Dari Hiburan Jadi Kecanduan, Ini Tipu Daya Budaya FoMO!

Oleh Claudia Tanubrata, Bandung

Jual ginjal demi bisa dapetin tiket konser!

Pernyataan itu agaknya terkesan ngeri memang, tapi itu candaan yang lumrah di kalangan orang-orang muda. November tahun lalu, ketika grup band terkenal dari Inggris menggelar konser di Jakarta, orang-orang begitu heboh tak ingin ketinggalan momen. Alhasil, harga tiket membeludak, dan mereka yang gagal war ticket memilih opsi lain dengan menonton konsernya di negara tetangga. Biaya mahal? Ini tak jadi soal. Oleh karena itu, guyonan “jual ginjal” pun muncul.

Namun, bila ditelaah, tak sedikit pula orang yang sebenarnya tidak terlalu nge-fans dengan grup band itu. Mereka terbakar semangatnya untuk ikut nonton justru karena ikut-ikutan temannya yang lain yang heboh membahas konser di media sosial juga di tongkrongan.

Nah teman-teman, di tulisan ini aku mau mengajakmu berselancar lebih dalam. Candaan memang candaan, tetapi bila dianalisis, itu menyiratkan suatu fenomena yang tersembunyi di permukaan. Keinginan orang untuk mengejar sesuatu turut dipengaruhi oleh budaya yang terbangun. Dan, tanpa kita sadari, budaya itu bernama Fear of Missing Out (FOMO), suatu keinginan kuat untuk terus terkoneksi dengan sesuatu yang sedang orang lain lakukan.

Di satu sisi, sikap FoMO bisa mendorong kita up to date dengan tren, tapi sadar atau tidak, FoMO juga bisa membawa dampak negatif. Sedikitnya ada tiga dampak yang muncul dari pengamatanku:

Pertama, seseorang jadi menggantungkan penghargaan dirinya dari lingkungan luar, terutama dari medsos. Apa yang viral di medsos dan di lingkungan sekitar itulah yang akan ditiru. Padahal, apa yang disajikan medsos tidak seratus persen kenyataan. Bisa saja telah diedit sedemikian rupa untuk menciptakan kesan yang berbeda. Kondisi terburuk dari penganut FoMO adalah ketika mereka sendiri tidak menyadari bahwa mereka sudah terjebak.

Kedua, terjadinya penurunan kualitas tidur. Obsesi untuk selalu mengikuti tren berjalan selaras dengan bertambahnya screen-time, atau durasi penggunaan HP. Sebelum tidur scroll HP dulu meskipun badannya sudah di kasur dan kamar sudah diredupkan. Akibatnya, hormon melatonin yang mengatur kantuk dan siklus sirkadian tubuh jadi terganggu. Ditambah lagi nanti saat bangun tidur, yang langsung dicek adalah notifikasi HP.

Ketiga, media sosial yang awalnya jadi hiburan malah berubah jadi area kecanduan. Yang awalnya merasa senang karena melihat update dari teman-teman satu circle-nya, malah menjadi burnout karena tak ada jeda dari membenamkan diri di media sosial.

Seni mengendalikan diri untuk tiba pada rasa cukup

Secara implisit, Alkitab menceritakan tentang fenomena ketika manusia tidak berpendirian dan akhirnya jatuh pada godaan. Pada Taman Eden, Hawa tergoda untuk memakan buah pengetahuan baik dan buruk karena bujukan Iblis.

Hari ini, Iblis juga sedang membujuk kita. Namun, dia tak lagi menggunakan rupa berupa ular seperti yang dulu dilakukannya pada Hawa. Dia menggunakan tipu daya dunia (Efesus 6:11) di sekitar kita untuk menggoncangkan iman orang-orang percaya dan menjauhkan mereka dari Allah. Salah satunya melalui budaya FoMO ini.

“Ah jangan terlalu ribet jadi orang! Gapapa ngutang sekali demi bisa nonton konser ini!”

Dalam contoh kasus konser seperti yang kutulis di awal artikel, mungkin ini jadi alibi yang masuk akal. Tak ada yang salah untuk menikmati hiburan dan kesenangan. Namun, apabila dalam pengejaran itu justru membawa kita pada lebih banyak mudarat, kita perlu berhenti sejenak. Firman Tuhan meminta orang percaya untuk mempersembahkan hidup sepenuhnya bagi Tuhan sebagai ibadah yang sejati supaya tidak menjadi serupa atau mengikuti dunia dengan segala keinginan dagingnya—the behavior and customs of this world (Romans 12:2 NLT). Oleh sebab itu, kita sebagai orang percaya harus berhikmat dan mengusahakan sikap tegas terhadap segala hal yang akan membawa kita jauh dari Tuhan. Seberapa penting membeli barang yang sedang hits? Benarkah segala sesuatu harus ditampilkan di media sosial?

Paulus mengingatkan kepada Jemaat Korintus melalui Korintus 10:23, “segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun”. Hal ini dimaksudkan supaya orang percaya fokus dengan apa yang diperbolehkan, yang berguna, dan yang membangun saja. Tentu apa pun yang dilakukan harus didasari pada apakah tindakan kita memuliakan Tuhan atau tidak (Kolose 3:23).

Marilah belajar untuk menyerahkan pikiran dan tindakan agar diselaraskan dengan kehendak Allah, bukan mengikuti apa yang sedang populer. Do not just follow the flow. Hati-hati, sebagai orang percaya dapat terbawa arus yang terlihat tenang namun menghanyutkan. Marilah berusaha untuk merenungkan Firman Tuhan dan menyerahkan pikiran serta perbuatan hari demi hari selaras dengan kehendak dan firman-Nya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
5 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *