Ini Semua Bukan untuk Tuhan

Sebuah cerpen karya Meili Ainun

“Luar biasa banget! Keren.”

“Salut deh ama kamu.”

“Kok bisa sih berpikir sampai begitu? Kreatif sekali.”

“Sering-sering tampil dong.”

Beberapa pujian itu terdengar olehku sepanjang hari, setelah penampilan anak-anak Sekolah Minggu di kebaktian pagi. Aku tersenyum bangga sampai mukaku terlihat sumringah, sambil kuucapkan terima kasih pada tiap orang yang telah memuji sembari hatiku membatin, iya tentu saja bagus, kamu nggak tahu betapa sulitnya melatih anak-anak itu. Sudah berapa bulan nih latihan, sampai capek.

Mendengar pujian seperti itu, pikiranku langsung bekerja mempersiapkan beberapa rencana untuk penampilan Natal. Harus lebih bagus dari yang ini. Apa yang harus kubuat? Drama? Ah…sudah bosan. Harus ide lain yang lebih spektakuler. Supaya orang-orang yang melihatnya kagum. Oh…drama musikal. Yah, sepertinya ide yang bagus. Tanpa kusadari, aku senyum-senyum sendiri, memikirkan anak-anak mana yang akan kupilih untuk ikut, kapan mulai latihan, memikirkan naskah drama, menghubungi pemusik,…

Buk…

Punggungku ditepuk. Lamunanku buyar seketika.

Aku menoleh dan melihat sahabatku, sesama guru sekolah Minggu. Melani nyengir melihat wajahku yang kesal.

“Melamun aja. Ayo maju, antrean sudah mulai panjang nih,” katanya sambil menunjuk ke belakang.

Aku menoleh. Ya, benar juga. “Sorry”, kataku sambil melangkah mengambil konsumsi makan siang yang tersedia hari itu di gereja. 

“Mikirin apa sih?” tanya Melani begitu kami mulai duduk untuk makan.

“Nggak mikirin apa-apa,” jawabku sambil meraih sendok.

“Ah… Tadi waktu lagi antri.” Melani menunggu responku.

Aku langsung teringat. “Oh, hanya rencana untuk Natal anak-anak.”

“Wah..hebat. Baru saja anak-anak tampil, kamu sudah pikirin Natal,” komentar Melani sambil mengacungkan jempolnya.

Aku hanya tersenyum dan melanjutkan makan.

Kami makan dengan asyik, tapi lebih tepatnya Melani menikmati makanannya dan aku kembali sibuk dengan lamunanku yang tadi.

Selesai makan dan beres-beres ruangan kelas, aku dan Melani memutuskan untuk singgah di rumahnya.

“Aku nebeng wifi ya,” pintaku.

“Ya, pakai aja. Biasa juga langsung. Tumben pake nanya,” jawab Melani sambil ketawa.

“Biar dianggap sopan dan nggak diusir,” jawabku asal sambil tertawa juga.

“Mau cari apa?” tanya Melani penasaran. Dia tahu aku pasti memakai Internet kalau sedang ingin mencari sesuatu yang penting. Terbiasa dengan jumlah kuota yang terbatas, aku hanya memakai internet kalau lagi butuh saja.

“Ide,” jawabku singkat sambil mulai mengetik kata kunci “drama musikal sekolah minggu.”

Melani melanjutkan kegiatannya menonton drama Korea kegemarannya.

Kami segera tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Aku segera menuliskan beberapa ide menarik yang kutemukan dalam buku catatan yang selalu aku pegang. Kadang aku berguman sendiri dengan bersemangat. “Oh, iya, kenapa aku tidak terpikir ya. Bagus juga idenya. Aku bisa minta si Yoko untuk jadi Yusuf nanti. Lagu ini cocok sepertinya. Sepertinya satu bulan nggak cukup untuk latihan.”

Bukk!

Kali ini bukan punggungku yang ditepuk, melainkan wajahku kena bantal.

“Hei…apa-apaan sih?” tanyaku kesal.

Melani hanya senyum-senyum saja. “Aduh, yang lagi asyik.”

“Lagi serius nih,” kataku sambil meneruskan menulis.

Tiba-tiba Melani mengubah posisi duduknya dan memandang wajahku dengan serius.

“Kenapa sih kamu melakukan semua ini?”

Tanganku segera berhenti menulis dan memandang Melani dengan heran.

“Melakukan apa???”

“Ya, ini semua. Mencari ide lalu mengatur acara Natal, dan sebagainya.”

Aku melihat wajah serius Melani dan tertawa. “Kamu tuh kok tiba-tiba aneh. Kenapa aku melakukan ini? Ya, tentu saja persiapan Natal Sekolah Minggu. Kamu kan tahu sebentar lagi Natal. Ya harus ada acaralah.”

Melani mendekatiku. “Iya, kenapa? Kenapa kamu mau melakukan semua itu?”

Aku menggelengkan kepalaku tidak mengerti. “Kan sudah kubilang tadi. Kok kamu jadi gini?” Aku jadi tidak sabar karena beberapa ide mulai muncul di kepalaku dan aku ingin menuliskannya dengan cepat sebelum lupa.

“Maksudku, apa motivasimu melakukan semua ini? Memang adalah tugas kita untuk menyusun acara Natal anak-anak. Dan aku yakin ide acaramu tidaklah buruk, pasti kreatif dan keren seperti biasanya. Pertanyaanku, mengapa kamu melakukannya?”

“Tentu saja karena aku mau melayani Tuhan. Dan memang itulah yang kulakukan selama ini di Sekolah Minggu. Sama seperti kamu dan teman-teman lain, kan?” Nada suaraku terdengar semakin tidak sabar, aku ingin segera merampungkan draft acara ini.

Melani sepertinya tidak mau ambil pusing dengan kejengkelanku karena dia masih bertanya lagi.

“Kamu yakin kamu melakukan ini semua untuk melayani Tuhan?”

Aku mengangguk dengan cepat. “Iya, tentu saja. Kalau tidak, buat siapa?”

“Nah, itu pertanyaanku. Mungkin buat dirimu sendiri?”

Aku melepaskan pensilku. Rasa kaget pasti tergambar jelas di wajahku. “Diriku sendiri?”

Melani menghela nafas sebelum menjawab.

“Aku minta maaf bila ini menyinggungmu. Tapi sebagai sahabatmu, aku perlu mengatakannya. Sebenarnya aku sudah cukup bergumul lama apakah harus mengatakannya atau tidak. Tapi melihat kejadian hari ini, sepertinya aku harus kasih tahu kamu meski mungkin kamu akan marah dan tidak suka. Tolong janji sebelum kamu marah, kamu mau pikirin kata-kataku, oke?”

Aku mengangguk dengan bingung. Melani terlihat serius, tidak seperti biasanya.

“Sejak pertengahan tahun ini, aku memperhatikan kamu mulai berubah. Dari luar, kamu tampak sama, maksudku, kamu masih melakukan ini dan itu seperti biasa. Sibuk dengan Sekolah Minggu, termasuk semua acara yang harus kita tampilkan di dalam kebaktian. Tapi… aku melihat hatimu berubah. Kamu menikmati semua itu untuk dirimu sendiri. Kamu terlihat menikmati semua pujian yang orang lain katakan. Karena itu kamu tidak mau menerima kritikan atau masukan. Apa kamu ingat apa yang terjadi dalam rapat kita? Setiap ada teman yang kasih masukan, kamu melihatnya sebagai ancaman, dan kamu ngak mau ubah apa-apa.”

Tentu aku ingat. “Tapi itu kan memang nggak bisa diubah. Kita sudah latihan. Lagian anak-anak juga nggak ada yang protes bagiannya kepanjangan. Jadi kenapa harus diubah?”

Dengan sabar Melani melanjutkan. “Karena memang bagian itu kepanjangan. Kasihan untuk anak-anak yang harus hafalin bagiannya. Tentu saja anak-anak nggak berani bilang. Tapi, bukan soal ini, rapat itu hanya contoh. Maksudku adalah kamu sepertinya lupa bahwa pelayanan ini adalah untuk Tuhan, bukan untuk diri kita. Kamu ingat kak Siska pernah bahas Lukas 17, tentang tuan dan hamba?”

“Iya, ingat,” jawabku pelan. Aku mulai menangkap apa maksud Melani.

“Ketika hamba itu melakukan tugasnya, apakah tuannya bilang terima kasih? Tidak. Karena hamba itu memang melakukan hal yang sudah seharusnya dia lakukan. Kita adalah hamba, ya, kan? Tugas kita memang melakukan hal yang sudah seharusnya kita lakukan. Jadi ketika kita dipuji, kita tidak seharusnya sombong. Karena kita hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan.  Ketika kita dikritik atau dikasih masukan, kita bisa menerimanya dengan berbesar hati karena itu juga untuk kebaikan kita.”

Melihatku yang hanya diam, Melani memelukku.

“Aku tidak bermaksud menghakimi atau menyalahkanmu. Aku hanya mau kita dapat melayani Tuhan seperti yang seharusnya. Dan aku kasih tahu kamu satu rahasia ya.”

Aku menatapnya dengan heran. Setahuku, Melani sudah memberitahukan semuanya kepadaku. Dia termasuk orang yang terbuka.

“Maria, sebenarnya aku pun sama seperti kamu. Paling tidak dulu aku juga seperti itu, sebelum kamu mulai melayani di Sekolah Minggu. Bahkan mungkin lebih parah. Karena aku sempat berpikir, jika nggak ada aku, bagaimana mungkin Sekolah Minggu bisa berjalan? Tuh, kan, parah banget kan? Padahal siapa sih aku? Tuhan saja bisa membuat batu-batu memuji Dia, nggak butuh aku untuk melayani Dia. Sampai suatu saat, aku dengar khotbah dari Lukas 17 juga. Aku disadarkan, bahwa aku hanya melakukan tugasku sebagai seorang hamba. Semua pelayanan itu memang sudah seharusnya aku lakukan, ngak ada yang luar biasa. Jadi aku bertobat, dan terus minta Tuhan menolong mengingatkanku.”

Kata-kata Melani bagaikan pisau tajam yang menusuk hatiku. Sakit rasanya, tetapi aku tahu apa yang dikatakan Melani benar. Hatiku berubah, aku melakukan pelayanan ini untuk diriku sendiri. Tuhan begitu baik memberikan peringatan melalui sahabatku, dan menungguku untuk bertobat.

Aku memeluk Melani dengan erat. “Terima kasih, sahabatku.”

Bagikan Konten Ini
4 replies
  1. rosiana alorrinda
    rosiana alorrinda says:

    artikel yg menyentuh skli, sbg GSM sy jg biasa berusaha keras utk anak\” agar tampil bagus d stiap kegiatan, tp suatu hari sy sadar penampilan ini untuk mendapat pujian dr manusia atau utk memuliakan Tuhan, jd sy selalu bilang d anak\” skolah minggu \”anak anak siapa yg mau tampil utk memuji dan memuliakan tuhan keluarin suara kalian mau fals kah mau lupa lirik yg penting kalian mau memuji tuhan nanti tuhan yg kasi pujian utk anak\”

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *