan. Poinnya adalah, dengan motivasi yang benar dan kerelaan hati untuk memberi, Tuhan seringkali memberkati mereka yang memberikan dengan segenap hatinya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Dua Peser Nomor Satu

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

“Kita bisa memberi tanpa mengasihi, tapi kita tidak bisa mengasihi tanpa memberi.”

Pepatah itu tepat “menembak jantung” si tukang pamer. Ia memang sering memberi banyak hal kepada banyak orang lalu menyebarkan kegiatannya itu ke mana-mana. Sebenarnya dokumentasi tidak selalu buruk, tapi orang ini, si tukang pamer, sengaja mengunggah kegiatan-kegiatan “bantuan sosial” yang ia lakukan agar dilihat orang dan ia menerima pujian. Setidaknya, itulah motivasi utamanya. Ia tidak memberi karena Ia mengasihi. Ia ingin pamer.

Pepatah yang sama juga “menembus dada” si dia yang hanya memberi “barang-barang sisanya” untuk orang lain. Menyisihkan sesuatu untuk orang lain dan membagikannya tidak selalu buruk, tapi orang ini punya ratusan pasang sepatu bagus yang tidak sempat ia pakai sekalipun selama enam tahun terakhir. Namun yang ia lakukan adalah sengaja mengambil sepatu sobek yang bagian depannya menganga bagai mulut buaya lapar, tidak layak pakai, dan itulah yang ia berikan kepada seorang tua miskin yang berjalan tanpa alas kaki.

Dua contoh sosok di atas adalah sebuah ilustrasi, sekaligus kenyataan bahwa memberi ternyata bisa menyakiti hati Tuhan.

Dua ribu tahun lalu ada seorang janda miskin yang tidak mendapat banyak perhatian, berdiri di depan kotak persembahan. Ia kalah mempesona dibanding orang-orang yang sebelumnya ada di sana. Mereka berpenampilan menarik dan memberikan uang dalam jumlah yang besar. Ia lusuh dan hanya memberi dua peser saja (Markus 12:41-44).

Dalam perumpamaan yang dicatat oleh Lewi itu, upah yang disepakati para pekerja adalah 1 dinar untuk sehari. Satu peser sama dengan 1/128 dinar. Dengan kata lain, wanita itu seperti memasukan uang receh di kotak persembahan itu. Pantas saja tidak ada yang memerhatikan, kecuali Yesus, anak si tukang kayu. Tindakan Yesus menjadi sebuah pengingat, bahwa hal-hal kecil, segala sesuatu yang dianggap sepele oleh dunia bisa menjadi “fokus utama” Tuhan.

Lagipula jangan lupa, menjadi seorang janda pada abad pertama dalam budaya itu bukan sesuatu yang mudah. Lowongan kerja tidak seterbuka hari-hari ini, apalagi untuk seorang perempuan yang telah ditinggal sang suami sepertinya.

Jadi, dapat dipastikan dua peser yang ia berikan itu adalah apa yang ia cari dengan susah payah. Orang akan berpikir, “Jika ia cukup ‘waras’, seharusnya simpan itu untuk kebutuhannya”. Ternyata ia “gila”. Namun itulah yang malah membuatnya memikat hati Sang Juruselamat.

Yesus memanggil Petrus dan yang lainnya. Sangat mungkin Ia mengejutkan mereka pada saat Ia memuji tindakan wanita itu. Bukannya kuantitas tidak penting, tetapi apa yang dapat disanjung dari kuantitas tanpa kualitas?

Jika kita mau mencoba jujur, berapa banyak dari antara kita yang mau menukar 1 buah jam Rolex asli dengan 10 buah yang palsu?

Wanita itu memberi recehan dengan kualitas tinggi. Jika ini adalah kejuaraan balap motor, ia telah meninggalkan para pesaingnya sejauh 4 putaran, padahal mereka telah melempar koin dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Sayangnya, mereka tidak sadar hasil penilaian dari tindakan mereka itu akan ditentukan oleh Juri yang tidak bisa dibohongi. Ia yang melihat jauh ke dalam isi hati manusia, Yesus dari Nazaret.

Suatu hal yang mengagumkan adalah janda ini mengajarkan kepada kita akan apa artinya “berkorban” dan “beriman”.

Ia tahu bahwa Tuhan yang ia sembah jauh lebih penting dari dirinya sendiri, dan ia mau memberi apa yang ada padanya untuk Tuhannya itu. Ini sama sekali tidak berarti Tuhan membutuhkan sesuatu dari manusia, seakan-akan Ia kekuarangan sesuatu. Ia tentu cukup pada diri-Nya sendiri. Meskipun ada begitu banyak orang yang haus akan pengakuan, Yesus secara terus terang malah melontarkan apresiasi-Nya kepada janda ini karena Yesus melihat bagaimana seorang yang dianggap kecil menempatkan Tuhan sebagai prioritas utama dalam hidupnya.

Bukankah janda itu telah merisikokan hidupnya dengan persembahan itu? Coba pikirkan, apa yang akan ia makan besok? Dengan apa ia akan bertahan hidup tanpa sepeserpun di kantongnya? Dan yang mengejutkan adalah, baginya itu urusan belakangan, Tuhan nomor satu! Jika Tuhan telah memeliharanya, maka Tuhan akan tetap memeliharanya. Sudah pasti kita tidak boleh menelan kisah ini mentah-mentah dan secara membabi buta membuat oversimplifikasi pada semua keadaan. Kisah ini tidak mendorong kita menjadi bodoh dan menolak kebijaksanaan yang Tuhan karuniakan kepada kita. Maksudku adalah, cerita tentang janda ini sedang mengajak kita untuk menempatkan Tuhan di tempat yang tidak boleh diganggu, tempat tertinggi di hati kita.

Di era modern seperti ini, memang benar kita butuh uang. Di masa yang sangat tidak menentu ini, tidak bisa dipungkiri, tabungan dapat sangat menolong. Namun yang menyedihkan adalah ketika banyak dari kita, atas nama “kebutuhan”, memberikan hal yang “asal-asalan” untuk Tuhan yang telah memberikan “segala-galanya” untuk kita.

Sebenarnya ini bukan hanya melulu tentang uang. Silakan hitung sendiri, berapa banyak waktu yang kita pakai untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan dalam seminggu?

Bukankah begitu sering kita menikmati sepanjang hari dengan terus memuaskan segala keinginan kita, lalu menyisihkan 2 menit terakhir untuk berdoa sebelum tidur? Tidak jarang, dalam dua menit terakhir yang kritis itu, mata kita sudah dalam kondisi setengah tertutup bersama mulut yang menguap-nguap setengah sadar. Beberapa orang bahkan tidak sempat mengakhiri doanya dengan “amin” karena ketiduran saat sedang berdoa, lalu bangun di pagi hari dengan mengucapkan “amin” untuk melunasi utang semalam.

Banyak sekali dari kita yang tidak merasa bersalah jika datang terlambat ke gereja. Namun saat bertemu orang yang kita anggap penting, satu jam sebelum orang itu tiba, kita sudah dengan penampilan paling rapi, seakan-akan orang itu lebih tinggi dari Yang Mahatinggi.

Tidak sedikit dari kita yang menyanyi dengan baik hanya ketika kita mengikuti perlombaan “nyanyi lagu rohani antar gereja”. Namun, saat bernyanyi dalam pertemuan ibadah biasa, tanpa juri, tanpa hadiah, menyanyi dengan moto “asal mulut terbuka saja”.

Kita bisa saja menambah deretan daftar panjang tentang segala bentuk kegagalan kita dalam memperlakukan Tuhan dan menyesali diri. Namun kurasa, tulisan sederhana ini, tindakan luar biasa si janda miskin itu, sedikit banyak telah kembali mengingatkan kita bahwa Tuhan ingin yang terbaik dari kita. Ia mau milik terbaik kita: baik pemikiran, waktu, tenaga, maupun seluruh hidup kita. Bukankah Dia sudah lebih dulu memberikan apa yang paling kita butuhkan? Diri-Nya sendiri dikorbankan untuk jaminan keselamatan yang tidak akan pernah mampu dibayar dengan seluruh pencapaian yang kita punya. Kasihilah Dia dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi (Matius 22:37).

Sekali lagi, berhikmatlah, tetapi Tuhan nomor satu!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu