Petualangan Sherina 2: Tentang Rumah yang Tak Semua Kita Miliki

Oleh Sandyakala Senandika

Seminggu ke belakang, linimasa dan stories Instagramku dipenuhi berbagai kesan dari teman-temanku, para milenial yang bernostalgia karena diputarnya film Petualangan Sherina 2.

Tak ingin ketinggalan euforia, aku pun pergi menontonnya. Film ini membangkitkan memori akan bagaimana kehidupan 23 tahun lalu, ketika Sherina dan Sadam masih menjadi bocah dan melakukan petualangan berbahaya. Sekarang, setelah dewasa, mereka tiba-tiba muncul kembali, namun dengan status yang lebih mapan. Sherina telah menjadi seorang jurnalis terkenal di Jakarta, sedangkan Sadam menjadi manajer program di lembaga konservasi orangutan di Kalimantan.

Dari durasi film selama dua jam yang menyuguhkan keseruan, ada satu adegan yang membuatku tersenyum haru, yaitu ketika Sherina dengan segala kekecewaannya terhadap atasannya memilih pulang ke rumah menjumpai ayah dan ibunya. 

“Anak kita kenapa itu?” tanya ayah kepada istrinya. Mereka berdua heran melihat Sherina yang wajahnya bete dan menekan-nekan tuts piano dengan lunglai, tapi juga ragu untuk bertanya langsung. Setelah saling tunjuk, akhirnya sang ibu yang menghampiri Sherina dan mulai bertanya duluan. 

Sang ayah, dengan sedikit gengsi, mungkin tidak memberikan sentuhan dan afeksi sedekat ibu, tetapi pada adegan keesokan harinya, dia menyiapkan ransel, kompas, dan berbagai peralatan lain yang mendukung tugas Sherina untuk pergi bertualang—atau lebih tepatnya berdinas—ke Kalimantan. 

Bagiku yang terlahir dalam keluarga broken, adegan itu terasa imajinatif. Betapa dalam masa-masa kecilku, aku pernah berdoa begitu gigih agar Tuhan dapat membuat keluargaku utuh supaya aku bisa merasakan sentuhan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Sampai aku dewasa, aku tumbuh jadi pribadi yang kesepian karena sehari-harinya orang tuaku tidak tinggal bersama, hingga akhirnya mereka berpisah dan belum lama ini ayahku dipanggil Tuhan berpulang. 

Kurasa aku pun tidak sendiri. Ada banyak anak-anak milenial maupun gen-z yang terlahir dalam keluarga yang jauh dari kata ideal. Rumah yang seharusnya bisa menjadi tempat kita berpulang membawa segala kepenatan malah menjadi tempat yang ingin kita hindari.

Rumah yang bobrok, yang membentuk kita

Aku pernah menyesali dan menggugat Tuhan, “Kenapa Engkau tempatkan aku lahir di keluarga seperti ini?”

Sepanjang hidupku sejak aku mulai bisa memelihara memori, remaja, hingga dewasa, aku belum dapat menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Tetapi kini, setelah aku bekerja dan usiaku lepas landas dari seperempat abad, aku bisa memahami bahwa pada beberapa kasus, keadaan yang tidak ideal adalah sesuatu yang ideal.

Kok bisa begitu?

Kita perlu mengingat kembali bahwa kejatuhan manusia dalam dosa telah menghancurkan segala tatanan dan rancangan indah yang Allah berikan. Keluarga sebagai institusi pertama dan terkecil pun tak luput dari kehancuran itu. Maka tak ayal kita dapat dengan mudah menjumpai atau bahkan mengalami broken home, keadaan ketika relasi dalam rumah menjadi dingin, kaku, atau bahkan putus. 

Pada cerita keluargaku, sosok yang paling membuatku kecewa adalah ayahku. Dia ringan tangan, berlaku curang, tak memberiku kasih sayang berupa perhatian dan sentuhan, dan meninggalkan kami. Hingga suatu waktu, ketika aku sedang pergi melakukan perjalanan ke sebuah pulau di antara Laut Jawa dan Natuna, ada satu diskusi yang menghentakku.

“Kita nggak akan bisa memberi apa yang nggak kita miliki…”

Pernyataan itu menyusup masuk ke relung-relung memoriku. Aku tak mungkin bisa memberi seseorang uang 100 juta jika aku tak punya. Maka, dengan analogi yang sama, bagaimana mungkin ayahku bisa memberiku kasih sayang dan perhatian, kesetiaan, dan kelemahlembutan apabila dia sendiri tidak pernah mendapatkan dan memiliki itu?

Orang tuaku dibesarkan pada generasi dan keluarga yang jauh dari segala bentuk ekspresi kasih yang kudambakan. Dan, mereka pun hidup pada era ketika informasi tak bisa dengan mudah didapatkan seperti sekarang. Jadi, dengan nihilnya teladan dari orang tua mereka dan sulitnya informasi, kuanggap sulit bagi mereka untuk meraih, menyerap, hingga mempraktikkan pola asuh yang baik dan benar.

Berangkat dari pemahaman ini, aku mulai memiliki perspektif yang baru akan ‘rumah bobrok’ yang kudiami. Aku pun tahu bahwa pertanyaan mengapa aku ditempatkan di sini mungkin tak akan pernah bisa kujawab secara spesifik. Tetapi yang aku tahu adalah di tengah dunia yang telah hancur karena dosa, Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8). Dia mengasihi dan selalu memiliki maksud baik bagi kita yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Ketika ‘rumah bobrok’ diizinkan-Nya menjadi tempat tinggal kita, di sinilah Dia ingin kita belajar melihat Dia dan memulai untuk membuat perubahan lebih dulu.

Saat banyak orang menyalahkan keluarganya dengan berkata, “Aku begini karena mereka kok…”, kita dimampukan Allah untuk menjadi pembeda. Kesalahan orang tua kita bukanlah alasan untuk kita meniru dan melanggengkan perilaku buruk. Tetapi, karena kita telah menerima kasih yang sejati dari Allah, kita pun dimampukan-Nya untuk mengasihi dengan standar yang benar, yakni kasih yang sabar, baik hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain… dan selalu sabar menanggung segala sesuatu (1 Korintus 13:4-7)

Kita memang tidak bisa memilih lahir di ‘rumah’ seperti apa, tetapi kita selalu punya pilihan kelak ingin membangun rumah yang bagaimana. Apakah rumah yang kokoh dan hangat? Ataukah rumah yang bobrok dan dingin?

Dengan kasih anugerah yang Allah berikan, serta hikmat kebijaksanaan yang dapat kita gali dari berbagai informasi dan pengetahuan yang mudah kita temukan, kita bisa memilih pilihan pertama, untuk membangun rumah yang kokoh dan hangat… rumah yang kelak jika kita memilih berkeluarga, akan menjadi rumah yang pintunya selalu terbuka lebar menyambut kedatangan orang-orang yang kita cintai.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Bagikan Konten Ini
1 reply

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *