Posts

Belajar dari Inside Out 2: Kita Hidup dengan Beragam Emosi

Oleh Astrid Sondakh, Manado

Sehari setelah film Inside Out 2 tayang di bioskop, aku menontonnya bersama teman-temanku. Meskipun ini film kartun yang identik dengan film anak-anak, tapi aku suka. Film ini mengandung nilai-nilai positif yang pesannya tetap relevan bagi semua kalangan.

Tokoh utama dari Inside Out 2 masih berkutat pada karakter Riley Anderson yang kini digambarkan telah memasuki masa remaja. Menariknya dari film ini adalah emosi-emosi dalam diri Riley digambarkan dalam bentuk karakter. Bila di Inside Out pertama Riley tumbuh dengan karakter Joy, Sadness, Fear, Anger, dan Disgust, kali ini dia harus menghadapi karakter emosi baru yang terdiri dari Anxiety, Envy, Ennui, dan Embarrasment.

Hidup dengan berbagai emosi

Waktu kita kecil kita mungkin berpikir bahwa emosi itu cuma berfokus di antara senang atau sedih, tapi saat kita beranjak dewasa, kita menyadari bahwa emosi itu beragam. Setelah menonton film ini aku menyadari bahwa tidak selamanya kita harus bergantung dan mengandalkan satu jenis emosi saja. Semisal, kita tidak akan bisa hidup tenang jika hanya terus-menerus menunjukkan satu emosi, bahkan bila emosi itu adalah emosi bahagia. Segala emosi harus dirangkul dan diterima. Namun, merangkul emosi tidak berarti kita membiarkan diri kita dikendalikan olehnya.

Stuck atau terfokus hanya dengan satu emosi adalah kecenderungan kita semua. “We get less joy as we grow up”, demikian salah satu kutipan dari Inside Out 2. Aku setuju dengan ini karena saat kita bertumbuh dewasa, kita mulai menyadari tuntutan untuk terlihat sempurna. Kita ingin dinilai oleh semua orang bahwa kita bisa. Kita ingin terlihat mampu padahal kita sebenarnya tidak mampu. Akibatnya, kita pun tertekan. Namun, tidak berhenti di sini. Ada kutipan lain, “You are free to feel any emotion. Don’t hold back your feelings just because you are embarrassed”. Kutipan kedua ini mengajari kita bahwa kita bebas merasakan semua emosi kita, tapi janganlah kita menahan perasaan-perasaan kita hanya karena kita malu.

Aku jadi teringat sebuah bacaan Alkitab ketika Tuhan Yesus berada di taman Getsemani (Matius 26:36-36). Jelang kematian-Nya, Yesus merasakan berbagai spektrum emosi dan Dia tidak menyembunyikannya. Yesus bahkan berkata kepada Petrus dan kedua anak Zebedeus bahwa hati-Nya sangat sedih bahkan seperti mau mati rasanya (ayat 38). Yesus menyadari apa emosi yang dirasakannya dan mengakuinya. Ini bukan kali pertama Yesus menunjukkan emosi-Nya. Injil mencatat momen-momen lain ketika Yesus merasa masygul (Yohanes 11:33), marah (Matius 21:12-16), tergerak oleh belas kasih (Matius 20:34), dan sebagainya.

Cara Yesus menunjukkan dan mengelola emosinya adalah teladan bagi kita. Emosi dihadirkan Allah agar kita dapat menikmati hidup dengan maksimal. Namun, seperti kutuliskan di awal, emosi itu beragam. Kita tidak cuma hidup dengan satu jenis emosi saja; kita adalah campuran dari berbagai emosi—bahagia, sedih, cemas, takut, malu, marah, dan sebagainya. Segala emosi inilah yang menjadikan kita sebagai pribadi yang unik.

Seperti apa dan bagaimana emosi-emosi kita? Jawabannya hanya diri kita sendiri yang tahu.

Apabila hari ini kamu merasa sedih dan cemas, akui perasaanmu itu dan datanglah pada-Nya karena Dia lemah lembut dan rendah hati sehingga jiwamu akan mendapat ketenangan (Matius 11:29-30).

Apabila hari ini kamu berdukacita, terimalah duka itu karena kamu akan mendapatkan penghiburan (Matius 5:4).

Apabila hari ini kamu bersukacita, bersyukurlah sebab kasih setia Tuhan ada padamu untuk selama-lamanya! (Mazmur 136:1-2).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥