Posts

Mengapa kita hanya mengakui dosa-dosa kita pada Tuhan, tapi tidak pada sesama?

Jujur dengan kekurangan kita di hadapan orang lain mungkin sulit dan terasa memalukan, apalagi jika mengakui dosa!

Namun, kita butuh pertolongan orang lain untuk menguatkan kita. Firman Tuhan pun mengajak kita untuk saling mengaku dosa dan mendoakan agar kita sembuh (Yakobus 5:16). 🤗

Jika di antara kita ada yang sedang bergumul akan dosa, mintalah pertolongan Roh Kudus agar Dia menuntunmu bertemu dengan orang-orang yang mau mengasihimu dan mendukungmu untuk bertumbuh serupa dengan Kristus.

God bless you ❤️

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today.

Kamu diberkati oleh konten ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tolong! Aku Selalu Saja Merasa Bersalah kepada Tuhan!

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris: Have I Taken God for Granted?

Aku kembali duduk di ruang persidangan.

Tapi, ini bukanlah ruang sidang di mana sang hakim duduk muka. Ini adalah gambaran kondisi batinku ketika pikiran dan perasaanku saling bertentangan, juga antara iman dan tindakanku. Di sinilah aku menghadapi berbagai tuduhan dan kadang kucoba membela diriku sendiri. Inilah pengadilan yang sering kudatangi.

Aku tiba kembali di sini karena baru saja kubaca artikel-artikel yang meperingatkanku untuk tidak meremehkan Tuhan. Salah satu dari artikel itu dipenuhi dengan peringatan keras:

“Jangan anggap remeh Tuhan.”

“Jangan berpikir kalau kamu bisa berdosa sesuka hati hanya karena keselamatanmu terjamin.”

“Jangan menguji kesabaran Allah.”

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Aku tahu peringatan itu ditujukan untukku. Aku tidak menyukainya karena peringatan itu pasti membuatku merasa bersalah dan yang kulakukan selanjutnya adalah membela diri:

“Hmm… keselamatan itu kan anugerah, bukan didapat dari upayaku buat hidup kudus?”

“Bukankah Allah penuh belas kasih jika aku bertobat dengan tulus?”

“Bukankah aku harus mempertahankan keselamatan? Jika tidak, lalu apa artinya kasih karunia?”

Dan di situlah proses pengadilan dimulai.

Bersalah! Aku menganggap remeh Tuhan…

Pertama, tuduhannya:

Kamu meremehkan Tuhan. Kamu terus berbuat dosa, dosa, dan dosa. Pikirmu, terus-menerus berbuat dosa tidak mengapa karena kamu dapat diampuni ketika meminta pengampunan. Kamu berpikir bahwa keselamatan adalah milikmu, jadi kamu pun  tidak berusaha lebih keras untuk menjalani kehidupan yang kudus. Kamu berpikir dapat dengan mudah bersandar pada belas kasih dan anugerah Allah, dan bebas dari dosa. Bagaimana dengan tanggung jawabmu untuk melawan godaan dan dosa? Bukankah kamu sedang menguji kesabaran Allah? Bukankah kamu sedang merendahkan kasih karunia?

Aku mengangguk, penuh penyesalan. “Bersalah! Aku tahu aku bersalah!”

Aku akan jujur dan mengakui: Kadang-kadang (bahkan lebih sering), aku berpikir bahwa aku bisa lolos dari dosa karena Tuhan akan mengampuniku. Aku menerima belas kasihan-Nya begitu saja. Aku mengutip perintah Yesus kepada murid-murid-Nya untuk mengampuni sebanyak 490 kali, dan mengutip deskripsi Alkitab tentang belas kasih Allah yang tak berkesudahan. Maka, di dalam benakku, aku memaafkan perilakuku dan melanjutkan dosa dengan berpikir, “Aku akan bertobat dengan tulus nanti, dan semuanya akan baik-baik saja.”

Aku juga bersalah karena tidak berusaha keras untuk menjadi kudus, dan menjalani hidup baru yang telah Yesus berikan kepadaku melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Itu karena aku berpegang pada pemikiran bahwa aku tidak boleh mengubah diriku dengan kekuatanku sendiri. Toh, bukankah Tuhan sendiri yang akan mengubahku? Jadi, kulanjutkan  apa yang biasanya kulakukan. Tentu saja, aku mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari dosa-dosa yang kuanggap “lebih buruk”. Tapi, di lubuk hati terdalam, kuakui kalau kuserahkan saja dosa-dosa yang kuanggap kecil untuk Tuhan bereskan sendiri. Ini juga membuatku merasa bersalah. Aku lupa kalau perjalananku dengan Tuhan bukan cuma bicara soal iman, tapi juga tentang disiplin.

Alhasil, aku cenderung lupa bahwa hal-hal lain di hidupku, seperti relasiku dengan Tuhan, kebebasan untuk selalu dapat menghampiri-Nya, dan keselamatanku adalah hak istimewa. Oh ya, aku sangat sadar bahwa aku tidak pantas mendapatkannya.Tuhan telah memberikannya kepadaku karena kasih karunia-Nya. Namun, seperti yang aku lakukan dengan karunia lainnya, aku menganggap semua itu sudah mutlak jadi milikku, jadi aku bisa bebas memperlakukan pemberian-Nya itu sesuka hati. Aku lupa, semua yang kuterima adalah keistimewaan yang harganya tidak murah—dibayar dengan nyawa Yesus, Anak Allah! Aku gagal menghargai karunia itu dan memanfaatkannya sebaik mungkin.

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 7:21).

Tidak Bersalah! Sungguh, aku melakukan hal yang benar.

Itu seruanku membela diri. Namun, pengacara kecil di dalam diriku berdiri dan merespons:

Kasih karunia dan kemurahan Tuhan tidak terbatas. Imanmu tidak cuma sekadar soal boleh dan tidak. Ya, kamu harus berusaha untuk menjalani kehidupan yang kudus. Tetapi kamu tidak perlu meragukan keselamatanmu setiap kali kamu gagal (karena kamu pasti akan gagal). Jika kamu terus berpikir seperti ini, kamu tidak akan pernah bisa melangkah maju dalam iman. Kamu akan menghambat pertumbuhan rohanimu. Kamu harus menerima pengampunan Tuhan, dan ampunilah dirimu sendiri. Kamu harus terus maju.

Aku mengangkat kepalaku, berharap dia benar. “Benarkah? Apakah aku tidak bersalah setelah semua ini?”

Apakah itu benar? Jika aku meragukan pengampunan Tuhan bahkan setelah mengaku dosa dan bertobat, berarti aku meragukan karakter-Nya sebagai Tuhan yang penuh belas kasihan dan pengampunan, janji-Nya untuk mengampuni, dan arti pengorbanan Anak-Nya di kayu salib. Tentu saja, aku harus memastikan bahwa aku tulus dalam pengakuan dan pertobatanku. Tetapi jika aku terus berpegang pada rasa malu dan bersalah, bukankah aku meremehkan pengorbanan Yesus dan kuasa salib? Bukankah aku harus terus maju, dengan mengandalkan fakta kasih dan belas kasih Allah yang tak bersyarat?

Selain itu, jika aku terlalu fokus untuk menjadi kudus dan menjadi orang Kristen yang “baik”, aku bisa jatuh ke dalam perangkap legalisme. Nah, itu berarti meremehkan kasih karunia. Aku mungkin lupa bahwa aku diselamatkan oleh kasih karunia, bukan karena perbuatan yang kulakukan. Oh ya, aku dipanggil untuk mengesampingkan diriku yang lama dan kebiasaan burukku. Tetapi aku tidak boleh mengacaukannya dengan mencoba memenangkan hati Allah dengan menjadi baik. Hanya Dia yang dapat membuatku kudus dan benar di hadapan-Nya. Yang perlu aku lakukan adalah tunduk pada-Nya dan mengizinkan Roh Kuduslah yang membaharuiku.

Dan akhirnya, pertahanan favoritku ialah: Tidak diragukan lagi bahwa aku memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Aku masih bergumul dengan dosa dan kekudusan. Tetapi, fakta bahwa aku masih bergumul dengan rasa bersalah dan perasaan tidak mampu, menunjukkan bahwa aku tidak meremehkan Tuhan; berarti hati nuraniku masih sangat hidup—dihidupi oleh Roh Kudus dalam diriku. Jika aku benar-benar bersalah karena meremehkan Tuhan, maka aku  tidak akan berpikir dua kali untuk terus melakukan dosa, atau apakah aku perlu hidup dengan cara yang lebih kudus, bukan? Bahkan, aku tidak akan bertanya-tanya apakah aku meremehkan-Nya. Jadi, fakta bahwa aku khawatir tentang meremehkan Tuhan… menunjukkan bahwa sebenarnya aku tidak sedang meremehkan-Nya. Kamu tahu apa yang kumaksud.

“Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus. Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut.” (Roma 8:1-2).

Dan, keputusannya adalah…

Aku tidak suka membiarkannya menggantung, tetapi jawabannya adalah… Aku tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Hanya hakim yang dapat memutuskan, dan dalam pengadilan ini, Tuhan adalah Hakimnya. Hanya Dia yang dapat menentukan apakah aku bersalah atau tidak karena telah meremehkan-Nya.

Sejujurnya, aku belum mendengar suara jelas yang memberitahu keputusan akhir. Tetapi aku percaya bahwa itu adalah… KEDUANYA. Bersalah—karena aku telah menganggap remeh Tuhan. Dan tidak bersalah—karena Dia selalu siap untuk mengampuniku, dan kematian Kristus telah membayar dosaku. Seolah-olah Tuhan berkata:

Ya, terkadang kamu memang bersalah karena telah menganggap remeh Aku. Itulah sebabnya Aku mengirimkan pengingat dan peringatan kepadamu, dan Roh-Ku memenuhi hatimu dengan penyesalan. Tetapi Aku tidak ingin kamu hanya merasa bersalah; Aku ingin kamu melakukan sesuatu. Dan Aku ingin kamu bertobat dan melanjutkan hidupmu, sehingga kamu menjadi TIDAK bersalah. Dan itulah mengapa Aku mengirimkan penghiburan dan jaminan kepadamu. Aku ingin kamu tahu bahwa ketika kamu benar-benar mengaku dan bertobat, itu akan menempatkanmu di jalur yang benar.

Jadi, apa artinya bagiku, si tertuduh? Itu berarti aku akan terus bergumul dengan rasa bersalah. Dan, aku akan kembali ke pengadilan ini, lagi dan lagi, untuk mendengar tuduhan dan pembelaan yang sama.

Tapi, mungkin itulah intinya. Seorang teman pernah berkata kepadaku tentang sesuatu yang selalu melekat di benakku, yaitu: Kekristenan adalah sebuah perjuangan.

Jika kita berhenti berjuang, maka ada sesuatu yang salah. Ya, kita tidak boleh membiarkan keraguan menggerogoti iman kita hingga tidak ada lagi yang tersisa. Tetapi kita juga harus terus memeriksa diri kita sendiri untuk memastikan bahwa kita tidak berpuas diri dalam perjalanan kita bersama Tuhan. Terus-menerus mempertanyakan, meninjau, dan bergumul dengan isu-isu rohani—semua ini menunjukkan bahwa iman kita masih hidup.

Mungkin itu sebabnya Paulus mendorong orang-orang percaya untuk mempersembahkan diri mereka kepada Allah sebagai “persembahan yang hidup” (Roma 12:1)—hal yang menarik dari persembahan yang hidup adalah bahwa persembahan itu bisa saja memilih kabur, tak mau dipersembahkan. Setiap hari dan setiap saat, kita menghadapi godaan untuk merangkak menjauh dari mezbah, mencari keinginan dan jalan kita sendiri; dibutuhkan usaha dengan kesadaran untuk tetap berada di sana. Namun, ini adalah perjuangan yang aku percaya dihargai oleh Tuhan.

Jadi, sekarang aku sudah keluar dari pengadilan. Aku bersalah, tetapi karena Yesus, aku tidak bersalah. Mungkin nanti aku akan segera kembali lagi di pengadilan ini.

“Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu! Apakah kamu tidak yakin akan dirimu, bahwa Kristus Yesus ada di dalam diri kamu? Sebab jika tidak demikian, kamu tidak tahan uji.” (2 Korintus 13:5).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu