Di Bawah Matahari

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

”Fani, buat acara penutupan ibadah Youth Sabtu depan kamu ‘kan MC nya?”

Aku mengangguk, fokus dengan layar di hadapanku.

“Konsep acara buat jam doa minggu ini udah selesai?”

“Ini hampir selesai,” jawabku singkat sambil mengangguk samar.

“Oke. Aku kabarin yang lain dulu ya!” katanya berjalan ke luar ruangan, lalu kembali beberapa waktu kemudian.

Beberapa menit suasana hening, suara orang-orang di ruang utama juga hampir tak terdengar. Hanya suara ketikan keyboard laptop yang terdengar beradu.

“Anna,” panggilku pelan.

Yang dipanggil hanya menyahut samar.

“Ann!”

Barulah Anna menoleh. “Why?”

Suara ketikan keyboard tidak terdengar lagi, berganti dengan suara deru nafasku yang tidak beraturan. Aku menghela napas panjang, dan menghembuskannya perlahan.

“Aku lagi lost motivation nih, Ann,” kataku akhirnya.

Anna mengerutkan kening, tidak langsung menanggapi, tampak berpikir sejenak lalu menjawab. “Ehm maksudnya? Gimana lost motivation versimu?”

Aku menghembuskan napas lagi.  “I don’t know, it just happened.

“Maksudmu, lagi butuh disemangatin nih? Lagi butuh bepergian buat healing?”

Aku mengangkat bahu, “Kayaknya disemangatin juga nggak pengaruh gitu lho Ann. Dan, aku nggak tahu apa itu akan membantu.”

“Atau lagi di fase nggak peduli apa-apa dan malas melakukan apa-apa?”

“Hampir iya” jawabku pelan. Aku menghembuskan napas lagi lalu melanjutkan, “Entah mengapa aku merasa kosong dalam melakukan apa pun, Na. Aku malas setiap bangun pagi dan memikirkan untuk berangat kerja. Aku ingin berlama-lama tidur dan membiarkan waktu berlalu. Tapi menyadari waktu berlalu dengan cepat, aku juga merasa cemas. Aku nggak tahu untuk apa melakukan kegiatanku setiap hari. Aku kayak robot yang hanya melakukannya sebagai aktivitas, menyelesaikan satu hari untuk kemudian mengulang aktivitas yang sama di hari berikutnya. Aku frustrasi. Aku kayak kehilangan alasan mengapa aku melakukan semua ini. Entah kehilangan atau aku yang tidak berhasil menemukannya.”

Anna terdiam sejenak. Aku tahu dia sedikit banyak mengerti apa yang sedang aku rasakan. Walau tidak mengetahui bagaimana persisnya, tapi kurasa dia tahu kalau perasaan ini menyesakkan dan memang sulit dideskripsikan.

Anna bergerak mendekat, duduk di sebelahku.

“Apa baru-baru ini hal-hal tidak terjadi seperti yang kamu harapkan?” tanyanya lembut. Aku menoleh, namun tidak mengangguk atau menggeleng. Kemudian aku kembali menatap  layar laptopku.

“Mungkin.” 

“Apa itu yang membuatmu merasa tidak bersemangat lagi? Karena merasa kehilangan alasan untuk melakukan sesuatu? Yang kamu artikan sebagai kehilangan motivasi?”

Aku tidak menanggapi apa-apa, tapi sejujurnya mulai menyadari apa yang dikatakan Anna. 

“Kadang aku bertanya, aku hidup buat apa sih? Apa sih yang aku kejar dengan semua aktivitas ini?” kataku akhirnya. “Wajar nggak sih kita berpikir seperti itu?”

Anna tidak menjawab apa-apa. Seolah dia sengaja membiarkan aku berkutat dengan pikiranku. 

“Kamu nggak ada tanggapan Ann?” tanyaku akhirnya setelah beberapa saat dia hanya terdiam.

“Ehmm… Aku rasa sebenarnya kamu tahu kok apa jawaban dari pertanyaan itu, Fan” jawab Anna penuh arti.

Aku menghembuskan napas. Berpikir beberapa saat.

“Iya kan, kamu sebenarnya tahu untuk apa kita melakukan semua ini. Untuk siapa kita sebenarnya hidup,” sambungnya lagi.

Aku masih tidak berkata apa-apa.

“Atau, kamu hanya sedang butuh diingatkan lagi?” tanyanya. Lalu tanpa menunggu responsku, ia melanjutkan.

“Fan, that’s life. Sebuah perjalanan panjang. Kita memang bisa aja berada di titik seperti itu, hanya berjalan, merasa asing, dan seolah sedang tidak tahu tujuan dalam perjalanan kita ini. Seperti sedang tidak tahu untuk apa melakukannya. Tapi Fan, bukannya fase ini bisa aja jadi titik balik untuk kita menyadari lagi kita sedang berada di mana? Kita tidak sedang berada di rumah, Fan. Tentu saja kita sering merasa tidak menemukan apa-apa di sini, karena dunia ini memang bukan rumah kita. Jadi, kalau kita tidak menemukan alasan apa pun di dunia ini untuk melakukan segala sesuatunya, apa Yesus tidak cukup menjadi motivasi kita untuk melakukannya?”

Aku membisu, pandanganku masih tertuju pada layar laptop di depanku. Tapi pikiranku benar-benar sedang bekerja keras mengolah kata-kata Anna yang disampaikan dengan lembut namun tepat sasaran. Beberapa waktu ini memang suatu hal telah membuatku khawatir dan mempengaruhi semangatku dalam bekerja atau dalam kegiatan pelayananku. Aku melupakan dan mengesampingkan Pribadi yang harusnya menjadi satu-satunya motivasiku untuk mengerjakan semua aktivitas ini. Sepertinya aku benar-benar telah dikelabui oleh perasaan khawatirku sendiri.

Aku menoleh dan menatap mata temanku ini. Aku tahu dia berusaha untuk mengerti dan membuatku mengetahui kalau dia mengerti. Aku tersenyum padanya. Dia juga. Lalu entah mengapa kami tertawa bersamaan.

“Jadi, apa kita masih perlu pergi healing dulu weekend ini?” tanyanya.

“Ah, healing juga bisa dimana-mana, sekarang aja kita sedang healing kok.”

Kami kembali tertawa lagi.

Kalau kita melihat hidup hanya sebagai hidup di bawah matahari, kita akan terperangkap dalam sebuah dunia yang tak berjendela. Solusinya ada di atas matahari. Yesus, Sang Pengharapan Dunia. (Pengkhotbah 2:11) – Sen Sendjaya, Menghidupi Injil Menginjili Hidup.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
3 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *