Aman dalam Amarah Tuhan

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Di Jepang ada sebuah ruangan yang disediakan untuk melampiaskan kemarahan. Seseorang boleh masuk ke ruangan tersebut setelah mengenakan Alat Pelindung Diri (APD). Di dalamnya, tersedia banyak replika furnitur seperti TV, sofa, hiasan dinding, dll. Mereka yang masuk ke sana bebas menghancurkan apa saja yang ada sebagai ungkapan rasa marah. Mereka boleh memaki, memukul, menendang, membanting semua barang yang tersedia di sana. Rage room memang dirancang untuk menjadi sebuah tempat untuk melampiaskan amarah yang mungkin berbahaya jika dilampiaskan pada orang lain. Aku berandai-andai, jika Tuhan marah apakah dia memiliki rage room juga untuk melampiaskannya?

Ide Tuhan marah bukanlah ide yang menarik sebab pikiran kita cenderung memproyeksikan seolah-olah Tuhan itu harus selalu bersikap ramah, baik, dan penuh berkat. Kita sendiri melihat kemarahan sebagai sesuatu hal yang destruktif, sehingga kemarahan Tuhan seolah-olah tidak seiras dengan citra baik-Nya sebagai yang murah hati. Kemarahan Tuhan sendiri berasal dari sikap kecemburuan-Nya (Keluaran 20:5). Sayangnya, tidak semua orang mengerti betapa pentingnya kecemburuan Tuhan bagi hidup kita. Oprah Winfrey sendiri merasa terganggu jiwanya ketika mengetahui bahwa Tuhan adalah Tuhan yang cemburu.

Kita sering kali salah menilai tentang kecemburuan dan kemarahan Tuhan. Kita melihat itu sebagai hal negatif, bisa jadi karena kita menyamakan kemarahan Tuhan dengan kemarahan manusia. Sulit sekali kita temukan orang yang marah untuk maksud-maksud baik. Sudah terlalu sering kita melihat kemarahan terjadi karena keegoisan dan berdampak pada pengrusakan. Namun, kemarahan Tuhan itu berbeda. Meskipun mungkin terkesan menyeramkan, tapi kita membutuhkannya.

Ilustrasi yang mewakili adalah seperti relasi sepasang suami-istri. Tentu istri harus marah dan cemburu jika suami berselingkuh. Hal itu pun terjadi sebaliknya. Justru jika tidak terjadi kecemburuan dan kemarahan patut dipertanyakan keberadaan cinta di antara mereka. Cintalah yang membuat seseorang merasa memiliki. Suami akan merasa memiliki istri karena cinta dan sebaliknya. Cinta jugalah yang membuat seseorang menuntut untuk dimiliki. Di sinilah rasa cemburu memainkan peran positif sebagai pelindung relasi. Rasa cemburu akan membuat orang menuntut pasangannya untuk memiliki dan dimiliki oleh dia saja. Ini semua terjadi agar intimacy tetap terjaga.

Sekalipun memang kecemburuan manusia bisa berasal dari motivasi yang salah, misalnya cemburu karena curiga, tetapi tidak seperti itu kecemburuan Tuhan. Tuhan marah karena kekudusan-Nya dilanggar. Di dalam hal inilah kita dapat menemukan rasa aman. Mengapa begitu?

Saat kejahatan dan ketidakadilan terjadi, seringkali kita kebingungan dalam menghadapinya. Di sini kita dapat lari kepada Tuhan. Bayangkan jika ketidakadilan terjadi dan Tuhan tidak marah terhadap hal itu. Tentu mereka yang menjadi korban akan merasa sangat sengsara sebab tidak ada yang membela hak mereka.

Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga. Mereka binasa oleh nafas Allah, dan lenyap oleh hembusan hidung-Nya. (Ayub 4:8-9).

Di tengah ketidakadilan, justru kemarahan Tuhanlah yang jadi tempat kita mampu berlindung. Di sana kita menemukan keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak kita yang dilanggar.

Selain itu, kemarahan Tuhan tidak selalu seperti yang kita kira, sebagaimana tertulis:

“Berjalanlah TUHAN lewat dari depannya dan berseru: “TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya,” (Keluaran 34:6).

“Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?” (Roma 2:4).

Dari ayat ini kita lihat bahwa Tuhan bukanlah pribadi pemarah yang lekas melampiaskan kekesalan-Nya. Tuhan adalah pribadi yang panjang sabar. Kesabaran-Nya selalu menuntun pada pertobatan.

Jadi, jika Tuhan marah kepada kita, itu berarti Dia masih sayang kepada kita. Seperti seorang ayah pada anaknya, kemarahan Tuhan menjaga kita untuk hidup tetap lurus. Kemarahan-Nya lembut pada anak-anak-Nya. Justru khawatirlah jika Tuhan tidak lagi mau menegur kita.

Di sepanjang Alkitab, kemarahan Tuhan berbentuk seperti sebuah ”penyerahan.” Dalam kitab Hakim-hakim 2:14, Tuhan marah terhadap Israel dan Dia menyerahkan Israel ke tangan musuh-musuh Israel. Contoh lain lagi kita dapat melihatnya pada 2 Raja-raja 13:2-3, Hakim-hakim 3:7-8, dan masih banyak lagi.

Di Perjanjian Baru sendiri kita teringat akan kitab Roma 1:24-28. Tuhan menyerahkan mereka kepada keinginan hati yang cemar, hawa nafsu, dan pikiran-pikiran yang terkutuk. Seolah-olah Tuhan melepaskan kepemilikan atas orang bebal dan menyerahkannya ke tangan hidup sia-sia.

Lantas, apakah kita harus senang jika Tuhan marah? Memang ketika Tuhan marah dan menegur kita rasanya tidak enak. Sekalipun kita ingin lari, tapi murka-Nya akan tetap surut. Tidak ada sebuah usaha manusia pun yang dapat meredakan amarah-Nya kecuali pengorbanan Putra Tunggal-Nya, yaitu Yesus Kristus. Teguran yang kita alami kini tidak sesakit dengan amarah Tuhan yang tumpah atas hidup Yesus. Oleh karena pengorbanan Yesus, Tuhan melihat kita dengan mata yang penuh kasih. Jadi, jika kita menerima teguran Tuhan dan menafsirkannya sebagai kemarahan-Nya, Tuhan sedang tidak membenci kita. Dia mau supaya kita hidup tegak dalam cinta-Nya. Dimiliki dan memiliki-Nya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
5 replies
  1. Ribka
    Ribka says:

    menjadi sadar dan senang mengetahui kalo seseorang marah karena cemburu terhadap saya, terlebih lagi ketika Tuhan yg marah dan cemburu, pasti karena kasihNya yg begitu dalam terhadap aku, anakNya

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *