Melampaui Atribut Religiusmu, Tuhan Melihat Hati

Oleh Tunggul Arya Gultom, Bandung

Berawal dari suatu seminar di gereja yang kuikuti beberapa bulan lalu, aku mulai tertarik membaca kitab Yeremia. Apa sih menariknya?

Kitab Yeremia dibuka dengan informasi historis tentang tahun pelayanannya. Yeremia mulai berkarya sebagai nabi pada tahun ke-13 pemerintahan Raja Yosia (627SM) dan terus berlanjut sampai kejatuhan Yehuda di tahun 586SM. Statusnya sebagai nabi yang dipilih dan disertai Tuhan tidak membuat hidup Yeremia mudah dan menyenangkan. Pesan-pesan pertobatannya tidak diterima (7:1-8:3), bangsanya sendiri (Yehuda) menolak dia (11:18-23), dan dia menanggung banyak penderitaan (20:1-6, 37). Allah juga memerintahkan Yeremia untuk tetap hidup selibat (16:1-4). Yeremia adalah satu-satunya nabi yang menyaksikan sendiri apa yang dia nubuatkan, bahwa Yerusalem akan dihancurkan dan penduduknya diasingkan ke pembuangan karena kebebalan hati mereka yang terus memberontak terhadap Allah.

Tentang hati

Ada satu ayat yang menyentakku, yaitu dari Yeremia 6:20. Begini isinya:

“Apakah gunanya bagi-Ku kamu bawa kemenyan dari Syeba dan tebu yang baik dari negeri yang jauh? Aku tidak berkenan kepada korban-korban bakaranmu dan korban-korban sembelihanmu tidak menyenangkan hati-Ku.”

Yehuda memang masih mempraktikkan ritual-ritual penyembahan terhadap Allah, tetapi semua itu mereka lakukan tanpa iman dan ketaatan sehingga Allah tak berkenan menerimanya. Hati manusia telah rusak dan tak ada satu pun yang bisa memperbaikinya kecuali Allah sendiri. Yehuda lebih memilih menyembah ciptaan-Nya dari Pencipta-Nya.

Meskipun kisah pemberontakan Yehuda ini telah terjadi ribuan tahun lalu, tetapi kecenderungan hati manusia yang sering menyimpang dari Allah tetaplah ada. Buatku pribadi, aku merasa segala bentuk relasi antara aku dengan Tuhan, terkhusus dalam hal peribadatan, harus sungguh berpatokan pada tradisi. Aku tidak mau bernyanyi lagu-lagu rohani kontemporer. Aku tidak mau melakukan bagian-bagian dalam ibadah yang kuanggap berbeda dari denominasiku. Namun, meskipun aku seolah mengejar ibadah yang sejati kepada Tuhan, nyatanya lama-lama aku kelelahan. Aku tidak mendapat sukacita, apalagi damai sejahtera. Aku merasa sudah berkorban dan menderita bagi-Nya, tapi aku malah menjauh daripada-Nya. Apakah ini bentuk relasi yang Tuhan mau? Tentu tidak. Tuhan mau kita hidup dan melayani Dia dengan sukacita dan damai sejahtera.

Tuhan berkata dalam Yeremia 7:23, “hanya yang berikut inilah yang telah Kuperintahkan kepada mereka: Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umatKu, dan ikutilah seluruh jalan yang Ku-perintahkan kepadamu, supaya kamu berbahagia. Ayat ini sangat bersuara dalam hatiku. Ada banyak perintah yang Tuhan berikan kepada umat-Nya Israel dalam hal-hal seremonial seperti benda-benda yang harus diadakan, beserta banyak tata ibadah yang Tuhan nyatakan harus dilakukan, masing-masing menurut kondisinya. Tetapi, semua ini bukan sekadar aturan yang dibuat untuk mempersulit, apalagi mengekang. Segala aturan yang Allah terapkan pada Israel adalah cara agar mereka dapat mendekat kepada-Nya, sebagai jembatan yang menghubungkan hati-Nya dengan hati umat-Nya, agar mereka mengenal Dia dan berbahagia karena pengenalan itu.

Aku ingin kita mendengar panggilan ini dengan bersukacita, sambil merenungkan kembali perjalanan hidup kita di hari yang sudah lalu. Saat kita berelasi dan menyembah Tuhan, entah itu waktu kita menyanyi, memberi persembahan, atau memakai simbol-simbol rohani seperti kalung salib, kita bisa menggunakan semua itu sebagai simbol ucapan syukur kita kepada-Nya, sebagai salah satu cara kita mendekat kepada-Nya dan berusaha mengenal-Nya. Tuhan tidak berkenan bila kita berkutat dalam simbol atau atribut semata, namun hati kita justru buta terhadap makna dan Allah yang berada di balik semua peribadatan kita. Baik itu kalung salib, gelang WWJD, atau kutipan ayat Alkitab yang menjadi deskripsi di profil media sosial kita, Tuhan mau kita mempergunakan semuanya itu dalam keseluruhan maknanya, untuk berbahagia di dalam Dia.

Setiap hari dunia terus berusaha memisahkan simbol dengan makna dari kehidupan kita. Salib yang adalah simbol pengorbanan Kristus mungkin sekarang tidak lebih dari pernak-pernik perhiasan yang dikenakan sebagai kalung atau anting seseorang, yang bahkan tidak mengimani pengorbanan Kristus. Ibadah mungkin tidak lagi dimaknai sebagai tempat dan saat umat Tuhan bersekutu memuji dan menyembah Tuhan, melainkan hanya sebagai suatu kegiatan di mana kita dapat bersosialisasi kembali dengan teman-teman lama kita. Persembahan yang adalah simbol kerelaan untuk ikut berbagi dalam pelayanan Kristus dan gerejanya, mungkin saja sekarang dimaknai sebagai alat untuk menunjukkan siapa yang lebih mampu dan lebih mau mengeluarkan uang ketimbang yang lain. Padahal, kehadiran simbol dalam peribadatan kita punya makna yang mendalam, bahwa melalui simbol-simbol tersebut, Allah mau kita mengenangkan-Nya, mengingat kekuatan tangan-Nya yang melindungi umat-Nya, atas kerelaan-Nya untuk menanggung dosa kita dengan merelakan Anak Tunggal-Nya untuk mati di kayu salib demi kita (Lukas 22:14-20, Yosua 4: 7).

Mungkin hal-hal di atas memang sudah terjadi. Tetapi, kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa semua itu adalah dosa dan dengan gigih mengembalikan fokus ibadah kita kepada Allah. Semisal, perhiasan salib boleh kita kenakan sebagai perhiasan, tetapi kita harus berusaha untuk memaknainya lebih dari itu, yaitu sebagai simbol bahwa kita adalah umat Tuhan, dan Dia berada dekat dengan hati dan telinga kita. Kita boleh untuk bersosialisasi dengan teman-teman kita di hari ketika kita beribadah. Tetapi, pertemuan itu jangan sampai menggeser fokus kita. Jangan sampai kita datang ke gereja hanya supaya bisa bertemu teman lalu Tuhan kita abaikan. Mempersembahkan uang, daya, dana, juga bakat kita adalah baik, tetapi janganlah itu jadi alat untuk mencari pujian atas diri sendiri.

Dalam hati sedih sekalipun kita bisa datang kepada Tuhan untuk bersukacita di dalam Dia. Mari kita datang kepada Bapa dan memohon, supaya dalam upaya kita berelasi dengan-Nya, kita tidak cuma berfokus pada atribut dan simbol-simbol semata, tetapi sungguh melihat Dia. Marilah juga kita sama-sama saling mendoakan, supaya Tuhanlah yang berkuasa atas segala simbol yang ada dalam hidup kita, bagi kemuliaan-Nya, membuat hidup kita menjadi utuh dan berbahagia.

Tuhan memberkati kita semua.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
5 replies
  1. boedi jono
    boedi jono says:

    amin sangat memberkati saya artikel ini memang benar sering kali kita lupa akan fokus kita dalam menyembah Tuhan bukan soal atribut dan tata cara tapi pengenalan akan Tuhan yg penting

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *