Posts

Mengapa Tuhan Menciptakan Dunia yang Pada Akhirnya Akan Rusak?

Oleh Leslie Koh

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why did God Create a World that He Knew was Going to Go Wrong eventually?

Paragraf yang sedang kamu baca ini adalah percobaanku yang ketiga. Sudah dua kali kucoba menulis paragraf pembuka, tetapi kuhapus lagi karena kurasa tak ada gunanya.

Meskipun aku sudah menghabiskan beberapa jam untuk menghasilkan dua versi tulisan, tidaklah sulit buatku untuk akhirnya menekan tombol “hapus”. Maksudku, mengapa aku harus melanjutkan sesuatu yang cacat?

Ini membuatku bertanya-tanya. Mengapa Tuhan tidak melakukan yang sama pada ciptaan-Nya? Ketika Allah menciptakan langit, bumi, dan segala yang lain, semuanya sempurna. Tujuh kali dalam Kejadian 1, Allah melihat bahwa “semuanya itu baik”. Namun, semua berubah jadi tidak beres (akibat Adam dan Hawa), dan sekarang kita hidup di dunia yang jauh dari sempurna dan hampir pasti akan mengalami kehancuran.

Sekarang kita tahu bahwa Allah mahatahu—Dia maha melihat dan maha mengetahui atas segala sesuatu, dan juga atas apa yang terjadi di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Itu berarti, Dia pasti tahu bahwa Adam dan Hawa pada suatu saat akan memutuskan tidak menaati-Nya. Dia pasti tahu bahwa dosa ini tidak hanya akan menghukum mereka berdua, tetapi juga generasi-generasi berikutnya dari umat manusia, dan juga bumi.

Jadi, mengapa Dia tidak menekan “tombol hapus” saja dan memulai dari awal lagi? Lagipula, pekerjaan enam hari tidak akan terlalu sulit, bukan? Tentu saja, kita mungkin berargumen kalau proses penciptaan diulang lagi, mungkin alurnya akan sama. Jadi pertanyaannya, mengapa Tuhan repot-repot? Mengapa Allah menciptakan dunia ini jika Dia tahu bahwa pada akhirnya akan terjadi kesalahan?

Pertama, sebuah disclaimer…

Aku tidak akan berpura-pura bahwa ini adalah perenunganku yang mendalam; mungkin ini salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan orang-orang Kristen. Dan, aku tak akan memberi kesan bahwa pertanyaan ini membuatku mempelajari Alkitab dengan serius yang membuatku bisa memberikan penjelasan masuk akal secara Alkitabiah, logis, dan teologis. Sejujurnya, yang aku lakukan hanyalah membaca sedikit untuk melihat apa yang telah dibahas tentang pertanyaan ini, dan mencoba membingkainya kembali agar aku dapat memahaminya dengan lebih baik.

Aku juga tidak mencari jawaban yang tidak dapat dibantah oleh seorang ateis yang paling keras, atau orang yang paling sinis sekalipun. Kamu boleh untuk tidak setuju. Aku hanya mencari beberapa jawaban yang mungkin—sebuah perspektif baru, jika bisa dibilang begitu, atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lagipula, Alkitab tidak mengatakan secara eksplisit mengapa Tuhan memutuskan untuk terus membiarkan manusia yang rusak merusak ciptaan-Nya. Atau, mengapa Dia menciptakan dunia meskipun Dia tahu bahwa dunia ini akan rusak.

Namun, sebelum membahas mengapa Allah memutuskan untuk melanjutkan proses penciptaan, kupikir akan lebih baik jika kita mempersempit cakupan diskusi dengan mempertimbangkan (dan mengabaikan) beberapa opsi alternatif untuk menjelaskan apa yang terjadi. Sebagai orang percaya, aku berpegang pada keyakinan dasar bahwa Allah itu baik dan Dia sempurna.

Jadi, apa yang terjadi? Tiga pilihan:

Pertama, Tuhan menciptakan ciptaan dengan sempurna, tetapi entah bagaimana ciptaan itu menjadi tidak beres, dan Dia harus menyuruh Anak-Nya untuk melakukan penyelamatan dengan cepat. Kejadian 1 tidak memberi tahu kita bahwa Allah telah mengantisipasi apa pun; kita mungkin bisa membayangkan bahwa Allah mengangguk puas di akhir setiap enam hari pertama, sambil berkata, “baik”, lalu menghela napas sedih beberapa hari kemudian ketika Adam dan Hawa menggigit buah terlarang.

Namun, mengatakan bahwa penciptaan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, menunjukkan bahwa Tuhan telah kehilangan kendali atas ciptaan-Nya. Dengan asumsi bahwa Tuhan berdaulat, mahakuasa, dan mahatahu, aku merasa harus menolak opsi ini. Jika Tuhan tidak memegang kendali penuh, maka semua yang aku yakini akan berantakan. Berikutnya!

Kedua, Allah menciptakan ciptaan sedemikian rupa hingga kerusakan terjadi supaya Dia dapat mengutus Anak-Nya ke bumi untuk menunjukkan kemuliaan-Nya. Gagasan ini tampaknya sesuai dengan alasan mengapa Allah menciptakan ciptaan (“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya” Mazmur 19:2). Allah tampak seperti seorang sutradara film dramatis yang entah bagaimana mengatur semuanya sedemikian rupa sehingga manusia akan berdosa, dan Dia akan mengutus Anak-Nya untuk menunjukkan belas kasihan dan kasih-Nya.

Akan tetapi… ini sama saja dengan mengatakan bahwa Allah menciptakan dosa; bahwa Dia membuat segala sesuatu yang baik, kemudian dengan sengaja mengatur agar semuanya berantakan, supaya Dia dapat menunjukkan belas kasihan dan kasih karunia-Nya. Dan hal itu akan membuat Allah tampak sedikit manipulatif. Namun, Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa Allah itu baik (Mazmur 107:1; 1 Timotius 4:4; Yakobus 1:17). Jadi, mari kita tinggalkan opsi ini juga.

Ketiga, Allah menciptakan ciptaan dengan mengetahui bahwa ciptaan itu akan memberontak terhadap-Nya suatu hari nanti, tetapi Dia tetap menciptakannya. Pilihan ketiga ini tetap berpegang pada asumsi bahwa Allah itu baik dan sempurna; ini seperti orang tua yang baik yang membesarkan seorang anak dengan sempurna, tetapi kemudian anak menjadi pemberontak. Tentu saja, pilihan ini membawa kita kembali ke pertanyaan awal: karena Tuhan tahu bahwa dunia akan berbalik melawan Dia, mengapa Dia repot-repot menciptakannya?

Kita dapat berdiskusi tanpa henti (dan berdebat) tentang ini, dan akan sulit untuk sampai pada kesimpulan yang pasti, yang dapat diterima oleh sebagian besar orang. Namun, setelah membaca sedikit, aku menemukan tiga poin lain yang menurutku menarik bagi logika dan akal sehatku, dan yang paling penting: konsisten dengan apa yang kita ketahui tentang Tuhan. Poin-poinku ini bukanlah jawaban atas pertanyaan yang sulit; aku melihatnya lebih sebagai perspektif yang membantuku menjawab pertanyaan tersebut. Kamu boleh menilainya.

1. Karena itu menunjukkan kemuliaan, kasih, belas kasihan, dan anugerah Allah

Poin ini terdengar sedikit mirip dengan opsi dua di atas, tetapi ada satu perbedan: Allah tidak membuat kejatuhan manusia terjadi (karena itu berarti Dia membuat manusia berdosa), meskipun Dia tahu itu akan terjadi. Tetapi, Dia mengizinkan itu terjadi agar kita dapat melihat kemuliaan-Nya dan mengalami kasih karunia dan belas kasihan-Nya. Alkitab mengatakan bahwa tujuan utama Allah dalam segala sesuatu adalah agar Kristus, Sang Anak, berkuasa atas segala sesuatu sehingga Bapa dipermuliakan. “…yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian. Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.” (Efesus 1:8-10).

Sulit untuk mendefinisikan secara lengkap apa arti kemuliaan Allah, tetapi kemuliaan Allah mencakup kebesaran-Nya dan semua atribut-Nya, seperti kekudusan, keadilan, kasih, belas kasihan, dan anugerah—semuanya dimanifestasikan melalui kisah penciptaan. Melalui penciptaan dunia, kita melihat kebesaran dan kuasa Allah. Melalui penghakiman-Nya atas dosa, kita melihat keadilan dan kekudusan-Nya. Dan melalui karya penebusan Kristus di kayu salib, kita melihat kasih, kemurahan, dan anugerah Bapa.

Jadi, kita dapat mengatakan bahwa mengizinkan manusia membuat pilihan untuk taat atau memberontak kepada-Nya merupakan tujuan Allah. Tentu saja, ini menimbulkan pertanyaan: Mungkinkah kemuliaan Allah dinyatakan jika Dia tidak mengizinkan dunia memberontak terhadap-Nya? Tidak bisakan Dia dimuliakan dengan cara yang lain? Dengan kata lain, apakah Tuhan membutuhkan dunia untuk jatuh dalam dosa dulu untuk menunjukkan kemuliaan-Nya?

Kuyakin pertanyaan ini terlalu hipotesis untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan. Kita bisa saja marah dan menuntut untuk mengetahui mengapa Allah tidak menunjukkan kemuliaan-Nya dengan cara yang lain. Tetapi, kita juga harus ingat bahwa Dia tidak membuat manusia berdosa; Adam dan Hawa yang memilih untuk tidak menaati Allah. Dan karena hal itu, dan apa yang terjadi kemudian, kita dapat melihat dan memahami kekudusan dan keadilan Allah, serta mengalami kasih dan anugerah-Nya.

2. Karena Allah menginginkan hubungan dengan kita

Jika kita pikir-pikir, Tuhan sebenarnya tidak perlu menciptakan dunia—atau kita. Sebagai Allah yang mandiri dan lengkap, Dia tidak membutuhkan dunia untuk mendukung-Nya, atau siapa pun untuk mempertahankan kekuasaan-Nya. Dia bahkan tidak kesepian; bagaimana pun, Tritunggal Mahakudus terdiri dari Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

Namun, Allah menciptakan manusia karena Dia ingin memiliki hubungan dengan kita. Dia bisa saja berhenti menciptakan alam semesta, bumi, tumbuhan, hewan (dan memiliki weekend selama dua hari!), tetapi Dia melanjutkan pada hari keenam untuk menciptakan manusia. Bagaimana manusia berbeda? Kita diciptakan “menurut gambar-Nya” (Kejadian 1:27), yaitu tidak seperti ciptaan-Nya yang lain, kita memiliki beberapa sifat-Nya. Hal ini memungkinkan kita untuk berhubungan dengan-Nya, dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh ciptaan lainnya. Allah tidak membutuhkan kita untuk menemani-Nya, tetapi Dia ingin menikmati kebersamaan dengan kita. Dalam Kejadian 1:31, setelah menciptakan manusia, Allah bersabda “sungguh amat baik”—pada hari-hari sebelumnya, semuanya hanya “baik”.

Mengapa Tuhan menciptakan dunia meskipun Dia tahu bahwa dunia akan rusak? Karena Dia menginginkan hubungan yang penuh kasih dengan manusia, dan siap untuk bersabar, mengampuni, dan berbelas kasihan ketika manusia gagal. Bandingkan dengan pasangan suami-istri yang memiliki seorang anak. Mereka sudah memiliki satu sama lain untuk saling memenani, tetapi mereka menginginkan persahabatan dari seorang tambahan dalam keluarga. Dan, meskipun mereka tahu bahwa sang anak mungkin akan menjadi nakal, cacat, dan pemberontak, harapan akan sukacita yang dibawa oleh seorang anak sepadan dengan patah hati dan rasa sakitnya.

Tentu saja, di sinilah kita dapat bertanya: jadi mengapa Allah tidak menciptakan manusia yang tidak dapat berbuat dosa? Mengapa Dia memberi mereka pilihan?

3. Karena kehendak bebas dibutuhkan untuk cinta

Mengapa pasangan memilih untuk memiliki anak, bukan robot? Mudah saja, robot tidak bisa membalas cinta. Sebuah hubungan menjadi bermakna tidak hanya ketika hubungan itu bersifat dua arah, tetapi juga ketika salah satu pihak memilih untuk bertahan di dalamnya. Cinta tak bisa dipaksakan atau dikendalikan. Jika itu terjadi, maka cinta itu tidak lebih baik daripada perbudakan atau kesetiaan yang dipaksakan.

Mengapa ayah dari anak yang hilang dalam perumpamaan yang terkenal itu begitu gembira melihat anaknya kembali (Lukas 15:11-24)? Karena sang anak, dengan kemauannya sendiri, memilih untuk bertobat dan kembali kepada ayahnya. Sang ayah tidak memaksa atau menyuap anaknya untuk kembali; itulah yang membuat pertobatan dan kasih anak itu menjadi lebih berharga bagi sang ayah.

Itulah mengapa Allah menyebut kita sebagai anak-anak-Nya, dan bukan hanya sebagai hamba-Nya. Jika Dia menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga kita tidak memiliki pilihan lain selain menaati-Nya, “kasih” dan “kesetiaan” kita tidak akan berarti banyak bagi-Nya. Dia ingin kita memutuskan sendiri apakah kita ingin mengasihi-Nya atau tidak. Jadi, Dia menciptakan kita dengan kehendak bebas, kemampuan untuk memilih apakah akan mengikuti perintah-Nya atau tidak.

Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa Allah meletakkan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kejadian 2:17) di Taman Eden. Itulah satu pertanyaan yang selalu ada di pikiranku—mengapa Tuhan harus menanamnya di sana? Bukankah Dia telah mencobai Adam dan Hawa? Apakah Dia tidak tahu bahwa mereka akan memakan buah dari pohon yang seharusnya tidak mereka makan? Beberapa ahli Alkitab berpendapat bahwa pohon itu mewakili pilihan yang diberikan Tuhan kepada pasangan manusia pertama itu. Seolah-olah Dia mengatakan kepada mereka, “Jika kamu mengeluh bahwa kamu tidak memiliki pilihan selain menaati-Ku, inilah pilihan yang dapat kamu ambil. Aku menjelaskan bahwa kamu tidak boleh mengambilnya, tetapi keputusan tetap ada di tanganmu.” Pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat adalah sebuah ujian.

(Jika kita menganggap Allah tidak adil dengan meletakkan godaan ini di Taman Eden, pertimbangkanlah pemikiran ini: pasti ada ribuan (bahkan mungkin lebih) pohon buah yang dapat dimakan oleh Adam dan Hawa, tetapi mereka justru makan dari pohon yang dilarang).

Penulis Kristen Max Lucado, dalam bukunya In the Eye of the Storm, melukiskan sebuah potret yang indah tentang hari ketika Tuhan menciptakan manusia. Dia membayangkan Tuhan menaruh “benih pilihan” ke dalam segumpal tanah liat yang akan segera dihidupkan-Nya. Malaikat yang mengawasi bertanya apakah ini bijaksana, dan Allah menjawab dengan menunjukkan sekilas gambaran masa depan di mana manusia akan memberontak dan melupakan Penciptanya.

“Bukankah lebih mudah untuk tidak menanam benih itu? Bukankah lebih mudah untuk tidak memberikan pilihan?” tanya malaikat kemudian. “Tentu saja,” jawab Tuhan. “Tetapi menghilangkan pilihan sama saja dengan menghilangkan kasih.”

Semuanya bermuara pada kepercayaan kita akan karakter Allah

Jika kamu masih belum sepenuhnya yakin, aku tidak menyalahkanmu. Mungkin sulit untuk memahami sebuah isu yang memiliki begitu banyak kontradiksi dalam logika dan mengundang lebih banyak lagi pertanyaan “bagaimana jika ini dan itu”. Setiap jawaban yang diberikan kemungkinan besar akan memunculkan 10 pertanyaan lainnya. Bagaimanapun juga, kita berbicara tentang masalah yang berada di luar pemahaman manusia.

Beberapa orang akan mengutip Ulangan 29:29, “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini.”—untuk menekankan bahwa tidak mungkin untuk memahami beberapa tindakan dan keputusan Tuhan. Namun, aku percaya bahwa ketiga perspektif ini cukup bisa diterima secara logika untuk memahami mengapa Allah tetap melanjutkan penciptaan meskipun Dia telah mengetahui apa yang akan terjadi. Ketiga perspektif ini mungkin tidak dapat dihubungkan seperti sebuah persamaan matematika, tetapi ketiga perspektif ini menolong kita untuk melihat bahwa apa yang Allah lakukan sepenuhnya konsisten dengan tujuan dan karakter-Nya.

Aku kira ini sedikit mirip dengan mencoba memahami keputusan seorang teman baik yang sulit untuk kamu pahami (misalnya, dia mengambil pekerjaan yang tidak biasa). Kamu mungkin tidak sepenuhnya yakin—setidaknya untuk sekarang—bahwa dia melakukan hal yang benar, tetapi yang dapat kamu lakukan adalah mencoba melihat situasi dari sudut pandangnya dan memahami apa yang mendorongnya untuk mengambil keputusan. Dan jika kamu mengenalnya dengan baik, kamu akan percaya bahwa pilihan yang dia buat sesuai dengan karakternya, dan dia tahu apa yang dia lakukan.

Dalam kasus penciptaan, mungkin kita hanya perlu menerima bahwa tindakan Tuhan berasal dari sifat-sifat-Nya yang baik, penuh kasih, dan sempurna. Itulah asumsi yang kubuat pada awalnya, dan itu adalah asumsi yang sama yang terus kupegang, tidak peduli seberapa “tidak masuk akal” beberapa tindakan-Nya secara manusiawi.

Dalam sebuah artikel di Apologetics Press, seorang apologis Kristen, Kyle Butt, menyimpulkan perdebatan tersebut dengan cukup baik. Dia mencatat bahwa tidak ada cara yang mungkin bagi pikiran manusia yang terbatas untuk memahami sepenuhnya mengapa Allah menciptakan manusia. Kyle menyimpulkan: “Sifat-sifat Allah yang mahatahu, tidak memihak, dan penuh kasih memberikan dasar untuk menyimpulkan bahwa hanya Dia yang dapat menentukan dunia mana yang terbaik. Jika dipahami dengan benar, Alkitab menyajikan gambaran yang sepenuhnya konsisten tentang kesempurnaan moral Allah sehubungan dengan pilihan-Nya untuk menciptakan manusia.”

Tentang penulis:

Leslie pernah bekerja beberapa tahun di sebuah surat kabar sebelum akhirnya memutuskan pindah. Dia percaya kekuatan kata-kata (terkhusus kalau itu jenaka). Dia bekerja sebagai editor di Our Daily Bread Ministries.

Bila topik ini menarik hatimu dan kamu ingin mencari tahu lebih lanjut tentang apa dan bagaimana yang bisa kamu lakukan untuk mewujudkan kembali rancangan Allah yang semula atas dunia yang telah rusak ini, kami mengundangmu untuk ikut serta dalam:

Ini adalah acara onsite dari Our Daily Bread Ministries untuk menolong kita menemukan atau meneguhkan panggilan kita sebagai anak-anak Tuhan, untuk berkarya dalam dunia ini melalui keunikan kita masing-masing. Kita akan diperlengkapi secara Alkitabiah dan praktikal oleh empat pembicara yang kompeten, yang akan membagikan cerita-ceritanya.

Acara ini tidak dikenakan biaya. Ayo daftarkan dirimu di bit.ly/DaftarBibleSummit dan ajak juga teman-teman dan keluargamu ya!