Posts

Menerjemahkan Kasih Allah

Oleh Cynthia Sentosa, Malang

Selama kurang lebih dua minggu ini aku memiliki kesempatan untuk mempraktikkan bahasa asing yang pernah aku pelajari. Namun, karena kemampuan berbahasaku belum fasih, sering kali lawan bicaraku menampilkan raut wajah kebingungan karena tidak mengerti dengan apa yang aku sampaikan. Struktur bahasa yang kacau juga sering kali membuat mereka salah tangkap maksudku ataupun sebaliknya, aku salah menangkap maksud mereka. Sejujurnya, meskipun seru berinteraksi dengan mereka, terkadang aku merasa lelah dengan keterbatasan komunikasi ini. Apakah teman-teman juga merasakan hal yang serupa ketika berkomunikasi dengan lawan bicara yang beda bahasa dengan kita? 

Di tengah interaksiku dengan mereka, aku mengamati sesuatu yang menarik. Ketika memahami maksudku, mereka akan menampilan raut wajah yang berbinar. Ini melegakanku! Ternyata, mereka senang ketika aku bisa mengerti bahasa mereka meskipun sedikit. Bahkan, mereka sangat mengapresiasi usahaku untuk berbicara bukan dengan bahasa asliku. Apresiasi dari mereka juga ikut membuatku senang. Rasanya seperti aku berhasil membantu mereka atau sekadar membuat mereka nyaman denganku. Seringkali di ujung pembicaraan aku juga meminta maaf karena keterbatasan ini dan respons maklum dari mereka membuat kepercayaan diriku tidak runtuh. Pengalaman berinteraksi dengan orang berbeda bahasa sedikit banyak menolongku berefleksi akan relasiku bersama Kristus. Kini, aku semakin paham mengapa untuk mengenalkan diri-Nya kepadaku, Allah harus menggunakan “bahasa” manusia supaya aku mengenal diri-Nya dan kebenaran-Nya. Allah memberikan hukum Taurat dalam “bahasa” manusia kepada bangsa Israel supaya mereka paham bagaimana menjalani kehidupan yang benar dan menjauhi dosa. Lalu, kehidupan Yesus di dunia juga memperlihatkan pada kita seperti apa menjalani hidup yang benar. Teladan-Nya memungkinkan kita menjalani hidup sesuai tujuan Allah ketika Dia menciptakan kita, yaitu untuk memuliakan-Nya. Roh Kudus juga hadir di dalam kehidupan kita, mengingatkan serta mengajarkan kita untuk senantiasa hidup benar di hadapan Allah. Allah Tritunggal sangat mengasihi kita dan rindu untuk dekat dengan kita. Oleh karena itu, Dia memakai “bahasa” manusia supaya kita dapat mengenal-Nya, dan percaya kepada-Nya.

Allah yang adalah Pribadi tidak terbatas, berkenan menggunakan bahasa manusia supaya kita dapat mengenal Dia yang tidak dibatasi oleh apa pun. Bahkan, Allah tak cuma sekadar “berbahasa” saja, tetapi Dia juga mewujudkannya dalam tindakan nyata yaitu menunjukkan anugerah keselamatan yang Dia tawarkan melalui Kristus yang turun ke dunia yang berdosa ini. Kristus merelakan diri-Nya untuk menderita dan menanggung hukuman yang seharusnya diterima setiap kita karena dosa yang kita perbuat (lihat: Yesaya 53). Kristus mengerti dan mengenal kita secara pribadi karena Dia menggunakan “bahasa” kita (lihat: Ibrani 4:15).

Belajar bahasa memang sulit dan butuh latihan, tapi ketika kita sudah sedikit menguasai bahasa tersebut, ada sukacita yang muncul meskipun kita belum fasih. Semisal, ketika seorang asing berusaha belajar bahasa Indonesia demi bisa berkomunikasi dengan kita, kemungkinan besar kita akan terkesan oleh upayanya. Kita merasa dia, si lawan bicara, ingin dekat dan mengenal kita secara pribadi sehingga dia mau menggunakan waktunya untuk belajar bahasa kita. Memang, di satu sisi kemampuan berbahasa asing ini bisa menjadi sebuah kesombongan untuk kita. Tapi, jika kita menggunakan kemampuan bahasa asing yang kita miliki dengan benar, maka sukacita itu tidak hanya dirasakan kepada lawan bicara kita tetapi juga diri kita sendiri karena pesan sudah tersampaikan dan dimengerti. Belajar bahasa asing memang bukan kewajiban, tetapi bukan berarti tidak penting. Pesan firman Tuhan dalam Roma 10: 13-14, mengatakan: “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi, bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?

Lawan bicaraku semuanya sudah menjadi Kristen. Mereka yang imannya sama dengan aku saja senang ketika aku bisa berbicara dan mengerti bahasa mereka meskipun sedikit. Jadi, yang aku khawatirkan hanya keterbatasan bahasa saja. Tapi, bagaimana suatu saat aku bertemu dengan orang asing yang belum percaya atau bahkan belum pernah mendengar berita Injil? Apakah aku akan berani mengenalkan Kristus sekalipun terbatas dalam bahasa mereka, atau aku memilih untuk sama sekali tidak berbicara dengan mereka karena alasan keterbatasan bahasa? Padahal sebenarnya takut salah paham atau menerima perlakuan yang tidak mengenakkan.

Kalau teman-teman diperhadapkan dengan situasi seperti itu, apa yang kalian pilih?

Kita patut bersyukur atas orang-orang yang telah bersusah payah menerjemahkan dan menjadikan berita Injil bisa dipahami sehingga kita dapat percaya pada Tuhan Yesus. Namun, kita tidak seharusnya berhenti hanya di sini. Aku berharap kita semua juga punya kerinduan yang sama untuk meneruskan berita Injil itu kepada mereka yang belum percaya lewat perkataan dan perbuatan kita supaya semakin banyak orang yang menerima anugerah keselamatan dari Kristus.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Fakta dalam Alkitab, Mengapa Tuhan Menghargai Semua Bahasa

Oleh Lefrandy Praditya

Aku adalah orang yang bertumbuh di lingkungan di mana kalau ada anak dari daerah yang menggunakan bahasa Inggris dengan dialek daerahnya, akan menjadi bahan tertawaan. Jangankan bahasa Inggris dengan dialek daerah, bahasa Indonesia pun dengan menggunakan logat tertentu bisa jadi sasaran empuk ejekan. Aku masih ingat betul ketika pendeta di gerejaku membacakan nama kota Tangerang dengan penekanan pada huruf “e” yang begitu kental, sehingga mengundang gelak tawa jemaat.

Menjadikan logat seseorang sebagai bahan guyonan itu lumrah terjadi di masyarakat. Meskipun pada kebanyakan kasus ini dianggap sebagai candaan semata, tetapi bila dilihat lebih jauh, ini menyiratkan adanya perbedaan cara pandang kita terhadap bahasa. Ada bahasa yang dianggap standar, sehingga bahasa lain, khususnya bahasa daerah, dianggap kurang pas. Namun, perbedaan bahasa adalah wujud dari keragaman dunia yang kita tinggali. Alkitab sendiri pun pada teks aslinya ditulis dalam multi-bahasa: Ibrani, Yunani, dan Aram.

Jadi, apakah yang bisa kita pelajari dari keragaman bahasa? Yuk kita jelajahi Alkitab untuk menemukan jawabannya!

1. Allah berkenan pada keragaman, bukan kesombongan

Perbedaan bahasa dari sudut pandang teologis bisa ditelusuri jejaknya dari kisah Menara Babel yang tercatat dalam Kejadian 11:4. Orang-orang lembah Sinear kala itu memiliki proyek ambisius ingin membangun “sebuah kota dengan menara yang puncaknya sampai ke langit” dengan tujuan agar mereka “jangan terserak ke seluruh bumi”.

Proyek ambisius menyita perhatian Tuhan sehingga Dia turun untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu dan Ia pun berfirman: “… Baiklah kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing. Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi.”

Perikop ini menarik! Ide utama dari pembangunan Menara Babel adalah kesombongan. Mereka berpikir dengan semakin tingginya menara, mereka mampu mencapai tempat Ilahi dan menjadikan manusia terkonsentrasi di satu tempat. Mereka mencari nama bagi diri mereka sendiri untuk sebuah kebanggaan dan kemegahan bagi generasi yang akan datang.

Jika kita perhatikan pula pada Kejadian 9:7, tertulis Allah berfirman kepada Nuh dan keluarganya untuk “beranakcuculah dan bertambah banyak, sehingga tak terbilang jumlahmu di atas bumi…” Nats ini menyiratkan pesan bahwa Allah berkenan manusia-manusia berpencar, memenuhi muka bumi. Sedangkan, ide dari Menara Babel adalah kebalikannya, mereka ingin agar manusia berkumpul di satu tempat.

Atas ulah manusia inilah Allah mengacaubalaukan bahasa manusia. Pembangunan Menara Babel gagal dan manusia pun terpencar kembali ke seluruh bumi.

2. Keragaman bahasa dijembatani oleh turun-Nya Roh Kudus

Bila dalam kisah Menara Babel manusia diserakkan oleh karena kesombongan, ribuan tahun setelahnya pada Perjanjian Baru, orang-orang berkumpul di satu tempat dan menerima pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta.

Kontras dengan kisah Menara Babel, Pentakosta adalah kebalikannya. Dalam Menara Babel, manusialah yang berusaha untuk naik ke atas (langit) dalam kesombongannya untuk menggapai yang Ilahi, sedangkan dalam Pentakosta, Allah dalam Roh Kudus-Nya turun ke atas bumi, kepada para rasul yang merupakan orang-orang Galilea.

Pentakosta menjadi titik balik dari kisah Menara Babel. Menariknya, jika dalam kisah Menara Babel, manusia ingin menyeragamkan bahasanya dan Allah justru yang menyerakkannya, dalam Pentakosta malah orang-orang percaya yang berasal dari ragam bahasa yang berbeda itu bisa mendengar Injil dengan bahasa ibu mereka masing-masing (Kis. 2:8).

3. Tuhan Yesus akan datang kedua kali!

Dua peristiwa pada dua poin di atas telah terjadi dalam rentangan sejarah umat manusia dan masih ada satu peristiwa lagi yang kita nantikan yakni kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali.

Di dalam kitab Wahyu pasal 7:9-10 tertulis, “Kemudian daripada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa kaum dan bahasa, berdiri di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru:

“Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi anak Domba!”

Teks ini menyiratkan sekelumit bagaimana gambaran kehidupan kelak ketika manusia memuji Tuhan dalam beragam bahasa mereka sendiri di langit dan bumi yang baru. Tidak ada indikasi bahwa hanya akan ada satu bahasa saja yang digunakan, tetapi mengacu pada peristiwa Pentakosta yang telah dinyatakan pada kita, keragaman bahasa itu tidak lagi menjadi soal. Setiap orang akan mampu memahami satu sama lain. Kesatuan dan perbedaan digambarkan sebagai sesuatu yang saling menguatkan dan bukan persaingan. Kini giliran bangsa-bangsa untuk memimpin ibadah kepada Tuhan, dan ketika mereka menyanyikan himne mereka, para kerub, tua-tua, dan malaikat menanggapi dengan sebuah doksologi mereka sendiri: “Amin! Puji-pujian, kemuliaan, dan hikmat, syukur dan hormat bagi Allah kita sampai selama-lamanya! Amin!”

Keadaan akhir zaman pun ditandai dengan beragam bahasa untuk memuji Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan berkenan atas setiap bahasa yang kita tuturkan.

***

Jadi, apakah kamu masih suka menjadikan bahasa atau dialek seseorang sebagai ejekan yang merendahkan? Atau, kamu terkadang tidak pede dengan bahasa yang kamu tuturkan?

Semoga artikel ini menolongmu untuk percaya bahwa setiap bahasa adalah baik meskipun memang untuk tujuan professional dan keluwesan berjejaring kita perlu menguasai berbagai bahasa lain.

Pakailah setiap kemampuan berbahasa kita, entah itu bahasa lokal ataupun asing untuk kemuliaan Tuhan. Saat kita melestarikan bahasa daerah, menguasai bahasa asing, bukankah itu bisa jadi alat yang efektif agar pekabaran Injil dapat dilakukan kepada banyak orang dari berbagai bangsa dan bahasa?

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥