Kecemasan Tak Akan Mengambil Kita dari Tuhan Yesus

Oleh Yessica Anggi, Surabaya

Untuk pertama kalinya, aku menghadapi kecemasan dan kepanikan akut. Sebenarnya, ini tidak terjadi tiba-tiba. Tahun-tahun ke belakang rasanya sangat sulit buat kulalui. Aku merasa gagal dalam karier karena diberhentikan sepihak oleh tempat kerjaku, dan seiring usiaku bertambah, aku belum juga menemukan pasangan hidup. Awalnya kupikir semua kesulitan ini hanya akan membuatku stres di pikiran, tapi akhirnya kusadari bahwa ini berdampak juga pada tubuh fisikku.

Gejala sakit yang sebelumnya tidak pernah ada, sekarang jadi kurasakan. Aku mengunjungi dua dokter spesialis saraf dan penyakit dalam. Mereka menyampaikan diagnosis berupa vertigo dan gerd. “Vertigo dan asam lambung ini bisa dipicu juga dari cemasmu,” katanya. Aku masih merasa aneh. Kupikir sakit perutku ini karena kurang atau terlambat makan, tapi sebanyak apa pun aku makan, sakitnya tidak hilang.

Dokter itu kembali memberi penjelasan medis yang lebih detail. Saat inilah aku mengetahui bahwa pikiran dan tubuh fisik adalah kesatuan yang saling terhubung. Aku bersyukur karena dengan kunjungan ke dokter ini aku bisa mengambil langkah yang tepat untuk pulih, sekaligus juga disadarkan bahwa tak cuma fisikku yang harus pulih, pikiranku juga. Bila sakit fisik akan membuat tubuh sulit beraktivitas, pikiranku yang sakit bila tidak diobati akan mengganggu kedamaian hidup dan mencuri kepercayaanku pada rencana dan kebaikan Tuhan.

Antara denial dan acceptance

Waktu awal-awal mengalami gerd dan vertigo, aku memilh bersikap denial. Aku menyangkali kalau sakit ini ada kaitannya dengan stres di pikiran yang tidak dikelola dengan baik.

“Ah, palingan aku cuma kurang makan dan tidur aja, kok.”

“Tuhan, aku nggak stres! Nggak ada pikiran yang ganggu, kok.”

Kalimat ini kudengungkan terus di pikiran. Mungkin sekilas terkesan baik karena aku berusaha untuk kuat dan tidak fokus pada permasalahan. Namun, yang tidak kusadari adalah pikiran ini membuatku menutup mata bahwa “God is in control.”. Pikiran bahwa akulah yang memegang kendali bukannya membawaku kepada pemulihan, malah membuka jalan untukku semakin jauh dari Tuhan dan tak lagi melihat-Nya sedang bekerja di hidupku.

Aku pernah bilang pada Tuhan begini: “Tuhan, untuk masalah karier dan pasangan, I can handle it.” Tapi, di sinilah aku gagal dan pada akhirnya menyalahkan Tuhan. “Kenapa sih Tuhan ambil pekerjaanku? Kenapa Tuhan jahat sama aku?”

Titik balik dari caraku memandang Tuhan dan hidupku terjadi saat aku mulai belajar memahami ayat Alkitab yang jadi pedomanku setiap kali kecemasan muncul.

“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1 Petrus 5:7).

Kita mungkin menganggap kekhawatiran itu baik, sebagai tanda peduli pada diri kita dan masa depan. Tetapi, Alkitab justru mengatakan kebenaran yang lain. Khawatir adalah salah satu bentuk kesombongan, sebab di dalam kekhawatiran itu kita berfokus hanya kepada diri kita sendiri, bukannya percaya kepada Allah yang peduli pada umat-Nya. Secara gamblang, Tuhan Yesus berkata, “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai.” (Matius 6:25). Pemeliharaan Tuhan bukanlah sekadar janji. Dari masa ke masa, Dia selalu memelihara umat-Nya seperti yang juga ditegaskan oleh pemazmur, “Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau!” (Mazmur 55:22).

Menerima kenyataan bahwa aku tidaklah berkuasa untuk mengendalikan segala sesuatu dalam hidupku bukanlah tanda aku menyerah dan gagal, tetapi justru inilah awal dari hidup baru yang menang di dalam Tuhan. Selama dua tahun setelah diagnosis itu, aku belajar mengatur pikiranku untuk menjadi tenang dan menjaga juga pola makanku. Sekarang, meskipun vertigo dan gerd kadang masih bisa kambuh, tetapi tidak lagi separah dulu.

Saat ini aku sudah bekerja kembali dan rupanya pekerjaanku sekarang lebih daripada yang kudoakan. Untuk pergumulan akan pasangan hidup, aku tak lagi cemas karena telah kurasakan sendiri bahwa Tuhan itu baik dan Dia akan memberikan apa yang memang kubutuhkan pada waktu dan tempat yang tepat dirancangkan-Nya buatku. Tugasku hanya satu: belajar tidak khawatir, melepas kecemasan, dengan fokus mempersiapkan diriku melayani Tuhan.

Penyerahan diri kepada Tuhan selain kuwujudkan melalui berdoa dan disiplin rohani pribadi, juga kulakukan dengan hidup berkomunitas. Aku ikut pendalaman Alkitab, melihat bagaimana tokoh-tokoh yang pernah merasakan kecemasan juga dipakai Tuhan dengan luar biasa. Salah satu tokoh yang memberkartiku adalah Raja Daud. Dia tahu betul apa artinya takut sebab dia pernah dikejar-kejar dan hampir dibunuh oleh Saul; Absalom, anaknya, memberontak terhadap dia.

Dalam sebuah mazmur yang ditulisnya pada saat hendak menyelamatkan diri dari kejaran Absalom, dia berkata: “Dengan nyaring aku berseru kepada Tuhan, dan Ia menjawab aku dari gunung-Nya yang kudus.” (Mazmur 3:5). Di tengah ketakutan yang melandanya, Daud mencari Tuhan. Allah menunjukkan anugerah-Nya dan mengembalikan Daud ke takhtanya.

Untuk teman-temanku, aku berdoa bahwa tidak peduli betapa pun prihatin atau cemasnya kondisi kita saat ini, kita akan menemukan pengharapan yang lahir dari pengenalan kita akan Allah. Kita dikasihi-Nya dengan kasih yang kekal. Saat kita mengenal dan menghidupi kebenaran ini, kita mampu melepaskan diri dari cengkeraman rasa takut yang menyandera hati kita karena kasih-Nya yang sempurna mengusir segala ketakutan.

Kecemasan tidak akan mengambil kita dari Tuhan Yesus.

Lewat lembah kelam
Kau temani aku
Roh-Mu bekerja selalu
Untuk kebaikanku

Saat ‘ku tak mampu berharap
Kekhawatiran menghimpit jiwaku
Kekuatanku datang dari-Mu
Memampukanku kembali berharap

Ingat kasih-Nya yang mengubah hidupku
Ingat kasih-Nya yang selalu ada
Kasih Yesus, kasih Yesus bagiku

-Tenang, GMS- 

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
0 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *