Posts

Masa Penantian Hadir untuk Memproses Kita Lebih Baik

Oleh Abby Ciona

Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Waiting Shapes Us for The Better

“Pasrah.” Kata ini terdengar negatif dan sering kali menyiratkan gagal, putus asa, atau melepaskan kendali. Dan, di dunia di mana kita diberitahu untuk tidak pernah menyerah pada impian kita dan mengendalikan segala keinginan kita, pasrah bukanlah konsep yang kita pertimbangkan.

Tapi, tergantung dari jenis aktivitas yang kamu tekuni, “pasrah” bisa jadi bagian dari rutinitasmu. Semisal, bila kamu seorang penulis yang ingin mengirimkan karyamu ke sebuah penerbit. Saat kamu klik tombol “kirim”, tombol itu bisa berarti juga sebagai tombol “pasrah”. Kamu menyerahkan kendali kepada orang lain. Ini adalah hal yang menakutkan. Kamu melepaskan tanganmu dari apa yang kamu kerjakan dan menyerahkan keputusan akhir penerbitannya kepada orang lain.

Di tahun 2020, proyek yang kukerjakan saat pandemi adalah menulis novel fantasi. Aku sangat senang dengan hasilnya, jadi kuputuskan untuk mencoba menerbitkannya. Kuhabiskan dua tahun untuk merevisi, mengedit, mengikuti pelatihan, dan mendapatkan masukan dari teman dan keluarga. Akhirnya di tahun 2022, aku mengambil langkah selanjutnya dan mengirimkan novelku ke suatu penerbit.

Dalam beberapa minggu, aku menerima email penolakan pertamaku: sebuah tonggak sejarah dalam kehidupan sebagian besar penulis. Namun, meskipun penolakan ini adalah hal biasa bagi penulis, tapi kecewanya baru terasa sekitar setahun kemudian. Apakah aku benar-benar siap? Bagaimana kalau bukuku tidak cukup bagus? Kamu mungkin pernah punya pertanyaan serupa tentang harapan dan impianmu dalam hidup.

Kehidupan Kristen sejatinya adalah hidup yang meminta kita untuk tunduk, berserah, dan berbesar hati untuk mengubah rencana kita sendiri. Waktu kita menyerahkan hidup bagi Yesus, itu berarti kita menyerahkan impian dan keinginan kita sendiri untuk memikul salib-Nya (Lukas 9:23). Bagian terbaik yang bisa kita lakukan adalah dengan setia melayani dan mengasihi orang lain, sembari kita melakoni pekerjaan kita dan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Kita mungkin merencanakan jalan hidup kita, tetapi akhirnya Tuhanlah yang mengarahkan langkah kita (Amsal 16:9). Ini mungkin menakutkan (bagiku), tapi bisa jadi penghiburan yang luar biasa! Kita tidak perlu khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya jika kita bersedia dan terbuka untuk taat mengikuti rencana Tuhan, karena kita tahu bahwa Dia melihat gambaran yang lebih besar dan kekal.

Beberapa bulan lalu, aku sedang mengobrol di meja makan dengan keluargaku tentang sebuah artikel yang kukerjakan buat majalah Kristen. Papaku berkata, “Kamu sedang mewujudkan impian Papa.”

“Tapi, ini bukan impianku!” aku menolak dalam hati. Aku memang telah menerbitkan banyak artikel, puisi, dan cerpen, tapi itu tak pernah jadi rencanaku ketika aku terjun ke dunia penulisan kreatif. Impianku adalah melihat novel-novelku ada dipajang di toko buku dan perpustakaan. Aku tak pernah membayangkan aku akan menulis untuk majalah, renungan, dan website… tapi semua ini ternyata lebih baik daripada yang kuharapkan.

Daud mengalami penolakan dari Allah, yang bukannya membuat dia frustrasi (mungkin saja dia frustrasi), tapi justru membuatnya semakin memuji kedaulatan-Nya. Daud ingin sekali membangun Bait Suci, sebuah tempat permanen yang didedikasikan untuk beribadah kepada Allah, tetapi Allah menolak permintaan itu (2 Samuel 7). Sebaliknya, Allah memberi tahu Daud tentang rencana-Nya yang lebih besar: untuk membuat nama Daud mashyur dan mendirikan kerajaan kekal melalui garis keturunannya. Janji ini akhirnya digenapi di dalam Yesus dan jauh lebih besar daripada apa yang dapat dipahami Daud saat itu.

Mazmur 96:3 mengatakan, “Ceritakanlah kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan yang ajaib di antara segala suku bangsa.” Aku akan terus melakukan ini sampai Tuhan membukakan pintu berikutnya dalam perjalananku menulis. Aku akan terus mengirimkan pertanyaan, menulis cerita dan artikel karena aku tahu Tuhan memberikan karunia ini kepadaku untuk suatu alasan.

Yesaya 55:8-9 mengingatkan kita bahwa pikiran Tuhan jauh lebih tinggi daripada pikiran kita, dan aku bersyukur untuk itu. Meskipun Daud tidak membangun Bait Suci bagi Allah, dia mampu melakukan hal-hal besar lainnya dengan secara aktif menggunakan posisi otoritasnya untuk menyatukan bangsa Israel dan memimpin mereka setia mengikut Allah. Dia membuat persiapan bagi putranya untuk membangun Bait Suci. Semangat Daud untuk melayani Tuhan pada akhirnya membuat dia dikenal sebagai seorang yang berkenan di hati Tuhan (1 Samuel 13:14), yang merupakan tujuan yang lebih penting daripada membangun Bait Suci atau menerbitkan buku. Bahkan, ketika impian kita tidak terpenuhi, Tuhan tetap bekerja. Dia mungkin menggunakan karunia-karunia kita dengan cara yang tidak terduga, yang akan menjadi lebih menakjubkan dari yang kita bayangkan. Kita hanya perlu tetap terbuka pada kehendak-Nya ketika impian kita kelihatannya gagal.

Jadi, ketika aku menunggu kabar dari penerbit, bukan berarti aku tidak melakukan apa-apa. Aku terus menulis dan memperbaiki karya-karyaku sembari mengerjakan satu atau dua proyek lainnya. Seperti ikan hiu yang harus terus berenang untuk bernapas; bagiku, aku harus terus menulis agar kreativitasku tetap menyala. Ruang tunggu di rumah sakit atau kantor mungkin bisa menjadi tempat yang membosankan dan penuh kegelisahan. Dalam suasana demikian, mudah untuk membunuh bosan dengan main Internet saja, tapi menunggu tidak harus menjadi pasif atau tidak produktif.

Menerima lusinan email penolakan dari penerbit mungkin tidak terasa menyenangkan, tetapi ini menolongku untuk tabah dan mengingat lagi bahwa identitasku ada di dalam Kristus, bukan pada kesuksesanku. Pikirkanlah saat-saat dalam hidupmu ketika waktu-waktu penantian membantumu membentuk dirimu secara positif, atau ketika menunggu sesuatu membuatmu semakin bahagia ketika menerimanya nanti. Jika kamu belum terpikir apa pun, pertimbangkanlah apakah ada langkah-langkah yang bisa kamu lakukan untuk membuat masa penantianmu menjadi lebih aktif. Proses penantian mungkin tidak menyenangkan, tetapi itu bisa menjadi sehat ketika kita memilih untuk menunggu dengan tindakan, untuk terus bertumbuh dalam iman kita, dan untuk maju dalam melayani orang lain.

Kita semua sedang menunggu sesuatu. Mungkin itu adalah kesepakatan dari penerbit buku, atau mungkin seorang teman. Mungkin anak atau pekerjaan. Semoga kita membuat rencana kita dengan tangan terbuka. Kiranya kita menghormati dan memuliakan Tuhan dalam pekerjaan apa pun yang kita lakukan, karena kita tahu bahwa Dia bekerja melalui biji sesawi yang paling kecil untuk menghasilkan mukjizat (Matius 17:20). Kiranya kita membangun perahu kita dan dengan berani berlayar untuk mencapai tujuan. Bila kita masih ngotot ingin mencengkeram kemudi, lepaskanlah itu. Izinkan Roh Kudus menuntun kita ke tujuan yang mungkin berbeda dari harapan kita, tetapi pada akhirnya lebih baik daripada yang dapat kita bayangkan.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Ketika Yesus Bilang Jadilah Seperti Anak Kecil

Tuhan Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak kecil itu. Jangan menghalangi mereka datang kepada-Ku sebab Kerajaan Surga adalah milik orang-orang yang seperti anak-anak kecil ini.” (Mat. 19:14 AYT).

Anak kecil seringkali tidak diperhitungkan kehadirannya, tetapi Tuhan Yesus mengajak kita untuk meneladani mereka. Anak kecil memang tidak tahu banyak hal dan cenderung ceroboh, tetapi mereka selalu ingin tahu, jujur, mau diajar, dan rendah hati.

Apakah semua sikap anak kecil itu ada dalam diri kita? Atau, jangan-jangan usia yang bertambah menghapus semua itu dari dalam diri kita?

Yuk datang pada Tuhan seperti anak kecil yang merindukan dekapan bapanya 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today dan ilustrasi dibuat oleh @vessillustration.

Kamu diberkati oleh konten ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Dilingkupi Anugerah untuk Berjalan di Persimpangan Bersamamu

Sebuah cerpen oleh Tabita Davinia Utomo

Tahukah kamu kalau ternyata yang namanya FOMO juga bisa dialami oleh orang yang “sedikit” lebih settle dalam hidupnya?

Itulah yang aku alami ketika bertemu beberapa temanku di fellowship malam ini di rumah baru William dan Leah. Di sekitar meja yang penuh dengan salad, donat, pisang goreng, dan minuman soda, aku sedang bermain kartu dengan Deanna, Bianca, Alex, Leah, Matthew, Raymond, William, dan Edwin. Setiap pemain perlu mengambil satu kartu, lalu menjawab pertanyaan di dalamnya. Berhubung pertanyaan di kartu-kartu itu berkaitan dengan pengalaman tiap orang, maka pembicaraan yang awalnya penuh lawak akhirnya jadi lebih mendalam.

“Ceritakan salah satu pengalaman yang berkesan bagimu bersama orang yang ada di samping kananmu,” baca Bianca, kemudian dia menoleh ke arah Alex yang memang sedang duduk di sampingnya.

“Cieee, yang on the way nikahh…” goda Matthew.

“Hahaha…” Alex tertawa sumbang lalu berkata, “Nanti kamu bakal ngerasain sama Avery, loh, Matt.”

“Kamu aja, gih, yang cerita,” kata Bianca sambil menyikut kekasihnya itu.

Alex pura-pura terperanjat, lalu berujar, “Kalau gitu, nanti bagianku di-skip aja, ya.”

“Yeee ya kalii.” Bianca tertawa kecil. “Oke, baru-baru ini kami berantem karena masalah mau nikah di mana, karena kalau nikah, kan, butuh duit, yak. Keluargaku ada di Surabaya, sedangkan keluarga Alex ada di Jakarta. Jadi, bingung banget mau nikah di mana dan caranya gimana, karena dua pihak ini punya keinginan masing-masing. Apalagi aku termasuk salah satu cucu tertua yang udah punya pasangan, jadi pasti keluarga besar berharap mereka pun diundang…”

“Ehmm… Wajar, dong, Bi, kalau mereka mau diundang?” tanyaku dengan bingung.

“Hehe…” Bianca nyengir. “Kalau yang diundang saudara sepupu mamaku dari pihak nenek buyutku, itu termasuk jauh banget, enggak, Ave?”

Edwin melongo. “Gile, itu lumayan jauh, sih, Bi,” katanya.

“Dan yang kayak gitu bukan cuma keluarga Bianca, Ed. Keluargaku pun gitu,” kata Alex.

“Makanya beneran drama banget lah untuk nentuin tempat pernikahan kami nanti, meskipun yaaaa masih lama, tapi, kan, tetep perlu dipikirin dari sekarang.”

Sambil membuka salah satu minuman soda di meja, William berkata, “Aku dan Leah juga pernah ada di posisi itu saat memutuskan untuk menikah. Intervensi keluarga besar lumayan besar dalam persiapan pernikahan kami. Yang awalnya mau intimate wedding, eh, ujung-ujungnya ngundang orang sekampung–saking banyaknya. Tapi itu udah termasuk undangan kami dan keluarga masing-masing.”

Leah mengangguk. “Pokoknya drama banget, deh, pas persiapan itu. Tapi memang kembali ke kesepakatan kalian berdua gimana, sih, Lex, Bi. Kalau kalian udah sepakat dan pertimbangannya jelas, mungkin itu akan ngebantu keluarga buat bisa terima, sih…”

“Iya, nih,” balas Alex. “Makasih, ya, Le.”

“Kalau boleh tahu, kalian rencana nikahnya kapan, sih?” tanyaku sambil mengambil toples nastar yang ada di sisi kanan meja.

Bianca memandang ke arah Alex (duh, main telepati, dong. Gemas!). Setelah cowok itu mengangguk, Bianca menjawab, “Kira-kira dua tahun lagi… Tapi aku harus dilamar dulu sama Alex. Hahahahaha…”

Mendengar jawaban Bianca, aku dan teman-temanku tertawa–sementara Alex tersenyum salah tingkah. “Doain aja, ya, guys. Hehe…”

“Oke, lanjut. Abis Bianca, siapa, nih?” kata Deanna.

“Aku, aku,” kataku sambil mengambil kartu di meja, lalu nyengir. “Waduh. Ini bisa cerita panjang, nih. Hahaha…”

“Apa, apa?” Matthew melongok ke sisi kiriku.

“Apakah ada orang di dalam permainan ini yang kamu ingin membangun hidup bersama? Jelaskan!” Aku membacakan isi dari kartu itu.

Semua temanku tergelak karena mengingat Matthew yang menggodai Alex di giliran sebelumnya. “Nah, lho, Matt.. Kena, dehhh. Hahahaha…,” kata Alex di sela-sela tawanya.

Matthew hanya bisa garuk-garuk kepala, lalu berujar padaku, “Aku masih nabung dulu, ya, untuk nikahan kita…”

“Cieeeee…” William dan Edwin bersiul senang.

“Ehemm…” Aku berdeham, kemudian melanjutkan, “Aku belum jawab, loh.”

“Udah pastilah sama Matthew. Ya, kan, Ave? Ya, kan?” tanya Leah.

Aku melirik ke arah cowok yang mukanya sudah seperti tomat rebus itu, kemudian memandang kartu di tanganku sekali lagi. “Hmmm… Semoga gitu, ya, Le. Hehe… Udah pada tahu juga, kan, kenapa aku pilih Matthew?” kataku.

“Lho, kan, disuruh cerita,” ujar Deanna. “Gimana relasi kalian sejauh ini, guys? Masih aman atau udah mulai galau?”

Tiba-tiba Matthew mengangkat tangannya. “Aku yang galau, sih, karena mau LDR bulan depan sama Avery.” Cowok itu menjelaskan.

Bianca mengerutkan dahi. “Lagi?” tanyanya.

“Bukannya waktu itu kalian udah sempet LDR karena Matthew ke Papua?” Alex menambahkan sambil memegang gelas sodanya.

Aku mengangguk. “Kali ini LDR-nya enggak sampai sejauh itu, sih… Dia diminta untuk pelayanan selama satu tahun di Semarang karena gerejanya punya pos pelayanan di sana.”

“Wah…” Tiba-tiba Raymond bersuara, “Jangan-jangan kita bakal sering ketemu, dong, Matt?”

Matthew menatap Raymond dengan mata terbelalak. “Hah? Serius kamu juga ke Semarang, Ray?”

Raymond tertawa. “Iya, Brooo… Aku ada dinas kantor enam bulan di sana. Bisa nongki-nongki lah kitaaa. Hahahaha…”

Melihat mereka yang bersemangat, aku jadi lega. Well, seenggaknya selama aku dan Matthew menjalani masa LDR, ada Raymond yang bisa menemani cowok itu di Semarang.

“Matthew, nih, belum pernah ke Semarang abisnya,” ceritaku. “Jadi dia bakal butuh adaptasi banget di sana… sekaligus ancang-ancang untuk nikah–yang enggak tahu kapan hari-H-nya. Hahahahaa…”

Deanna nyengir. “Wah, apa berikutnya kita main aja ke Semarang, ya, sekalian kunjungin mereka?” usulnya.

Edwin mengangguk dan membalas, “Nice idea, tuh, Dee!”

“Tapi Avery…” Tiba-tiba William menyela. “Kamu sama Matthew yakin enggak untuk beneran serius mempersiapkan pernikahan?”

DEG.

Pertanyaan itu cukup menusuk, tetapi mewakili hatiku selama berelasi dengan Matthew sejak dua tahun yang lalu. Jujur saja, dengan program volunteering dan pelayanan gereja yang Matthew jalani, adakalanya aku mempertanyakan apakah dia sungguh-sungguh bersedia memasuki pernikahan seumur hidupnya. Bukan berarti aku tidak mendukung Matthew, tetapi yang namanya volunteering tidak menjamin akan ada kecukupan secara finansial, kan? Oke, mungkin aku terkesan materialistis, tetapi umur kami sudah mendekati 30 tahun, lho! Membayar jasa vendor dan pernak-pernik pernikahan, kan, enggak pakai daun. Plus, kalau mendengar cerita beberapa temanku yang sudah berkeluarga, menikah dengan hamba Tuhan berarti harus siap dilihat jemaat seperti ikan di akuarium. Membayangkannya saja aku sudah mual.

“Kadang-kadang aku enggak yakin apakah aku cukup mampu untuk menikahi Avery, Will.”

Aku langsung menoleh ke arah Matthew dengan terkejut. Semua temanku juga langsung menatap cowok itu—sampai ruangan jadi hening seketika. Dia ini baca pikiranku atau gimana, sih!? batinku tidak habis pikir atas perkataannya.

Matthew menelan ludah, lalu berkata padaku dengan pelan, “Maafkan aku, ya, Ve…”

Karena aku masih kehilangan kata-kata, Raymond mengusulkan dengan ragu-ragu, “Ehmm… Kalian mau ngobrolin ini berdua dulukah?”

Walaupun William dan Leah—sebagai tuan rumah—mengangguk dan segera mendiskusikan tempat yang bisa kami pakai, Matthew menggeleng. “Jujur,” katanya lagi, “aku belum bisa sampai ada di tahap kayak Alex yang secara penghasilannya udah lebih pasti untuk menikahi Bianca, apalagi kayak William yang udah nikah sama Leah tahun lalu. Kadang-kadang kalau mikirin itu, aku merasa… apa akunya yang terlalu egois, ya, untuk mengiyakan pelayanan dan kegiatan sukarela tanpa berdiskusi dengan Avery?”

Mukaku memerah karena malu mendengar pengakuan Matthew. Aku tidak yakin apakah teman-teman memahami kondisi kami saat ini. Mungkinkah setelah ini, sikap mereka kepada kami jadi berubah—karena kami belum bisa jadi seperti mereka yang lebih “berhasil” dan berkecukupan? Atau ada yang berpendapat agar aku putus dari Matthew karena dia terlihat bukan seperti pria yang siap menikah?

“Matt,” Alex memanggil Matthew yang sedang menundukkan kepala. Matthew pun menoleh ke arah Alex dengan lemas, mungkin karena tidak menyangka respons teman-teman bisa beragam seperti ini.

Alex menghela napas, lalu menggenggam tangan Bianca. “Aku juga sedang mengalami ketakutan yang sama, kok, meskipun kalau ditanya kami bilang bakal nikah dua tahun lagi. Banyak kebutuhan yang harus dibayar termasuk… yaaa, tahulah yang lagi hot topic apa…”

“Aku juga mengalami ketakutan itu bareng Leah,” tambah William. Istrinya mengangguk pelan.

“Kalau kami jangan ditanya, deh,” seloroh Edwin meninju bahu Raymond perlahan untuk sedikit mencairkan suasana. Well, setidaknya Matthew bisa tersenyum kecil karena teringat keduanya masih single.

“Aku pikir,” Deanna—yang sedari tadi menyimak—berkata, “keputusan untuk menikahi seseorang atau enggak itu beneran butuh kesiapan yang diiringi usaha dan doa, ya. Enggak bisa karena didasari emosi sesaat. Jadi enggak apa-apa kalau ada keraguan itu, Matt, karena kita jadi sadar kalau kita enggak bisa apa-apa tanpa Tuhan.”

Aku mengangguk, lalu mengelus bahu Matthew dengan lembut. “Aku minta maaf juga karena enggak memikirkan perasaanmu, ya, Matt. Aku…” Tiba-tiba suaraku tercekat. “Aku takut kalau enggak bisa punya anak sebelum usia 30 tahun karena anjuran orang-orang. Padahal, menikah, kan, bukan cuma perkara untuk punya anak. Aku juga egois, kok, kalau mikirin itu melulu…”

Tanpa pikir panjang, Matthew merangkulku di depan teman-temanku. Buatku yang canggung dengan physical display affection ini, aku khawatir dengan penilaian mereka terhadap Matthew yang seekspresif itu. Syukurlah, kekhawatiranku tidak terjadi karena mostly mereka menguatkan kami.

“Iya, ya,” kata William. “Dari pengalaman kami, aku belajar kalau Tuhan itu penuh anugerah, sih. Selalu ada aja cara-Nya buat mencukupkan apa yang kami butuhkan…”

“Dan melembutkan hati orang-orang yang sempat bersitegang dengan kami karena drama undangan pernikahan waktu itu,” tambah Leah.

Sambil menggaruk-garuk kepalanya, Edwin bertanya dengan nada serius, “Guys, kalian sadar enggak kalau sebenernya kita lagi sama-sama ada di persimpangan jalan?”

“Ah, iya juga, ya.” Bianca segera tersadar lalu melanjutkan, “Aku, Alex, Avery, dan Matthew lagi galau soal pernikahan, William dan Leah baru aja pindah rumah, Raymond sebentar lagi dinas ke Semarang…”

“Deanna sama Edwin sendiri gimana?” selaku. “Dari tadi kita belum denger cerita mereka, kan?”

Mendengar nama mereka disebut, Deanna dan Edwin jadi gelagapan seketika. Deanna duluan yang berespons, “Aku? Uhmm… Masih hidup, masih waras, masih bisa mengajar dengan baik, sih. Enggak nyangka juga udah hampir dua tahun kerja di sekolah baru itu. Hahahaha…”

Edwin nyengir. “Aku baru aja jadi dosen di tempat papaku kerja dulu. Masih perlu banyak penyesuaian karena urusan administrasinya bikin pusing. Bulan lalu aku abis opname karena tipes. Hehe…”

“Wah, itu mah definisi kerja, kerja, kerja, tipes, sih, Ed,” kataku–yang sontak membuat semuanya tertawa, termasuk Matthew. Cowok itu melirik sekilas ke arahku, lalu mengedarkan pandangannya pada teman-teman kami.

“Guys,” panggil Matthew. “Thank you, ya, udah menguatkan aku sama Avery hari ini. Mohon doakan kami terus, ya.”

Aku mengiyakan perkataan Matthew. “Buat Alex dan Bianca, nanti kalau ada ide-ide pernikahan yang didapet, boleh tolong di-share ke kami, ya, biar kami bisa ancang-ancang juga dari sekarang. Hahaha…,” ujarku.

“Siap!” Alex dan Bianca menjawab dengan kompak.

Tuhan itu penuh anugerah, demikian kata William.

Ah, ya. Keberadaan mereka juga jadi cara Tuhan untuk menyatakan kehadiran-Nya yang beranugerah pada relasi kami. Terlepas akan jadi seperti apa kehidupan kami nanti, anugerah Tuhan itu cukup. Kiranya iman yang sama juga tetap dimiliki oleh ketujuh teman kami dengan musim kehidupan mereka masing-masing. Begitu pula denganmu, Kawan. Jadi… yuk, jalan bersama kami dalam anugerah-Nya untuk melalui persimpangan penuh misteri ilahi itu.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Hal yang Kupelajari dari Memelihara Kucing

Siapa nih di antara kamu yang sukaaa banget sama kucing? 😻

Dari tingkah laku si kucing, ada beberapa hal yang bisa jadi pengingat dan pelajaran berharga dalam hubungan kita dengan Tuhan

Yukk, share juga pengalamanmu dengan anabul ini 😻😁

Artspace ini ditulis oleh Viola Wu (@_lunaandthecats_), ilustrasi dari @chiketania, dan diterjemahkan dari @ymi_today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Nenek Lois di Belakang Layar

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Kita hidup dalam dunia yang cenderung mudah memberikan sanjungan kepada mereka yang berdiri di atas panggung megah, mengenakan pakaian bagus, dan mendapat sorotan lampu. Namun, sangat sering kita melupakan orang-orang yang berdiri di belakang layar, yang telah menghabiskan begitu banyak tenaga untuk menyiapkan pertunjukan hebat tersebut.

Sebagai contoh, berapa banyak dari kita yang mengenal seorang penemu terkenal dengan segala pencapaiannya, tetapi tidak mengetahui siapa sosok ibu luar biasa yang menjadi kunci kesuksesannya? Setelah dia dikeluarkan dari sekolah karena dianggap kurang pintar oleh pihak sekolah, ibunya mengambil keputusan untuk membaktikan diri mengajari anak laki-lakinya itu. Singkat cerita, hari ini kita semua mengenal Thomas Alva Edison, sang penemu lampu pijar. Namun, bagaimana dengan ibunya?

Bagiku, pujian untuk Edison adalah sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan, tetapi mengabaikan sosok ibu di belakangnya adalah penghinaan terhadap kerja keras dan kesetiaan.

Siapa dari kita yang telah membaca Kitab Suci dan tidak mengenal sosok Timotius? Reputasinya yang baik telah membuat banyak orang memberikan nama itu untuk anak-anak mereka. Dia adalah anak rohani rasul Paulus, sekaligus merupakan penerima pertama dari dua surat (1 dan 2 Timotius) dalam Kitab Suci Perjanjian Baru yang kita miliki. Bahkan terlepas dari ketidaksempurnaan semua manusia, termasuk Timotius, kurasa dia telah menjadi semacam role model bagi banyak anak muda Kristen. Namun, bagaimana dengan ibu dan neneknya, Eunike dan Lois?

Dalam tulisan ini, aku akan menyoroti Lois dan tidak akan berbicara terlalu banyak mengenai Eunike karena berbagai alasan. Salah satunya, karena aku melihat di lingkunganku, nama Eunike terdengar lebih populer ketimbang nama Lois. Bahkan bertahun-tahun yang lalu, ketika sedang menempuh pendidikan, aku pernah tinggal di sebuah rumah seorang anak kecil bernama Eunike yang mana di desanya itu terdapat banyak orang dengan nama yang sama.

Nama Lois hanya disebut satu kali di dalam Kitab Suci (2 Timotius 1:5). Mungkin ini yang menjadi alasan sebagian orang untuk tidak terlalu banyak membahas sosok ini. Padahal, kita seharusnya tidak lalai memerhatikan apa yang dikatakan oleh rasul Paulus ketika dia menyebutkan nama wanita tua ini di dalam suratnya itu.

“Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” (2 Timotius 1:5).

Dalam bagian itu, kita melihat sang rasul memberikan pujian kepada Timotius atas imannya yang tulus ikhlas. Namun, dia juga memberikan catatan tambahan yang tidak kalah pentingnya. Sebenarnya, apa yang dia tambahkan di sana merupakan alasan yang sangat kuat mengapa Timotius bisa menjadi manusia yang berkualitas. Tentu saja, iman dan karakter Timotius tidak jatuh dari langit. Allah bekerja sedemikian rupa menggunakan orang-orang dalam lingkungan Timotius untuk mempersiapkannya menjadi seorang prajurit-Nya.

Keluarga menjadi tempat vital yang akan membentuk seorang manusia. Aku tidak mengatakan bahwa seseorang yang berasal dari keluarga yang “berantakan” tidak mungkin menjadi manusia yang berguna. Apa yang kumaksud adalah pengaruh keluarga benar-benar sangat kuat dalam memengaruhi cara berpikir seseorang. Aku mempunyai seorang teman yang sangat angkuh. Aku sering terheran-heran dengan apa yang tiba-tiba bisa terlontar dari mulutnya. Dia sangat senang merendahkan orang lain, termasuk menghina ras dan tampilan fisik seseorang. Sekarang aku tahu alasannya, ternyata orang tuanya juga begitu. Sekali lagi, tidak semua kasus bisa seperti ini. Kita tahu, ada faktor-faktor lain yang juga dapat mengubah situasi. Namun kamu menangkap poinku, kan?

Timotius adalah produk dari Eunike dan Eunike adalah produk dari Lois. Nenek ini benar-benar sangat mengagumkan. Dia telah membentuk dua generasi yang telah menjadi tiang kokoh gereja mula-mula. Kita dapat dengan yakin menyimpulkan bahwa apa yang diajarkan oleh Eunike kepada anaknya, Timotius, adalah apa yang telah dia terima dari ibunya Lois.

Lois bukan hanya berhasil “mewariskan” imannya kepada Eunike, tetapi dia telah menjadikan Eunike seorang ibu sekaligus guru yang ulung. Tanpa bermaksud merendahkan, tetapi bukankah ada beberapa orang berprofesi guru yang tidak berhasil mendidik anaknya sendiri? Namun, Lois mendidik Eunike menjadi seorang pendidik yang menghasilkan pendidik muda baru bernama Timotius. Lois adalah wanita hebat di belakang layar kesuksesan Timotius.

Apresiasi yang diberikan Paulus kepada Lois bukanlah sesuatu yang main-main. Betapa signifikannya ketika dia mengatakan bahwa iman Timotius yang tulus ikhlas itu adalah iman yang pertama-tama hidup dalam diri Lois. Paulus tahu, harga yang telah dibayar oleh seorang Lois untuk mengajari generasi penerusnya. Paulus tahu, “manusia-manusia hebat” tidak dididik dalam satu malam. Diperlukan segunung kesabaran untuk mengajarkan kebenaran kepada orang lain. Dibutuhkan teladan yang bersungguh-sungguh untuk “memperkokoh” ajaran yang kita bagikan. Ingat, pada saat itu kekristenan menjadi hal yang tidak disukai oleh pemerintah Roma yang politeistik, dan di dalam kesulitan itulah Lois bekerja keras melawan arus kencang.

Kerja keras dan kesetiaan Lois seharusnya mengingatkan kita pada apa yang Kristus telah lakukan di atas salib-Nya. Sang Raja yang telah mengorbankan nyawa-Nya untuk menyelamatkan Lois, Eunike, Timotius, engkau, dan aku.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

50 Kilometer Sehari

Oleh Desy Dina Vianney, Medan

Drrrt… drrrt… drrrt…

Aku terlonjak, tersadar dari lamunanku. Getar ponselku membawaku kembali ke dunia nyata.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu meraih ponsel di nakas sebelah tempat tidur bapak. Sebuah pesan muncul dari Noel.

“Cla, hari ini bisa datang kan ke Betesda?”

Aku membacanya dalam hati. Lalu mengetikkan sebuah balasan singkat, yang dibalasnya dengan emoji hati.

Dua kali pertemuan aku tidak ke Betesda, sekali karena aku harus ikut mendampingi mission trip tim pelayananku ke Padang dua minggu lalu. Dan sekali lagi karena jadwal cuci darah bapak yang terlambat sehingga kami harus pulang lebih malam. Jadilah aku tidak sempat lagi untuk pergi ke sana.

Betesda adalah rumah singgah yang kami bentuk empat tahun lalu. Aku, Noel, dan beberapa teman lainnya membuka kelas belajar di tempat itu. Letaknya di pinggiran kota kami, dekat dengan rel kereta dan pelabuhan. Kalau ada yang mencariku di Sabtu sore, hampir dapat dipastikan kalau aku di sini. Jaraknya cukup jauh. Kalau Sabtu pagi aku mengantar bapak untuk cuci darah di rumah sakit, mengantarnya pulang, lanjut ke Betesda, dan kembali ke rumah, maka perjalanan yang kutempuh bisa lebih dari 50 kilometer sehari.

Betesda dilatarbelakangi ketika kelompok persekutuan kami tergerak untuk menjangkau anak-anak yang tidak berkecukupan. Hari itu kami bertemu dan sepakat untuk mencari tempat yang kami dapat datangi. Dan kami percaya, saat itu Roh menuntun ke tempat ini, dan mengumpulkan anak-anak. Kami ingin menolong mereka mengenal Yesus dan terbiasa dengan firman Tuhan sejak mereka masih anak-anak. Saat ini ada hampir 50 orang anak yang kami bina dari yang belum sekolah, sudah sekolah, dan tidak sekolah.

Suara ketukan di pintu membuatku menoleh, seorang perawat masuk dan tersenyum. Aku membalas dengan ikut senyum.

“Bapak sudah bisa pulang ya, tetap dijaga asupannya ya, Pak,” katanya pada bapak, mengakhiri jadwal bertemu kami hari itu.

Empat puluh menit kemudian, kami telah tiba di rumah dan aku sudah siap-siap untuk berangkat ke Betesda. Namun, hanya sepersekian detik tiba-tiba hujan turun amat deras tanpa ada pertanda sebelumnya. Aku pun lantas terduduk di ruang tamu.

“Hujan deras, Kak. Tunggu dululah.” Mama mendekat, duduk di depanku. “Atau nggak usah pergi dululah hari ini…” sambungnya.

Aku menghembuskan napas.

Memang tidak ada yang akan menegurku kalau misalnya aku tidak datang, tidak ada kewajiban atau tanggung jawab yang kulanggar karena kami semua dalam tim ini melakukannya ‘sukarela’. Teman-temanku juga akan mudah mengerti kalau aku tidak datang hari ini. Secara umum, aku tidak rugi apa-apa.

Tapi, aku teringat empat tahun lalu saat kami memulai pelayanan ini. Waktu kami mengadakan ibadah untuk memulai langkah ini, salah seorang temanku membagikan firman Tuhan tentang Abraham yang menerima tuntunan Allah untuk pergi meninggalkan kampung halamannya ke tempat yang ia bahkan belum tahu sama sekali. Sebagai abdi Allah, ia taat akan panggilan-Nya.

Kami memang bukan seperti Abraham yang pergi jauh dari kota kami, meninggalkan keluarga, atau pekerjaan kami. Tapi firman itu menguatkan kami untuk berani mengambil komitmen ini. Hari itu, ketika kami membuat komitmen untuk taat, itu bukan ditujukan untuk menyenangkan satu sama lain dalam tim. Bukan pula pada diri kami sendiri, tapi kami mendoakan pelayanan ini dan meminta Dia untuk menolong kami taat kepada-Nya sebagai abdi Allah.

Mengingat itu semua, akhirnya aku tersenyum samar. Aku menjelaskan dengan lembut alasanku, mengapa meskipun hujan lebat aku mau tetap berangkat. Kupamit pada mama, memakai mantel hujan lalu bergegas. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Hampir 40 menit aku berkendara, tiba-tiba matahari nampak jelas di ujung jalan. Dan lihatlah, ada pelangi membusur di sana, seolah tersenyum menghiburku. Cuaca pada saat itu cukup dingin, tapi hatiku hangat. Aku tersenyum.

Lima menit kemudian aku tiba di lingkungan Betesda, dari jarak 50 meter aku melihat anak-anak sudah ramai di halamannya. Entah bagaimana kondisi di sini kering, matahari bersinar cerah, hangat.

Anak-anak yang melihatku mendekat, berlarian menghampiriku. Satu dua anak berucap rindu. Aku membalas sambutan hangat mereka. Pelangi semakin terlihat jelas dari sini, terasa amat dekat.

“Wahh, karena Kak Claudianya udah datang, Kak Noel langsung diabaikan nih yaa!” seru Noel di seberang rel, pura-pura merajuk. Aku tersenyum padanya, anak-anak tertawa.

“Kak Claudia, hari ini kita jangan belajar Matematika dulu boleh? Mau dengar cerita aja Kak!” seorang anak laki-laki berusia 9 tahun bernama Noah, bersuara di tengah gaduhnya sambutan itu.

Aku tersenyum. Pura-pura berpikir.

“Hmm… Coba lihat pelangi itu.” Tunjukku ke arah pelangi yang tepat di belakang kami. “Itu adalah tanda perjanjian seseorang dengan Allah, mau dengar ceritanya?” tanyaku.

“MAUUUUU!!” seru anak-anak itu serempak bersuara tanpa dikomando. Aku tertawa, Noel tersenyum di seberang sana.

Perjalanan dua-puluh-satu-kilometer-ku ke sini sering kali memang terasa jauh, tapi selalu kurindukan. Lima puluh kilometer sehari yang kutempuh sering kali terasa melelahkan, tapi, Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu.

* Cerita ini diadaptasi dari pengalaman penulis bersama sahabatnya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Cerita Lama yang Masih Baru

Oleh Edwin Petrus, Medan

“Aku… Aku… Aku…” kata Herodes yang bingung untuk melanjutkan kata-katanya.

“Oh, Raja juga mau pergi menyembah Sang Raja yang baru lahir itu kan?” lanjut salah seorang Majus menyambung perkataan Herodes.

“Iya, iya… Aku juga mau pergi menyembah Dia,” jawab Herodes dengan terbata-bata.

Dialog itu membuatku terdiam sejenak. Aku sedang menyaksikan teman-temanku yang berlatih drama untuk nanti ditampilkan di ibadah Natal remaja dan pemuda gerejaku.

Kisah orang Majus yang datang mencari Sang Raja yang baru lahir di istana Herodes sebenarnya bukan lagi cerita asing untukku. Aku dibesarkan di lingkungan Kristen. Sejak masih duduk di bangku SD, sekolahku selalu menampilkan drama yang mengisahkan kelahiran Yesus dengan adegan orang Majus datang ke Betlehem karena melihat bintang terang yang bersinar di Timur. Aku pun sudah pernah berkali-kali mengambil peran sebagai salah satu orang Majus yang membawa hadiah-hadiah berupa emas, kemenyan, dan mur itu. Bukan itu saja, kisah tentang orang-orang Majus yang tercatat di Matius 2:1-12 pun sudah pernah kubaca berkali-kali.

Cerita seputar kelahiran Yesus yang rasanya sudah klise itu pun tanpa kita sadari sering kita abaikan begitu saja. Aku yang pernah menjadi seorang guru Sekolah Minggu, selalu bergumul jika harus mengajar dari cerita Alkitab yang sudah umum. Aku pun sudah bisa memprediksi respons dari adik-adik yang pasti akan berkata: “Kak, aku sudah tahu cerita itu.” Akibatnya, mereka tidak akan lagi tertarik dengan pengajaranku. Tak jarang, kita yang sudah semakin dewasa juga memberikan respons yang sama. Kita tidak lagi terpesona dengan indahnya cerita-cerita Natal yang sudah kita bisa hafal.

Hari itu, ketika aku menginjakkan kakiku ke gereja, aku hanya memiliki satu tujuan. Aku datang untuk memantau perkembangan dari proses latihan drama karena ibadah Natalnya hanya kurang dari satu bulan lagi. Sambil menonton, aku pun mengerjakan kesibukanku yang lain. Namun, di tengah ketidakseriusanku itu, aku tiba-tiba mengalihkan pandanganku ke para pemain drama yang sedang berdialog di atas panggung. Aku dipikat oleh logat bicara dari salah seorang teman yang memainkan tokoh orang Majus. Dia berbicara dengan logat yang biasanya dipakai oleh orang-orang di kotaku.

Drama ini memang telah mengalami improvisasi dari cerita yang tercatat di dalam Alkitab. Sang penulis naskah drama menambahkan beberapa adegan dan percakapan yang terjadi di istana Herodes, tetapi tidak menghilangkan makna dan pesan dari narasi Injil itu sendiri. Sesampainya di istana, orang-orang Majus yang ada di dalam drama ini langsung menghadap Herodes dan menyampaikan tujuan kedatangan mereka ke situ. Mereka memperkenalkan diri sebagai orang-orang asing yang datang dari tempat jauh karena melihat sebuah bintang yang bersinar sangat terang. Menurut ilmu perbintangan, bintang ini melambangkan bahwa ada seorang bayi yang baru dilahirkan dan kelak Dia akan menjadi seorang Raja yang sangat berkuasa. Mereka datang hendak menyembah Sang Raja itu.

Raja Herodes khawatir jangan-jangan takhtanya akan direbut oleh sang Raja yang baru lahir ini. Dia pun lantas meminta para orang Majus untuk tinggal beberapa hari di istananya sambil dia mencari tahu siapa gerangan bayi itu. Orang-orang Majus ini diundang untuk beristirahat di kamar-kamar yang telah dipersiapkan sambil menikmati hidangan-hidangan spesial dari para juru masak. Namun, mereka memilih pergi meninggalkan istana Herodes karena sosok Sang Raja yang mereka cari itu tidak dilahirkan di sana.

Ketika orang-orang Majus ini berpamitan untuk melanjutkan pencarian mereka, muncullah suatu permintaan kecil dari Herodes. Dia meminta agar mereka pergi ke Betlehem untuk menyelidiki di mana bayi Sang Raja itu. Tapi, para Majus tidak sadar akan niat jahat Herodes. Dengan polosnya, salah seorang Majus bertanya, “Mengapa Raja juga mau mencari bayi itu?”

“Aku… Aku… Aku…” kata Herodes yang bingung untuk melanjutkan kata-katanya.

“Oh, raja juga mau pergi menyembah Sang Raja yang baru lahir itu kan?” lanjut salah seorang Majus menyambung perkataan Herodes.

“Iya, iya… Aku juga mau pergi menyembah Dia.”

Jawaban Herodes yang terbata-bata menggambarkan ketidaktahuannya untuk bisa menanggapi orang-orang Majus. Di satu sisi, Herodes tidak mungkin mengungkapkan isi hatinya yang haus kekuasaan dan ingin mematikan jalan dari semua orang yang ingin merebut takhta raja itu. Namun, Herodes juga tidak mau kehilangan muka di depan para ahli perbintangan yang sedang mencari jawaban atas sebuah fenonena alam dahsyat yang terlukiskan di atas langit. Akhirnya, Herodes pun berkata bahwa ia ingin menyembah Sang Raja itu.

Hamba yang menyembah

Mungkinkah Herodes pergi untuk menyembah (kata dalam bahasa asli Alkitab, Yunani–proskuneo, yang berarti memuja dengan berlutut atau membungkukkan diri di hadapan orang lain)? Jawabannya adalah TIDAK MUNGKIN!

Kalau kita membaca Matius 2 secara keseluruhan, maka kita akan menemukan bahwa Herodes sama sekali tidak mempunyai maksud untuk menyembah Sang Raja itu. Setelah orang-orang Majus menemukan Yesus, Sang Raja, mereka diperingatkan di dalam mimpi untuk tidak kembali lagi ke istana Herodes. Herodes yang menyadari bahwa ia telah diperdaya oleh para Majus akhirnya mengambil keputusan yang mengerikan. Demi membinasakan Sang Raja itu, dia mengorbankan bayi-bayi lainnya yang lahir kira-kira dua tahun ke bawah di kota Betlehem. Namun, Sang Raja itu selamat karena malaikat Tuhan telah menyuruh Yusuf untuk membawa Dia menyingkir ke Mesir dan tinggal di sana sampai Herodes yang bengis ini akhirnya mati.

***

Kisah Natal yang sudah berulang kali aku dengar, baca, saksikan, maupun perankan ini memang awalnya tidak lagi berkesan sama sekali untuk diriku. Namun, di saat aku sedang bergumul dengan kata “hamba” di akhir tahun ini, aku bersyukur bahwa Tuhan membuka hatiku untuk mengerti bahwa hanya hamba yang bisa menyembah.

Dengan perspektif ini, aku membaca ulang kisah-kisah tentang kelahiran Sang Raja itu. Aku mememukan bahwa orang-orang yang terlibat mempersiapkan kedatangan Sang Raja itu ke dunia adalah orang-orang yang mau memberi diri untuk dipakai oleh Allah menjadi hamba-Nya. Maria dan Yusuf bisa saja menolak untuk menjadi orang tua dari Yesus karena ada rasa malu yang harus ditanggung—bayi yang dikandung Maria diperoleh di luar pernikahan. Namun, Yusuf yang sudah berniat menceraikan tunangannya diam-diam, akhirnya tetap memilih untuk menjadi seorang hamba Allah (Mat. 1:18-25). Ketika malaikat Allah datang menjumpainya, Maria juga berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk. 1:38). Bahkan, Maria dengan hati yang riang menaikkan pujian syukur dan menyembah Allah yang berkasih karunia kepadanya dan kepada bangsanya, Israel (Luk. 1:46-56).

Sebelum Maria melahirkan Yesus, dia sempat berkunjung ke rumah saudaranya, Elisabet. Ketika Sang Raja itu masih tinggal sebagai janin dalam kandungan ibunya, Elisabet dan anak dalam kandungannya, Yohanes Pembaptis pun melonjak untuk memuji Allah (Luk. 1:39-45). Ada pula gembala-gembala yang dengan segala kerendahan hati dan kesederhanaan dengan segera datang untuk mencari bayi Sang Raja itu setelah mereka mendapatkan kabar dari para malaikat bahwa Kristus, Tuhan, telah lahir di Kota Daud. Bukan itu saja, mereka pulang dengan penuh pujian yang memuliakan Allah (Luk. 2:8-20). Selain itu, Alkitab juga mencatat bahwa ada orang-orang Majus yang juga datang menyembah Sang Raja setelah melewati hamparan padang pasir luas dengan jarak beribu-ribu kilometer. Tujuan mereka hanya satu: menyembah dan memberikan persembahan mereka kepada Sang Raja (Mat. 2: 1-12).

Aku juga terheran-heran ketika membaca ulang kisah dua orang paruh baya yang dengan tekun menantikan Mesias, Yesus Kristus, yang telah dijanjikan oleh Allah kepada umat-Nya. Di masa tuanya, Simeon dan Hana melihat dan menggendong sendiri bayi Sang Raja yang baru berumur delapan hari itu. Ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Allah telah menggenapi janji-Nya, respons mereka hanya satu, yaitu memuji Allah dengan penuh ucapan syukur (Luk. 2:25-38).

“Menjadi hamba Allah” memang adalah sebuah topik utama dalam kekristenan. Kita sebagai orang-orang Kristen selalu diingatkan bahwa kita adalah para hamba Allah dan Allah itu adalah Raja. Seolah-olah, kita dituntut untuk setia dan taat kepada perintah Allah karena kita ini adalah hamba-hamba-Nya. Kita seperti tidak lagi memiliki kebebasan sama sekali.

Kita adalah hamba-hamba Allah, yang dipanggil untuk menyembah Allah. Namun, sebelum Allah memanggil kita menjadi hamba-hamba-Nya, Dia telah menghambakan diri terlebih dahulu. Sang Raja yang takhta-Nya tidak terbatas oleh wilayah geografis, ruang, dan waktu; rela menjadi seorang hamba yang terbatas untuk mengerjakan misi besar-Nya, yakni menjadikan kita hamba-hamba-Nya. Dia atas kayu salib itu, Sang Anak Allah, Yesus Kristus, menyatakan kesetiaan-Nya kepada Allah Bapa untuk menjadi Hamba Allah yang menderita demi menebus kita. Kita yang sebelumnya hidup di dalam kuasa kegelapan, ditebus (dibeli) oleh Allah untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang memiliki hidup kekal dan merdeka dari kuasa maut. Inilah anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Kawan, aku menyadari bahwa diriku sering menjadi seperti Herodes yang ingin berkuasa atas hidupku sendiri. Padahal, aku adalah hamba Allah yang mendapatkan anugerah Allah. Aku enggan untuk taat dan setia sepenuhnya kepada Allah karena aku merasa hidupku terikat sebagai seorang hamba Allah. Aku memang terlihat menyembah Allah, tetapi sebenarnya jauh ke dalam hatiku, aku tidak sedang menyembah Sang Raja itu. Justru, aku menyembah kesombonganku, kebanggaanku, keegoisanku, kemauanku, dan kesuksesanku. Aku lupa pada siapa yang telah beranugerah kepadaku.

Kawan, kita ini adalah hamba-hamba Allah yang telah dipanggil untuk meninggalkan hidup yang lama kepada suatu hidup yang baru di dalam Kristus. Sang Raja yang lahir di Betlehem itu adalah Imanuel yang selalu bersama-sama kita dan Gembala Agung yang mau terus menuntun hidup kita. Marilah, kita terus hidup berjalan bersama-Nya karena seluruh hidup kita ini adalah penyembahan bagi kemuliaan-Nya. Memang tidak akan gampang kawan, tetapi anugerah-Nya yang akan juga terus menopang dan memampukan kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Iman yang Tetap Maju Meskipun Hal Baik (Secara Manusia) Tidak Terjadi

Oleh Claudia Tanubrata, Bandung

Sedari bayi, aku telah bolak-balik menemui dokter dan mengunjungi rumah sakit untuk urusan kesehatan. Memang kondisi kesehatanku tak sebaik orang pada umumnya. Aku didiagnosa pneumonia dan asma… dan nyaris mati karena sudah membiru pada usia tiga bulan. Larut malam menjelang subuh, aku dibawa ke klinik mandiri dokter anak dan segera dibawa ke rumah sakit dan masuk ruang ICU khusus anak.

Seperti yang diketahui, penyakit paru-paru yang diderita tidak dapat sembuh, hanya dapat dikontrol, dan segera harus ditangani jika batuk pilek, karena dapat berakibat fatal. Dari saat itu, aku sering bolak-balik dokter. Rumah sakit, ICU, ruang isolasi, sampai ruang rawat inap seolah menjadi rumah keduaku. Dokterku sebagai orang tua kedua, dan para perawat menjadi teman untuk ngobrol.

Menjelang akhir tahun 2019, aku didiagnosa diabetes oleh dokter penyakit dalamku. Memasuki tahun 2020, seperti yang diketahui, COVID-19 melanda seluruh dunia. Semenjak tahun 2020 sampai menjelang akhir 2023 aku tiga kali kena COVID-19 dan sempat kritis, didiagnosa gangguan irama jantung, dan asma serta pneumonia. Di samping itu, aku sempat kecelakaan motor dan adanya lateral meniscus tear yang sedang dalam tahap evaluasi dan menuju tahap bedah. Sederhananya, aku mengalami cedera pada tulang rawan lutut yang berupa luka atau robek pada area tersebut. Akibatnya, aku kesakitan dan kesulitan bergerak karena lututku bengkak dan kaku.

Omongan sekitar termasuk orang terdekat kerap kali mengatakan kalau kamu beriman pada Tuhan dan memiliki iman biji sesawi, kamu harus beriman bahwa kamu akan dilepaskan dari bedah dan semua diagnosa dokter yang telah berjalan sedari kamu kecil. Kamu tidak perlu rutin berobat ke dokter, kamu tidak perlu minum obat rutin, bahkan kamu tidak perlu bedah atas kecelakaan motor yang dialami. Sudah cukup banyak kesaksian dari orang-orang yang beriman dan mereka sembuh. Jadi kamu tidak perlu lagi berurusan dengan dokter, rumah sakit, obat, dan sederet hal lainnya yang menyangkut dengan medis.

Sebagai manusia, aku cukup down mendengar omongan orang yang masuk. Meskipun aku bisa saja tidak perlu mendengar omongan itu, tetapi omongan itu cukup mendominasi apa yang aku dengar, sampai pada titik aku mau meninggalkan semua jalan dan panggilan Tuhan. Meskipun aku tidak meminta pendapat mereka, justru mereka datang padaku dan memberi masukkan tentang iman menurut pandangan mereka. Sampai pada titik aku mau meninggalkan semua jalan dan panggilan Tuhan. Sampai pada satu titik, aku mempertanyakan kembali apa itu iman? Apa itu iman? Apakah iman itu meminta Tuhan menjawab keinginan sekaligus kebutuhan manusia? Bukankan iman itu kita sebagai manusia yang harus menyelaraskan keinginan dan mengikuti kehendak agung Tuhan?

Sulit bagiku untuk menemui rekan bertukar pikiran untuk topik mendasar yang filosofis seperti penderitaan, penyakit, dan iman. Aku meminta arahan Tuhan untuk menunjukkan pada siapa aku harus bertemu dan kapan harus menemuinya. Akhirnya aku menemui dosen konseling dan dosen Bahasa Ibrani di tempatku menempuh sekolah Alkitab. Pembahasan cukup panjang dengan sekian kali pertemuan dengan kedua dosenku.

Iman yang Tetap Maju Meskipun Hal Baik Tidak Terjadi

Tanpa janjian, kedua dosenku kembali bertanya padaku, coba sebutkan satu tokoh saja di Alkitab yang hidupnya baik-baik saja dan tidak pernah mengalami pencobaan? Aku terdiam, karena memang tidak ada satu tokoh dalam Alkitab yang hidupnya mulus dan tidak mengalami proses sepanjang hidupnya. Bahkan sebagian lagi prosesnya tidak ada ujungnya sampai yang bersangkutan pun mati. Ditambah dengan banyak kisah pribadi dari kedua dosenku yang diceritakan saat mengalami masa sulit dan proses dari Tuhan, dan sebagian memang tidak terjawab mengapa hal itu terjadi. Kesaksian-kesaksian yang penuh misteri itu menjadi sumber kekuatan bagi aku karena bukan aku satu-satunya yang mengalami ini.

Lalu, apakah iman itu? Iman yang benar adalah iman yang meskipun, walaupun, sekalipun itu (harapan, hal baik, doa) tidak terjadi, aku akan tetap maju dan berada di jalan Tuhan serta di panggilan Tuhan. Aku tidak akan mengumpat pada Tuhan. Dijawab atau tidak itu hak prerogatif Tuhan dan bukan milik kita sebagai manusia ciptaan.

Alkitab menulis tentang iman yang meskipun, walaupun, sekalipun itu terjadi dan kita sebagai umatnya untuk tetap bertahan dan maju.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (Habakuk 3: 17-18).

Habakuk mengetahui bahwa keagungan dan kekuasaan Tuhan ini tidak berkurang karena manusia menghadapi cobaan yang sulit. Habakuk mengetahui bahwa Tuhan adalah Tuhan yang kuat dan perkasa, dan jika kita berada dalam keadaan yang menyedihkan, itu karena kita pantas mendapatkannya.

Aku akan tetap memuji Engkau, dan bahkan bergembira karena Engkau.

Bersukacitalah karena TUHAN. Bersukacitalah karena Allah yang menyelamatkanku.

Dalam keadaan yang sunyi seperti yang baru saja digambarkannya, Habakuk tidak dapat menemukan kegembiraan pada pohon ara, pada tanaman merambat, atau pada ladang atau kawanan domba; namun Tuhan tidak berubah. Dia masih bisa bergembira karena TUHAN tidak berubah.

Habakuk tidak hanya mempraktikkan pemikiran positif dan menolak gagasan tentang pohon ara yang tandus dan kandang ternak yang kosong. Sebaliknya, dia melihat masalah-masalah tersebut sebagaimana adanya dan ingat bahwa Tuhan lebih besar dari semuanya.

Secara sempit dan dalam masa kini, doa Habakuk dapat diambil maknanya bagi kita semua. Pertama, dalam masa kesulitan. Saat seseorang mengalami masa-masa sulit dalam hidup, seperti kehilangan pekerjaan atau penyakit serius, sebagai pengingat untuk tetap mempercayai Tuhan dan menjaga semangat. Mereka bisa berkata, “Walaupun segala sesuatu tampak suram dan penuh penderitaan, aku akan bersukacita dalam Tuhan, karena Dia adalah kekuatanku.” Kedua, dalam proses pembelajaran. Ayat-ayat ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajar orang percaya tentang pentingnya bersyukur dalam segala situasi. Mereka dapat diajarkan untuk melihat berkat-berkat kecil dalam kehidupan mereka dan tetap bersyukur kepada Tuhan, bahkan ketika mereka menghadapi rintangan.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kisah Hattie Kecil dan 57 Sennya

Oleh Edwin Petrus, Medan

Entah sudah berapa kali aku pernah mendengarkan kisah dari seorang anak kecil bernama Hattie May Wiatt. Namun, beberapa waktu yang lalu, ketika aku menceritakan kisahnya kembali, aku tak sanggup menahan air mata yang menetes keluar dari kelopak mataku. Aku terharu dengan apa yang sudah dilakukan oleh bocah berusia enam tahun tersebut dan sekaligus tertegur dengan kerinduannya untuk pekerjaan Tuhan. 

Hattie May Wiatt hanyalah seorang anak perempuan cilik yang lahir di sebuah keluarga yang berlatar belakang ekonomi lemah. Bisa jadi karena ia tidak mampu memiliki pakaian yang rapi dan apik, sehingga ia selalu tidak pernah kebagian tempat duduk di ruang Sekolah Minggu dari sebuah gereja yang berlokasi di dekat rumahnya. Sudah beberapa kali hari Minggu, ia hanya bisa mengintip teman-teman sebayanya mengikuti kelas dari pagar gereja sambil menangis. Sampai suatu hari, pendeta dari Gereja Temple Baptist tersebut melihat si Hattie kecil. Pendeta Russell H. Conwell mengajak Hattie masuk dan mencarikannya tempat duduk di ruangan yang penuh sesak dengan hiruk pikuk anak-anak. 

Sepulang dari Sekolah Minggu, Hattie sangat bersukacita karena akhirnya ia bisa mendengarkan kisah tentang Yesus Kristus. Sampai di rumah, ia pun memberitahukan orang tuanya akan sebuah harapan, yaitu ia berharap ada ruangan yang lebih besar di gereja supaya lebih banyak lagi anak-anak bisa mengikuti kelas Sekolah Minggu. Ia pun berjanji akan mulai menyisihkan uang jajannnya untuk mimpinya ini. 

Singkat cerita, Hattie tiba-tiba jatuh sakit. Hanya beberapa minggu berselang dari kejadian itu, Hattie kembali ke rumah Bapa di surga. Di hari pemakamannya, orang tua Hattie membawa tabungannya Hattie dan menyerahkan uang 57 sen sekaligus harapan Hattie kepada Pdt. Rusell. Bapak pendeta ini terharu dengan tindakan kecil yang sudah diperjuangkan Hattie di tengah keterbatasannya. Hattie tidak mempunyai uang yang banyak, tetapi dia berani melepaskan kepemilikan atas uang jajannya demi pekerjaan Tuhan yang lebih besar.

Pdt. Rusell membawa impian Hattie kepada khalayak ramai. Kisah Hattie ini menjadi narasi yang dikisahkan kepada para pengurus gereja. Bahkan, cerita yang mengundang haru ini menjadi buah bibir di kota Philadelphia, Amerika Serikat. Mereka yang digerakkan oleh cerita Hattie dengan segera mengucurkan aliran dana ke kas gereja. Akhirnya, bukan hanya ruangan Sekolah Minggu yang diperbesar dan diperbanyak, tetapi keseluruhan gereja berhasil direnovasi untuk menampung lebih banyak jemaat. 

Hari ini, di kota Philadelphia, jika kita melihat ada gedung Temple Baptist Church yang bisa menampung tiga ribu jemaat, Temple College yang bisa menampung ribuan mahasiswa, serta Temple Hospital; semua bentuk pelayanan ini dimulai dari 57 sen yang menyimpan cita-cita mendalam dari seorang Hattie kecil, yang mengharapkan ruangan kelas Sekolah Minggu yang lebih luas. Uang 57 sen pada saat itu pun bukan nominal yang besar, tetapi kita menemukan dampak yang besar dari hati yang rindu untuk memberikannya bagi pekerjaan Tuhan. 

Ada peribahasa mengatakan “memberi adalah lebih baik daripada menerima.” Namun, aku menyadari bahwa terkadang kata-kata indah ini hanyalah ungkapan klise yang masih sulit aku lakukan. Aku harus jujur mengatakan bahwa aku dapat lebih tertawa lebar ketika menerima hadiah maupun uang yang diberikan oleh orang lain kepadaku. Memang benar, salah satu bahasa kasihku yang paling dominan adalah pemberian hadiah. Aku bukan tidak bersukacita ketika melihat pemberianku berdampak bagi orang yang menerimanya. Aku pun terus belajar untuk dapat memberi dan berbagi dengan orang-orang yang di sekitarku karena aku percaya bahwa semua orang pasti bisa memberi. 

Kisah tentang seorang janda miskin yang memberikan dua peser di Injil Markus 12:41-44 dan Lukas 21:1-4 adalah bukti bahwa kita pasti bisa memberi. Pada hari itu, Yesus sedang berada di Bait Allah untuk mengajar seperti biasanya. Ketika pandangan Yesus terarah ke peti persembahan, Yesus menemukan bahwa ada orang-orang kaya yang memasukkan persembahan mereka ke dalam peti. Ada juga seorang wanita tua yang berjalan mendekati peti persembahan.  Dari pakaiannya yang sederhana dan mungkin juga sudah sobek di beberapa bagian, bisa dipastikan bahwa dia adalah seorang janda yang miskin. Dia juga datang membawa persembahannya yang hanya dua buah koin yang memiliki nilai mata uang terkecil. Dia tidak juga memasukkan dua uang tembaga ke dalam peti persembahan itu.

Dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat ini, aku belajar bahwa memberi itu tidak perlu menunggu sampai aku sudah menjadi orang kaya. Dulu, aku memang sempat memiliki pemikiran bahwa aku baru bisa memberikan persembahan dan perpuluhan kalau aku sudah memiliki uang yang banyak. Namun, dari sebuah khotbah yang pernah aku dengar kira-kira belasan tahun silam, sang pengkhotbah mengatakan bahwa justru memberi persembahan dan perpuluhan itu harus dimulai ketika penghasilan kita masih kecil. Dari situlah, kita dapat melatih diri untuk memberikan harta kita bagi pekerjaan Tuhan. 

Aku bersyukur kalau aku tidak melupakan khotbah hari itu. Aku merasakan dampak dari praktik memberi ketika aku masih hidup dari uang jajan sampai akhirnya aku sudah bekerja dan memiliki pemasukan tetap. Aku sempat merasakan beratnya untuk menaikkan jumlah perpuluhan ketika tunjangan bulanan yang aku terima juga meningkat. Namun, latihan yang sudah aku tekuni bertahun-tahun itu dan juga pengenalanku kepada Tuhan yang semakin bertumbuh, aku bersyukur jika Tuhan terus memberikan aku hati yang mau memberi untuk memperluas kerajaan Allah di muka bumi ini. 

Janda miskin yang memberikan dua peser untuk persembahan di Bait Allah ini memperoleh pujian dari Yesus. Apresiasi ini didasarkan pada motivasi dari janda ini memberikan persembahan. Hanya ada satu hal yang mendorong janda ini untuk berani memberikan seluruh yang dimilikinya. Janda ini tidak memberi karena kewajiban. Janda ini memberi karena ia mengasihi Allah dan ia hanya ingin menyenangkan hati Allah. Ia tidak keberatan jika setelah ia pulang dari Bait Allah, ia harus bekerja lebih keras lagi untuk bisa bertahan hidup hari itu. 

Sebelum kita mampu memberikan persembahan syukur, perpuluhan, pemberian diakonia sosial, dana misi, sumbangan, dan segala bentuk pemberian lainnya kepada gereja, lembaga Kristen, maupun pribadi; Allah sebenarnya telah terlebih dahulu memberi kepada kita. Allah telah mengorbankan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus kepada kita. Kristus diberikan oleh Allah sebagai Anak Domba Allah yang disembelih demi memberikan hidup baru yang kekal kepada kita yang selayaknya menerima penghukuman kekal. 

Kita telah terlebih dahulu menerima pemberian yang tidak ternilai dari Allah. Anugerah di dalam Yesus Kristus yang telah kita terima terlebih dahulu inilah yang menjadi dasar kita untuk memberi. Jikalau hari ini aku dan kamu bisa mendukung pelayanan melalui pemberian, kita perlu mengucap syukur kepada Roh Kudus yang tinggal di dalam diri kita. Roh Allah itu sendiri yang melembutkan dan menggerakkan hati kita untuk dapat mensyukuri anugerah Tuhan, sehingga kita pun dapat memberi dengan sukacita. 

Memberi itu bukan perkara gampang jika kita belum mau melepaskan genggaman terhadap harta kepemilikan kita. Namun, aku percaya setiap orang bisa memberi untuk Tuhan. Aku pun masih terus melatih diriku untuk bisa memiliki hati yang plong ketika memberi bagi pekerjaan Tuhan. Ayo kawan, kita terus meminta Tuhan untuk terus mengubah hati kita agar kita bisa memberi dengan sukacita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥