Posts

Di Bawah vs di Atas Matahari, Pergumulan Manusia Mencari Makna Hidup

Oleh Jessie

Semakin umurku bertambah, aku punya kebebasan untuk mengerjakan apa yang aku sukai. Jika dibandingkan masa-masa sekolah dulu, kupikir menjadi dewasa akan memudahkanku mencari makna hidup. Tapi, ternyata tidak juga. Menjadi dewasa tidak melepaskanku dari rutinitas yang lama-lama terasa membosankan.

Kebosanan cenderung membuat kita melihat hidup sebagai tak ada maknanya. Orang tuaku sering mengatakan, “beginilah hidup, banyak hal yang kita kerjakan berakhir sia-sia pada akhirnya.” Jadi, ngapain ya kita sebenarnya hidup kalau Raja Salomo yang paling bijaksana di muka bumi pun mengatakan, “segala sesuatu adalah sia-sia” (Pengkhotbah 1:2b)?

Topik mengenai tujuan dan kesia-siaan hidup merupakan topik yang sangat-sangat aku telusuri dalam keseharianku. Bagaimana tidak, aku diresahkan dengan pengertian bahwa segala sesuatu yang aku lakukan tidak akan aku bawa saat mati nanti. Dahulu, piagam dan sertifikat sekolah sangatlah berharga, tapi semakin berumur, secarik kertas bergambarkan wajah Ir. Soekarno dan Moh. Hatta alias uang seratus ribu jauh lebih bernilai. Jika ditanyakan kepada orang tuaku, maka menurut mereka kesehatan adalah nomor satu. Sudah dipastikan betul apa yang dikatakan Raja Salomo, bahwa segala sesuatunya merupakan sebuah fase, dan fase tersebut memiliki masanya, sehingga semua yang kita kejar akan menjadi sebuah kesia-siaan saat fase tersebut berakhir. Kitab Pengkhotbah tidak bohong saat penulisnya menjelaskan betapa fananya hidup ini. Tentu sebagai pembaca, aku cukup merenungkan tujuan dari si penulis berkoar-koar akan kesia-siaan hidup, mengetahui bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan hidup yang sangat jelas. Di sinilah keindahan dari Kitab Pengkhotbah. Terdengarnya bertentangan, namun sebenarnya seluruh pernyataannya sangatlah masuk akal dan berkesinambungan.

“Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.” (Pengkhotbah 1:2). Lalu di ayat berikutnya, dituliskan, “Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (Pengkhotbah 1:3).

Entah kenapa, meskipun sudah berkali-kali membaca kitab ini, aku melewatkan arti penting dari kata-kata “di bawah matahari”  (1:3b); karena sesungguhnya, “di bawah matahari” ini merupakan sebuah cerita dari hidup yang terpisah dari Tuhan (life apart from God). Waktu seorang ilmuwan Alkitab bernama Mike Mazzalongo menjelaskan arti sesungguhnya dari “di bawah matahari,” barulah aku paham adanya kesinambungan di antara kesia-siaan hidup yang terpisah dari Tuhan dengan tujuan hidupku yang sesungguhnya. Dari pasal 1 sampai pasal 6, Salomo menggunakan frasa “di bawah matahari” untuk menjelaskan fase-fase kehidupan duniawi yang lazim, serta kesia-siaannya jika manusia menjalaninya tanpa melibatkan Tuhan. Bahkan, raja yang sudah memiliki begitu banyak harta, istri, status, serta ilmu, akhirnya pun harus menyerah dan mengakui kekalahannya akan memaknai hidup di luar Tuhan.

Jika kita mencari makna hidup dari apa yang ada “di bawah matahari” merupakan sebuah kesia-siaan, maka harapan dan jawaban kita mungkin ada di atas matahari atau hal-hal yang sifatnya spiritual. C.S. Lewis dalam bukunya yang berjudul Surprised by Joy, menjelaskan bahwa sudah menjadi hukum alam bahwa segala sesuatu yang manusia butuhkan dan inginkan dapat dipuaskan dan dipenuhi, seperti contohnya adanya rasa lapar dapat dipuaskan oleh makanan yang kita makan. Maka, logisnya, jika kita memiliki hasrat untuk memaknai hidup kita, maka tentu hal itu pun bisa dipenuhi. Hanya saja jika hasrat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh apa yang ada “di bawah matahari” atau hal-hal yang duniawi, maka penjelasan yang paling mungkin adalah hasrat tersebut hanya dapat dipenuhi oleh apa yang ada di luar matahari ini. Atau bahkan, adanya keinginan besar untuk memaknai hidup ini hanyalah sebuah bisikan kepada manusia untuk menyiratkan hal yang sesungguhnya, yaitu Tuhan itu sendiri.

Jika perkara “di bawah matahari” ini bukanlah jawaban dari makna hidup yang sesungguhnya, maka pencarian makna yang seperti apa yang ada di “atas” matahari? Jawabannya ada pada relasi kita dengan Tuhan. Apa kurang logis jika makna kehidupan manusia hanya dapat ditemukan saat mereka datang kepada penciptanya (Pengkhotbah 2:25)?

Makna hidup kita yang sesungguhnya bergantung penuh pada relasi dan ketaatan kita kepada Tuhan. Relasi yang benar dengan Tuhan akan membawa kita kepada kepuasan yang sejati, dan dengan kepuasan yang datangnya dari Tuhan itu sendiri, barulah kita dapat memaknai hidup ini. Jadi jangan terbalik sumbernya ya! Bukan kepuasan yang ada “di bawah matahari” ini yang akan memberikan kita sebuah makna kehidupan, tetapi kepuasan sejati yang dari Kristuslah yang memampukan kita untuk dapat menikmati segala fase kehidupan yang sia-sia ini.

Tapi… Stop stop stop! Jangan lalu kita menjadikan kitab Pengkhotbah ini sebagai alasan kita tidak berbuat lebih, karena tidak ada salahnya melakukan semua aktivitas positif yang ada “di bawah matahari” ini; hanya saja, perkara yang “di bawah matahari” ini bukanlah sumber dari arti hidup seorang manusia, melainkan merupakan media respons hati kita untuk memuji keagungan Sang Pencipta.

Relasi dengan Tuhan ini memang ide yang cukup mengawang, tapi kalau aku boleh bantu jelaskan, relasi ini dapat diartikan juga sebagai pengalaman pribadi kita bersama Tuhan, di kala senang, susah, ataupun bosan menjalankan rutinitas kehidupan kita, kita selalu bergumul, berdoa, dan melibatkan Tuhan terus-menerus sampai instinct kita menyatu dengan apa yang Tuhan mau. Di saat kita berjuang melaksanakan apa yang Tuhan sudah titipkan dalam hati kita, dan berusaha taat kepada perintah-Nya, di situlah pengalaman pribadi kita bersama Kristus terbentuk. Pengalaman pribadi bersama Kristus inilah yang akan memberikan makna dan kepuasan dalam segala aspek kehidupan kita. Oleh sebab itu, esensi dari kesejahteraan seseorang (one’s well being) bergantung penuh dari relasinya bersama dengan Tuhan. Kalau hari ini kita dapat bersyukur, berbahagia, dan menikmati segala aspek kehidupan ini, itu merupakan anugerah semata, karena tidak semua orang dapat merasakannya. Memang ada orang non-Kristen diluar sana yang juga bisa menikmati hidupnya, tapi kepuasan itu tidak akan senikmat dan sepuas yang dimiliki orang-orang percaya yang mengenal baik penciptanya (Pengkhotbah 2:26).

Sebenarnya, untuk kesekian kalinya, banyak tema dari Alkitab selalu mengajarkan kita bahwa hidup ini pada hakekatnya merupakan perjalanan relasi kita bersama Tuhan, dan salah satu kitab yang bertemakan hal tersebut ya kitab Pengkhotbah ini. Karena kalau dipikir-pikir, benar juga; Tuhan itu Pencipta, lho! Semua terjadi atas kehendak-Nya. Kalau Dia mau memberi, maka sekejap saja Dia bisa berikan; kalau Dia tidak berkehendak, maka tidak ada satu doa manusia pun yang akan menggubris hati-Nya. Akan menjadi sebuah kesia-siaan jika kita menjalankan siklus kehidupan tanpa mengetahui apa mau-Nya, karena setiap pertarungan hidup adalah pertarungan Tuhan, kewajiban kita ya berjalan bersama-Nya dibawah tuntunan kehendak-Nya. 🙂

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Di Bawah Matahari

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

”Fani, buat acara penutupan ibadah Youth Sabtu depan kamu ‘kan MC nya?”

Aku mengangguk, fokus dengan layar di hadapanku.

“Konsep acara buat jam doa minggu ini udah selesai?”

“Ini hampir selesai,” jawabku singkat sambil mengangguk samar.

“Oke. Aku kabarin yang lain dulu ya!” katanya berjalan ke luar ruangan, lalu kembali beberapa waktu kemudian.

Beberapa menit suasana hening, suara orang-orang di ruang utama juga hampir tak terdengar. Hanya suara ketikan keyboard laptop yang terdengar beradu.

“Anna,” panggilku pelan.

Yang dipanggil hanya menyahut samar.

“Ann!”

Barulah Anna menoleh. “Why?”

Suara ketikan keyboard tidak terdengar lagi, berganti dengan suara deru nafasku yang tidak beraturan. Aku menghela napas panjang, dan menghembuskannya perlahan.

“Aku lagi lost motivation nih, Ann,” kataku akhirnya.

Anna mengerutkan kening, tidak langsung menanggapi, tampak berpikir sejenak lalu menjawab. “Ehm maksudnya? Gimana lost motivation versimu?”

Aku menghembuskan napas lagi.  “I don’t know, it just happened.

“Maksudmu, lagi butuh disemangatin nih? Lagi butuh bepergian buat healing?”

Aku mengangkat bahu, “Kayaknya disemangatin juga nggak pengaruh gitu lho Ann. Dan, aku nggak tahu apa itu akan membantu.”

“Atau lagi di fase nggak peduli apa-apa dan malas melakukan apa-apa?”

“Hampir iya” jawabku pelan. Aku menghembuskan napas lagi lalu melanjutkan, “Entah mengapa aku merasa kosong dalam melakukan apa pun, Na. Aku malas setiap bangun pagi dan memikirkan untuk berangat kerja. Aku ingin berlama-lama tidur dan membiarkan waktu berlalu. Tapi menyadari waktu berlalu dengan cepat, aku juga merasa cemas. Aku nggak tahu untuk apa melakukan kegiatanku setiap hari. Aku kayak robot yang hanya melakukannya sebagai aktivitas, menyelesaikan satu hari untuk kemudian mengulang aktivitas yang sama di hari berikutnya. Aku frustrasi. Aku kayak kehilangan alasan mengapa aku melakukan semua ini. Entah kehilangan atau aku yang tidak berhasil menemukannya.”

Anna terdiam sejenak. Aku tahu dia sedikit banyak mengerti apa yang sedang aku rasakan. Walau tidak mengetahui bagaimana persisnya, tapi kurasa dia tahu kalau perasaan ini menyesakkan dan memang sulit dideskripsikan.

Anna bergerak mendekat, duduk di sebelahku.

“Apa baru-baru ini hal-hal tidak terjadi seperti yang kamu harapkan?” tanyanya lembut. Aku menoleh, namun tidak mengangguk atau menggeleng. Kemudian aku kembali menatap  layar laptopku.

“Mungkin.” 

“Apa itu yang membuatmu merasa tidak bersemangat lagi? Karena merasa kehilangan alasan untuk melakukan sesuatu? Yang kamu artikan sebagai kehilangan motivasi?”

Aku tidak menanggapi apa-apa, tapi sejujurnya mulai menyadari apa yang dikatakan Anna. 

“Kadang aku bertanya, aku hidup buat apa sih? Apa sih yang aku kejar dengan semua aktivitas ini?” kataku akhirnya. “Wajar nggak sih kita berpikir seperti itu?”

Anna tidak menjawab apa-apa. Seolah dia sengaja membiarkan aku berkutat dengan pikiranku. 

“Kamu nggak ada tanggapan Ann?” tanyaku akhirnya setelah beberapa saat dia hanya terdiam.

“Ehmm… Aku rasa sebenarnya kamu tahu kok apa jawaban dari pertanyaan itu, Fan” jawab Anna penuh arti.

Aku menghembuskan napas. Berpikir beberapa saat.

“Iya kan, kamu sebenarnya tahu untuk apa kita melakukan semua ini. Untuk siapa kita sebenarnya hidup,” sambungnya lagi.

Aku masih tidak berkata apa-apa.

“Atau, kamu hanya sedang butuh diingatkan lagi?” tanyanya. Lalu tanpa menunggu responsku, ia melanjutkan.

“Fan, that’s life. Sebuah perjalanan panjang. Kita memang bisa aja berada di titik seperti itu, hanya berjalan, merasa asing, dan seolah sedang tidak tahu tujuan dalam perjalanan kita ini. Seperti sedang tidak tahu untuk apa melakukannya. Tapi Fan, bukannya fase ini bisa aja jadi titik balik untuk kita menyadari lagi kita sedang berada di mana? Kita tidak sedang berada di rumah, Fan. Tentu saja kita sering merasa tidak menemukan apa-apa di sini, karena dunia ini memang bukan rumah kita. Jadi, kalau kita tidak menemukan alasan apa pun di dunia ini untuk melakukan segala sesuatunya, apa Yesus tidak cukup menjadi motivasi kita untuk melakukannya?”

Aku membisu, pandanganku masih tertuju pada layar laptop di depanku. Tapi pikiranku benar-benar sedang bekerja keras mengolah kata-kata Anna yang disampaikan dengan lembut namun tepat sasaran. Beberapa waktu ini memang suatu hal telah membuatku khawatir dan mempengaruhi semangatku dalam bekerja atau dalam kegiatan pelayananku. Aku melupakan dan mengesampingkan Pribadi yang harusnya menjadi satu-satunya motivasiku untuk mengerjakan semua aktivitas ini. Sepertinya aku benar-benar telah dikelabui oleh perasaan khawatirku sendiri.

Aku menoleh dan menatap mata temanku ini. Aku tahu dia berusaha untuk mengerti dan membuatku mengetahui kalau dia mengerti. Aku tersenyum padanya. Dia juga. Lalu entah mengapa kami tertawa bersamaan.

“Jadi, apa kita masih perlu pergi healing dulu weekend ini?” tanyanya.

“Ah, healing juga bisa dimana-mana, sekarang aja kita sedang healing kok.”

Kami kembali tertawa lagi.

Kalau kita melihat hidup hanya sebagai hidup di bawah matahari, kita akan terperangkap dalam sebuah dunia yang tak berjendela. Solusinya ada di atas matahari. Yesus, Sang Pengharapan Dunia. (Pengkhotbah 2:11) – Sen Sendjaya, Menghidupi Injil Menginjili Hidup.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥