Posts

Hai, Teman yang Jauh di Mataku. Terima Kasih Telah Dekat di Hatiku

Oleh Tabita Davinia Utomo, Tangerang Selatan

Bulan Juli lalu, WarungSaTeKaMu mengangkat tema “Friendship: Kau Temanku, ‘Ku Temanmu, Kita (Gak) selalu Bersama”. Sebuah tema yang tidak asing bagi kita yang punya banyak lingkaran pertemanan, tetapi juga sekaligus bisa jadi alasan untuk skeptis terhadap seberapa jauh kualitas pertemanan bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu. Saat menulis artikel ini, aku teringat pada satu lagu dari RAN yang berjudul “Dekat di Hati”. Ini adalah lagu yang kembali melejit karena Bang Chan dari Stray Kids. Secara keseluruhan, liriknya seolah-olah menekankan tentang sejoli yang terpisah oleh jarak dan waktu tetapi saling punya rasa rindu. Meski demikian, judul lagu itu juga bisa menguatkan kita ketika merindukan kehadiran seorang (atau beberapa) teman dekat di tengah-tengah perjalanan hidup ini.

Ketika menjadi murid SMP pada tahun 2009, aku memiliki beberapa teman (yang kuanggap) dekat. Kami biasa makan bersama, saling mengomentari draft novel di buku tulis kami, hingga bercerita tentang gebetan masing-masing. Namun, seiring berjalannya waktu, persahabatan yang tadinya aku kira akan bertahan lama ternyata berkata lain. Aku pun bergumul dengan perasaan tertolak dari lingkaran pertemanan “ideal” yang aku punya. Karena punya teman adalah kebutuhan primer bagi remaja sepertiku saat itu, mau tidak mau aku mulai berteman dengan beberapa teman di kelas yang juga “terasingkan”. Sempat terpikir bahwa aku memang “ditakdirkan” untuk hidup bersama orang-orang “buangan” seumur hidup, sampai akhirnya ada satu titik balik yang mengubahkan cara pandangku tentang pertemanan.

Pada tahun 2011, aku bergabung di Komisi Remaja di gereja asalku. Sejujurnya, selama empat bulan pertama setelah “lulus” dari sekolah minggu madya dewasa, aku kurang nyaman di komisi tersebut karena merasa asing dengan kakak-kakak yang terlihat lebih dewasa dan modis—sementara aku se-cupu itu. Namun, di sanalah Tuhan menyadarkanku bahwa Dia telah menebus perasaan kesepianku melalui kata “sudah selesai” di Kebaktian Kebangunan Rohani Paskah Remaja-Pemuda yang diselenggarakan gereja. Dalam khotbah Pdt. Timotius Fu itu, ada sebuah bisikan dalam diriku (yang kuyakin itu bukan dariku), “Tuhan udah tebus kamu karena Dia mengasihimu. Kamu itu berharga di mata Tuhan yang menciptakanmu, dan enggak ada yang bisa melawan fakta itu.” Sejak itu, dengan anugerah Tuhan, aku mulai memberanikan diri terbuka pada kehadiran teman-teman di Komisi Remaja-Pemuda; bahkan beberapa di antaranya masih keep in touch sampai sekarang.

Kalau menoleh ke belakang, sekarang aku bisa berkata bahwa titik balik itu juga menjadi awal perjalananku untuk berjumpa dengan banyak orang yang pada akhirnya bisa kusebut sebagai teman seperjuangan. Mulai dari teman SMP (yang pada akhirnya berekonsiliasi denganku saat retret kelas 9), teman SMA, satu circle di Remaja-Pemuda (KTB dan pelayanan), Ladies Bible Reading Group, teman satu kampus saat menempuh studi S1 maupun S2, hingga rekan kerja dan pelayanan di tempatku sekarang. Tidak semuanya masih keep in touch, tetapi setidaknya ada beberapa di antara mereka yang masih berkomunikasi denganku meski tidak semuanya rutin.

Dari pengalaman bersama mereka dan hasil perenungan pribadiku melalui perjalanan imanku bersama Tuhan, aku belajar tiga hal kunci dalam membangun dan memelihara pertemanan:

1. “Cek ombak” sebelum terjun ke lingkaran pergaulan lebih jauh

Ada yang pernah berkata padaku bahwa aku termasuk orang yang mudah beradaptasi dengan komunitas dan lingkungan baru. Padahal sebenarnya enggak sepenuhnya itu benar. Dulu, ketika bergaul dengan orang-orang yang lebih berpengalaman (baca: lebih senior) justru membuatku minder karena belum sampai pada fase kuliah, bekerja, menikah, dan menjadi istri sekaligus ibu. Aku merasa enggak bisa nyambung dengan mereka karena mau masuk ke dunia mereka pun sungkan, sementara aku juga khawatir mereka enggak sepenuhnya memahami pergumulanku yang belum jadi seperti mereka. Lucunya, aku jadi punya bekal yang cukup untuk tiba pada fase kehidupan seperti yang teman-temanku alami, bahkan bisa lebih nyambung dengan pergumulan mereka—baik yang sepantaran, lebih tua, maupun lebih muda.

Aku teringat pada Paulus yang menggabungkan diri di tengah-tengah komunitas orang percaya—tepat setelah dia bertobat pasca penganiayaan yang dilakukannya pada mereka (baca Kisah Para Rasul 9:19-31). Hampir semua orang di sana bertanya, “”Bukankah dia ini yang di Yerusalem mau membinasakan barangsiapa yang memanggil nama Yesus ini? Dan bukankah ia datang ke sini dengan maksud untuk menangkap dan membawa mereka ke hadapan imam-imam kepala?” (ayat 21) Wah, seterkenal itu reputasi Paulus sebagai penganiaya orang percaya. Mungkin saja awalnya Paulus gentar dengan “ombak” yang ada, tetapi datanglah Barnabas—yang disebut anak penghiburan—yang menerima dirinya dan menceritakan perjumpaan Paulus dengan Tuhan Yesus kepada para rasul (ayat 27).

Perasaan canggung bisa saja muncul ketika kita ada di lingkungan yang baru maupun bertemu dengan orang asing. Itu normal, kok, karena kita punya survival mode. Dari situlah kita bisa memutuskan apakah kita mau mengambil risiko dalam mengenal dan dikenal oleh orang lain, atau kita melarikan diri sesegera mungkin. Namun, ketika ada orang lain yang bersedia menyambut kita dengan segala masa lalu kita, mari belajar percaya bahwa pertemuan bersama mereka diinisiasi oleh Allah yang berbelas kasihan.

2. Kenalan bisa didapatkan dari mana saja, tetapi kualitas sebuah pertemanan perlu diuji oleh waktu dan situasi

Setelah mengakhiri relasi pertamaku beberapa tahun yang lalu, aku sangat khawatir dengan pandangan orang lain terhadapku. Gimana, ya, kalau mereka bilang aku yang salah? Gimana kalau aku dibilang egois karena putusin si X setelah bertahun-tahun berelasi? Gimana nanti kalau aku punya pasangan lagi sementara si X belum? demikian pikirku dengan rasa bersalah. Namun, ketika aku memberanikan diri untuk bercerita kepada beberapa orang, kekhawatiranku tidak terbukti. Aku sadar bahwa aku ada andil dalam berakhirnya (bahkan bermulanya) relasi itu, tetapi mendengar penguatan dari beberapa temanku memvalidasi perasaanku. Sampai detik ini, kami tetap berteman, bertukar kabar, dan saling mendukung dalam relasi kami masing-masing. Dari situ aku belajar bahwa meskipun enggak lagi bertemu secara intens, sebuah bonding tetap bisa terbentuk karena keterbukaan dan keberanian hati untuk menjadi sebagaimana adanya seseorang di depan teman-teman yang bisa dipercaya—dan memang qualifiable.

Tidak banyak kisah persahabatan sejati yang ditulis di Alkitab, tetapi kita akan sama-sama teringat pada nama Yonatan, anak Saul. Anak raja Israel itu mengasihi Daud, si gembala penakluk Goliat, lebih daripada dirinya sendiri (1 Samuel 18:1). Ketika tahu bahwa Saul berencana membunuh Daud karena dengki atas kepopulerannya, Yonatan tidak langsung percaya. Namun, setelah melihat bukti kebencian ayahnya atas sahabat terkasih, Yonatan segera mengambil tindakan. Bahkan dia sempat mengambil risiko menemui Daud dan menguatkannya di Koresa, tepat saat Daud tahu bahwa Saul mau membunuhnya (1 Samuel 23:15-18). Zaman dulu belum ada Whatsapp, jadi kehadiran Yonatan sangat berarti bagi Daud untuk tetap percaya kepada Allah. Tidak heran jika setelah Yonatan terbunuh dalam perang dengan bangsa Filistin, Daud sangat berduka lalu membuat sajak bagi Yonatan dan Saul (2 Samuel 1:17-26), serta memutuskan memelihara kehidupan Mefiboset, anak Yonatan, setelah menjadi raja (2 Samuel 9:1-13).

Ternyata benar kata penulis Amsal:

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”—Amsal 17:17 (TB 1974).

Kalau dalam hal-hal yang membahagiakan, ada banyak, kok, yang mau berkenalan dan berteman sama kita. Namun, kualitas sebuah pertemanan akan diuji ketika kita ada di titik terendah kehidupan kita, karena tidak semua orang mau hadir untuk menemani dan menguatkan kita untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Ada kalanya mereka “hanya” memberikan nasihat, padahal tidak jarang yang kita butuhkan adalah validasi atas perasaan kita dan kesadaran bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan. Kabar baiknya, Tuhan yang beserta juga mau melibatkan teman-teman yang ada untuk berjuang bersama kita, bahkan membukakan hati kita terhadap kebenaran-Nya. Di sinilah pentingnya kita berkata “tolong” dan “maafkan aku” dengan penuh kerendahan hati, serta “terima kasih” disertai rasa syukur yang tulus atas kehadiran teman-teman yang mau berjalan bersama kita melalui naik-turunnya hidup ini. Mereka adalah satu dari sekian bentuk perpanjangan tangan Tuhan untuk menopang kita.

3. Fondasikan pertemanan pada Kristus, Batu Karang yang teguh

Poin ini hanya bisa terjadi ketika kita punya teman-teman yang memiliki prinsip hidup yang seiman seperti kata Paulus, “Persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?” (2 Korintus 6:15). Konteks ayat ini memang membicarakan tentang pasangan hidup, karena pada masa itu orang Kristen di Korintus hidup di tengah-tengah kehidupan berhala. Cepat atau lambat, pasangan yang tidak seiman memengaruhi perjalanan iman kita. Namun, prinsip serupa juga bisa diterapkan, kok, dalam lingkaran pertemanan kita. Memang ada yang bisa menguatkan kita makin bertumbuh secara emosional, tetapi tidak berarti mereka juga percaya kepada Tuhan yang sama. Tidak heran jika Paulus juga menulis, “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” (1 Korintus 15:33).

Bisa dikatakan, semua sahabat (atau inner circle) yang kumiliki adalah orang-orang yang kutemui di komunitas Kristiani dan punya pengalaman iman masing-masing bersama Tuhan. Namun, bagaimana jika privilege serupa tidak semudah itu didapatkan, misalnya di negara-negara yang menghalangi umat Kristiani beribadah, bahkan mereka ditekan sedemikian rupa agar tidak mengekspresikan iman kepada Kristus? Sekilas, kondisi ini menyurutkan kita yang bergumul dengan kebutuhan belonging bersama teman seperjuangan di dalam Tuhan. Kabar baiknya, adanya internet dan berbagai media sosial memampukan kita untuk terhubung satu sama lain sehingga kehadiran Tuhan pun bisa dirasakan tanpa dibatasi dinding dan waktu. WarungSaTeKaMu ini adalah contohnya 🙂

4. Mengingat menandakan bahwa kita peduli

Beberapa hari yang lalu, ada temanku yang berulang tahun dan sedang menata hatinya setelah melalui banyak hal tahun lalu. Saat itu, aku mengirimkan chat kepadanya seperti ini:

“Ulang tahun kali ini bisa jadi berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena ada banyak hal terjadi sepanjang tahun lalu. Namun, aku bersyukur karena Kakak bertumbuh makin kuat di dalam pengenalan terhadap Tuhan dan diri sendiri. Kudoakan supaya kehadiran dan “strength unknown” dari Tuhan selalu bersama Kakak. Aku bersyukur bisa mengenal dan bertumbuh bersama Kakak.”

Di luar dugaan, temanku itu meneleponku dan berkata bahwa dia bersyukur karena ada yang mengingat dirinya. Tidak berhenti di situ, dia (kurang lebih) berkata, “Mungkin aku memang butuh ada yang memvalidasi perasaanku bahwa tahun ini ada hal-hal yang berubah. Ada tesis yang sudah selesai, tetapi enggak ada lagi Mamak yang bisa kuucapkan “terima kasih” karena sudah melahirkan dan membesarkanku.”

Siapa, sih, yang ingin dilupakan begitu saja setelah berteman sekian tahun lamanya? Tentu enggak ada, apalagi kalau ada banyak memori manis yang sudah dijalani bersama mereka. Namun, kita perlu mengingat bahwa seiring berjalannya waktu, pertemanan kita juga akan berada di persimpangan jalan. Kita akan makin jarang bertemu–bahkan berpisah. Entah karena studi lanjut, karier atau panggilan pelayanan, ikut suami/istri merantau, kehidupan berkeluarga yang penuh dinamika, hingga tutup usia. Di waktu yang bersamaan, kita dipertemukan dengan lingkaran pertemanan yang berbeda lagi dari yang sebelumnya. Meskipun demikian, pertemanan kita sangat bisa dipererat ketika ada yang mengingat pergumulan kita dan membawanya di dalam doa maupun dalam obrolan bersama mereka ketika waktunya memungkinkan. Tentunya ini harus bersifat “saling”, ya. Bukan hanya satu pihak yang berusaha memelihara pertemanan, tetapi pihak yang lain juga perlu mengusahakannya tanpa memaksa dan memanfaatkan satu sama lain demi keuntungan pribadi. Ini pula yang Paulus tunjukkan melalui salam dan ucapan syukurnya dalam surat-suratnya kepada rekan-rekan pelayanan maupun jemaat di berbagai tempat (misalnya di Kolose 1:1-3, FIlemon 1:6, 2 Timotius 4:19-22).

Konflik dalam pertemanan tidak terhindarkan, dan setiap orang punya cara masing-masing dalam menghadapinya. Tidak semua pertemanan harus berkembang menjadi persahabatan yang erat; siapa tahu mereka hanya jadi teman–atau malah kenalan–dalam jangka waktu tertentu. Karena itu, kiranya Tuhan senantiasa memberikan kita kasih dan hikmat-Nya dalam menjalin pertemanan bersama mereka yang telah Dia hadirkan bagi kita.

Kepadamu yang pernah dan masih bersedia beredar dalam kehidupanku,

aku tahu kamu membaca artikel ini.

Terima kasih sudah hadir di dunia ini,

menyediakan diri terbuka denganku, dan menjadi “safe place” buatku.

Kamu adalah satu dari sekian cara Tuhan mewarnai hidupku dengan kasih-Nya ❤️‍

Jangan menyerah, ya.

I know you will grow stronger after this craziness over.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu