Posts

Kesibukan yang Mengosongkan

Sebuah cerpen oleh Ernest Martono

Seperti singa lapar bangun dari tidur, tiba-tiba tenaga Fera seolah terisi penuh. Dia menghalauku keluar kosannya.

”Kau pulang saja. Aku sudah bisa sendiri. Semua baik-baik saja!”

Sudah pasti dia sedang tidak baik-baik saja. Padahal aku baru mengantarnya pulang. Dia lemas seusai acara penyambutan mahasiswa baru kelar.

Fera datang 15 menit setelah acara penyambutan itu dimulai. Rambutnya lepek, dahi dan pipinya mengkilap, dadanya kembang kempis seperti habis berlari. Aku bisa menebak ia kurang tidur dari warna kantung matanya. Pemandangan itu cukup untuk menahan amarahku karena keterlambatannya.

“Lo gak apa-apa, Fer? Lo kelihatan lemas soalnya,” tanyaku.

”Sorry, gua telat. Tadi rapatnya alot. Makanan sudah datang? Gua gak apa-apa, kok.”

Dia lenyap terhisap dalam kesibukan. Lagi.

Sebenarnya aku sudah berulang kali menyarankannya mundur dari persiapan ospek fakultas. Satu bulan lalu adalah terakhir kali aku memintanya mengurangi kegiatan.

”Gua bisa, kok, tenang aja.”

”Bisa tifus, Fer. Lo pengurus persekutuan kampus, kita lagi siapin ibadah penyambutan mahasiswa baru, lo AsDos, terus sekarang lo ambil ospek fakultas juga. Lo sibuk banget, Fer.”

”Memang kenapa kalau gua punya kapasitas lebih?”

”Manusia ada limit-nya, Fer. Sejak lo ambil ospek, lo jadi gak datang rapat beberapa kali. Padahal lo koordinator bidang acara.”

Next rapat gua bisa hadir.”

”Bukan itu, Fer. Gua mau lo fokus ke hal yang bernilai buat lo.”

”Semua bernilai dan akan gua usahakan. Kalau gak ada lagi gua pergi dulu. Mau ada ketemuan sama dosen setelah ini.”

”Tapi, tidak semua hal bernilai sama kan, Fer?” Kurasa Fera tidak dengar kalimatku, dia sudah bergegas kala itu.

Aku tidak tahu mengapa semua itu bernilai buat Fera. Semua mau dikerjakannya. Seolah-olah jadwal kosong adalah monster baginya.

Acara penyambutan berjalan khusyuk dan hangat. Para mahasiswa baru pulang penuh penghiburan. Wajah mereka penuh dengan sukacita merasa dikasihi. Semua jerih lelah kami selama empat bulan kontan terbayar puas. Semua karena kasih Yesus. Namun, tiba-tiba Fera panik mencari plastik dan mendekatkannya ke wajah. Dia muntah. Segera kami menopang tubuhnya yang mulai oleng. Matanya tidak fokus. Napasnya berat. Fera kelelahan.

Aku mengantarkannya pulang ke kosan. Hari sudah larut malam ketika kami pulang dari klinik kesehatan kampus. Sesampainya di kamar, Fera hendak tidur. Dia mengganti setelan bajunya yang sudah lepek. Di saat itulah aku baru mengetahui apa yang selama ini disembunyikannya.

”Fer, itu luka apa di paha lo? Kok, kelihatan masih baru?” Bukan hanya luka itu saja, bekas luka-luka serupa juga nampak di paha lainnya. Tanpa penjelasan dia mengusirku sampai depan pagar kosan. Aku pulang dengan keterkejutan di hati.

”Ada yang melihat Fera atau bisa mengontak dia?” Sejak hari itu, hanya kalimat itulah yang aku tanyakan ke setiap orang yang mungkin bertemu Fera. Fera hilang kontak. Hilang dari peredaran. Hilang dari kesibukan. Aku khawatir pada luka-luka itu. Aku sudah menanyakan panitia ospek fakultas. Ternyata di sana pun Fera sudah lama tidak hadir.

Ini sudah keempat kali aku datang ke kosannya. Aku hanya menemukan pintu kamarnya yang tertutup. Kali ini penantianku dari pagi tidak sia-sia. Aku bertemu dengan Fera malam hari dalam situasi yang tidak kuharapkan.

”Buka, buka pintu kamarnya!” seru seorang pria yang membopong Fera. Dua orang wanita sibuk mencari kunci dan membuka pintu. Fera pingsan di depan gang kosannya. Baru kuketahui kedua wanita yang bersamanya adalah teman gereja Fera. Mereka memang sengaja mengantar Fera yang kelihatan lemas. Mereka baru saja pulang dari bakti sosial gereja. Sedangkan pria itu hanya seorang yang kebetulan lewat.

”Gak apa, Kak. Kakak-kakak pulang saja. Aku akan menginap temanin Fera,” tawarku dan mereka setuju.

Aku berbaring di samping Fera. Malam itu bau minyak kayu putih memenuhi ruangan. Tiba-tiba terdengar suara isak tangis. Fera mulai sadar.

”Ran…. gua gak kuat lagi, Ran,” lirih Fera. Aku segera memeluknya.

”Tidur aja, Fer. Lo pasti capek, kan. Itu kebutuhan lo sekarang.”

”Pikiran gua penuh. Gua mikir mulu, Ran.”

”Malam ini hadiah untuk lo, Fer. Lo bisa istirahat tanpa memikirkan itu semua. Gua temenin lo, kok. Gua nginap.”  Tak lama Fera terlelap. Aku berdoa pada Tuhan agar memberikan Fera istirahat yang dia butuhkan.

”Gua kira dengan memenuhi jadwal kegiatan akan membuat diri gua lebih penuh.” Pagi hari sembari sarapan kami berbincang.

”Pikiran gua selalu menuduh ada yang kurang. Kalau ada jadwal kosong pasti mikirnya ’sia-sia, nih, waktu gua.’ Gua selalu mikir kayak gak boleh kosong. Kalau kosong pasti ada yang miss. Padahal gua tau Ran, gua capek. Gua gak sanggup. Tapi, rasa kosong membuat gua takut. Gua udah pernah coba diam di kosan. Baca buku atau sekedar baring-baring. Tapi, gua selalu mikir ada yang kurang. Sampai akhirnya… ya, lo tau. Luka-luka di paha ini… luka ini mengalihkan pikiran gua.”

Aku melihat lagi bekas luka-luka di paha Fera. Ternyata luka itu representasi dari luka di hatinya.

”Gua gak tau tujuan gua apa dengan semua kesibukan itu. Gua pikir itu semua ada nilainya. Tapi, ternyata semua kesibukan itu mengosongkan. Selama ini gua hanya melihat nilai manfaat kesibukan itu hanya supaya gua tidak membaret paha gua. Gua ga tahu harus apa lagi, Ran.” 

Mendengar kejujuran Fera, hatiku hanya bisa berdoa agar Tuhan menunjukkan apa peranku.

”Fer, gua keinget.” Aku langsung mengambil smartphone. ”Lo ingat gak, ini kapan? Waktu itu lo jadi WL di ibadah ini.” Lewat foto-foto yang aku tunjukkan, kami bernostalgia. Kami saling sambar menyambar cerita yang terkenang dari foto-foto itu. Bersama kami tertawa dan sejenak mengalihkan rasa sakit Fera.

”Parah emang Dion. Waktu itu masa bisa ketuker gitar sama bass. Untung lo bawain dia gitar, Ran.” 

”Fer…” aku menyela. ”Gua cuma mau bilang, dari semua kesibukan lo, yang paling bernilai itu adalah diri lo, Fer. Foto-foto ini menunjukkannya. Kami menikmati kehadiran lo, Fer. Yesus mati buat diri lo. Lo tidak perlu lagi merasa kurang karena Yesus sudah cukupkan diri lo.”

Fera terdiam. Wajahnya tertunduk. Aku tahu hatinya sedang bergejolak.

”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Itu kata Yesus. Kalau nanti pikiran lo menuduh lagi, kalau nanti kekosongan datang lagi. Mau, ya, datang ke Yesus. Dia pasti kasih kelegaan.”

”Gua takut gua baret kaki lagi, Ran.”

Aku menarik napas.

”Kalau lo ada keinginan itu, kontak gua aja, Fer. Gua mau temenin lo, kok. Kita lihat foto-foto lagi nanti.”

”Thanks, ya, Ran. Emang gua ga salah pilih sahabat. Nanti ingetin gua juga, ya, kalau sembarangan ambil kesibukan lagi.”

Kami berpelukan dalam senyum.

Beberapa minggu ke depan, atas saranku Fera setuju untuk pergi ke konselor Kristen profesional. Sejak saat itu aku melihat banyak perubahan dalam diri Fera. Pertemanan kami pun juga semakin dekat.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kebenaran yang Memerdekakan!

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Win, gimana? Udah rampung persiapan 17-annya?” tanyaku pada Winda yang baru memasuki ruang guru. Sekolah sudah sepi. Beberapa murid Paskibra yang terakhir kali kulihat masih mempersiapkan upacara HUT RI besok, sudah pulang sepuluh menit lalu. 

Aku sengaja menunggu Winda, kami sudah ada jadwal jam doa sore ini. Winda tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya mengangguk, mendekati meja kerjanya, bersiap untuk pulang.

Tiba-tiba, seorang anak dengan pakaian pramuka muncul dari balik pintu. “Tok…tok..”,  suara dari buku-buku jarinya yang mengetuk pintu kayu. “Miss,” sapanya lembut.

“Hei, Cathrine,” jawabku sambil beranjak mendekatinya. “Kenapa? Kok belum pulang?”

Rupanya dia ingin meminta tolong untuk kami menghubungi orangtuanya agar dijemput di sekolah. Jadilah kami akhirnya menungguinya hingga dijemput.

Sambil menunggu, tiba-tiba Cathrine bertanya hal yang menurutku cukup random. “Miss, apa sesungguhnya arti merdeka?” Aku dan Winda saling berpandangan. Tidak tahu siapa yang harus menjawab pertanyaan ini. “Kamu aja Win yang jawab,” pintaku dengan suara kecil.

Winda hening sejenak. Otaknya berpikir, mencari-cari jawaban apa yang tepat untuk pertanyaan random ini. 

“Merdeka itu bebas dari penjajahan. Kita yang awalnya diperbudak oleh bangsa lain, berjuang dan berusaha untuk melepaskan diri dari perbudakan itu. Dan kita berhasil.” Winda berhenti sejenak untuk memastikan apakah ocehannya ini bisa dipahami atau tidak. Dilihatnya Cathrine yang memasang wajah penuh perhatian. Maka, dilanjutkanlah jawabannya, “…sehingga orang-orang yang pada masa itu memperjuangkan kebebasan kita, kita sebut pahlawan. Dan kita akhirnya disebut bangsa yang merdeka. Bangsa yang bebas dari penjajahan. Sekarang saatnya kita menumbuhkan rasa nasionalisme dengan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif.” Jawab Winda dengan jelas, dia memang guru mata pelajaran PKn.

Cathrine mengangguk-angguk, lalu kembali bertanya-tanya hal lain.

Aku tersenyum sendiri melihat antusiasnya Cathrine, teringat dulu juga aku pernah menanyakan hal yang sama kepada guru agamaku di sekolah.

“Apa artinya dimerdekakan dari maut, Bu?” 

Waktu itu aku belum mengerti seutuhnya apa arti pertanyaan itu, apalagi jawaban yang diberikan oleh guruku saat itu. Baru saat mengikuti pembinaan rohani di kampus, seorang kakak pembimbing rohani membantuku untuk belajar memahaminya.

“Apa yang lebih urgent dari: Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan, atau merdeka dari perbudakan? Ya, merdeka dari dosa. Karena upah dosa ialah maut, tetapi karunia Allah adalah hidup yang kekal di dalam Kristus Yesus bagi kamu! katanya tegas dan mantap.

Kemudian ia melanjutkan, “Bagaimana kita dapat dimerdekakan dari maut? Ya hanya ada satu Jalannya; yaitu Dia yang tidak berkuasa atas maut itu sendiri. Dia yang mengaruniakan keselamatan itu melalui diri-Nya sendiri, Dia yang adalah satu-satunya Jalan dan Kebenaran. Dialah Yesus Kristus.”

Aku tidak merespons apa-apa waktu itu. Karena pembicaraan itu terasa terlalu teologis bagiku—mahasiswa baru yang kala itu hanya ikut-ikutan kelompok pembinaan ini. Sekaligus aku heran, mengapa kakak pembimbing rohaniku yang adalah mahasiswa senior di bidang sains, bisa memaparkan hal teologis seperti itu dengan sangat baik? Bukannya harusnya itu hanya dapat disampaikan oleh orang-orang dengan jurusan teologi, atau bahkan hamba-hamba Tuhan di mimbar gereja?

Seiring aku mengikuti kelompok pembinaan, pendalaman Alkitab, dan kelas-kelas studi Alkitab, aku pun menyadari bahwa ternyata memahami iman dengan serius bukan hanya tugas para pelayan Tuhan penuh waktu saja. Aku sebagai orang awam memerlukannya, begitu pun orang lain. Karena ternyata hal-hal teologi bukan saja tentang menggali tafsiran Alkitab, sejarah, doktrin, dll, yang sering kali terasa membosankan, tapi yang utama adalah bagaimana kita semakin hari belajar memiliki pengenalan yang benar akan Allah.

Semua orang perlu mendengarkan bagaimana kemerdekaan dari maut itu diperoleh.

Seperti sekarang, ternyata aku sudah ikut nimbrung ke percakapan Cathrine dan Winda. Tidak terasa sudah ikut menyampaikan tentang Sosok Pribadi yang memerdekakan itu.

“Jadi kita menyebut Yesus juga pahlawan ya, Miss? Karena Dia sudah memerdekakan kita dari upah dosa?” tanya Cathrine.

Aku tersenyum, “Juruselamat. Kita menyebut-Nya Juruselamat, Cathrine. Satu-satunya Jalan dan Kebenaran dan Hidup.”

Cathrine mengangguk-angguk. Lalu kemudian dia berpamitan karena sudah dijemput Mamanya. 

“Miss, besok-besok saya ingin mendengar lagi cerita tentang Juruselamat kita itu ya, Miss. Nanti saya ingin bisa menceritakannya ke teman-teman saya.” Katanya riang sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.

Aku dan Winda tersenyum, ikut beranjak ke parkiran. Hari sudah sore, matahari masih terasa hangat. Sehangat suasana hati kami saat ini.

“Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yohanes 8: 31-32).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Dilingkupi Anugerah untuk Berjalan di Persimpangan Bersamamu

Sebuah cerpen oleh Tabita Davinia Utomo

Tahukah kamu kalau ternyata yang namanya FOMO juga bisa dialami oleh orang yang “sedikit” lebih settle dalam hidupnya?

Itulah yang aku alami ketika bertemu beberapa temanku di fellowship malam ini di rumah baru William dan Leah. Di sekitar meja yang penuh dengan salad, donat, pisang goreng, dan minuman soda, aku sedang bermain kartu dengan Deanna, Bianca, Alex, Leah, Matthew, Raymond, William, dan Edwin. Setiap pemain perlu mengambil satu kartu, lalu menjawab pertanyaan di dalamnya. Berhubung pertanyaan di kartu-kartu itu berkaitan dengan pengalaman tiap orang, maka pembicaraan yang awalnya penuh lawak akhirnya jadi lebih mendalam.

“Ceritakan salah satu pengalaman yang berkesan bagimu bersama orang yang ada di samping kananmu,” baca Bianca, kemudian dia menoleh ke arah Alex yang memang sedang duduk di sampingnya.

“Cieee, yang on the way nikahh…” goda Matthew.

“Hahaha…” Alex tertawa sumbang lalu berkata, “Nanti kamu bakal ngerasain sama Avery, loh, Matt.”

“Kamu aja, gih, yang cerita,” kata Bianca sambil menyikut kekasihnya itu.

Alex pura-pura terperanjat, lalu berujar, “Kalau gitu, nanti bagianku di-skip aja, ya.”

“Yeee ya kalii.” Bianca tertawa kecil. “Oke, baru-baru ini kami berantem karena masalah mau nikah di mana, karena kalau nikah, kan, butuh duit, yak. Keluargaku ada di Surabaya, sedangkan keluarga Alex ada di Jakarta. Jadi, bingung banget mau nikah di mana dan caranya gimana, karena dua pihak ini punya keinginan masing-masing. Apalagi aku termasuk salah satu cucu tertua yang udah punya pasangan, jadi pasti keluarga besar berharap mereka pun diundang…”

“Ehmm… Wajar, dong, Bi, kalau mereka mau diundang?” tanyaku dengan bingung.

“Hehe…” Bianca nyengir. “Kalau yang diundang saudara sepupu mamaku dari pihak nenek buyutku, itu termasuk jauh banget, enggak, Ave?”

Edwin melongo. “Gile, itu lumayan jauh, sih, Bi,” katanya.

“Dan yang kayak gitu bukan cuma keluarga Bianca, Ed. Keluargaku pun gitu,” kata Alex.

“Makanya beneran drama banget lah untuk nentuin tempat pernikahan kami nanti, meskipun yaaaa masih lama, tapi, kan, tetep perlu dipikirin dari sekarang.”

Sambil membuka salah satu minuman soda di meja, William berkata, “Aku dan Leah juga pernah ada di posisi itu saat memutuskan untuk menikah. Intervensi keluarga besar lumayan besar dalam persiapan pernikahan kami. Yang awalnya mau intimate wedding, eh, ujung-ujungnya ngundang orang sekampung–saking banyaknya. Tapi itu udah termasuk undangan kami dan keluarga masing-masing.”

Leah mengangguk. “Pokoknya drama banget, deh, pas persiapan itu. Tapi memang kembali ke kesepakatan kalian berdua gimana, sih, Lex, Bi. Kalau kalian udah sepakat dan pertimbangannya jelas, mungkin itu akan ngebantu keluarga buat bisa terima, sih…”

“Iya, nih,” balas Alex. “Makasih, ya, Le.”

“Kalau boleh tahu, kalian rencana nikahnya kapan, sih?” tanyaku sambil mengambil toples nastar yang ada di sisi kanan meja.

Bianca memandang ke arah Alex (duh, main telepati, dong. Gemas!). Setelah cowok itu mengangguk, Bianca menjawab, “Kira-kira dua tahun lagi… Tapi aku harus dilamar dulu sama Alex. Hahahahaha…”

Mendengar jawaban Bianca, aku dan teman-temanku tertawa–sementara Alex tersenyum salah tingkah. “Doain aja, ya, guys. Hehe…”

“Oke, lanjut. Abis Bianca, siapa, nih?” kata Deanna.

“Aku, aku,” kataku sambil mengambil kartu di meja, lalu nyengir. “Waduh. Ini bisa cerita panjang, nih. Hahaha…”

“Apa, apa?” Matthew melongok ke sisi kiriku.

“Apakah ada orang di dalam permainan ini yang kamu ingin membangun hidup bersama? Jelaskan!” Aku membacakan isi dari kartu itu.

Semua temanku tergelak karena mengingat Matthew yang menggodai Alex di giliran sebelumnya. “Nah, lho, Matt.. Kena, dehhh. Hahahaha…,” kata Alex di sela-sela tawanya.

Matthew hanya bisa garuk-garuk kepala, lalu berujar padaku, “Aku masih nabung dulu, ya, untuk nikahan kita…”

“Cieeeee…” William dan Edwin bersiul senang.

“Ehemm…” Aku berdeham, kemudian melanjutkan, “Aku belum jawab, loh.”

“Udah pastilah sama Matthew. Ya, kan, Ave? Ya, kan?” tanya Leah.

Aku melirik ke arah cowok yang mukanya sudah seperti tomat rebus itu, kemudian memandang kartu di tanganku sekali lagi. “Hmmm… Semoga gitu, ya, Le. Hehe… Udah pada tahu juga, kan, kenapa aku pilih Matthew?” kataku.

“Lho, kan, disuruh cerita,” ujar Deanna. “Gimana relasi kalian sejauh ini, guys? Masih aman atau udah mulai galau?”

Tiba-tiba Matthew mengangkat tangannya. “Aku yang galau, sih, karena mau LDR bulan depan sama Avery.” Cowok itu menjelaskan.

Bianca mengerutkan dahi. “Lagi?” tanyanya.

“Bukannya waktu itu kalian udah sempet LDR karena Matthew ke Papua?” Alex menambahkan sambil memegang gelas sodanya.

Aku mengangguk. “Kali ini LDR-nya enggak sampai sejauh itu, sih… Dia diminta untuk pelayanan selama satu tahun di Semarang karena gerejanya punya pos pelayanan di sana.”

“Wah…” Tiba-tiba Raymond bersuara, “Jangan-jangan kita bakal sering ketemu, dong, Matt?”

Matthew menatap Raymond dengan mata terbelalak. “Hah? Serius kamu juga ke Semarang, Ray?”

Raymond tertawa. “Iya, Brooo… Aku ada dinas kantor enam bulan di sana. Bisa nongki-nongki lah kitaaa. Hahahaha…”

Melihat mereka yang bersemangat, aku jadi lega. Well, seenggaknya selama aku dan Matthew menjalani masa LDR, ada Raymond yang bisa menemani cowok itu di Semarang.

“Matthew, nih, belum pernah ke Semarang abisnya,” ceritaku. “Jadi dia bakal butuh adaptasi banget di sana… sekaligus ancang-ancang untuk nikah–yang enggak tahu kapan hari-H-nya. Hahahahaa…”

Deanna nyengir. “Wah, apa berikutnya kita main aja ke Semarang, ya, sekalian kunjungin mereka?” usulnya.

Edwin mengangguk dan membalas, “Nice idea, tuh, Dee!”

“Tapi Avery…” Tiba-tiba William menyela. “Kamu sama Matthew yakin enggak untuk beneran serius mempersiapkan pernikahan?”

DEG.

Pertanyaan itu cukup menusuk, tetapi mewakili hatiku selama berelasi dengan Matthew sejak dua tahun yang lalu. Jujur saja, dengan program volunteering dan pelayanan gereja yang Matthew jalani, adakalanya aku mempertanyakan apakah dia sungguh-sungguh bersedia memasuki pernikahan seumur hidupnya. Bukan berarti aku tidak mendukung Matthew, tetapi yang namanya volunteering tidak menjamin akan ada kecukupan secara finansial, kan? Oke, mungkin aku terkesan materialistis, tetapi umur kami sudah mendekati 30 tahun, lho! Membayar jasa vendor dan pernak-pernik pernikahan, kan, enggak pakai daun. Plus, kalau mendengar cerita beberapa temanku yang sudah berkeluarga, menikah dengan hamba Tuhan berarti harus siap dilihat jemaat seperti ikan di akuarium. Membayangkannya saja aku sudah mual.

“Kadang-kadang aku enggak yakin apakah aku cukup mampu untuk menikahi Avery, Will.”

Aku langsung menoleh ke arah Matthew dengan terkejut. Semua temanku juga langsung menatap cowok itu—sampai ruangan jadi hening seketika. Dia ini baca pikiranku atau gimana, sih!? batinku tidak habis pikir atas perkataannya.

Matthew menelan ludah, lalu berkata padaku dengan pelan, “Maafkan aku, ya, Ve…”

Karena aku masih kehilangan kata-kata, Raymond mengusulkan dengan ragu-ragu, “Ehmm… Kalian mau ngobrolin ini berdua dulukah?”

Walaupun William dan Leah—sebagai tuan rumah—mengangguk dan segera mendiskusikan tempat yang bisa kami pakai, Matthew menggeleng. “Jujur,” katanya lagi, “aku belum bisa sampai ada di tahap kayak Alex yang secara penghasilannya udah lebih pasti untuk menikahi Bianca, apalagi kayak William yang udah nikah sama Leah tahun lalu. Kadang-kadang kalau mikirin itu, aku merasa… apa akunya yang terlalu egois, ya, untuk mengiyakan pelayanan dan kegiatan sukarela tanpa berdiskusi dengan Avery?”

Mukaku memerah karena malu mendengar pengakuan Matthew. Aku tidak yakin apakah teman-teman memahami kondisi kami saat ini. Mungkinkah setelah ini, sikap mereka kepada kami jadi berubah—karena kami belum bisa jadi seperti mereka yang lebih “berhasil” dan berkecukupan? Atau ada yang berpendapat agar aku putus dari Matthew karena dia terlihat bukan seperti pria yang siap menikah?

“Matt,” Alex memanggil Matthew yang sedang menundukkan kepala. Matthew pun menoleh ke arah Alex dengan lemas, mungkin karena tidak menyangka respons teman-teman bisa beragam seperti ini.

Alex menghela napas, lalu menggenggam tangan Bianca. “Aku juga sedang mengalami ketakutan yang sama, kok, meskipun kalau ditanya kami bilang bakal nikah dua tahun lagi. Banyak kebutuhan yang harus dibayar termasuk… yaaa, tahulah yang lagi hot topic apa…”

“Aku juga mengalami ketakutan itu bareng Leah,” tambah William. Istrinya mengangguk pelan.

“Kalau kami jangan ditanya, deh,” seloroh Edwin meninju bahu Raymond perlahan untuk sedikit mencairkan suasana. Well, setidaknya Matthew bisa tersenyum kecil karena teringat keduanya masih single.

“Aku pikir,” Deanna—yang sedari tadi menyimak—berkata, “keputusan untuk menikahi seseorang atau enggak itu beneran butuh kesiapan yang diiringi usaha dan doa, ya. Enggak bisa karena didasari emosi sesaat. Jadi enggak apa-apa kalau ada keraguan itu, Matt, karena kita jadi sadar kalau kita enggak bisa apa-apa tanpa Tuhan.”

Aku mengangguk, lalu mengelus bahu Matthew dengan lembut. “Aku minta maaf juga karena enggak memikirkan perasaanmu, ya, Matt. Aku…” Tiba-tiba suaraku tercekat. “Aku takut kalau enggak bisa punya anak sebelum usia 30 tahun karena anjuran orang-orang. Padahal, menikah, kan, bukan cuma perkara untuk punya anak. Aku juga egois, kok, kalau mikirin itu melulu…”

Tanpa pikir panjang, Matthew merangkulku di depan teman-temanku. Buatku yang canggung dengan physical display affection ini, aku khawatir dengan penilaian mereka terhadap Matthew yang seekspresif itu. Syukurlah, kekhawatiranku tidak terjadi karena mostly mereka menguatkan kami.

“Iya, ya,” kata William. “Dari pengalaman kami, aku belajar kalau Tuhan itu penuh anugerah, sih. Selalu ada aja cara-Nya buat mencukupkan apa yang kami butuhkan…”

“Dan melembutkan hati orang-orang yang sempat bersitegang dengan kami karena drama undangan pernikahan waktu itu,” tambah Leah.

Sambil menggaruk-garuk kepalanya, Edwin bertanya dengan nada serius, “Guys, kalian sadar enggak kalau sebenernya kita lagi sama-sama ada di persimpangan jalan?”

“Ah, iya juga, ya.” Bianca segera tersadar lalu melanjutkan, “Aku, Alex, Avery, dan Matthew lagi galau soal pernikahan, William dan Leah baru aja pindah rumah, Raymond sebentar lagi dinas ke Semarang…”

“Deanna sama Edwin sendiri gimana?” selaku. “Dari tadi kita belum denger cerita mereka, kan?”

Mendengar nama mereka disebut, Deanna dan Edwin jadi gelagapan seketika. Deanna duluan yang berespons, “Aku? Uhmm… Masih hidup, masih waras, masih bisa mengajar dengan baik, sih. Enggak nyangka juga udah hampir dua tahun kerja di sekolah baru itu. Hahahaha…”

Edwin nyengir. “Aku baru aja jadi dosen di tempat papaku kerja dulu. Masih perlu banyak penyesuaian karena urusan administrasinya bikin pusing. Bulan lalu aku abis opname karena tipes. Hehe…”

“Wah, itu mah definisi kerja, kerja, kerja, tipes, sih, Ed,” kataku–yang sontak membuat semuanya tertawa, termasuk Matthew. Cowok itu melirik sekilas ke arahku, lalu mengedarkan pandangannya pada teman-teman kami.

“Guys,” panggil Matthew. “Thank you, ya, udah menguatkan aku sama Avery hari ini. Mohon doakan kami terus, ya.”

Aku mengiyakan perkataan Matthew. “Buat Alex dan Bianca, nanti kalau ada ide-ide pernikahan yang didapet, boleh tolong di-share ke kami, ya, biar kami bisa ancang-ancang juga dari sekarang. Hahaha…,” ujarku.

“Siap!” Alex dan Bianca menjawab dengan kompak.

Tuhan itu penuh anugerah, demikian kata William.

Ah, ya. Keberadaan mereka juga jadi cara Tuhan untuk menyatakan kehadiran-Nya yang beranugerah pada relasi kami. Terlepas akan jadi seperti apa kehidupan kami nanti, anugerah Tuhan itu cukup. Kiranya iman yang sama juga tetap dimiliki oleh ketujuh teman kami dengan musim kehidupan mereka masing-masing. Begitu pula denganmu, Kawan. Jadi… yuk, jalan bersama kami dalam anugerah-Nya untuk melalui persimpangan penuh misteri ilahi itu.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu