Posts

Mengasihi dan Menghormati Orangtua (Saat Mereka Tidak Layak Mendapatkannya)

Oleh Gabriella

Bagiku, salah satu bagian Alkitab yang paling susah kutaati adalah Efesus 6:1-3, yang aku rasa sering menjadi ayat hafalan di sekolah Minggu:

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.”

Mengapa? Hubunganku dengan orangtuaku kurang begitu baik. Pertama, mereka bukanlah orang percaya (setidaknya selama aku tumbuh besar), sehingga kami sering memiliki pandangan yang berbeda tentang banyak hal dalam kehidupan. Kedua, mereka bercerai saat aku masih berusia tiga tahun, sehingga memori masa kecilku lebih banyak dipenuhi dengan kekecewaan, kesepian, dan tangisan yang tidak ingin kuhidupi kembali. Dan sayangnya, kedua orangtuaku sering mengatakan hal yang buruk tentang satu sama lain kepadaku, sehingga itu membuat image mereka dalam benakku ternodai dan semakin susah bagiku untuk menghormati mereka, sekalipun aku tahu tidak semua yang mereka katakan itu benar.

Mengapa aku harus mengasihi orangtuaku, saat aku juga tidak bisa merasakan kasih mereka untukku? Mengapa aku harus menghormati mereka, saat mereka telah melakukan banyak hal yang kurang terhormat? Aku ingin membagikan sebagian hasil pemikiran dari pergumulan panjangku, walau sejujurnya aku juga masih terkadang (bahkan mungkin sering) jatuh dan tidak berhasil menerapkannya. Aku harap kita bisa menjalani perjuangan ini bersama-sama.

1. “Hate the sin, love the sinner”

Perkataan ini cukup kontroversial karena seringkali digunakan dalam konteks merendahkan orang lain, atau saat kita merasa dosa yang dilakukan orang lain lebih buruk dari dosa kita. Selama ini aku mengartikan kalimat ini bahwa kita seharusnya hanya membenci perbuatan jahat yang mereka lakukan tanpa membenci orangnya, tapi aku berubah pikiran saat mendengar pernyataan dari R.C. Sproul: “Kita adalah orang berdosa bukan karena kita berbuat dosa, kita berbuat dosa karena kita adalah orang berdosa. Aku menyadari bahwa dosa bukanlah sekadar perbuatannya, tapi merupakan sengat maut dari maut (1 Korintus 15:56), yang dimanifestasikan dalam perbuatan. Seringkali kita tahu apa yang baik untuk dilakukan, tapi tetap saja kita tidak bisa melakukannya karena kita adalah orang berdosa (Roma 7:15-20).

Membenci dosa bukan berarti sekadar membenci perbuatan jahat orang lain—termasuk orangtua kita—tapi membenci dosa itu sendiri. Dosa adalah musuh kita semua yang telah membawa kehancuran dalam dunia yang Tuhan ciptakan dengan sempurna. Dosa telah merusak dunia secara begitu menyeluruh (Roma 8:22-23), bahkan mereka yang menyakiti kita pun termasuk korbannya. Jika musuh dari musuh kita adalah teman kita, bukankah seharusnya kita tidak membenci mereka yang telah menyakiti kita?

Dalam kasus ini, aku akhirnya dapat sedikit memahami kedua orangtuaku yang juga tidak memiliki masa kecil yang bahagia dengan orangtua mereka. Aku rasa mereka bukan dengan sengaja ingin merusak masa kecilku dan menyakiti perasaanku, dan kalaupun mereka ternyata memang sengaja, itu hanyalah efek samping dari hidup dalam dunia yang sudah bobrok dan dirusak oleh dosa ini. 

Untuk kita bisa love the sinner, pertanyaan selanjutnya adalah siapakah sinner itu? Aku yakin sebenarnya aku tidak perlu menuliskan ini kembali karena kita semua pasti sudah mendengar pesan ini berkali-kali dan hapal di luar kepala. Jadi mari kita jawab bersama-sama: kita semua. 

2. “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Roma 5: 8) 

Kita baru saja merayakan Paskah bulan lalu. Perayaan ini mengingatkan kita bahwa Yesus mengorbankan diri-Nya untuk menyelamatkan umat manusia, walau mereka inilah ciptaan-Nya yang sudah memberontak, menolak-Nya, mencemooh-Nya, meludahi-Nya, memaku tangan dan kaki-Nya, mencambuk punggung-Nya hingga penuh bilur dan luka. Setelah pengkhianatan yang luar biasa ini, apa yang Ia katakan? ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).

Kita berhak mengharapkan orangtua kita mengasihi kita, seperti Tuhan berhak mengharapkan ciptaan-Nya untuk mengasihi-Nya. Namun, saat kita mengecewakan Dia dan gagal, Ia merespons dengan kasih dan pengampunan. Oleh karena itu, kita dipanggil untuk merespons kekecewaan kita terhadap orangtua kita dengan kasih dan pengampunan yang Tuhan telah berikan lebih dahulu pada kita.

Walau ini klise, tapi seringkali pengetahuan kita tidak benar-benar meresap dalam hati dan pikiran kita. Kalau kita tahu kita semua orang berdosa, seharusnya kita bisa mengampuni orang lain yang telah menyakiti kita karena kenyataannya kita tidak lebih baik dari mereka. Namun nyatanya, tetap sangat sulit untuk mengampuni dan memaafkan orang lain karena… (drum roll) kita adalah orang berdosa. Jadi, mana yang lebih dulu? Ayam atau telur? 🙂

Mari kita minta pertolongan Roh Kudus untuk memampukan kita mengampuni, mengasihi, dan menghormati orang yang telah menyakiti kita, terutama orangtua kita. Mari kita berjuang bersama-sama; tolong doakan aku dan aku akan mendoakanmu juga.

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Banyak Dosa, Tapi Berkenan di Hati Tuhan?

Oleh Jessie, Jakarta

Pernahkah kita berpikir untuk meneladani satu tokoh Alkitab yang kita kagumi?

Dua tahun belakangan ini, aku lagi nge-fans berat sama Pak Daud—seorang prajurit muda yang dideskripsikan berwajah tampan, gagah, dan pandai berbicara (1 Samuel 16:18). Kisah perjalanan hidupnya boleh dikatakan seperti sebuah novel. Aku yang baca sampai ikutan tegang, sedih, senang, dan tercengang-cengang, pokoknya ceritanya bikin yang baca seru sendiri deh. Bagaimana tidak? Kisah Daud diawali dengan statusnya sebagai gembala domba, terjun ke dunia politik, dan menjadi seorang prajurit berpangkat tinggi; lalu dia dikejar-kejar karena ingin dibunuh rajanya, sampai akhirnya dia sendirilah yang bertakhta menjadi seorang raja, dan tentu kita semua tidak lupa akan dosa besar yang dia lakukan untuk mendapatkan Bathsheba. Aku terharu dengan perjalanan hidupnya yang romantis bersama Tuhan, bahkan sampai saat dalam kekelamannya dan kejatuhannya. Sungguh-sungguh seorang abdi Allah yang berkenan di hati Tuhan.

Daud, seorang pria yang berkenan di hati Tuhan (1 Samuel 13:13-14)

Saat Tuhan memilih Daud sebagai raja untuk bangsa Israel, Tuhan mencari sosok yang berkenan di hati-Nya, seseorang yang hidupnya selalu ada dalam penyertaan Tuhan. Saat Tuhan memilih Daud, Tuhan tidak mengatakan bahwa Dia mencari yang sempurna ataupun pintar, melainkan seorang pemimpin yang memiliki hati yang seirama dengan apa mau-Nya (1 Samuel 16:17). Apa yang menjadi kepentingan Tuhan juga menjadi kepentingan Daud; saat Tuhan katakan “pergi,” maka Daud pun rela pergi. Jika Tuhan berkata “jangan,” maka Daud akan berhenti. Tidak ada keterpaksaan karena memang hati Daud terus mencari dan mengejar hati Tuhan. Di balik komitmen dan keseiramaan hati Daud, di sini kita juga belajar keindahan dari seorang yang hidupnya berkenan di hadapan Tuhan, yaitu kehadiran penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Aku rasa hal ini merupakan poin utama yang Tuhan inginkan dari semua pengikut-pengikut-Nya, yakni hati yang sepenuhnya mengejar Tuhan agar segala keputusan hidupnya ada dalam penyertaan dan pimpinan Tuhan. Bisa aku simpulkan bahwa “hidup yang berkenan” menjadi tema Daud semasa hidupnya.

Daud memiliki hati seorang pelayan (Mazmur 78:70; 89:20)

Selain hati yang berkenan di hadapan-Nya, Tuhan melihat hati seorang pelayan dalam diri Daud. Apa sih yang menjadi karakter utama seorang pelayan? Kerendahan hati. Kita sering melupakan betapa pentingnya kerendahan hati dalam menjalankan misi sebagai pelayan Tuhan. Padahal, kerendahan hati itu menjadi salah satu fondasi utama dari pertobatan orang percaya. Kerendahan hatilah yang membawa kita pada kesadaran akan keberdosaan kita dan pengertian akan ketergantungan kita pada Tuhan. Seorang pelayan tidak akan memberontak, dia tunduk karena tahu siapa yang memegang pimpinan. Tugas seorang pelayan adalah mengerjakan pekerjaannya dengan setia.

Doa Daud saat Tuhan menjanjikan kepadanya segala berkat merupakan respons dari seseorang yang sungguh-sungguh merupakan abdi Tuhan (2 Samuel 7). Dia mengucapkan permohonannya dengan penuh kesadaran akan statusnya sebagai seorang abdi atau pelayan Tuhan. Semua yang dimilikinya, dia anggap sebagai anugerah pemberian Tuhan semata.

Ketaatan dan Iman Daud

Keunikan konsep ketaatan dalam kekristenan ialah hadirnya sebuah iman. Ketaatan kepada Tuhan seringkali tidak disertai dengan informasi yang lengkap ataupun janji akan kemulusan cerita hidup pengikut-Nya. Justru sebaliknya, terkadang ketaatan itu malah membawa kita kepada penderitaan dan ketidaknyamanan, sehingga di situlah letak keunikannya. Apakah kita percaya akan jalan-Nya yang tidak pernah salah dan mau mengikuti-Nya? Jika kita membaca kisah Daud, banyak kasus di mana pimpinan Tuhan mungkin terasa sangat absurd bagi Daud, tetapi Daud tetap mengikuti perintah-Nya dengan keyakinan penuh akan pimpinan Tuhan dalam hidupnya.

Puncak kesengsaraan Daud dia alami saat Saul mengejar-ngejar untuk membunuhnya. Di masa pelarian ini, Daud melarikan diri ke negara orang sampai harus bertingkah seperti orang gila agar dapat lolos dari prajurit Filistin yang ingin membunuhnya. Apakah di saat itu Daud mengerti maksud Tuhan dan tahu kemana arah hidupnya? Aku rasa tidak, karena dari pujian dan doa yang dicatat kitab Mazmur, Daud menyatakan kegelisahannya, kesedihannya, bahkan ketakutannya yang luar biasa. Namun, di setiap frasa kekhawatirannya, dia selalu menutup doanya dengan pujian kepada Tuhan, menyatakan imannya yang kokoh dan pengharapannya akan kasih setia Tuhan yang senantiasa. Iman Daud akan pimpinan Tuhanlah yang terus menyandang ketaatan Daud dalam hidupnya. Dua kali Daud diperhadapkan dengan kesempatan untuk membunuh Saul, tapi tidak dia lakukan, meskipun seluruh pengikut Daud menyuruhnya. Kembali lagi, hal ini disebabkan karena Daud tahu dia hanyalah seorang pelayan, dan membunuh Saul bukanlah bagian dan tugasnya.

Mungkin ada orang-orang yang mengecam ketaatan Daud dengan dosa zinanya. Sebagai fans-nya yang cukup memperhatikan jalan hidupnya, aku harus mengakui memang apa yang dilakukannya itu hal yang berdosa; namun, bukankah begitu juga semua umat manusia di muka bumi? Tidak ada satu manusiapun yang luput dari dosa. Akan tetapi, menariknya, pengakuan Daud akan dosanya bukanlah terhadap Uria, tetapi terhadap Tuhan. “Aku sudah berdosa kepada Tuhan,” kata Daud (2 Samuel 12:13).

Daud sangat amat mengerti bahwa segala dosa pertanggungjawabannya itu adalah kepada Tuhan, bukan kepada manusia lainnya; karena Uria hanyalah tumbal dari dosa yang dilakukannya terhadap Tuhan. Seorang yang berkenan kepada Tuhan menjadikan relasinya bersama Tuhan sebagai fondasi dari segala aspek kehidupannya, sehingga sampai di titik keberdosaannya pun, dia selesaikan bersama Tuhan. Ceritanya pun berlanjut dengan teguran dari nabi Natan, Daud mengakui seluruh dosanya di hadapan Tuhan dan meratapinya dengan hati yang hancur. Sekali lagi, karena kerendahan hatinya dan statusnya sebagai seorang pelayan Tuhan, Daud dapat disadarkan dan dibukakan mata hatinya, sehingga dia berbalik pada Tuhan; dan Tuhan pun mengampuninya.

Hidup berkenan di hadapan Tuhan dengan jiwa seorang pelayan serta iman yang penuh memang bukan urusan satu hari, atau bahkan satu tahun, tapi perjalanan seumur hidup. Apalagi kalau tahu, sebenarnya kita semakin berumur malah semakin keras kepala, bukannya semakin nurut. Ya ga sih? Atau aku aja yang merasakan hal ini? Hahaha! Ya mudah-mudahan kalian tidak sepertiku. Terus terang, tidaklah gampang memang mengikuti perintah Tuhan, karena terlalu banyak kepentingan pribadi yang seringkali bertentangan dengan kemauan Tuhan.

Sampai di sini saja cerita dariku tentang Daud.

Semoga mengawali tahun 2024 kita semua dengan kisah yang menginspirasi.

Satu catatan dariku, tetap semangat dan terus bergumul, guys!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥