Mamaku, Sahabatku dan Pendukung Pelayananku

Oleh Bintang Lony Vera Victory, Kepulauan Aru

“Mama nggak ngerti sama cara pikirmu, Kak,” kata mamaku dengan heran ketika aku mengutarakan niatku untuk pergi mengajar ke wilayah terpencil di timur Indonesia. “Orang lain ingin kerja di kota dan tinggal dekat dengan keluarga, tapi kakak malah sebaliknya.”

Kalimat itu terdengar seperti sebuah penolakan mama atas mimpi dan panggilanku, tetapi aku mengambil makna lain. Aku rasa itu karena mama hanya tidak ingin kami jauh terpisah. Kami telah bersama sejak aku masih ada dalam kandungannya. Jadi, wajar saja jika dia meresponsku seperti itu.

Beberapa pekan setelah obrolan itu, mama mendapatkan surat tugas yang memerintahkannya untuk mengadakan pelatihan ke suatu daerah di timur Indonesia. Pelatihannya dilakukan spesifik di rumah sakit pedalaman. Sepulang dari sana, mama bercerita begini, “Kasihan sekali mereka, harus naik speedboat dari pulau seberang untuk bisa ikut pelatihan ini. Mereka butuh waktu berjam-jam untuk menyeberang, tapi mereka semangat sekali.” Mama mengakui bahwa di wilayah terpencil, apa-apa serba terbatas. Namun, dia mengalami sendiri bahwa di tengah keterbatasan itu dia disambut ramah dan dijamu. Dari pengalamannya, mama yang tadinya terang-terangan menunjukkan keberatan untukku mengajar di pedalaman, kini jadi orang yang paling mendukungku. Penugasan mama rupanya jadi cara Tuhan membuka hatinya agar kami menangkap kerinduan yang sama. Sungguh, Allah bekerja secara aktif dan kreatif!

***

Kerinduan mengajar di Indonesia bagian timur telah ada sejak aku lulus kuliah sarjana dan tetap berkobar sampai aku kembali lanjut studi tingkat magister. Di salah satu kelasku, aku ingat betul dosenku berkata, “Saya pikir kita tidak kekurangan biaya untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas. Yang kurang adalah sumber daya manusianya. Apakah ada yang secara sadar dengan kerelaan hati mau pergi ke pelosok-pelosok desa karena pendidikan berkualitas harus merata dari Sabang sampai Merauke?”

Kalimat itu disampaikan dengan tenang, tapi entah mengapa rasanya seperti menyerbu setiap ruang hati dan pikiran, menyeruak masuk menempati sampai ke sudut-sudutnya. Bagaikan pemantik nyala api, kalimat itu mengobarkan semangat, membuatku ingin sekali segera menyelesaikan studi dan pergi ke timur Indonesia. Kalimat itu masih dapat kubaca saat ini jika aku membuka kembali buku catatan kuliah dulu. Sejak hari itu, pelan-pelan aku berdoa menyampaikan pada Tuhan keinginanku untuk mengajar di timur Indonesia. Seperti benih bunga yang ditabur di atas tanah subur, keinginan itu bertumbuh dan bermekaran menjadi kerinduan.

Tuhan menjawab doaku. Sejak awal tahun 2022, aku memperoleh kesempatan untuk menjadi tenaga pengajar di sebuah kampus yang ada di Kepulauan Aru, Maluku. Kampus ini terletak di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Terdepan dan terluar karena berbatasan tepat dengan negara lain. Sebagian mahasiswa menggunakan alat transportasi laut untuk pulang dan pergi ke kampus seperti kapal kecil dari kayu dengan tenaga mesin. Tidak jarang mereka menahan lapar dan dingin udara di tengah laut.

Tidak selalu mudah menjalani hari-hari di sini. Keterbatasan listrik dan air bersih kadang membuat kegiatan pembelajaran tidak optimal. Namun, aku merasakan penyertaan dan pertolongan Tuhan melalui mahasiswa, masyarakat sekitar, rekan-rekan sesama tenaga pengajar, juga Mama. Mama memang berada di tempat yang jauh, tetapi jarak jauh malah membuat kami semakin dekat. Melalui anugerah Tuhan, Mama menjadi sahabatku dalam menjalani tugas dan pelayanan di sini. Aku berkirim kabar mengenai kegiatan yang telah dan ingin dilakukan, mama meresponsnya dengan doa dan restu. Terdengar sederhana namun sangat berarti. Tidak setiap hari kami dapat berkomunikasi, tetapi aku merasakan betul bagaimana mama memeluk diriku dalam doa. Mama yang terlihat paling tidak sepaham denganku dulu, kini Tuhan memakainya untuk menolongku dan mendukungku.

Tidak pernah aku berpikir Tuhan akan membawaku sejauh ini. Kiranya hidupku dapat memuji dan memuliakan nama-Nya, seperti pada Mazmur 139:13-14, biarlah aku dapat menyatakan perbuatan-Nya yang ajaib:

“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.”

Bagikan Konten Ini
2 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *