Posts

Hai, Teman yang Jauh di Mataku. Terima Kasih Telah Dekat di Hatiku

Oleh Tabita Davinia Utomo, Tangerang Selatan

Bulan Juli lalu, WarungSaTeKaMu mengangkat tema “Friendship: Kau Temanku, ‘Ku Temanmu, Kita (Gak) selalu Bersama”. Sebuah tema yang tidak asing bagi kita yang punya banyak lingkaran pertemanan, tetapi juga sekaligus bisa jadi alasan untuk skeptis terhadap seberapa jauh kualitas pertemanan bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu. Saat menulis artikel ini, aku teringat pada satu lagu dari RAN yang berjudul “Dekat di Hati”. Ini adalah lagu yang kembali melejit karena Bang Chan dari Stray Kids. Secara keseluruhan, liriknya seolah-olah menekankan tentang sejoli yang terpisah oleh jarak dan waktu tetapi saling punya rasa rindu. Meski demikian, judul lagu itu juga bisa menguatkan kita ketika merindukan kehadiran seorang (atau beberapa) teman dekat di tengah-tengah perjalanan hidup ini.

Ketika menjadi murid SMP pada tahun 2009, aku memiliki beberapa teman (yang kuanggap) dekat. Kami biasa makan bersama, saling mengomentari draft novel di buku tulis kami, hingga bercerita tentang gebetan masing-masing. Namun, seiring berjalannya waktu, persahabatan yang tadinya aku kira akan bertahan lama ternyata berkata lain. Aku pun bergumul dengan perasaan tertolak dari lingkaran pertemanan “ideal” yang aku punya. Karena punya teman adalah kebutuhan primer bagi remaja sepertiku saat itu, mau tidak mau aku mulai berteman dengan beberapa teman di kelas yang juga “terasingkan”. Sempat terpikir bahwa aku memang “ditakdirkan” untuk hidup bersama orang-orang “buangan” seumur hidup, sampai akhirnya ada satu titik balik yang mengubahkan cara pandangku tentang pertemanan.

Pada tahun 2011, aku bergabung di Komisi Remaja di gereja asalku. Sejujurnya, selama empat bulan pertama setelah “lulus” dari sekolah minggu madya dewasa, aku kurang nyaman di komisi tersebut karena merasa asing dengan kakak-kakak yang terlihat lebih dewasa dan modis—sementara aku se-cupu itu. Namun, di sanalah Tuhan menyadarkanku bahwa Dia telah menebus perasaan kesepianku melalui kata “sudah selesai” di Kebaktian Kebangunan Rohani Paskah Remaja-Pemuda yang diselenggarakan gereja. Dalam khotbah Pdt. Timotius Fu itu, ada sebuah bisikan dalam diriku (yang kuyakin itu bukan dariku), “Tuhan udah tebus kamu karena Dia mengasihimu. Kamu itu berharga di mata Tuhan yang menciptakanmu, dan enggak ada yang bisa melawan fakta itu.” Sejak itu, dengan anugerah Tuhan, aku mulai memberanikan diri terbuka pada kehadiran teman-teman di Komisi Remaja-Pemuda; bahkan beberapa di antaranya masih keep in touch sampai sekarang.

Kalau menoleh ke belakang, sekarang aku bisa berkata bahwa titik balik itu juga menjadi awal perjalananku untuk berjumpa dengan banyak orang yang pada akhirnya bisa kusebut sebagai teman seperjuangan. Mulai dari teman SMP (yang pada akhirnya berekonsiliasi denganku saat retret kelas 9), teman SMA, satu circle di Remaja-Pemuda (KTB dan pelayanan), Ladies Bible Reading Group, teman satu kampus saat menempuh studi S1 maupun S2, hingga rekan kerja dan pelayanan di tempatku sekarang. Tidak semuanya masih keep in touch, tetapi setidaknya ada beberapa di antara mereka yang masih berkomunikasi denganku meski tidak semuanya rutin.

Dari pengalaman bersama mereka dan hasil perenungan pribadiku melalui perjalanan imanku bersama Tuhan, aku belajar tiga hal kunci dalam membangun dan memelihara pertemanan:

1. “Cek ombak” sebelum terjun ke lingkaran pergaulan lebih jauh

Ada yang pernah berkata padaku bahwa aku termasuk orang yang mudah beradaptasi dengan komunitas dan lingkungan baru. Padahal sebenarnya enggak sepenuhnya itu benar. Dulu, ketika bergaul dengan orang-orang yang lebih berpengalaman (baca: lebih senior) justru membuatku minder karena belum sampai pada fase kuliah, bekerja, menikah, dan menjadi istri sekaligus ibu. Aku merasa enggak bisa nyambung dengan mereka karena mau masuk ke dunia mereka pun sungkan, sementara aku juga khawatir mereka enggak sepenuhnya memahami pergumulanku yang belum jadi seperti mereka. Lucunya, aku jadi punya bekal yang cukup untuk tiba pada fase kehidupan seperti yang teman-temanku alami, bahkan bisa lebih nyambung dengan pergumulan mereka—baik yang sepantaran, lebih tua, maupun lebih muda.

Aku teringat pada Paulus yang menggabungkan diri di tengah-tengah komunitas orang percaya—tepat setelah dia bertobat pasca penganiayaan yang dilakukannya pada mereka (baca Kisah Para Rasul 9:19-31). Hampir semua orang di sana bertanya, “”Bukankah dia ini yang di Yerusalem mau membinasakan barangsiapa yang memanggil nama Yesus ini? Dan bukankah ia datang ke sini dengan maksud untuk menangkap dan membawa mereka ke hadapan imam-imam kepala?” (ayat 21) Wah, seterkenal itu reputasi Paulus sebagai penganiaya orang percaya. Mungkin saja awalnya Paulus gentar dengan “ombak” yang ada, tetapi datanglah Barnabas—yang disebut anak penghiburan—yang menerima dirinya dan menceritakan perjumpaan Paulus dengan Tuhan Yesus kepada para rasul (ayat 27).

Perasaan canggung bisa saja muncul ketika kita ada di lingkungan yang baru maupun bertemu dengan orang asing. Itu normal, kok, karena kita punya survival mode. Dari situlah kita bisa memutuskan apakah kita mau mengambil risiko dalam mengenal dan dikenal oleh orang lain, atau kita melarikan diri sesegera mungkin. Namun, ketika ada orang lain yang bersedia menyambut kita dengan segala masa lalu kita, mari belajar percaya bahwa pertemuan bersama mereka diinisiasi oleh Allah yang berbelas kasihan.

2. Kenalan bisa didapatkan dari mana saja, tetapi kualitas sebuah pertemanan perlu diuji oleh waktu dan situasi

Setelah mengakhiri relasi pertamaku beberapa tahun yang lalu, aku sangat khawatir dengan pandangan orang lain terhadapku. Gimana, ya, kalau mereka bilang aku yang salah? Gimana kalau aku dibilang egois karena putusin si X setelah bertahun-tahun berelasi? Gimana nanti kalau aku punya pasangan lagi sementara si X belum? demikian pikirku dengan rasa bersalah. Namun, ketika aku memberanikan diri untuk bercerita kepada beberapa orang, kekhawatiranku tidak terbukti. Aku sadar bahwa aku ada andil dalam berakhirnya (bahkan bermulanya) relasi itu, tetapi mendengar penguatan dari beberapa temanku memvalidasi perasaanku. Sampai detik ini, kami tetap berteman, bertukar kabar, dan saling mendukung dalam relasi kami masing-masing. Dari situ aku belajar bahwa meskipun enggak lagi bertemu secara intens, sebuah bonding tetap bisa terbentuk karena keterbukaan dan keberanian hati untuk menjadi sebagaimana adanya seseorang di depan teman-teman yang bisa dipercaya—dan memang qualifiable.

Tidak banyak kisah persahabatan sejati yang ditulis di Alkitab, tetapi kita akan sama-sama teringat pada nama Yonatan, anak Saul. Anak raja Israel itu mengasihi Daud, si gembala penakluk Goliat, lebih daripada dirinya sendiri (1 Samuel 18:1). Ketika tahu bahwa Saul berencana membunuh Daud karena dengki atas kepopulerannya, Yonatan tidak langsung percaya. Namun, setelah melihat bukti kebencian ayahnya atas sahabat terkasih, Yonatan segera mengambil tindakan. Bahkan dia sempat mengambil risiko menemui Daud dan menguatkannya di Koresa, tepat saat Daud tahu bahwa Saul mau membunuhnya (1 Samuel 23:15-18). Zaman dulu belum ada Whatsapp, jadi kehadiran Yonatan sangat berarti bagi Daud untuk tetap percaya kepada Allah. Tidak heran jika setelah Yonatan terbunuh dalam perang dengan bangsa Filistin, Daud sangat berduka lalu membuat sajak bagi Yonatan dan Saul (2 Samuel 1:17-26), serta memutuskan memelihara kehidupan Mefiboset, anak Yonatan, setelah menjadi raja (2 Samuel 9:1-13).

Ternyata benar kata penulis Amsal:

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”—Amsal 17:17 (TB 1974).

Kalau dalam hal-hal yang membahagiakan, ada banyak, kok, yang mau berkenalan dan berteman sama kita. Namun, kualitas sebuah pertemanan akan diuji ketika kita ada di titik terendah kehidupan kita, karena tidak semua orang mau hadir untuk menemani dan menguatkan kita untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Ada kalanya mereka “hanya” memberikan nasihat, padahal tidak jarang yang kita butuhkan adalah validasi atas perasaan kita dan kesadaran bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan. Kabar baiknya, Tuhan yang beserta juga mau melibatkan teman-teman yang ada untuk berjuang bersama kita, bahkan membukakan hati kita terhadap kebenaran-Nya. Di sinilah pentingnya kita berkata “tolong” dan “maafkan aku” dengan penuh kerendahan hati, serta “terima kasih” disertai rasa syukur yang tulus atas kehadiran teman-teman yang mau berjalan bersama kita melalui naik-turunnya hidup ini. Mereka adalah satu dari sekian bentuk perpanjangan tangan Tuhan untuk menopang kita.

3. Fondasikan pertemanan pada Kristus, Batu Karang yang teguh

Poin ini hanya bisa terjadi ketika kita punya teman-teman yang memiliki prinsip hidup yang seiman seperti kata Paulus, “Persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?” (2 Korintus 6:15). Konteks ayat ini memang membicarakan tentang pasangan hidup, karena pada masa itu orang Kristen di Korintus hidup di tengah-tengah kehidupan berhala. Cepat atau lambat, pasangan yang tidak seiman memengaruhi perjalanan iman kita. Namun, prinsip serupa juga bisa diterapkan, kok, dalam lingkaran pertemanan kita. Memang ada yang bisa menguatkan kita makin bertumbuh secara emosional, tetapi tidak berarti mereka juga percaya kepada Tuhan yang sama. Tidak heran jika Paulus juga menulis, “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” (1 Korintus 15:33).

Bisa dikatakan, semua sahabat (atau inner circle) yang kumiliki adalah orang-orang yang kutemui di komunitas Kristiani dan punya pengalaman iman masing-masing bersama Tuhan. Namun, bagaimana jika privilege serupa tidak semudah itu didapatkan, misalnya di negara-negara yang menghalangi umat Kristiani beribadah, bahkan mereka ditekan sedemikian rupa agar tidak mengekspresikan iman kepada Kristus? Sekilas, kondisi ini menyurutkan kita yang bergumul dengan kebutuhan belonging bersama teman seperjuangan di dalam Tuhan. Kabar baiknya, adanya internet dan berbagai media sosial memampukan kita untuk terhubung satu sama lain sehingga kehadiran Tuhan pun bisa dirasakan tanpa dibatasi dinding dan waktu. WarungSaTeKaMu ini adalah contohnya 🙂

4. Mengingat menandakan bahwa kita peduli

Beberapa hari yang lalu, ada temanku yang berulang tahun dan sedang menata hatinya setelah melalui banyak hal tahun lalu. Saat itu, aku mengirimkan chat kepadanya seperti ini:

“Ulang tahun kali ini bisa jadi berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena ada banyak hal terjadi sepanjang tahun lalu. Namun, aku bersyukur karena Kakak bertumbuh makin kuat di dalam pengenalan terhadap Tuhan dan diri sendiri. Kudoakan supaya kehadiran dan “strength unknown” dari Tuhan selalu bersama Kakak. Aku bersyukur bisa mengenal dan bertumbuh bersama Kakak.”

Di luar dugaan, temanku itu meneleponku dan berkata bahwa dia bersyukur karena ada yang mengingat dirinya. Tidak berhenti di situ, dia (kurang lebih) berkata, “Mungkin aku memang butuh ada yang memvalidasi perasaanku bahwa tahun ini ada hal-hal yang berubah. Ada tesis yang sudah selesai, tetapi enggak ada lagi Mamak yang bisa kuucapkan “terima kasih” karena sudah melahirkan dan membesarkanku.”

Siapa, sih, yang ingin dilupakan begitu saja setelah berteman sekian tahun lamanya? Tentu enggak ada, apalagi kalau ada banyak memori manis yang sudah dijalani bersama mereka. Namun, kita perlu mengingat bahwa seiring berjalannya waktu, pertemanan kita juga akan berada di persimpangan jalan. Kita akan makin jarang bertemu–bahkan berpisah. Entah karena studi lanjut, karier atau panggilan pelayanan, ikut suami/istri merantau, kehidupan berkeluarga yang penuh dinamika, hingga tutup usia. Di waktu yang bersamaan, kita dipertemukan dengan lingkaran pertemanan yang berbeda lagi dari yang sebelumnya. Meskipun demikian, pertemanan kita sangat bisa dipererat ketika ada yang mengingat pergumulan kita dan membawanya di dalam doa maupun dalam obrolan bersama mereka ketika waktunya memungkinkan. Tentunya ini harus bersifat “saling”, ya. Bukan hanya satu pihak yang berusaha memelihara pertemanan, tetapi pihak yang lain juga perlu mengusahakannya tanpa memaksa dan memanfaatkan satu sama lain demi keuntungan pribadi. Ini pula yang Paulus tunjukkan melalui salam dan ucapan syukurnya dalam surat-suratnya kepada rekan-rekan pelayanan maupun jemaat di berbagai tempat (misalnya di Kolose 1:1-3, FIlemon 1:6, 2 Timotius 4:19-22).

Konflik dalam pertemanan tidak terhindarkan, dan setiap orang punya cara masing-masing dalam menghadapinya. Tidak semua pertemanan harus berkembang menjadi persahabatan yang erat; siapa tahu mereka hanya jadi teman–atau malah kenalan–dalam jangka waktu tertentu. Karena itu, kiranya Tuhan senantiasa memberikan kita kasih dan hikmat-Nya dalam menjalin pertemanan bersama mereka yang telah Dia hadirkan bagi kita.

Kepadamu yang pernah dan masih bersedia beredar dalam kehidupanku,

aku tahu kamu membaca artikel ini.

Terima kasih sudah hadir di dunia ini,

menyediakan diri terbuka denganku, dan menjadi “safe place” buatku.

Kamu adalah satu dari sekian cara Tuhan mewarnai hidupku dengan kasih-Nya ❤️‍

Jangan menyerah, ya.

I know you will grow stronger after this craziness over.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Topik Obrolan Receh yang Bisa Menghangatkan Pertemanan Kamu

Biar relasi pertemananmu lebih bermakna, sekadar komunikasi basa-basi tidaklah cukup. Ngobrol topik yang menarik bisa jadi kunci buat kamu membangun relasi pertemanan jadi semakin dalam dan hangat 🙂

Selain beberapa hal di atas, topik apa lagi nih yang bisa menghangatkan pertemanan kamu? Share yuk 🤗

Kamu diberkati oleh konten ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Pertemanan: Instrumen Ilahi untuk Menunjukkan Keindahan Orang-orang di Sekitar Kita

Oleh Jessie, Jakarta

Bila bicara tentang pelayanan Tuhan Yesus selama Dia berada di dunia, topik manakah yang paling kamu ingat?

Jawabannya tentu beragam! Ada begitu banyak pelayanan yang Tuhan Yesus lakukan, tapi di balik segala mukjizat dan sabda yang Dia ucapkan, pernahkah kita melihat secara detail salah satu pekerjaan terbesar Yesus, yaitu persahabatan-Nya dengan kedua-belas murid-Nya?

Ikatan antara Tuhan Yesus bersama murid-murid melibatkan banyak kisah suka duka yang menyatakan indahnya relasi persahabatan mereka. Melalui relasi persahabatan inilah kita dapat mengakui bahwa tema pertemanan yang Yesus ajarkan memang nyata. Persahabatan ini menyentuh diri kita secara emosional, bukan hanya sekadar teori. Yesus menjelaskan arti sesungguhnya dari sebuah persahabatan saat Dia memberikan perintah kepada kedua-belas murid-Nya untuk mengasihi sesama (Yohanes 15:12-15). Ironisnya, di hari yang sama Yesus menjelaskan tema pertemanan, di malam itu juga Yudas Iskariot mengkhianati-Nya. Sungguh menyedihkan! Tuhan seakan-akan ingin mengingatkan kita semua akan makna persahabatan yang sesungguhnya.

1. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yohanes 15:13)

Uniknya, Tuhan tidak mengarahkan kita pada pernikahan atau seks untuk menjelaskan kasih yang terbesar, melainkan pada persahabatan. Dalam kitab Yohanes pasal 15 ini, Yesus ingin menjelaskan bahwa inti dari relasi persahabatan merupakan hubungan kasih yang mendalam. Yesus seolah ingin mengatakan bahwa kasih merupakan esensi yang membentuk persahabatan itu. Dapat disimpulkan bahwa kata lain dari persahabatan adalah kasih.

Seberapa besar kasih yang membentuk persahabatan itu? Sangat amatlah besar sampai-sampai Dia rela memberikan nyawa-Nya.

2. “Aku menyebut kamu sahabat.” (Yohanes 15:14)

Yesus kembali melanjutkan kalimat-Nya dengan berkata kepada para murid: “Aku menyebut kamu sahabat.” Kasih persahabatan yang murni itu seperti Yesus yang mati bagi sahabat-Nya, yaitu manusia-manusia berdosa yang percaya kepada-Nya. Dengan kalimat yang sama Tuhan ingin katakan kepada kita semua, pengikut setia-Nya, bahwa kita juga adalah sahabat-sahabat-Nya.

Bayangkan sejenak, Allah yang Mahakuasa, merendahkan diri-Nya, mengambil rupa manusia, lalu mati secara hina untuk menebus dosa sahabat-Nya. Sangat mengharukan bukan?! Dan teruntuk sahabat-sahabat-Nya, Yesus juga mengajak kita untuk memiliki kasih yang sama untuk sesama kita.

3. “Aku menyebut kamu sahabat jikalau kamu perbuat apa yang Aku perintahkan.” (Yohanes 15:14)

Ini merupakan tantangan dari Tuhan jika kita mengaku sebagai pengikut-Nya, alias sahabat-Nya, yaitu menjalankan perintah-Nya: mengasihi sesama kita. Perlu diingat bahwa bukan ketaatan kitalah yang menjadikan status kita sebagai sahabat-Nya; melainkan sebaliknya, ketaatan itu kita dapat lakukan oleh karena status kita sebagai sahabat-Nya.

Status sahabat seharusnya memampukan kita membuahkan kasih yang walaupun tak sempurna, namun meneladani kasih Kristus. Ini bukanlah kasih yang dilakukan secara paksa karena sekadar tuntutan taat pada perintah Tuhan.

4. “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yohanes 15:15)

Di kitab Perjanjian Lama, tidak banyak tokoh yang Allah sebut sebagai kawan-Nya—hanya Abraham (2 Taw. 20:7) dan Musa (Kel. 33:11). Hubungan antara Allah dan umat Israel banyak digambarkan sebagai relasi tuan dan hamba (Im. 25:55). Akan tetapi, relasi tuan-hamba itu berubah menjadi relasi persahabatan saat Yesus datang ke dunia. Kehadiran Tuhan Yesus di tengah-tengah manusia menjembatani relasi persahabatan antara orang percaya dan Allah Bapa. Lalu, apa bedanya relasi tuan-hamba dengan relasi persahabatan? Ada satu poin penting yang Tuhan tekankan dalam kalimat-Nya, yang membedakan relasi tuan-hamba dengan relasi persahabatan:

Keterbukaan.

Seorang hamba tidak tahu akan tujuan dari tuannya memberikan perintah tersebut. Akan tetapi, seorang hamba akan tetap melakukan pekerjaannya meskipun dia tidak mengerti apa maksud dari sang tuan. Sekarang, dengan status pengikut-Nya yang tidak lagi disebut seorang hamba, melainkan sahabat, Allah Bapa “memberitahukan segala sesuatu” melalui perantara Yesus Kristus. Dalam arti lain, adanya keterbukaan sang Bapa kepada orang percaya karena mereka sudah dianggap sebagai sahabat-Nya.

Maka, kembali lagi kepada poin sebelumnya mengenai kasih yang seperti kasih Kristus dan bukan hanya sekadar taat, hal ini dapat kita lakukan karena adanya keterbukaan dari persahabatan kita dengan Tuhan. Aspek keterbukaan dalam persahabatan inilah yang seharusnya membuat kita mengenal isi hati-Nya. Karena sebagai sahabat Allah Bapa, kita semua telah dibukakan akan makna dan tujuan dari perintah-Nya melalui Yesus Kristus, serta memampukan kita untuk mengasihi seperti kasih Kristus dan bukan tanpa pengertian seperti seorang hamba.

Dengan kehadiran Yesus Kristuslah kita mengenal kasih terbesar dalam sebuah persahabatan. Sebagai sahabat Kristus, Dia menginginkan agar kita mengasihi sesama kita dengan kasih yang telah kita terima dari Kristus. Memang tidak akan sesempurna kasih Kristus yang tulus dan murni tanpa cela, tapi bukan berarti kita tidak mencoba menargetkan diri kita pada kasih yang sempurna itu.

5. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.”(Yohanes 15:16a)

Pertemanan merupakan salah satu anugerah terindah dari Tuhan. C.S. Lewis menjelaskan di dalam bukunya yang berjudul The Four Loves bahwa sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa tidak ada pertemanan yang terjadi secara kebetulan. Semuanya terjadi atas kehendak serta rencana Tuhan.

Setelah menjelaskan arti dari sebuah persahabatan kepada dua belas murid-Nya, Tuhan Yesus berkata, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu (Yoh. 15:16).” Sesungguhnya dapat diaplikasikan kepada setiap komunitas pertemanan orang Kristen, bahwa: bukan kamu yang memilih sesamamu, tetapi Akulah yang memilih kamu demi kebersamaan kalian.

C.S Lewis mengingatkan orang percaya bahwa pertemanan terbentuk bukan karena keahlian kita dalam memilih dan memfilter orang-orang yang terbaik untuk diri kita; melainkan, pertemanan merupakan sebuah instrumen bagi Tuhan untuk menunjukkan kepada kita keindahan orang-orang di sekitar kita. 

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tak Selalu Bersama

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

Aku berjalan perlahan menyusuri lorong gereja. Di kiri kanan, tamu-tamu berdiri di depan bangkunya menyambut sang pengantin. Aku tersenyum tipis, menggenggam lengan wanita di sebelah kiriku. Lantai gereja yang dilapisi karpet putih, dan dekorasi bunga-bunga di sekitar membuat suasana semakin hangat. Wajah-wajah tamu tidak semuanya kukenal. Kuamat-amati gerakan fotografer yang berusaha mengikuti langkah kami. Di ujung lorong telah berdiri seorang lelaki dengan setelan putihnya, menunggu dengan mata berkaca-kaca, didampingi seorang pendeta dengan jubah hitamnya, tersenyum tenang.

Bukan, bukan aku yang menikah. Aku—dan seorang sahabatku hanya mengantarkan sahabat kami menuju altar untuk menerima pemberkatan pernikahannya.

Sepanjang proses pemberkatan yang berlangsung hangat dan khidmat itu, aku sibuk mengingat perjalanan persahabatan kami selama hampir 10 tahun ini. Sambil sesekali menyeka mataku yang berair.

Apakah kamu punya seseorang yang jika sesuatu terjadi, dia salah satu orang yang akan langsung kamu hubungi? Apakah kamu punya seseorang yang kamu tahu akan dengan tulus berdoa untukmu, bahkan tanpa kamu minta? Aku punya. Bukan hanya seorang, tapi ada dua. Dialah yang hari ini akan menerima pemberkatan itu, dan satu orang lagi sedang duduk di sebelahku, fokus memperhatikan acara sambil sesekali menyeka pipinya juga. Sepertinya kami merasakan haru yang sama.

Kami bertemu ketika masa-masa kuliah kami dipadati kegiatan organisasi dan jadwal harian. Namun, di tengah sibuknya aktivitas, kami tetap sadar untuk ikut bergabung dalam komunitas pemuridan rohani. Di sinilah kami bertemu dan menjadi akrab.  Sebenarnya, pertemanan kami bukan tipe yang selalu bersama kemana-mana, karena meskipun kami ada dalam satu komunitas rohani yang sama, tapi kami dipecah ke dalam kelompok pemuridan yang berbeda. Namun, entah bagaimana kami mulai sering bertemu dan mengerjakan misi bersama—ikut kelas bible study, pergi ke seminar kebangunan rohani, bahkan menyepakati proyek-proyek ketaatan bersama.

Masa perkuliahan kami dipenuhi dengan deadline tugas, target lulus tepat waktu, tapi juga kegiatan-kegiatan yang kami pilih untuk membantu iman kami bertumbuh.

“Bapak tadi malam nelpon, katanya hasil panen kali ini nggak cukup bagus. Bapak nggak bilang apa-apa sih, tapi aku kayaknya harus ekstra berhemat deh,” kata Sisca pada kami di suatu pagi. Akhirnya jadilah kami ganti-gantian membawa bekal untuk sharing bertiga.

Di kali lain, saat mamaku menjalani operasi di rumah sakit kota tempat kami berkuliah, mereka datang bergantian membawakan keperluan kami.

Kami benar-benar terasa seperti saudara.

Setelah lulus, kami mencoba membangun karier kami masing-masing. Sisca yang pertama kali diterima kerja, lalu aku, kemudian Ira yang akhirnya ditempatkan di luar kota. Meski begitu, kami tidak pernah merasa saling jauh. Kami tidak selalu berkomunikasi setiap hari, tapi kami tahu kalau kami masih tetap saling mendoakan. Kami sesekali masih PA bersama, meski sering putus nyambung dengan Ira karena sinyal di tempatnya tidak selalu stabil, yang sering kami jadikan bahan candaan. Tapi tampaknya dia sangat menikmati pekerjaan dan pelayanannya meski di daerah pedalaman. Dia selalu tampak bersemangat setiap menceritakannya.

“Girls, I wanna say something!” 

Itu isi pesan Sisca di grup obrolan kami di suatu sore, 10 bulan lalu.

Kami akhirnya mengetahui kalau dia dan pasangannya memutuskan menikah tahun ini. Aku dan Ira kehebohan sendiri mengetahui kabar itu saking senangnya kami berdua. Dulu, hampir setiap orang selalu bertanya pada Sisca tentang kenapa dia belum juga menjalin hubungan dengan siapa pun.

Aku sedang mencari dan akan menemukan seseorang yang bersamanya aku akan menghabiskan waktu untuk melayani Tuhan,” jawabnya mantap.

Kata-kata itu terdengar klise dan seperti terlalu rohani, apalagi sejak kuliah dulu kami tahu banyak yang tertarik padanya. Namun, dia meyakini hal itu dan tidak mau menurunkan standarnya. Dia selalu cerita dan meminta pendapat kami tentang orang-orang itu untuk kemudian kami doakan bersama.

Suatu malam saat kami pulang dari ibadah persekutuan alumni—saat itu Ira masih belum ke luar kota, kami menyantap nasi goreng yang dijual tidak jauh dari kosanku.

“Apa arti sahabat menurut kalian?” tanya Ira tiba-tiba.

Aku berpikir sejenak, sementara Sisca asik meniup-niup nasi gorengnya.

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran,” kataku mengutip ayat dari kitab Amsal.

Ira melotot protes, “Itu menurut Amsal, kan aku tanya menurut kalian.”

Aku tertawa kecil. “Ya aku sependapat sama ayat itu,” jawabku tanpa merasa bersalah.

“Bagiku, sahabat itu seseorang yang langsung aku pikirkan saat aku butuh dukungan. Seseorang yang menegurku kalau aku mulai menyimpang, mendukung aku untuk bangkit, mengajakku bertumbuh bersama, dan mendoakanku bahkan tanpa aku minta,” sahut Sisca pelan namun pasti. Dia memang biasanya yang paling bijak diantara kami.

Aku dan Ira mengangguk-angguk.

“Setuju. Sahabat itu kayaknya tidak harus selalu bersama kemana-mana, mungkin juga tidak selalu berkomunikasi setiap waktu, tapi sahabat sejati tidak akan pernah meninggalkan. Kapanpun kita kembali berkomunikasi, kita akan tetap terhubung, ” kata Ira kemudian.

“Sahabat sejati kita memang hanya Yesus, tapi aku bersyukur diberikan sahabat yang menjadi saudara seperti kalian. Janji ya, kita akan saling terhubung dan terus melayani dimanapun kita berada.” Kami mengangguk bersamaan.

Dan di sinilah kami, menyaksikan momen haru sahabat kami menerima pemberkatan pernikahannya. For your information, lelaki yang berdiri di sampingnya itu adalah senior kami waktu kuliah dulu, dia yang mengajak kami untuk ikut pembinaan rohani dan beberapa kali memimpin studi Alkitab yang kami ikuti dan sering menjadi tim pemusik bersama Sisca dulu. Aku dan Ira saling melihat, tersenyum, mungkin kami sama-sama sedang mengingat kenangan yang sama.

Satu-satunya sahabat sejati memang hanya Yesus, tapi Dia memberikan sahabat di sisi kita sebagai saudara dalam kesukaran, dan berbagi kasih setiap waktu.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

5 bentuk persahabatan yang Tuhan inginkan dalam hidup kita

Sahabat dekat bukanlah tentang seseorang yang wajib bertemu kita setiap waktu atau yang komunikasinya non-stop 24 jam. Sahabat ialah orang yang tetap bersedia menjaga hubungan baik dan saling menghargai 🤗 

Alangkah indahnya jika kita memiliki hubungan persahabatan seperti beberapa hal berikut 😍

***

Artspace ini terinspirasi dari artikel yang ditulis oleh Nikita Theresia Afdan. Baca artikelnya di: 5 Bentuk Persahabatan yang Tuhan Inginkan dalam Hidup Kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Menyelami Esensi dari Persahabatan

Oleh Triska Zagoto, Jakarta

Bagaimana sebuah pertemanan dimulai?

Jika mengingat masa kecil, rasanya tidak sulit untuk menemukan atau menjadi seorang teman. Dengan dua alasan sederhana: jarak rumah dekat dan kesamaan usia, pertemanan pun terjalin dan semakin akrab tanpa dipusingkan oleh konsep dan aturan dalam berelasi—saling berbagi kesenangan, cerita, dan luwes melakukan apa saja, bahkan hal-hal remeh sekalipun. Dalam pertemanan seperti itu ada perasaan nyaman dan kita pun menikmatinya.

Namun, saat kita semakin dewasa, kita semakin sadar akan kebutuhan-kebutuhan kita, tapi di sisi lain waktu kita terbatas. Alhasil, pertemanan pun jadi tak sesederhana dulu. Kita mulai memilah dan memilih siapa yang bisa jadi teman dan dengan siapa kita mau berteman. Nah, bila pertemanan itu langgeng melewati tahapan ini, maka itu adalah salah satu anugerah Tuhan yang patut kita syukuri. Sahabat adalah salah satu bentuk kehadiran Allah dalam hidup kita.

Persahabatan adalah rancangan Allah

Persahabatan adalah salah satu topik penting yang turut dibahas di Alkitab. Akarnya bisa kita telaah dari kitab pertama. Setelah Allah menciptakan Adam—walaupun Alkitab tidak memberi kita informasi rentang waktunya—TUHAN Allah berfirman: ”Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” (Kejadian 2:18a). Artinya kebutuhan kita akan relasi itu tidak lahir dari ide dan kesadaran kita sendiri, tetapi sebuah ide dan rancangan indah yang berasal dari Allah—keinginan Allah.

Allah menciptakan kita dengan kebutuhan akan persekutuan atau komunitas, keinginan untuk saling terhubung. Bila kita lihat kembali peristiwa di Taman Eden, keindahan di sana bukan karena tanahnya baik sehingga akan menghasilkan semua yang dibutuhkan manusia untuk kelangsungan hidupnya secara sandang, pangan, dan papan. Keindahan yang paling utama di sana adalah hubungan Allah dengan manusia yang amat dekat, relasi yang terjalin antara Pencipta dan ciptaan yang segambar dan serupa dengan-Nya. Allah tahu bahwa manusia tidak bisa menikmati hidupnya seorang diri, maka atas inistiatif-Nya, Ia menghadirkan orang lain untuk menyadarkan kita bahwa kita dapat menikmati-Nya melalui orang-orang di sekitar kita.

Namun, semua berubah sejak dosa hadir. Apa yang dapat kita harapkan ketika dua atau lebih orang-orang berdosa menjalin sebuah persahabatan?

Kejatuhan manusia dalam dosa telah merusak relasi, baik dari segi pemahaman maupun tindakan kita. Maka, tak jarang relasi persahabatan dipenuhi tuntutan-tuntutan yang tidak sehat: kebutuhan untuk selalu dimengerti, kebutuhan untuk didahulukan, kebutuhan untuk dituruti, dan lain sebagainya. Sebuah relasi menjadi kering ketika orientasinya mengarah pada kepentingan diri sendiri. Pemahaman kita akan “kebutuhan” menjadi landasan untuk mendefenisikan mengenai keberadaan diri kita.

Dalam bukunya, Edward Welch membahas kebutuhan psikologis cukup panjang setelah bahasan tentang kebutuhan biologis dan spiritual. Dia menguraikan bahwa menurut pemikiran populer, kebutuhan psikologis harus dipenuhi agar kita dapat mencapai prestasi, kebahagiaan, stabilitas psikologis, dan harga diri. Atau dalam bahasa yang tidak terlalu teknis, kebutuhan psikologis kita harus dipenuhi agar kita dapat nyaman dengan diri kita. Kita tahu bahwa kita diciptakan dalam jalinan relasi dengan sesama manusia untuk saling mengasihi, saling membangun, dan saling menghibur, tetapi benarkah maksud dari keberadaan relasi tersebut untuk membangun harga diri kita? Mungkinkah berbagai keinginan psikologis itu timbul ketika kita menolak untuk mengasihi Allah dan menerima kasih-Nya?

Berkali-kali di dalam Alkitab, panggilan kita adalah mengasihi, bukan menuntut dikasihi. Bukan berarti kita menolak ketika dikasihi. Poin pentingnya seberapa banyak dan apa tujuan kita menginginkah kasih. Apakah keinginan kita itu sedemikian besarnya sehingga mengaburkan kerinduan kita untuk menjadi serupa dengan Allah? Apakah kita menginginkannya semata untuk kenyamanan diri atau untuk kemuliaan Allah?

Dalam relasi persahabatan, orang lain dapat menjadi berhala favorit kita. Kita memberhalakan mereka ketika kita menganggap mereka berkuasa memberikan sesuatu kepada kita, menentukan apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, dan bagaimana seharusnya kita bertindak. Ketika kita mencari pemenuhan kebutuhan, keinginan, dan obsesi kita dari orang lain, justru kita akan gagal melihat kebesaran Allah. Maka, persahabatan pun memerlukan pemulihan dan anugerah. Dalam sebuah peristiwa di kitab Yohanes 15:13, Tuhan Yesus menyampaikan bahwa, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Tuhan Yesus telah memberikan nyawa-Nya sebagai bukti kasih-Nya kepada kita. Hubungan kita dengan Allah telah dipulihkan dan kita beroleh pengampunan serta penebusan. Maka, pengalaman akan kasih karunia Allah yang besar inilah yang menjadi dasar kita ketika kita masuk dalam irama kehidupan orang lain: kita harus mengasihi mereka, lebih daripada membutuhkan mereka.

Persahabatan Membutuhkan Pertumbuhan

“Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu.” (1 Petrus 1:22). 

Relasi yang tidak diuji dengan berbagai benturan dan gesekan tidak akan mengalami pertumbuhan. Kasih Alkitabiah takkan pernah terpuaskan jika ia tidak bertumbuh. Di dunia yang meremehkan keberadaan Tuhan, kita memerlukan seorang teman yang menolong kita untuk mengarahkan pandangan kita kepada Kristus.

Tentang persahabatan, Charles Ringma dalam sebuah bukunya, mengutip kalimat Henri Nouwen, seorang teolog dan psikolog, “Saya sadar, saya butuh berkontak secara teratur dengan seorang teman yang membuat saya terus dekat dengan Yesus dan yang terus mengingatkan saya untuk setia”. Barangkali, di dalam persahabatan di usia dewasa ini ketika pertemuan tidak cukup mudah untuk dilakukan, kita bisa menemukan cara-cara baru untuk memelihara relasi satu dengan yang lain. Di zaman di mana kita mudah terkoneksi, sejauh apa pun jarak, kita perlu mengatur dan memberi waktu untuk tetap terhubung. Ketika kita saling membagikan pengalaman bagaimana Tuhan bekerja atas hidup kita masing-masing, membagikan berkat dari Firman Tuhan yang didengar, keberanian untuk  menceritakan pergumulan, serta sesederhana “tolong doakan aku” atau saat-saat di mana kita perlu menegur, adalah upaya-upaya kecil yang perlu kita tekuni untuk menghargai dan mensyukuri kebaikan Tuhan melalui kehadiran mereka.

Persahabatan pun adalah panggilan untuk kita memuliakan Allah. Maka, panggilan itu membutuhkan pertumbuhan dalam pengudusan dan ketaatan kepada Allah. Dalam doa-Nya di Yohanes 17, Tuhan Yesus berseru, “Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita.”, memanggil kita untuk menjadi satu dengan sesama kita sebagai komunitas di mana kita beroleh berkat sejati. “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.” (Amsal 27:17).

Jika saat ini relasi persahabatanmu sedang tidak baik-baik saja, atau bahkan mungkin ada keengganan untuk merangkai kembali setelah berbagai pengalaman pahit dan menyakitkan, serta meninggalkan luka dan duka, kita masih memiliki Satu Kawan yang sejati, yaitu Yesus Kristus yang bahkan menyebut kita sebagai sahabat-Nya (Yohanes 15:15).

Adakah hatimu sarat, jiwa-ragamu lelah?
Yesuslah Penolong kita; naikkan doa pada-Nya!
Biar kawan lain menghilang, Yesus Kawan yang baka.
Ia mau menghibur kita atas doa pada-Nya.

Kiranya Tuhan memampukan kita menikmati relasi persahabatan, dalam kasih dan kebenaran. Soli Deo Gloria.

***

Referensi:

Welch, Edward. (2003).  Ketika Manusia Dianggap Besar dan Allah Dianggap Kecil: Mengatasi Tekanan Kelompok, Saling Ketergantungan, dan Takut akan Manusia.  Surabaya: Momentum Christian Literature.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

5 Bentuk Persahabatan yang Tuhan Inginkan dalam Hidup Kita

Oleh Nikita Theresia Afdan, Depok

Pernahkah kamu merasa cemburu melihat temanmu lebih dekat dengan orang lain? Atau, pernahkah kamu merasa ditinggal ketika kamu tahu teman-temanmu diam-diam membuat grup obrolan tanpa kamu di dalamnya?

Kalau kamu pernah mengalami itu, aku juga pernah. Selama dua tahun terakhir, setelah lulus kuliah aku masuk ke dalam dunia pekerjaan. Sejak SD sampai kuliah aku tidak memiliki sahabat yang sangat dekat. Setiap kali merasa akrab dengan temanku, aku cenderung posesif dan takut kehilangan. Terkadang hal ini dianggap aneh oleh teman-temanku sehingga hubungan pertemanan kami tidak awet. Kusadari memang persahabatan tidak lahir secara instan. Dalam proses menuju persahabatan yang dewasa pasti ada konflik-konflik yang mewarnainya.

Sampai saat ini aku terus belajar untuk mencintai diriku sendiri dan membangun hubungan persahabatan yang baik. Salah satunya, aku belajar dari podcast WarungSaTeKaMu bersama Erika Sinaga yang berjudul “Dear Temanku, Gapapa Kok Kamu Gak Selalu Ada”. Kak Erika menegaskan bahwa pada dasarnya kita harus menyadari bahwa semuanya memiliki masanya masing-masing. Mungkin hari ini kita lagi seru-seruan bareng teman-teman, atau mungkin lagi ngambek-ngambekan. Itu semua wajar sebagai manusia. Namun, yang terpenting yang harus kita pahami sebelum menjalin persahabatan adalah kita harus mengenal diri kita sendiri lebih dulu. Firman Tuhan mengatakan dalam Matius 22:39, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Pelan-pelan aku mulai memahami bahwa seorang sahabat dekat bukanlah seseorang yang wajib bertemu kita setiap waktu atau yang harus komunikasinya non-stop 24 jam. Sahabat ialah orang yang terpisah dalam kesibukan, tapi tetap bersedia menjaga hubungan baik dan saling menghargai. Aku juga belajar bagaimana pandangan Alkitab tentang persahabatan dan lewat tulisan ini aku ingin berbagi 5 bentuk persahabatan yang Tuhan inginkan dalam hidup kita.

1. Sahabat yang hadir dalam waktu yang tepat 

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” (Amsal 17:7).

Seringkali di saat kita terpuruk, sahabat menjadi orang terdekat kita yang bisa kita ajak bercerita. Dia rela memberikan waktunya untuk kita, bahkan melebihi saudara kita sendiri.

Sahabat seperti ini tidak setiap waktu ada buatmu, namun di saat kamu membutuhkan teman untuk cerita, dia mau memberikan waktunya buatmu.

2. Sahabat yang menegur dengan kasih

“Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.” (Amsal 27:5-6).

Seorang sahabat tidak ingin kamu terpuruk atau jatuh ke dalam jurang keburukan. Ada kalanya dia tidak cuma memberikan dorongan semangat buatmu, tapi juga menegurmu bila kamu melakukan kesalahan, atau ada yang salah darimu.

Meski menerima teguran kadang tidak mengenakkan, tetapi dari mereka yang bersedia menyampaikan teguran inilah kita bisa mengenal diri kita sesungguhnya. Jadi, bila kita dikaruniai sahabat seperti ini, jangan cepat tersinggung ya.

3. Sahabat yang bisa lebih dekat daripada saudara sendiri

“Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib daripada seorang saudara.” (Amsal 18:24).

Kalau kita mengenal dan belajar dari kisah persahabatan Daud dan Yonatan, kita melihat bagaimana Yonatan sangat mengasihi Daud (1 Samuel 20:41), bahkan mereka mengikat janji untuk setia kepada satu sama lain (ayat 8-17; 42). Ketika Saul, ayah Yonatan, berniat untuk menghabisi nyawa Daud, Yonatan ikut melindunginya bahkan kelak mengorbankan haknya sebagai pewaris takhta agar Daud dapat memerintah sebagai raja (20:30-31).

Yonatan dan Daud bukanlah saudara sedarah. Mereka sejatinya orang asing bagi satu sama lain, tetapi diikat oleh satu relasi bernama persahabatan. Dalam masa-masa senang maupun kelam, ada kalanya Tuhan memakai mereka yang bukan saudara untuk ikut hadir dalam cerita hidup kita. Mereka bisa hadir di saat hidup sedang terpuruk, saat kita sengsara membutuhkan uang atau saat kita sakit.

4. Sahabat turut membentuk kebiasaan yang baik

“Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.” (Amsal 13:20).

Ada ucapan yang pernah kudengar begini bunyinya: orang yang paling dekat denganmu ikut mempengaruhi pola pikirmu. Persahabatan tak cuma berbagi cerita, tetapi juga berbagi kebiasaan. Bila kita menjadi atau memilih sahabat-sahabat yang gemar bergosip dan melakukan keburukan, maka tidak menutup kemungkinan kita akan ikut melakukannya juga.

Persahabatan yang baik akan menolong kita untuk membangun kebiasaan-kebiasaan positif yang bisa diwujudkan dalam berbagai hal, semisal berolahraga, beribadah bersama, atau sesederhana saling mendoakan.

5. Tuhan adalah sahabat yang sejati

“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang  yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yohanes 15:13).

Selain kisah persahabatan antara Daud dan Yonatan, gagasan tentang persahabatan disebutkan berulang kali dalam Alkitab. Kitab Amsal mengatakan sahabat menaruh kasih setiap waktu (17:17), tetapi juga memperingatkan bahwa persahabatan bisa jadi tidak tulus bila didasari kekayaan atau pemberian (14:20; 19:4-6), serta menasihati kita berhati-hati untuk tidak berteman dengan orang bebal dan menjadi malang (13:20).

Dalam Yohanes 15, Tuhan Yesus juga berbicara mengenai persahabatan. Ketika Dia berkata tak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya, Yesus membuktikan ucapannya itu beberapa hari dan jam kemudian, ketika akhirnya Dia menerima hukuman mati di atas kayu salib. 

***

Menjalani persahabatan pasti ada lika-likunya, tapi aku telah belajar bahwa ketulusan hati dalam bersahabat adalah bukti bahwa aku telah mematikan perasaan-perasaan burukku sehingga aku bisa ikut berbahagia dalam keberhasilan sahabat-sahabatku.

Kelima bagian yang kutuliskan di atas menunjukkan bahwa dasar dari persahabatan adalah kasih kita akan sesama. Ketika kita mengasihi sahabat kita, tentunya kita dapat hadir dalam waktu yang tepat, menegur, membantu, dan memiliki ketulusan hati melihat sahabat itu berbahagia. Aku juga terus belajar untuk bisa menjadi seorang sahabat yang baik dengan memulai bersahabat dengan diriku sendiri.

Untuk sahabatku, terima kasih sudah membuat hari-hariku selama ini dipenuhi dengan canda tawa, kelak ketika kita bertemu lagi, dan mungkin tidak bisa seperti dulu lagi. Namun, kita telah sama-sama belajar dan melihat kasih Tuhan di hidup kita.

Tuhan memberkatimu dan juga aku. Selamat bertumbuh untuk teman-teman semua.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mamaku, Sahabatku dan Pendukung Pelayananku

Oleh Bintang Lony Vera Victory, Kepulauan Aru

“Mama nggak ngerti sama cara pikirmu, Kak,” kata mamaku dengan heran ketika aku mengutarakan niatku untuk pergi mengajar ke wilayah terpencil di timur Indonesia. “Orang lain ingin kerja di kota dan tinggal dekat dengan keluarga, tapi kakak malah sebaliknya.”

Kalimat itu terdengar seperti sebuah penolakan mama atas mimpi dan panggilanku, tetapi aku mengambil makna lain. Aku rasa itu karena mama hanya tidak ingin kami jauh terpisah. Kami telah bersama sejak aku masih ada dalam kandungannya. Jadi, wajar saja jika dia meresponsku seperti itu.

Beberapa pekan setelah obrolan itu, mama mendapatkan surat tugas yang memerintahkannya untuk mengadakan pelatihan ke suatu daerah di timur Indonesia. Pelatihannya dilakukan spesifik di rumah sakit pedalaman. Sepulang dari sana, mama bercerita begini, “Kasihan sekali mereka, harus naik speedboat dari pulau seberang untuk bisa ikut pelatihan ini. Mereka butuh waktu berjam-jam untuk menyeberang, tapi mereka semangat sekali.” Mama mengakui bahwa di wilayah terpencil, apa-apa serba terbatas. Namun, dia mengalami sendiri bahwa di tengah keterbatasan itu dia disambut ramah dan dijamu. Dari pengalamannya, mama yang tadinya terang-terangan menunjukkan keberatan untukku mengajar di pedalaman, kini jadi orang yang paling mendukungku. Penugasan mama rupanya jadi cara Tuhan membuka hatinya agar kami menangkap kerinduan yang sama. Sungguh, Allah bekerja secara aktif dan kreatif!

***

Kerinduan mengajar di Indonesia bagian timur telah ada sejak aku lulus kuliah sarjana dan tetap berkobar sampai aku kembali lanjut studi tingkat magister. Di salah satu kelasku, aku ingat betul dosenku berkata, “Saya pikir kita tidak kekurangan biaya untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas. Yang kurang adalah sumber daya manusianya. Apakah ada yang secara sadar dengan kerelaan hati mau pergi ke pelosok-pelosok desa karena pendidikan berkualitas harus merata dari Sabang sampai Merauke?”

Kalimat itu disampaikan dengan tenang, tapi entah mengapa rasanya seperti menyerbu setiap ruang hati dan pikiran, menyeruak masuk menempati sampai ke sudut-sudutnya. Bagaikan pemantik nyala api, kalimat itu mengobarkan semangat, membuatku ingin sekali segera menyelesaikan studi dan pergi ke timur Indonesia. Kalimat itu masih dapat kubaca saat ini jika aku membuka kembali buku catatan kuliah dulu. Sejak hari itu, pelan-pelan aku berdoa menyampaikan pada Tuhan keinginanku untuk mengajar di timur Indonesia. Seperti benih bunga yang ditabur di atas tanah subur, keinginan itu bertumbuh dan bermekaran menjadi kerinduan.

Tuhan menjawab doaku. Sejak awal tahun 2022, aku memperoleh kesempatan untuk menjadi tenaga pengajar di sebuah kampus yang ada di Kepulauan Aru, Maluku. Kampus ini terletak di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Terdepan dan terluar karena berbatasan tepat dengan negara lain. Sebagian mahasiswa menggunakan alat transportasi laut untuk pulang dan pergi ke kampus seperti kapal kecil dari kayu dengan tenaga mesin. Tidak jarang mereka menahan lapar dan dingin udara di tengah laut.

Tidak selalu mudah menjalani hari-hari di sini. Keterbatasan listrik dan air bersih kadang membuat kegiatan pembelajaran tidak optimal. Namun, aku merasakan penyertaan dan pertolongan Tuhan melalui mahasiswa, masyarakat sekitar, rekan-rekan sesama tenaga pengajar, juga Mama. Mama memang berada di tempat yang jauh, tetapi jarak jauh malah membuat kami semakin dekat. Melalui anugerah Tuhan, Mama menjadi sahabatku dalam menjalani tugas dan pelayanan di sini. Aku berkirim kabar mengenai kegiatan yang telah dan ingin dilakukan, mama meresponsnya dengan doa dan restu. Terdengar sederhana namun sangat berarti. Tidak setiap hari kami dapat berkomunikasi, tetapi aku merasakan betul bagaimana mama memeluk diriku dalam doa. Mama yang terlihat paling tidak sepaham denganku dulu, kini Tuhan memakainya untuk menolongku dan mendukungku.

Tidak pernah aku berpikir Tuhan akan membawaku sejauh ini. Kiranya hidupku dapat memuji dan memuliakan nama-Nya, seperti pada Mazmur 139:13-14, biarlah aku dapat menyatakan perbuatan-Nya yang ajaib:

“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.”

Do’s and Don’ts ketika temanmu lagi bergumul hebat

Menjadi seorang teman buat temanmu yang lagi mengalami masa sulit bukanlah hal mudah. Peduli, tapi bingung harus ngapain… Kalau bertindak, takut salah. Karena apa yang kita ucapkan atau lakukan bisa berdampak besar buat mereka.

Namun, Amsal 17:17 bilang, “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”

Ayat ini mau bilang kalau standar atau dasar dari hubungan persahabatan adalah kasih. Jadi, terlepas dari rasa takut atau ragumu untuk menolong temanmu yang kesulitan, kamu tetap harus mengasihi mereka. Kasih itu bisa diwujudkan dengan banyak hal: memberi telinga untuk mendengar, menawarkan pertolongan, atau bahkan memberi temanmu ruang untuk sendiri lebih dulu.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu