Kesibukan yang Mengosongkan

Sebuah cerpen oleh Ernest Martono

Seperti singa lapar bangun dari tidur, tiba-tiba tenaga Fera seolah terisi penuh. Dia menghalauku keluar kosannya.

”Kau pulang saja. Aku sudah bisa sendiri. Semua baik-baik saja!”

Sudah pasti dia sedang tidak baik-baik saja. Padahal aku baru mengantarnya pulang. Dia lemas seusai acara penyambutan mahasiswa baru kelar.

Fera datang 15 menit setelah acara penyambutan itu dimulai. Rambutnya lepek, dahi dan pipinya mengkilap, dadanya kembang kempis seperti habis berlari. Aku bisa menebak ia kurang tidur dari warna kantung matanya. Pemandangan itu cukup untuk menahan amarahku karena keterlambatannya.

“Lo gak apa-apa, Fer? Lo kelihatan lemas soalnya,” tanyaku.

”Sorry, gua telat. Tadi rapatnya alot. Makanan sudah datang? Gua gak apa-apa, kok.”

Dia lenyap terhisap dalam kesibukan. Lagi.

Sebenarnya aku sudah berulang kali menyarankannya mundur dari persiapan ospek fakultas. Satu bulan lalu adalah terakhir kali aku memintanya mengurangi kegiatan.

”Gua bisa, kok, tenang aja.”

”Bisa tifus, Fer. Lo pengurus persekutuan kampus, kita lagi siapin ibadah penyambutan mahasiswa baru, lo AsDos, terus sekarang lo ambil ospek fakultas juga. Lo sibuk banget, Fer.”

”Memang kenapa kalau gua punya kapasitas lebih?”

”Manusia ada limit-nya, Fer. Sejak lo ambil ospek, lo jadi gak datang rapat beberapa kali. Padahal lo koordinator bidang acara.”

Next rapat gua bisa hadir.”

”Bukan itu, Fer. Gua mau lo fokus ke hal yang bernilai buat lo.”

”Semua bernilai dan akan gua usahakan. Kalau gak ada lagi gua pergi dulu. Mau ada ketemuan sama dosen setelah ini.”

”Tapi, tidak semua hal bernilai sama kan, Fer?” Kurasa Fera tidak dengar kalimatku, dia sudah bergegas kala itu.

Aku tidak tahu mengapa semua itu bernilai buat Fera. Semua mau dikerjakannya. Seolah-olah jadwal kosong adalah monster baginya.

Acara penyambutan berjalan khusyuk dan hangat. Para mahasiswa baru pulang penuh penghiburan. Wajah mereka penuh dengan sukacita merasa dikasihi. Semua jerih lelah kami selama empat bulan kontan terbayar puas. Semua karena kasih Yesus. Namun, tiba-tiba Fera panik mencari plastik dan mendekatkannya ke wajah. Dia muntah. Segera kami menopang tubuhnya yang mulai oleng. Matanya tidak fokus. Napasnya berat. Fera kelelahan.

Aku mengantarkannya pulang ke kosan. Hari sudah larut malam ketika kami pulang dari klinik kesehatan kampus. Sesampainya di kamar, Fera hendak tidur. Dia mengganti setelan bajunya yang sudah lepek. Di saat itulah aku baru mengetahui apa yang selama ini disembunyikannya.

”Fer, itu luka apa di paha lo? Kok, kelihatan masih baru?” Bukan hanya luka itu saja, bekas luka-luka serupa juga nampak di paha lainnya. Tanpa penjelasan dia mengusirku sampai depan pagar kosan. Aku pulang dengan keterkejutan di hati.

”Ada yang melihat Fera atau bisa mengontak dia?” Sejak hari itu, hanya kalimat itulah yang aku tanyakan ke setiap orang yang mungkin bertemu Fera. Fera hilang kontak. Hilang dari peredaran. Hilang dari kesibukan. Aku khawatir pada luka-luka itu. Aku sudah menanyakan panitia ospek fakultas. Ternyata di sana pun Fera sudah lama tidak hadir.

Ini sudah keempat kali aku datang ke kosannya. Aku hanya menemukan pintu kamarnya yang tertutup. Kali ini penantianku dari pagi tidak sia-sia. Aku bertemu dengan Fera malam hari dalam situasi yang tidak kuharapkan.

”Buka, buka pintu kamarnya!” seru seorang pria yang membopong Fera. Dua orang wanita sibuk mencari kunci dan membuka pintu. Fera pingsan di depan gang kosannya. Baru kuketahui kedua wanita yang bersamanya adalah teman gereja Fera. Mereka memang sengaja mengantar Fera yang kelihatan lemas. Mereka baru saja pulang dari bakti sosial gereja. Sedangkan pria itu hanya seorang yang kebetulan lewat.

”Gak apa, Kak. Kakak-kakak pulang saja. Aku akan menginap temanin Fera,” tawarku dan mereka setuju.

Aku berbaring di samping Fera. Malam itu bau minyak kayu putih memenuhi ruangan. Tiba-tiba terdengar suara isak tangis. Fera mulai sadar.

”Ran…. gua gak kuat lagi, Ran,” lirih Fera. Aku segera memeluknya.

”Tidur aja, Fer. Lo pasti capek, kan. Itu kebutuhan lo sekarang.”

”Pikiran gua penuh. Gua mikir mulu, Ran.”

”Malam ini hadiah untuk lo, Fer. Lo bisa istirahat tanpa memikirkan itu semua. Gua temenin lo, kok. Gua nginap.”  Tak lama Fera terlelap. Aku berdoa pada Tuhan agar memberikan Fera istirahat yang dia butuhkan.

”Gua kira dengan memenuhi jadwal kegiatan akan membuat diri gua lebih penuh.” Pagi hari sembari sarapan kami berbincang.

”Pikiran gua selalu menuduh ada yang kurang. Kalau ada jadwal kosong pasti mikirnya ’sia-sia, nih, waktu gua.’ Gua selalu mikir kayak gak boleh kosong. Kalau kosong pasti ada yang miss. Padahal gua tau Ran, gua capek. Gua gak sanggup. Tapi, rasa kosong membuat gua takut. Gua udah pernah coba diam di kosan. Baca buku atau sekedar baring-baring. Tapi, gua selalu mikir ada yang kurang. Sampai akhirnya… ya, lo tau. Luka-luka di paha ini… luka ini mengalihkan pikiran gua.”

Aku melihat lagi bekas luka-luka di paha Fera. Ternyata luka itu representasi dari luka di hatinya.

”Gua gak tau tujuan gua apa dengan semua kesibukan itu. Gua pikir itu semua ada nilainya. Tapi, ternyata semua kesibukan itu mengosongkan. Selama ini gua hanya melihat nilai manfaat kesibukan itu hanya supaya gua tidak membaret paha gua. Gua ga tahu harus apa lagi, Ran.” 

Mendengar kejujuran Fera, hatiku hanya bisa berdoa agar Tuhan menunjukkan apa peranku.

”Fer, gua keinget.” Aku langsung mengambil smartphone. ”Lo ingat gak, ini kapan? Waktu itu lo jadi WL di ibadah ini.” Lewat foto-foto yang aku tunjukkan, kami bernostalgia. Kami saling sambar menyambar cerita yang terkenang dari foto-foto itu. Bersama kami tertawa dan sejenak mengalihkan rasa sakit Fera.

”Parah emang Dion. Waktu itu masa bisa ketuker gitar sama bass. Untung lo bawain dia gitar, Ran.” 

”Fer…” aku menyela. ”Gua cuma mau bilang, dari semua kesibukan lo, yang paling bernilai itu adalah diri lo, Fer. Foto-foto ini menunjukkannya. Kami menikmati kehadiran lo, Fer. Yesus mati buat diri lo. Lo tidak perlu lagi merasa kurang karena Yesus sudah cukupkan diri lo.”

Fera terdiam. Wajahnya tertunduk. Aku tahu hatinya sedang bergejolak.

”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Itu kata Yesus. Kalau nanti pikiran lo menuduh lagi, kalau nanti kekosongan datang lagi. Mau, ya, datang ke Yesus. Dia pasti kasih kelegaan.”

”Gua takut gua baret kaki lagi, Ran.”

Aku menarik napas.

”Kalau lo ada keinginan itu, kontak gua aja, Fer. Gua mau temenin lo, kok. Kita lihat foto-foto lagi nanti.”

”Thanks, ya, Ran. Emang gua ga salah pilih sahabat. Nanti ingetin gua juga, ya, kalau sembarangan ambil kesibukan lagi.”

Kami berpelukan dalam senyum.

Beberapa minggu ke depan, atas saranku Fera setuju untuk pergi ke konselor Kristen profesional. Sejak saat itu aku melihat banyak perubahan dalam diri Fera. Pertemanan kami pun juga semakin dekat.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
3 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *