Posts

Menyelami Esensi dari Persahabatan

Oleh Triska Zagoto, Jakarta

Bagaimana sebuah pertemanan dimulai?

Jika mengingat masa kecil, rasanya tidak sulit untuk menemukan atau menjadi seorang teman. Dengan dua alasan sederhana: jarak rumah dekat dan kesamaan usia, pertemanan pun terjalin dan semakin akrab tanpa dipusingkan oleh konsep dan aturan dalam berelasi—saling berbagi kesenangan, cerita, dan luwes melakukan apa saja, bahkan hal-hal remeh sekalipun. Dalam pertemanan seperti itu ada perasaan nyaman dan kita pun menikmatinya.

Namun, saat kita semakin dewasa, kita semakin sadar akan kebutuhan-kebutuhan kita, tapi di sisi lain waktu kita terbatas. Alhasil, pertemanan pun jadi tak sesederhana dulu. Kita mulai memilah dan memilih siapa yang bisa jadi teman dan dengan siapa kita mau berteman. Nah, bila pertemanan itu langgeng melewati tahapan ini, maka itu adalah salah satu anugerah Tuhan yang patut kita syukuri. Sahabat adalah salah satu bentuk kehadiran Allah dalam hidup kita.

Persahabatan adalah rancangan Allah

Persahabatan adalah salah satu topik penting yang turut dibahas di Alkitab. Akarnya bisa kita telaah dari kitab pertama. Setelah Allah menciptakan Adam—walaupun Alkitab tidak memberi kita informasi rentang waktunya—TUHAN Allah berfirman: ”Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” (Kejadian 2:18a). Artinya kebutuhan kita akan relasi itu tidak lahir dari ide dan kesadaran kita sendiri, tetapi sebuah ide dan rancangan indah yang berasal dari Allah—keinginan Allah.

Allah menciptakan kita dengan kebutuhan akan persekutuan atau komunitas, keinginan untuk saling terhubung. Bila kita lihat kembali peristiwa di Taman Eden, keindahan di sana bukan karena tanahnya baik sehingga akan menghasilkan semua yang dibutuhkan manusia untuk kelangsungan hidupnya secara sandang, pangan, dan papan. Keindahan yang paling utama di sana adalah hubungan Allah dengan manusia yang amat dekat, relasi yang terjalin antara Pencipta dan ciptaan yang segambar dan serupa dengan-Nya. Allah tahu bahwa manusia tidak bisa menikmati hidupnya seorang diri, maka atas inistiatif-Nya, Ia menghadirkan orang lain untuk menyadarkan kita bahwa kita dapat menikmati-Nya melalui orang-orang di sekitar kita.

Namun, semua berubah sejak dosa hadir. Apa yang dapat kita harapkan ketika dua atau lebih orang-orang berdosa menjalin sebuah persahabatan?

Kejatuhan manusia dalam dosa telah merusak relasi, baik dari segi pemahaman maupun tindakan kita. Maka, tak jarang relasi persahabatan dipenuhi tuntutan-tuntutan yang tidak sehat: kebutuhan untuk selalu dimengerti, kebutuhan untuk didahulukan, kebutuhan untuk dituruti, dan lain sebagainya. Sebuah relasi menjadi kering ketika orientasinya mengarah pada kepentingan diri sendiri. Pemahaman kita akan “kebutuhan” menjadi landasan untuk mendefenisikan mengenai keberadaan diri kita.

Dalam bukunya, Edward Welch membahas kebutuhan psikologis cukup panjang setelah bahasan tentang kebutuhan biologis dan spiritual. Dia menguraikan bahwa menurut pemikiran populer, kebutuhan psikologis harus dipenuhi agar kita dapat mencapai prestasi, kebahagiaan, stabilitas psikologis, dan harga diri. Atau dalam bahasa yang tidak terlalu teknis, kebutuhan psikologis kita harus dipenuhi agar kita dapat nyaman dengan diri kita. Kita tahu bahwa kita diciptakan dalam jalinan relasi dengan sesama manusia untuk saling mengasihi, saling membangun, dan saling menghibur, tetapi benarkah maksud dari keberadaan relasi tersebut untuk membangun harga diri kita? Mungkinkah berbagai keinginan psikologis itu timbul ketika kita menolak untuk mengasihi Allah dan menerima kasih-Nya?

Berkali-kali di dalam Alkitab, panggilan kita adalah mengasihi, bukan menuntut dikasihi. Bukan berarti kita menolak ketika dikasihi. Poin pentingnya seberapa banyak dan apa tujuan kita menginginkah kasih. Apakah keinginan kita itu sedemikian besarnya sehingga mengaburkan kerinduan kita untuk menjadi serupa dengan Allah? Apakah kita menginginkannya semata untuk kenyamanan diri atau untuk kemuliaan Allah?

Dalam relasi persahabatan, orang lain dapat menjadi berhala favorit kita. Kita memberhalakan mereka ketika kita menganggap mereka berkuasa memberikan sesuatu kepada kita, menentukan apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, dan bagaimana seharusnya kita bertindak. Ketika kita mencari pemenuhan kebutuhan, keinginan, dan obsesi kita dari orang lain, justru kita akan gagal melihat kebesaran Allah. Maka, persahabatan pun memerlukan pemulihan dan anugerah. Dalam sebuah peristiwa di kitab Yohanes 15:13, Tuhan Yesus menyampaikan bahwa, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Tuhan Yesus telah memberikan nyawa-Nya sebagai bukti kasih-Nya kepada kita. Hubungan kita dengan Allah telah dipulihkan dan kita beroleh pengampunan serta penebusan. Maka, pengalaman akan kasih karunia Allah yang besar inilah yang menjadi dasar kita ketika kita masuk dalam irama kehidupan orang lain: kita harus mengasihi mereka, lebih daripada membutuhkan mereka.

Persahabatan Membutuhkan Pertumbuhan

“Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu.” (1 Petrus 1:22). 

Relasi yang tidak diuji dengan berbagai benturan dan gesekan tidak akan mengalami pertumbuhan. Kasih Alkitabiah takkan pernah terpuaskan jika ia tidak bertumbuh. Di dunia yang meremehkan keberadaan Tuhan, kita memerlukan seorang teman yang menolong kita untuk mengarahkan pandangan kita kepada Kristus.

Tentang persahabatan, Charles Ringma dalam sebuah bukunya, mengutip kalimat Henri Nouwen, seorang teolog dan psikolog, “Saya sadar, saya butuh berkontak secara teratur dengan seorang teman yang membuat saya terus dekat dengan Yesus dan yang terus mengingatkan saya untuk setia”. Barangkali, di dalam persahabatan di usia dewasa ini ketika pertemuan tidak cukup mudah untuk dilakukan, kita bisa menemukan cara-cara baru untuk memelihara relasi satu dengan yang lain. Di zaman di mana kita mudah terkoneksi, sejauh apa pun jarak, kita perlu mengatur dan memberi waktu untuk tetap terhubung. Ketika kita saling membagikan pengalaman bagaimana Tuhan bekerja atas hidup kita masing-masing, membagikan berkat dari Firman Tuhan yang didengar, keberanian untuk  menceritakan pergumulan, serta sesederhana “tolong doakan aku” atau saat-saat di mana kita perlu menegur, adalah upaya-upaya kecil yang perlu kita tekuni untuk menghargai dan mensyukuri kebaikan Tuhan melalui kehadiran mereka.

Persahabatan pun adalah panggilan untuk kita memuliakan Allah. Maka, panggilan itu membutuhkan pertumbuhan dalam pengudusan dan ketaatan kepada Allah. Dalam doa-Nya di Yohanes 17, Tuhan Yesus berseru, “Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita.”, memanggil kita untuk menjadi satu dengan sesama kita sebagai komunitas di mana kita beroleh berkat sejati. “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.” (Amsal 27:17).

Jika saat ini relasi persahabatanmu sedang tidak baik-baik saja, atau bahkan mungkin ada keengganan untuk merangkai kembali setelah berbagai pengalaman pahit dan menyakitkan, serta meninggalkan luka dan duka, kita masih memiliki Satu Kawan yang sejati, yaitu Yesus Kristus yang bahkan menyebut kita sebagai sahabat-Nya (Yohanes 15:15).

Adakah hatimu sarat, jiwa-ragamu lelah?
Yesuslah Penolong kita; naikkan doa pada-Nya!
Biar kawan lain menghilang, Yesus Kawan yang baka.
Ia mau menghibur kita atas doa pada-Nya.

Kiranya Tuhan memampukan kita menikmati relasi persahabatan, dalam kasih dan kebenaran. Soli Deo Gloria.

***

Referensi:

Welch, Edward. (2003).  Ketika Manusia Dianggap Besar dan Allah Dianggap Kecil: Mengatasi Tekanan Kelompok, Saling Ketergantungan, dan Takut akan Manusia.  Surabaya: Momentum Christian Literature.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

5 Bentuk Persahabatan yang Tuhan Inginkan dalam Hidup Kita

Oleh Nikita Theresia Afdan, Depok

Pernahkah kamu merasa cemburu melihat temanmu lebih dekat dengan orang lain? Atau, pernahkah kamu merasa ditinggal ketika kamu tahu teman-temanmu diam-diam membuat grup obrolan tanpa kamu di dalamnya?

Kalau kamu pernah mengalami itu, aku juga pernah. Selama dua tahun terakhir, setelah lulus kuliah aku masuk ke dalam dunia pekerjaan. Sejak SD sampai kuliah aku tidak memiliki sahabat yang sangat dekat. Setiap kali merasa akrab dengan temanku, aku cenderung posesif dan takut kehilangan. Terkadang hal ini dianggap aneh oleh teman-temanku sehingga hubungan pertemanan kami tidak awet. Kusadari memang persahabatan tidak lahir secara instan. Dalam proses menuju persahabatan yang dewasa pasti ada konflik-konflik yang mewarnainya.

Sampai saat ini aku terus belajar untuk mencintai diriku sendiri dan membangun hubungan persahabatan yang baik. Salah satunya, aku belajar dari podcast WarungSaTeKaMu bersama Erika Sinaga yang berjudul “Dear Temanku, Gapapa Kok Kamu Gak Selalu Ada”. Kak Erika menegaskan bahwa pada dasarnya kita harus menyadari bahwa semuanya memiliki masanya masing-masing. Mungkin hari ini kita lagi seru-seruan bareng teman-teman, atau mungkin lagi ngambek-ngambekan. Itu semua wajar sebagai manusia. Namun, yang terpenting yang harus kita pahami sebelum menjalin persahabatan adalah kita harus mengenal diri kita sendiri lebih dulu. Firman Tuhan mengatakan dalam Matius 22:39, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Pelan-pelan aku mulai memahami bahwa seorang sahabat dekat bukanlah seseorang yang wajib bertemu kita setiap waktu atau yang harus komunikasinya non-stop 24 jam. Sahabat ialah orang yang terpisah dalam kesibukan, tapi tetap bersedia menjaga hubungan baik dan saling menghargai. Aku juga belajar bagaimana pandangan Alkitab tentang persahabatan dan lewat tulisan ini aku ingin berbagi 5 bentuk persahabatan yang Tuhan inginkan dalam hidup kita.

1. Sahabat yang hadir dalam waktu yang tepat 

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” (Amsal 17:7).

Seringkali di saat kita terpuruk, sahabat menjadi orang terdekat kita yang bisa kita ajak bercerita. Dia rela memberikan waktunya untuk kita, bahkan melebihi saudara kita sendiri.

Sahabat seperti ini tidak setiap waktu ada buatmu, namun di saat kamu membutuhkan teman untuk cerita, dia mau memberikan waktunya buatmu.

2. Sahabat yang menegur dengan kasih

“Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.” (Amsal 27:5-6).

Seorang sahabat tidak ingin kamu terpuruk atau jatuh ke dalam jurang keburukan. Ada kalanya dia tidak cuma memberikan dorongan semangat buatmu, tapi juga menegurmu bila kamu melakukan kesalahan, atau ada yang salah darimu.

Meski menerima teguran kadang tidak mengenakkan, tetapi dari mereka yang bersedia menyampaikan teguran inilah kita bisa mengenal diri kita sesungguhnya. Jadi, bila kita dikaruniai sahabat seperti ini, jangan cepat tersinggung ya.

3. Sahabat yang bisa lebih dekat daripada saudara sendiri

“Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib daripada seorang saudara.” (Amsal 18:24).

Kalau kita mengenal dan belajar dari kisah persahabatan Daud dan Yonatan, kita melihat bagaimana Yonatan sangat mengasihi Daud (1 Samuel 20:41), bahkan mereka mengikat janji untuk setia kepada satu sama lain (ayat 8-17; 42). Ketika Saul, ayah Yonatan, berniat untuk menghabisi nyawa Daud, Yonatan ikut melindunginya bahkan kelak mengorbankan haknya sebagai pewaris takhta agar Daud dapat memerintah sebagai raja (20:30-31).

Yonatan dan Daud bukanlah saudara sedarah. Mereka sejatinya orang asing bagi satu sama lain, tetapi diikat oleh satu relasi bernama persahabatan. Dalam masa-masa senang maupun kelam, ada kalanya Tuhan memakai mereka yang bukan saudara untuk ikut hadir dalam cerita hidup kita. Mereka bisa hadir di saat hidup sedang terpuruk, saat kita sengsara membutuhkan uang atau saat kita sakit.

4. Sahabat turut membentuk kebiasaan yang baik

“Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.” (Amsal 13:20).

Ada ucapan yang pernah kudengar begini bunyinya: orang yang paling dekat denganmu ikut mempengaruhi pola pikirmu. Persahabatan tak cuma berbagi cerita, tetapi juga berbagi kebiasaan. Bila kita menjadi atau memilih sahabat-sahabat yang gemar bergosip dan melakukan keburukan, maka tidak menutup kemungkinan kita akan ikut melakukannya juga.

Persahabatan yang baik akan menolong kita untuk membangun kebiasaan-kebiasaan positif yang bisa diwujudkan dalam berbagai hal, semisal berolahraga, beribadah bersama, atau sesederhana saling mendoakan.

5. Tuhan adalah sahabat yang sejati

“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang  yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yohanes 15:13).

Selain kisah persahabatan antara Daud dan Yonatan, gagasan tentang persahabatan disebutkan berulang kali dalam Alkitab. Kitab Amsal mengatakan sahabat menaruh kasih setiap waktu (17:17), tetapi juga memperingatkan bahwa persahabatan bisa jadi tidak tulus bila didasari kekayaan atau pemberian (14:20; 19:4-6), serta menasihati kita berhati-hati untuk tidak berteman dengan orang bebal dan menjadi malang (13:20).

Dalam Yohanes 15, Tuhan Yesus juga berbicara mengenai persahabatan. Ketika Dia berkata tak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya, Yesus membuktikan ucapannya itu beberapa hari dan jam kemudian, ketika akhirnya Dia menerima hukuman mati di atas kayu salib. 

***

Menjalani persahabatan pasti ada lika-likunya, tapi aku telah belajar bahwa ketulusan hati dalam bersahabat adalah bukti bahwa aku telah mematikan perasaan-perasaan burukku sehingga aku bisa ikut berbahagia dalam keberhasilan sahabat-sahabatku.

Kelima bagian yang kutuliskan di atas menunjukkan bahwa dasar dari persahabatan adalah kasih kita akan sesama. Ketika kita mengasihi sahabat kita, tentunya kita dapat hadir dalam waktu yang tepat, menegur, membantu, dan memiliki ketulusan hati melihat sahabat itu berbahagia. Aku juga terus belajar untuk bisa menjadi seorang sahabat yang baik dengan memulai bersahabat dengan diriku sendiri.

Untuk sahabatku, terima kasih sudah membuat hari-hariku selama ini dipenuhi dengan canda tawa, kelak ketika kita bertemu lagi, dan mungkin tidak bisa seperti dulu lagi. Namun, kita telah sama-sama belajar dan melihat kasih Tuhan di hidup kita.

Tuhan memberkatimu dan juga aku. Selamat bertumbuh untuk teman-teman semua.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥