Pemuridan di Kapalnya Tuhan

Oleh Carmia Margaret, Bandung

Waktu kamu berelasi dengan seseorang, pernahkah kamu merasa orang itu baik dan menyenangkan, tetapi setelah semakin lama mengenal dia dan terlibat dalam kehidupannya, relasi itu jadi tidak semenyenangkan sebelumnya, orang itu tidak sebaik yang kamu kira, bahkan seolah-olah hidupmu jadi semakin susah karenanya?

Aku pernah. Ketika baru mengenal seseorang, kita mungkin merasa orang itu begitu baik, menyenangkan, dan enak diajak berteman. Namun, setelah kita menjadi sahabatnya, menjadi teman KTB-nya, satu kepengurusan dengannya, atau mungkin jadi pacarnya, rasanya kok dia tidak sebaik yang kita kenal. Relasi dengannya jadi semakin rumit, bahkan hidup kita terasa semakin disulitkan.

Aku menduga, mungkin ini jugalah yang dirasakan murid-murid Tuhan Yesus ketika Dia membawa mereka naik ke sebuah kapal dan badai hebat menghantam mereka. Kisah ini dicatat dalam Injil Markus 4:35-41. Di pasal-pasal sebelumnya, para murid mengenal Yesus sebagai tokoh yang spektakuler, menarik, dan mengagumkan meskipun terlihat kontroversial. Yesus dilihat sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat Yahudi pada umumnya (1:22); Yesus berkuasa mengusir setan (1:27); Yesus menyembuhkan orang kusta (1:4-45), orang lumpuh yang diturunkan dari atap (2:1-11); juga Petrus sendiri mengenal Yesus yang menyembuhkan ibu mertuanya (1:30-31). Bahkan, sampai perikop sebelum ini (4:1-34), murid-murid mengenal Yesus sebagai pengkhotbah istimewa yang mengajar dengan ilustrasi atau cerita perumpamaan yang bagus-bagus. Tetapi di perikop ini, murid-murid mengenal—atau mungkin lebih tepatnya dibuat mengenal—sosok Yesus yang berbeda. Yesus mengajak mereka naik ke atas kapal untuk berlayar ke daratan di seberang, tapi Yesus malah tidur di sepanjang perjalanan, bahkan ketika badai mengancam nyawa semua penumpang.

Menjadi murid adalah sebuah perjalanan 

Tuhan Yesus bukan sedang tidak peduli. Dia memang sengaja membuat murid-murid merasakan pengalaman diamuk badai untuk membawa mereka kepada sebuah pengenalan yang semakin mendalam akan Dia. Aku membaca kisah perjalanan Yesus bersama murid-murid di atas kapal ini sebagai sebuah perjalanan pemuridan, sebuah momen untuk murid-murid belajar dari pribadi Yesus sendiri.

Para penulis Injil sinoptik menempatkan perikop ini persis setelah hal-hal yang berkaitan dengan pemuridan. Jika kita melihat paralel dari catatan Markus ini, misalnya dalam Matius 8:23-27, narasi “Yesus meredakan angin ribut” ini terletak persis setelah perikop “hal mengikut Yesus” yang menceritakan seorang calon murid yang tidak jadi mengikut Yesus setelah mengetahui bahwa “serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya”, serta seorang calon murid lain yang menunda mengikut Yesus dengan dalih, “izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku.” Penempatan perikop “Yesus meredakan angin ribut” persis setelah penolakan kedua murid ini seolah menunjukkan apa yang akan terjadi jika seseorang benar-benar mau mengikut Yesus pergi: naik ke kapal bersama Dia dan merasakan angin ribut melanda.

Jika kita bandingkan dengan paralelnya lagi di dalam Injil yang lain, yaitu Lukas 8:22-25, narasi ini ditempatkan persis setelah catatan mengenai “Yesus dan sanak saudara-Nya.” Dikisahkan saat itu Yesus sedang mengajar, dan ketika orang-orang berkata bahwa ibu dan sanak saudara-Nya datang, Yesus menjawab, “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya.” Narasi angin ribut yang ditempatkan Lukas persis setelah catatan ini seolah menunjukkan apa yang akan terjadi, atau apa artinya, menjadi “keluarga Tuhan Yesus” itu—ikut naik ke kapal dan merasakan angin ribut bersama-sama Dia.

Jika kembali ke catatan Markus, kita akan menemukan bahwa setting cerita ini adalah setelah Tuhan Yesus mengajar orang banyak melalui berbagai perumpamaan, Ia mengajak murid-murid-Nya yang 12 orang itu untuk “bertolak ke seberang” (4:35). Ayat 36 mencatat bahwa “mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak…”  Terlihat di sini Yesus memilih 12 orang dari antara orang banyak yang mengerumuninya (lih. 4:1), untuk ikut bersama-sama dengan Dia ke seberang. Yesus memilih, from crowd to community. Kedua belas murid ini sengaja dipilih Yesus untuk menempuh perjalanan khusus dengan tujuan khusus pula: menikmati kebersamaan dengan Dia di kapal dan mengenal “sisi lain” pribadi-Nya yang mungkin tidak diungkapkan kepada orang banyak. Siapa sangka mereka mendapat hak istimewa sekapal bersama Yesus? Melihat langsung cara Yesus mengobrol, duduk santai, makan, bahkan tidur.

Pemuridan Melalui Angin Ribut

Tetapi karena perjalanan ini bukan perjalanan biasa, maka pengalaman yang diperoleh murid-murid pun luar biasa dan spesial sifatnya. Markus tidak berlama-lama merekam suasana persekutuan yang cerah ceria di dalam kapal. Di ayat 37-38, cepat-cepat dikatakan, “Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam.” Bagi para murid di kapal, peristiwa ini lebih dari sekadar fenomena alam biasa.  Jangan lupakan bahwa orang Yahudi mempunyai memori atau narasi tersendiri di dalam pikiran mereka tentang air dan segala sesuatu yang mengamuk di dalamnya, sama seperti orang Aceh yang juga memiliki kenangan tersendiri dengan pantai dan ombak.

Orang Yahudi tahu betul bahwa sebelum dunia diciptakan, yang ada hanyalah “gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air” (Kej. 1:1).  Jangan lupakan juga bahwa nenek moyang mereka dibebaskan dari Mesir melalui laut yang terbelah. Laut menurut orang Yahudi merupakan ajang pertempuran antara kuasa Allah dengan kuasa jahat, antara firman Allah dengan chaos dalam penciptaan, serta antara kuasa Allah dengan kuasa Firaun dalam narasi kitab Keluaran. Jangan lupa juga ada kisah Yunus, yang mungkin selalu dikisahkan oleh guru kepada para murid. Yunus dulu juga “bertolak ke seberang,” tetapi tujuannya salah, yang ada dia dibuang di tengah laut yang mengamuk.  Bisakah kita membayangkan isi kepala dan hati para murid di tengah laut yang mengamuk?  Jangan-jangan mereka dibawa ke tujuan yang salah. Lantas siapa yang harus dilemparkan ke laut?

Kekalutan ini membuat Petrus menghampiri Yesus dan berkata, “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?” (ay. 38). Di titik ini, Petrus benar-benar menemukan atau merasakan ketidakcocokkan antara Yesus yang selama ini dikenalnya, dengan Yesus yang saat ini dilihatnya. Di tengah kekacauan dan kepanikan yang melanda murid-murid, Yesus tidur di buritan. Ia seolah tidak tahu apa yang terjadi. Ataukah Ia sama sekali tidak mau tahu apa yang terjadi? Wajar saja Petrus menyuarakan kecemasannya. “Guru, kita ini sudah mau mati!”

Ada kalanya dalam perjalanan kita mengiring Tuhan, kita dibawa kepada suatu keadaan atau suatu pengalaman “sudah mau mati.”  Mungkin itu orang tua yang sakit, sementara kita berada jauh di tempat lain untuk melayani Tuhan. Mungkin itu studi dan kesibukan yang tidak kunjung usai di tengah tuntutan pelayanan yang juga tidak bisa dihentikan. Mungkin itu dana yang terbatas, sementara kita dituntut untuk selalu memberi lebih bagi pekerjaan Tuhan. Mungkin itu konflik antarpengurus. Mungkin itu adalah lambatnya pertumbuhan dari orang-orang yang kita layani. Mungkin itu adalah kekecewaan demi kekecewaan karena realita di dalam pelayanan tidak sesuai dengan usaha yang telah kita lakukan. Mungkin itu penyingkapan bagian-bagian kelam dari diri kita yang menyakitkan. Dan Tuhan?  Ia tidur di buritan.  Ah!  “Tuhan, aku sudah mau mati!  Tidakkah Engkau peduli?”

Penyingkapan Diri Tuhan yang Sebenarnya

Namun, Tuhan tidak tinggal diam. Kepada Petrus, dan kepada kita, Ia menyingkapkan diri-Nya. Ayat 39 mencatat, “Ia pun bangun, lalu menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: ‘Diam! Tenanglah!’ Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali.”

Melalui angin ribut yang diredakan, Yesus menunjukkan kuasa-Nya atas alam. Lebih dari itu, Yesus menunjukkan kuasa-Nya sebagai Raja sejati yang telah datang ke dalam dunia. Jika dalam narasi penciptaan, segala sesuatunya dijadikan oleh firman Allah (lih. Kej. 1:3; bdk. Yoh. 1:3), kini firman Allah yang telah menjadi daging itu ada bersama dengan murid-murid di dalam kapal. Berbeda dengan Yunus yang berjalan ke tujuan yang salah sehingga harus dibuang ke dalam laut, kini di perahu ada antitesis Yunus yang menjalani sepanjang hidup-Nya seturut tujuan Bapa, sehingga angin dan danau pun bisa tunduk kepada sabda-Nya. Jika ada Pribadi seperti ini bersama-sama dengan mereka di kapal, apa lagi yang perlu mereka takutkan? Jika ada Pribadi seperti ini di dalam kehidupan kita, apa lagi yang perlu kita takutkan?  Angin ribut itu dibiarkan-Nya ada, tetapi toh Dia selalu berada di kapal bersama-sama dengan kita.

Tujuan dari perjalanan pemuridan ini bukan hanya untuk memamerkan kemampuan supranatural Yesus di atas laut, melainkan membawa murid-murid kepada pengenalan yang semakin dalam dan sejati akan Yesus. Terbukti di ayat 41, mereka bertanya-tanya, “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?” Dari penelusuranku, kudapati kalau pertanyaan serupa tidak terlontar di pasal-pasal sebelumnya. Tidak ketika Yesus mengusir setan. Tidak ketika Yesus berkhotbah dengan sempurna. Bahkan tidak ketika Petrus melihat ibu mertuanya disembuhkan!  Pengalaman bersama-sama dengan Yesus di kapal membuat murid-murid memikirkan ulang pengenalan mereka akan Dia. Tidakkah ini terasa mirip dengan pengakuan Ayub, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau!” (Ayub 42:5).

Menarik pula untuk mencermati bahwa Markus tidak menyelesaikan perikop ini dengan mengisahkan ending perjalanan mereka. Catatannya selesai pada angin ribut yang diredakan dan murid-murid bertanya-tanya mengenai identitas Yesus. Aku menduga, Markus ingin menunjukkan kepada kita bahwa yang terpenting bukanlah semata-mata “seberang” yang ingin mereka capai, melainkan perjalanan itu sendiri—di kapal bersama-sama dengan Yesus itu sendiri. Tuhan Yesus sengaja membawa murid-murid untuk mengalami sendiri perjalanan bersama-sama dengan Dia di kapal, dengan angin ribut dan keadaan yang terasa “sudah mau mati,” untuk membawa mereka kepada pengenalan yang semakin mendalam dan sejati akan Dia.

Kita semua yang juga sedang menempuh perjalanan di kapal Tuhan, adakah kita mengalami hal serupa?  Angin ribut, badai mengamuk, dan sudah mau mati rasanya? Janganlah takut dan gentar. Ada Tuhan di kapal. Ada Tuhan di dalam badai itu bersama-sama dengan kita.

Perjalanan ini dirancang-Nya sedemikian rupa agar kita semakin mengenal dan mengalami Dia.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
6 replies
  1. Christian Santoso
    Christian Santoso says:

    Amin, insightful and let it be transform our life as disciple of Christ 🔥🙏

  2. Ezer
    Ezer says:

    Tujuan dari perjalanan pemuridan ini bukan hanya untuk memamerkan kemampuan supranatural Yesus di atas laut, melainkan membawa murid-murid kepada pengenalan yang semakin dalam dan sejati akan Yesus.

    Bagian ini mengena begitu personal. Terima kasih ci Mia sudah tulis!

  3. Yohana Betaria Permata Samosir
    Yohana Betaria Permata Samosir says:

    sangat menjawab badai hidup yg menerpaku sejak maret lalu 😢

  4. juliasari23@guru.smp.belajar.id
    juliasari23@guru.smp.belajar.id says:

    Amin… Makasih boleh meneguhkan kembali perjalanan hidup saya bersama Tuhan, Ia selalu ada.

  5. Nike Apriliani
    Nike Apriliani says:

    dalam Nama TUHAN YESUS saya percaya doa dan harapan ku TUHAN sempurnahkan Amin 😇

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *