Ketika Kakek Melarangku Makan Gorengan

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Sore hari itu, seorang kakek bersama cucunya yang sudah berusia remaja sedang jalan-jalan di sebuah mal menikmati waktu bersama.

“Kakek sekarang lapar, cari makan yuk,” ajak sang kakek. Cucunya pun mengiyakan.

Mereka kemudian berjalan ke area pujasera dan mencari tempat duduk lebih dulu. Setelah menemukan meja kosong, kakek meminta cucunya duduk menjaga meja, sementara dia antre membeli makanan. Tak lama setelahnya, kakek kembali dengan makanan yang dibawanya di atas nampan.

“Kok nggak beli gorengan, Kek?” tanya cucunya.

Kakek menggeleng. Diletakkannya nampan itu di meja, lalu dia menarik kursi dan duduk. “Enggak baik makan terlalu banyak gorengan,” sahutnya. “Tadi di rumah kan kita udah makan gorengan buatan mama kamu.”

Seperti langit cerah yang tiba-tiba mendung, begitu pula perubahan ekspresi sang cucu. Tak ada lagi senyum dan rasa senang. Makanan pun disantapnya dengan tidak bergairah. Kakek sudah bisa menebak alasan di balik perubahan sikap itu, tapi dia ingin memastikan lagi apakah sungguhan hanya karena gorengan waktu makan bersama ini jadi kaku.

“Kamu tiap makan harus selalu ada gorengan ya?”

“Kadang kalo enggak ada gorengan, aku pake kerupuk.”

Mereka pun makan dengan hening. Setelah selesai makan, sebelum beranjak dari kursi, kakek membuka suaranya lagi.

“Kamu enggak boleh makan gorengan terlalu banyak ya. Coba lebih banyak makan sayur dan buah, karena makan gorengan yang berlebihan tidak baik untuk tubuhmu.”

Sang cucu sudah menduga akan dinasihati oleh kakeknya, jadi dia membalasnya dengan argumen. “Aku sekarang sehat kok! Tenang saja, anak muda itu metabolisme tubuhnya baik. Jadi selama masih muda, makan yang tidak sehat seharusnya baik-baik saja.”

“Iya, kakek tahu kok. Kakek juga pernah muda. Tapi, kalo kamu terlalu banyak makan makanan yang enggak sehat itu berdampak di masa tuamu.”

Sebelum sang cucu sempat membalas lagi, kakek melanjutkan, “Buktinya ada teman kakek yang dulu masa mudanya juga sama kayak kamu makan yang enggak sehat terus akibatnya sekarang di masa tuanya dia harus menjaga makan karena kolesterolnya tinggi. Kakek bukan melarang kamu makan makanan yang tidak sehat, tetapi kakek minta kamu untuk membatasi makan makanan yang tidak sehat supaya di masa tuamu nanti kamu bisa sehat sama seperti kakek.”

Sang cucu pun hanya terdiam mendengar nasihat kakeknya, bukan karena marah tapi karena dia melihat berdebat dengan kakeknya adalah hal yang sia-sia. Sama seperti dia yang punya seribu cara untuk mempertahankan pendapatnya, kakeknya pun demikian. 

***

Setiap dari kita pasti tidak asing dengan omelan ataupun larangan tidak boleh makan makanan yang tidak sehat, entah dari kakek nenek kita atau pun dari orang tua kita. Sebenarnya kita tahu risiko dari gaya hidup kita yang tidak sehat, namun melihat kondisi tubuh kita yang sejauh ini masih sehat-sehat saja mungkin membuat kita cuek saja ketika harus mengikuti saran mereka untuk memiliki gaya hidup yang sehat. Pikir kita: Selama kita masih kuat bukankah sebaiknya kita menikmati masa muda kita dengan melakukan sesuatu yang kita suka? Termasuk juga dalam hal pelayanan.

Contohnya: Pernah enggak sih, kita rela kurang tidur asal dekorasi fellowship remaja selesai? Pernah enggak, waktu komsel ditawarin mau makan apa kita biasanya request makan ayam geprek dan sejenisnya yang level pedasnya selangit?

Sesekali berkorban dengan tidur larut malam itu sebenarnya sah-sah saja, tapi ingat kata kuncinya, “sesekali”. Bila ini jadi pola dan dianggap jadi kewajaran, nah mungkin kita perlu berhenti sejenak. Kita mungkin sadar kalau gaya hidup seperti ini tidak sehat, tapi satu sisi kita juga punya argumen. Misalnya, “Kalau enggak kurang tidur nanti dekornya enggak selesai lho,” “Kan kita masih belum punya banyak uang, jadi meskipun enggak sehat yang penting kan enak dan kenyang.”

Sebenarnya, bagaimana sih baiknya menghadapi hal ini? Apa iya kita harus ikut nasihat orang tua kita untuk hidup sehat? Atau sebenarnya enggak kenapa-kenapa kok kalau kita mau makan sebebas kita atau melakukan apa pun sesuka kita, selama kita masih muda, kuat, dan tahu batasan kita? Untuk menjawab kegalauan ini, mari kita lihat apa yang firman Tuhan sampaikan tentang memiliki gaya hidup yang sehat. 

1 Korintus 10:23, Paulus berkata: ““Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.”

Dalam bagian ini, Paulus memang tidak membahas tentang seperti apa gaya hidup yang benar secara spesifik. Paulus sedang menjadi penengah bagi jemaat Korintus yang sedang berkonflik karena adanya perbedaan pendapat di antara mereka. Nasihat Paulus ini juga berlaku bagi kita yang saat ini berbeda pendapat dengan orang tua kita dalam menerapkan gaya hidup yang sehat.

Paulus menasihatkan bahwa apa yang jemaat Korintus lakukan seharusnya berfokus kepada kemuliaan Tuhan dan bukan untuk kepentingan pribadi. Sama halnya dengan kita, ketika kita bingung memilih gaya hidup seperti apa yang sehat, yang benar, dan mungkin tidak jarang kita juga sampai harus adu argumen dengan orang tua kita tentang gaya hidup yang sehat, ada baiknya kita ingat nasihat Paulus ini. Apakah gaya hidup kita saat ini sudah memuliakan Tuhan?

Gaya hidup yang sehat tidak berarti kita harus menjadi berubah ekstrem, semisal jadi vegetarian atau tidak boleh begadang sama sekali. Gaya hidup yang sehat adalah gaya hidup yang memuliakan Tuhan. Jadi, mari kita lihat gaya hidup kita sejauh ini. Apakah ketika kita memilih untuk kurang tidur itu untuk memuliakan Tuhan? Misalnya kita kurang tidur karena harus menjaga orang sakit atau justru kita memilih kurang tidur karena untuk kepentingan kita sendiri seperti misalnya mau main game? Apakah ketika kita makan, kita sudah memuliakan Tuhan? Misalnya, bersyukur atas makanan yang ada dan menghabiskannya, atau kita memuliakan diri kita sendiri dengan misalnya, pesan makan sebanyak-banyaknya lalu kalau tidak habis kita membuangnya.

Teman-teman, marilah kita jadikan Tuhan sebagai standar kehidupan kita. Kita sudah diselamatkan dari hukuman dosa dan telah diangkat menjadi anak-anak Allah sehingga seluruh kehidupan kita seharusnya untuk memuliakan Allah. Sebelum kita sibuk berdebat menentukan pola hidup yang sehat, ada baiknya kita selidiki hati kita terlebih dahulu. Apakah gaya hidupku selama ini sudah memuliakan Tuhan?

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Bagikan Konten Ini
4 replies
  1. Billy
    Billy says:

    Hmm. Sebenernya gak cuma gorengan aja sih ya yang kudu dikurangin. Tapi memang gorengan yang paling nikmat.

  2. Elfrida
    Elfrida says:

    Makasih artikelnya. Masih suka lalai sama kesehatan sendiri. Walau umur masih 19 harus lebih waspada sih

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *